Hubungan Industial di Indonesia; Perspektif Ekonomi Islam
A. Interrelasi Islam Dan Ekonomi
Pada
awalnya, banyak pihak meragukan hubungan antara agama dan ekonomi.
Namun, sejak terbitnya buku Max Weber, The Protestant Ethic and The
Spirit of Capitalism (1904-5), orang yakin adanya hubungan itu.
Dalam
Islam, hubungan agama dan ekonomi diyakini sudah ada sejak awal, bahkan
menjadi salah satu penyebab kehadirannya. Kelahiran Islam merefleksikan
sebuah reformasi terhadap keangkuhan sistem peradaban masyarakat
ja>hiliyyah kala itu. Keangkuhan ini dapat dilihat dari perlakuan
yang tidak fair terhadap perempuan, penindasan terhadap suku dan klan
yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada kaum
aristokrat, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain.
Ikrar
‘la> ila>ha’ dalam shaha>dat dengan tegas mengkumandangkan
penegasian terhadap kekuatan hegemonik dan kuasa semu yang membelenggu
manusia, baik dalam berfikir, bersikap ataupun berbuat, untuk
selanjutnya hanya mengakui satu kekuatan sejati, "illa Alla>h", yang
berhak diikuti, ditaati, dan disembah.
Dalam
rangka mengembalikan idealisme awal, bukan romantisme masa lalu,
seorang muslim mesti mampu melakukan pembongkaran dan pembebasan dari
sistem kuasa semu beserta jaringannya, untuk kemudian memberikan
realitas alternatif dengan seperangkat jaringan kuasa ilahi yang
mengikatnya dalam semua sistem hidupnya. Dengan cara demikian, realitas
alternatif diharapkan mampu memberikan arah, motivasi dan akhirnya
tumbuh kesadaran (self consciousness) secara penuh untuk patuh, tunduk
dan menjalankan kuasa ilahi.
Selama
ini masih terdapat stereotip bahwa persoalan industri sangat ditentukan
oleh dua ekstrimitas sistem ekonomi, yaitu kapitalisme dan sosialisme.
Sistem kapitalisme diasumsikan cenderung mengeksploitasi kaum buruh,
karena di dalam sistem ini buruh diperas tenaganya untuk menghasilkan
apa yang disebut sebagai nilai lebih (surplus value).
Sementara
itu, sosialisme cenderung bersikap sebaliknya, yaitu membela buruh.
Pembelaan itu dilakukan dengan menempatkan buruh sebagai pelopor utama
perubahan dan kepemimpinan negara.
Di
Indonesia, sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim, kebijakan
perindustriannya, lebih khusus lagi tentang system perburuhanya, di set
up sebagai bagian dari sistem produksi dengan metafora mesin. Upah yang
diberikan kepada buruh dianggap sebagai cost (beaya) yang kongruen
dengan produktivitas yang dihasilkan. Unsur-unsur kemanusiaan, termasuk
agama sebagai sistem kesadaran buruh, tidak menjadi factor penting yang
mempengaruhi kebjakan perburuhan.
Banyak
penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. Diantaranya adalah minimnya
studi tentang hubungan industrial yang mampu mengekplorsi dan
mengobkektivikasi konsepsinya sehingga Negara mempertimbangkan untuk
mengadopsinya. Tulisan berikut ini adalah studi awal tentang hal
tersebut.
B. Industrialisasi dan Hubungan Industrial di Indonesia
Di
Indonesia, sejarah hubungan industrial, dalam arti hubungan antara
orang yang melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum, dimulai
dengan perbudakan yang dilakukan oleh budak dan hamba. Mereka ini
merupakan "buruh" pada jaman itu. ‘Upah’ yang mereka terima adalah
makanan, pakaian dan perumahan. Upah berupa uang biasanya tidak
diberikan kepada mereka. Orang lain atau badan itu merupakan "majikan"
yang berkuasa penuh dan mutlak, bahkan menguasai pula hidup-mati para
budak itu.
Setelah
Indonesia diserahkan kembali kepada Nederland, pemerintah
Hindia-Belanda mulai membuat regulasi perbudakan, namun tidak sampai
menghapuskannya. Yang terjadi justru pada tahun 1930-an terjadi
peralihan status dari budak menjadi buruh. Hubungan industrial yang
kapitalistik mulai terbentuk dengan adanya produksi komoditas
internasional secara massal (generalized commodity production).
Ststistik Hindia-Belanda tahun 1930 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia
yang hidup di sector buruh ada sekitar 6 juta orang. Dari jumlah ini,
sekitar setengah jutanya merupakan buruh yang sudah bersentuhan
teknologi seperti tambang, transportasi dan bengkel. Sedangkan sisanya
terdiri dari buruh inustri kecil (2.208.900), buruh lepas (2.003.200),
dan buruh musiman yang umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin.
Produksi
yang paling menonjol saat itu adalah tebu. Upah per kepala rata-rata
14,22 gulden, dengan catatan mereka masih membayar pajak yang disebut
natura. Karena hal ini dirasa memberatkan, 600 planter (penanam tebu)
dari 51 Desa di kab. Batang boikot membayar pajak, dan menuntut kenaikan
upaha menjadi 25 gulden.
Gelombang
kapitalisasi tidak hanya berhenti disitu. Intitusi keuangan juga
didirikan sebagai pendukung konsep Negara yang diimpikan Willem Daendels
yang sangat mengagumi revolusi Perancis. Ada dua lembaga keuangan yang
didirikan, yakni Nederlansche Handels Maatschapij (NHM) dan Javasche
Bank. Kehadiran kedua lembaga juga dimaksudkan untuk menghambat arus
perdagangan Inggris di Pulau Jawa, karena saat Inggris sudah memiliki
100 kapal yang berlabuh di batavia, sementara belanda hanya memiliki 43
buah.
Untuk
melancarkan proyeknya, Williem Daendels juga memberlakukan kerja paksa
(rodi) dan poenale sanctie, yakni pidana terutama atas penolakan untuk
melakukan pekerjaan dan melarikan diri serta mengangkut buruh kembali ke
perusahaan dengan bantuan polisi.
Lembaga
punale sanksi ini semata-mata diadakan dengan maksud mengikat buruh,
sebab dari ketentuan-ketentuan dalam kuli ordonansi tersebut jelas bahwa
majikan sama sekali tidak terikat pada perjanjian kerja. Dengan aturan
tersebut, buruh, selama masa kontrak, kehilangan kemerdekaannya karena
tidak dapat mempersingkat, apalagi membatalkan kontrak.
Keharusan
memenuhi kewajiban memang berlaku bagi semua orang. Akan tetapi, dalam
punale sanksi ini, buruh diwajibkan dengan ancaman pidana, atau ancaman
dibawa kembali oleh polisi ke pekerjaannya. Dengan demikian, pihak
majikan memiliki hak atas pribadi buruh untuk kepentingannnya. Punale
sanksi telah memberikan kekuasaan kepada pengusaha untuk berbuat kepada
buruh-buruh yang dapat menimbulkan perlakuan tidak adil.
Sementara
itu, Pada masa awal kemerdekaan, hubungan industrial nampak diwarnai
oleh pergolakan politik. Pada masa awal kemerdekaan hubungan industrial
relatif berjalan baik. Serikat-serikat pekerja mempunyai peranan penting
dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan kegiatan-kegiatan politik
praktis. Para anggotanya memandang bahwa organisasinya dapat dipakai
sebagai alat (vehicle) untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Pada
1956, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 98/1949
tentang Hasar-Hasar Hak dari pada untuk Berorganisasi dan Perundingan
Bersama (ILO Convention on the Right to Organise and Bargain
Collectively). Implikasinya, pada periode 1960-an, jumlah dan
keanggotaan serikat buruh menjamur dan sangat sulit dihitung. Namun
demikian, tingkat kesejahteraan para buruh ternyata tidak memiliki
hubungan signifikan untuk menumbuhkan peningkatan standar kehidupan para
buruh dan keluarganya.
Pada
masa awal pemerintahan Orde Baru, pemerintahan berhasil membentuk MPBI
(Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) yang diarahkan untuk
membicarakan berbagai hal untuk mengkonsolidasi kehidupan serikat buruh.
Pada tahun 1972, dua puluh satu serikat buruh disatukan sehingga
melahirkan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Dalam
perjalanannya, federasi ini dinilai tidak demokratis. Tuduhan tidak
demokratis pertama-tama dilontarkan oleh gerakan serikat buruh
Internasioanal, diantaranya WCL (World Convenderation of Labour) dan
ICFTU (International Convenderation of Free Trade Unites ). Tuntutan
mereka adalah agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi kaum buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat
kerja yang nyaman, terhindar dari unsur eksploitasi, tersusunnya
syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan buruh dan manajemen
serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri.
Tahun
1974, pemerintah bersama komponen masyarakat lainnya merumuskan apa
yang disebut dengan HIP (Hubungan Industrial Pancasila). Melalui konsep
ini, diharapkan agar sistem hubungan industrial di Indonesia berjalan
sesuai budaya bangsa yang tercermin dalam UUD 45 dan Pancasila.
Dalam
perkembangannya, konsep ini memang telah melahirkan praktek-praktek
hubungan industrial yang mantap dan serasi. Akan tetapi, dari sisi
pekerja, hubungan ini belum menghasilkan manfaat optimal yang bisa
dirasakan oleh mereka. Partnership sebagaimana yang diharapkan antara
pengusaha dengan pekerja ternyata belum berjalan dengan baik. Belum
pernah ada UU yang mengatur tentang hubungan industrial secara khusus di
Indonesia, tidak seperti Inggris dan bekas jajahannya yang relatif
memiliki UU seperti itu.
Peraturan
yang ada juga lebih mengacu pada stabilitas, sehingga nasib buruh tetap
berada pada posisi inverior. Peraturan-peraturan Menteri Tenaga Kerja
yang dirasa tidak sesuai dengan Perundang-undangan Perburuhan adalah:
a. Permen (Peraturan Menteri) No. 342/1986 tentang intervensi militer sebagai perantara dalam perselisihan perburuhan.
b.
Permen No. 1108/1986 tentang keharusan kalau terjadi perselisihan
perburuhan supaya diselesaikan terlebih dulu dengan atasan langsung,
sebelum lewat perantara atau P4.
c. Permen No. 1109/1986 tentang pembentukan UK (Unit Kerja) di perusahaan harus melibatkan pengusaha.
d. Permen No. 04/1986 tentang pemberian ijin kepada majikan untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu P4.
Permen-permen
itulah yang memicu gejolak masyarakat yang peduli terhadap
masalah-masalah perburuhan, karena dirasakan sangat merugikan dan
membatasi gerak buruh. Walaupun beberapa permen tersebut dicabut tahun
1993, tetapi dampaknya masih nampak dari tindakan-tindakan pengusaha,
sehingga posisi, nasib dan kesejahteraan pekerja masih sangat
memperihatinkan.
Memang,
upah minimum regional (UMR), yang kemudian berubah menjadi UMP (Upah
Minimum Propinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten), terus mengalami
kenaikan sesuai dengan perkembangan daya beli masyarakat. Namun,
persentase kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi kuat dengan
peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Itu berarti tingkat
kesejahteraan buruh masih dibawah standar. Hal ini yang membuat eskalasi
tuntutan dan demontrasi semakin meningkat khususnya yang dilancarkan
oleh pekerja.
Di
era reformasi, yang didahului dengan perpindahan kekuasaan dalam
pemerintahan, serikat buruh tumbuh dengan subur sesuai dengan aspirasi
dan tuntutan terhadap pembebasan. Hal tersebut merupakan konsekuensi
diratifikasinya Konvensi ILO tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Berorganisasi. Konvensi tersebut memberi peluang yang
seluas-luasnya untuk membentuk serikat buruh baru, sesuai dengan
kehendak para pekerja/buruh dan dilarang adanya campur tangan dari pihak
manapun.
Berkaitan
dengan ratifikasi itu, pada 18 Juni 1998, ILO mendeklarasikan
prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja. Deklarasi ini
merupakan tonggak sejarah baru bagi ILO untuk mengubah persepsi yang
berkembang, seolah-olah ILO hanya mendukung kepentingan negara maju,
sekaligus merupakan jawaban terhadap tantangan globalisasi pasar kerja
dan perdagangan yang telah menjadi fokus perdebatan internasional.
Deklarasi ILO tersebut bertujuan merekonsiliasi keinginan semua pihak
dalam hubungan industrial, menggairahkan usaha-usaha nasional seiring
dengan kemajuan sosial-ekonomi, mengakomodir perbedaan kondisi lokal
masing-masing negara, dan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun
di pihak perusahaan, para pengusaha tidak dapat segera memenuhi
standart perburuhan yang baru, disamping karena pertumbuhan ekonomi yang
rendah, juga karena mereka menghadapi sejumlah pilihan sulit, terutama
berkaitan dengan pengeluaran sejumlah biaya 'siluman', yang tidak
berhubungan dengan proses produksi. Selain itu persediaan tenaga kerja
yang berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan pengusaha untuk
tidak segera merespon tuntutan pekerja yang ada.
filosofisnya
berbeda dengan Darwinisme Sosial tentang kapitalisme laissez-faire.
Negara sejahtera berkeyakinan bahwa kesejahteraan individu merupakan
sesuatu yang sangat penting dan tidak mungkin hanya tergantung dengan
operasi pasar. Paradigma Filsosofis ini mengindikasikan pengakuan formal
terhadap ekonomi mainstream yang menyatakan bahwa kemiskinan dan
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya bukanlah dalil atas
kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa melakoni pekerjaan dengan gaji
dibawah Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah minimum Kabupaten (UMK),
para pengangguran dan mereka yang jatuh miskin tidak semata-mata
disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Oleh karena itu, perlu dicarikan
cara agar mereka mendapatkan pelayanan umum seperti kesehatan,
pendidikan, transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga
melindunginya dari resiko sosial, ekses industrialisasi, ketidakmampuan
dan pengangguran.
Negara
Sejahtera tidak perlu mengajukan perubahan fundamental untuk
merealisasikan tujuannya. Peran Negara yang lebih besar sudah dianggap
cukup untuk menjalankan fungsi pasar secara sempurna dan memperbaiki
ketidakadilan yang diciptakan kapitalisme laissez-fire.
Secara
teori, target ini bisa dilaksanakan melalui enam langkah: regulasi,
nasionalisasi, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi,
dan full employment. Enam langkah tersebut di atas pada dasarnya
mengakui adanya full employment, distribusi kekeyaan dan pendapatan
secara adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Filosofi
ini menuntut peranan negara dalam bidang ekonomi menjadi lebih aktif
dibanding dengan paham kapitalisme laissez-fire, atau bahkan teori
Keynes.
Hanya
saja, karena konsep Negara Sejahtera berbicara tentang sesuatu yang
abstrak, yakni kesejahteraan, maka sampai hari ini para pakar belum
mampu menyepakati definisi Negara Sejahtera. Bahkan Titmuss sampai
berkesimpulan bahwa Negara Sejahtera adalah abstraksi yang tidak bisa
didefinisikan. Dengan demikian, banyak dijumpai contoh praktis yang
berbeda antara satu negara dengan lainnya, mulai dari yang kurang
sempurna seperti Amerika Serikat, sampai yang sempurna seperti Swedia.
Sekalipun
Negara Sejahtera telah berusaha semaksimal mungkin mengusung
kesejahteraan umum, namun tetap saja tidak bisa lepas dari unsur
kapitalisme. Ia tidak bisa keluar dari unsur filsafat enlightenment atau
dari keyakinan akan kesucian sistem pasar. Sikap antagonistik
enlightenment terhadap pertimbangan nilai juga tetap tak berkurang.
Karena itu, pendekatan yang dipakai adalah pasar bebas. Negara tidak
perlu mencampuri urusan import tenaga kerja asing, misalnya, asal
dilakukan sesuai mekanisme pasar, fair, tidak ada rekayasa dan permainan
kotor.
Dalam
kondisi ini, negara diibaratkan sebagai wasit dalam permainan sepak
bola. Ia tidak punya hak menendang atau memegang bola. Yang perlu
dilakukan adalah agar permainan dalam sepak bola tersebut berjalan
lancar dan tidak ada kecurangan.
Teori
pasar di atas, ternyata menimbulkan banyak ekses. Mereka yang mempunyai
kapital tinggi akan dengan sendirinya menguasai pasar, sehingga
potensial melakukan penyimpangan dan ketidakadilan, sehingga apa yang
disebut sebagai kesejahteraan (walfare) masih jauh panggang dari api.
Kebenaran
pernyataan ini tidak membutuhkan riset yang njlimet karena sejak dulu
kita memang belum bisa menyelesaikan kondisi ketenagakerjaan. Dari dulu
masalah perburuhan menjadi sorotan banyak pihak, tapi dari dari dulu
pula masalah ini tidak selesai. Hal ini karena ketidakseimbangan supplay
dan demand tenaga kerja. Teorinya memang benar bahwa slope upah
bergerak positif sesuai dengan perkembangan permintaan, tapi ternyata
pergerakannya tidak secepat yang diharapkan sehingga terjadi kesenjangan
(baca: pengangguran).
Karena
ketidakseimbangan supplay dan demand itulah, maka harga (upah) tenaga
kerja di Indonesia sangat murah. Upah buruh ditetapkan dengan Upah
Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hanya untuk
memenuhi Kebutuhan Hidup Minimal (KHM), bukan pada Kebutuhan Hidup
Layak (KHL), sehingga seluruh potensinya habis untuk Opportunity cost,
tanpa pernah bisa menikmati economic rent. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa di Indonesia faktor yang paling mempengaruhi pasar tenaga kerja
masih upah, belum bergeser ke faktor selera, nilai pengalaman, atau
faktor non materiil lainnya.
Oleh
karena itu sangat dimengerti jika buruh selalu menuntut perbaikan
nasib. Tahun 2004 ada 103 kasus pemogokan yang melibatkan 44.280 tenaga
kerja, sehingga menyebabkan hilangnya jam kerja sebanyak 462.624 jam.
Data
diatas merupakan fakta tak terbantahkan bahwa posisi buruh memang
sangat sulit. Kaum buruh terus hidup dengan kesadaran tradisional,
sementara mereka di hadapkan secara langsung dengan praktek-praktek
diskursif dan hegemonisasi modal. Kapitalisme telah menjadi ideologi
dominan. Ia membentuk, memproduksi dan melakukan kontrol kesadaran.
Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada praktek kekerasan, penindasan
dan penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani, dan kaum miskin
kota). Ironisnya, karena fenomena ini menjadi tontonan keseharian, maka
tidak lagi dilihat sebagi kejahatan, tetapi telah diterima sebagai
kewajaran.
Integrasi
sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia yang didasari
oleh liberalisme perdagangan dan investasi diakui atau tidak telah
menimbulkan banyak ekses. Disamping secara ekonomi menimbulkan
ketimpangan, secara sosiologis juga memunculkan kelas sosial buruh
perkotaan sebagai akibat arus urbanisasi yang masif dari desa ke kota.
Kondisi ini masih ditambah lagi dengan media kapitalisme yang
membombardir buruh dengan tontonan visual yang penuh daya persuasif
(bujuk rayu).
Model-model
represivitas ini dengan sendirinya membuat kaum buruh tetap dalam
kondisi terpuruk. Kaum buruh secara sistemik tidak akan sampai pada
kesadaran sebagai kelas sosial yang tertindas, sebagai sapi perahan di
dalam siklus jam kerja dan cost produksi.
Mereka
dibelenggu untuk hanya hidup di dalam lingkungan pabrik, lahan sawah,
areal perkebunan, dan ruang perkantoran swasta. Di luar itu, akibat
hegemonisasi, ilusi juga tak henti-hentinya disusupkan di ruang-ruang
kesadaran rakyat pekerja oleh media-media kapitalisme, sehingga rakyat
pekerja hidup dalam tradisi budaya yang semrawut, konsumtif, dan
individualistik. Budaya liberal telah membuka kemungkinan
sebesar-besarnya bagi penguasaan dan pengebirian potensi kesadaran
kritis, daya korektif dan semangat resistensi rakyat. Melalui tontonan
dan sajian berita yang bebas nilai, potensi kolektivitas yang didasari
oleh kesadaran kelas rakyat digiring untuk tunduk pada kapitalisme.
C. Basis Normativ Hubungan Industrial Dalam Islam
Melihat
paradigma perburuhan di Indonesia yang lebih menguntungkan modal dan
menempatkan buruh pada posisi lemah, tidak salah jika Islam datang
menawarkan sistem lain yang diharapkan menjadi alternatif. Ada beberapa
alasan mengapa Islam harus mengampil peran. Antara lain, Islam sebagai
agama komprehensif dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem
ekonomi yang bisa menjadi alternatif terhadap dua ideologi besar yang
sama-sama ekstrim, kapitalisme dan sosialisme. Hukum Islam sebagai
konsep normatif yang bersifat operasional dalam Islam diharapkan mampu
mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan
kontemporer di bawah sistem kapitalisme.
Alasan
lain adalah untuk melakukan pressure terhadap negara dengan landasasan
teologis, agar penanganan masalah buruh tetap mengacu kepada fitrah
kemanusiaan yang menjadi misi setiap agama. Oleh karenanya, Hukum Islam
di abad modern ini diharapkan mampu berbicara banyak mengenai konsep
perburuhan melalui penelusuran norma-norma Islam, dalam bentuk prinsip
dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam teks-teks nash mapun
pengalaman historis masyarakat Islam.
Untuk
meneropong isu hubungan industrial dengan kompleksitas persoalannya,
mau tidak mau kita mesti melangkah ke persoalan yang lebih mendasar,
yaitu paradigma perekonomian dalam Islam.
Basis paradigmatic ekonomi Islam adalah keterkecukupan makhluk akan kebutuhannya, sebagaimana tampak dalam firman:
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (هود: 6)
Data
menunjukkan bahwa kekayaan alam yang disediakan Tuhan di bumi ini
sebenarnya sangat mencukupi untuk sekedar memenuhi kebutuhan (bedakan
dengan: keinginan) makhluk hidup yang melata di atasnya, tidak
terkecuali umat manusia. Lebih-lebih dengan senjata ilmu dan
teknologinya, umat manusia kini mampu mengeksplorasi kekayaan alam yang
tersimpan di perut bumi yang paling dalam sekalipun. Oleh sebab itu,
apabila dalam kenyataannya, banyak orang yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dlarûri-nya, apalagi yang takmîli atau tahsîni, itulah bukan
karena persoalan supply yang terbatas melainkan lebih karena distribusi
yang terampas. Berdasar cara pandang ini, Ilmu Ekonomi Islam
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tata kehidupan
kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridla Allah.
Ta'rif ini setidaknya telah mengakomodir tiga domein utama; [1] domein
tata kehidupan [2] domein pemenuhan kebutuhan, dan [3] domein ridla
Allah. Definisi ini juga sekaligus melengkapi pemikiran Monzer Kahf,
Choudhuri, Mannan dan Marshall.
Konsisten
dengan tiga domein ini, maka pola hubungan industrial belum sepenuhnya
sejalan dengan idealisme Islam yang menghendaki adanya keadilan yang
merata. Sebab, dalam fungsinya yang sebatas regulator, pemerintah sulit
menjamin kesejahteraan warganya karena ia tidak mempunyai keberpihakan
yang jelas terhadap kaum miskin, atau secara umum terhadap pemerataan
keuntungan. Pemerintah memang telah berusaha mengatur upah minimum bagi
buruh. Tapi sama sekali tidak menyentuh ‘upah maksimum’ yang dihasilkan
oleh modal pengusaha. Sebagai misal, dari modal 1.000.000,- seorang
pengusaha mendapatkan laba 1.500.000,. Berapa persenkah ia berhak
mengambil keuntungan dari saham modalnya? Kalau buruh hanya diberi UMR,
itu artinya selebihnya milik pengusaha, berapapun jumlahnya. Buruh hanya
mendapatkan taraf kehidupan minimal, sementara pengusaha mendapatkan
keuntungan maksimal. Dalam kondisi ini, maka penumpukan modal tidak akan
terhindari.
Hal
ini, disadari atau tidak, pada gilirannya dianggap turut bertanggung
jawab atas kesenjangan pembagian kekayaan dan pendapatan secara
mencolok, karena dalam perkembangannya, ia meningkatkan kekuasaan
perusahaan, memonopoli harga, sistem produksi, kebebasan pasar, dan
pengejaran keuntungan. Konsep ini, disadari atau tidak, telah membuat si
kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.
Islam
juga tidak sepakat dengan tawaran kepemilikan kolektif dari kaum
sosialis, sebagai cara untuk meratakan kemakmuran warganya. Sebab hal
itu akan berakibat pada dihapuskannya milik pribadi. Sekalipun skenario
totaliter yang dituntun oleh konsep hak kolektif ini dapat membantu
mengurangi pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak
kekurangan‑kekurangan kapitalis lainnya, namun tidak berarti bebas dari
keterbatasan‑keterbatasan, terutama soal insentif dan kebebasan pribadi.
Di bawah komunisme, manusia sesungguhnya diasumsikan sebagai mesin yang
tidak berperasaan.
Islam
berposisi diantara kapitalis-sosialis yang hanya melihat manusia secara
parsial. Islam tidak hanya mengakui hak milik pribadi, tetapi dengan
menjamin pembagian kekayaan yang seluas‑luasnya dan bermanfaat melalui
lembaga‑lembaga yang didirikan dengan bimbingan moral universal.
Islam
berkeyakinan bahwa kesejahteraan sosial merupakan sesuatu yang sangat
penting. Kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhannya, bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang
terpaksa melakoni pekerjaan dengan gaji dibawah Upah Minimum Propinsi
(UMP), para pengangguran dan mereka yang jatuh miskin, tidak semata-mata
disebabkan oleh kesalahannya sendiri.
Oleh
karena itu, perlu dicarikan formula agar mereka mendapatkan pelayanan
umum; seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, dan
lain-lain, disamping juga melindunginya dari ekses industrialisasi
seperti pencemaran lingkungan, terganggunya sistem sosial, pengangguran,
dan sebagainya. Semua itu tidak mungkin terjadi jika pemerintah hanya
berperan sebagai regulator.
Secara umum, prinsip hubungan industrial dalam Islam harus mengakomodir kepentingan buruh yang meliputi:
1. Hak mendapatkan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan kompetensinya.
Pada
dasarnya, setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh, meningkatkan dan
mengembangkan kompetensi kerja, sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya melalui pelatihan kerja untuk meningkatkan produktivitas
mereka..
Sebagai
sebuah terminologi, istilah produktivitas memang baru muncul pertama
kali pada tahun 1776 dalam suatu makalah yang disusun oleh seorang
ekonom Perancis, Francois Quesney, dalam tulisannya yang berjudul
Historis Viewpoint of Economic Theories. Sedangkan produktivitas sebagai
konsep dengan input dan Output sebagai eleman utamanya pertama kali
dicetuskan oleh David Ricardo bersama Adam Smith sekitar tahun 18. Ini
senada dengan pernyataan Stevenson yang mengatakan bahwa yang disebut
produktivitas tak lain adalah indeks untuk mengukur seberapa jauh
keluaran relatif dapat di capai dengan mendayagunakan masukan yang dapat
dikombinasikan. Penjelasan lebih lanjut tentang produktivitas
dikemukakan oleh Adam and Ebert yang menyatakan bahwa productivity can
be expressed on a total faktor basis or on partial faktor basis.
Akan
tetapi, sebagai sebuah substansi, produktivitas bukanlah konsep baru,
jauh-jauh hari Islam telah mengenal konsep tersebut. Dalam surat al-Mulk
ayat 2 Allah berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ(الملك:2)
"Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun"
Ayat
ini menyatakan bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan adalah
untuk menemukan siapa di antara mereka yang lebih baik perbuatannya.
Dalam konteks ekonomi, yang lebih baik perbuatannya adalah yang lebih
produktif. Nabi juga pernah menyatakan bahwa barang siapa yang hari ini
lebih jelek dari hari kemarin berarti rugi karena tidak ada nilai
tambah. Karena itu, satu-satunya pilihan bagi seorang muslim adalah
bahwa hari ini harus lebih baik (lebih produktif) dari hari kemarin.
2. Hak Mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sesuai dengan pilihannya.
Keterampilan
sesorang merupakan aset pribadi buruh, bukan milik majikan. Sehingga,
ia tidak terbebani untuk melakukan sesuatu yang berada diluar miliknya.
Konsekwensinya adalah, jikalau dengan skill tersebut buruh merasa tidak
pas bekerja dengan majikan tersebut, ia punya hak untuk
pindahSebagaimana tertera dalam pasal 31, setiap tenaga kerja mempunyai
hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan, memilih
jenisnya, pindah dari pekerjaan lama dan memperoleh penghasilan, baik di
dalam atau di luar negeri. Garis yang dibikin Islam sangat jelas. Allah
berfirman :
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلًا(الاسراء :84)
"Katakanlah:
"Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya"
3. Hak Mendapatkan keselamatan, Kesehatan dan perlindungan kerja, terutama bagi pekerja yang cacat, anak dan perempuan.
Disamping konsep h}ifz} al-nafs dalam al-d}aru>riyya>t al-khamsah, dalam sebuah Hadith, Nabi bersabda:
...هُمْ
إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ جَعَلَ
اللَّهُ أَخَاهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ
وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا يُكَلِّفُهُ مِنَ الْعَمَلِ مَا
يَغْلِبُهُ فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ عَلَيْهِ (رواه
البخارى)
"
Para perkerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka
barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang
ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa
melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu"
(HR. Ahmad).
Hadith
ini sangat jelas menyatakan bahwa keamanan buruh berada dalam
tanggungan para majikan. Kewajiban memberi makanan dan pakaian
sebagaimana yang dipakai majikan, jika dipahami dengan pemahaman
Isha>rah al-Nas}, adalah perintah untuk menyediakan basic need,
sebagaimana dibayangkan Maslow. Juga, larangan memaksa melakukan
pekerjaan yang mereka tidak mampu dan kewajiban membantu melaksanakan
pekerjaan tersebut bisa dipahami sebagai kewajiban memberikan fasilitas
dan perlindungan kerja.
Pemaknaan
secara isha>ri> ini akan menemukan kerangka yang lebih kongkrit
ketika kita memahaminya dengan menggunakan beberapa prinsip yang ada
dalam Islam. Prinsip tersebut antara lain adalah:
a.
Prinsip al-Maslah}ah} al-Mursalah, yaitu suatu prinsip kemashlahatan
umum yang telah menjadi acuan sahabat dan tabi’in, terutama masalah yang
berkaitan dengan kepentingan umum yang tidak ada ketentuannya dalam
berbagai hukum syarak atau semisalnya.
b.
Prinsip al-Istih}san, yaitu persetujuan terhadap sesuatu karena sesuatu
itu mengandung kebaikan yang berguna untuk manusia. Ia merupakan satu
prinsip yang digunakan oleh fuqaha dalam usaha untuk menda-patkan
beberapa kepentingan yang sangat diperlukan oleh manusia.
c.
Prinsip al-Istish}ab, yaitu mengqiyaskan satu masalah yang sudah ijmak
hukumnya terhadap masalah yang baru yang belum ada hukumnya.
d. Prinsip sadd al-dhara>’i', yaitu prinsip menghindari bahaya yang diramalkan akan berlaku.
Prinsip-prinsip
di atas dapat dijabarkan menjadi bagian-bagian yang lebih khusus dengan
berdasarkan pada kebutuhan pihak-pihak yang bertransaksi. Upaya
penerjemahan ini telah dimulai oleh para fuqaha. Secara fiqh, hubungan
kerja antara buruh-majikan dikonsepsi menjadi ‘akad ijarah yang
merupakan akad pertukaran manfaat dan upah. Sebagai konsekwensi akad,
pihak majikan bertanggung jawab atas berbagai hal yang menyangkut
keselamatan pekerja. Oleh karena itu, pihak pekerja mempunyai hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dan perawatan secara teratur agar bisa
menjalankan pekerjaan sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian
kerja.
Para
fuqaha mengharuskan majikan untuk memberikan anggaran biaya perawatan
kesehatan bagi setiap orang dalam waktu satu sesi kerja. Biaya tersebut
perlu dipersiapkan lebih awal, karena tidak diketahui dengan pasti kapan
para pekerja itu akan jatuh sakit. Adalah sebuah kesalahan (dan juga
termasuk perbuatan menganiaya) jika majikan membiarkan pekerjanya sakit,
di mana yang sakit itu masih menjadi tanggungannya selama dalam jangka
waktu yang tercantum dalam perjanjian kerja.
Mengenai
buruh anak, istilah itu sendiri senantiasa memunculkan berbagai
interpretasi yang lebih menjurus kepada soal-soal negatif, seperti isu
kemiskinan, keterpaksaan dan kekerasan. Nabi sangat menyadari posisi
dilematis ini. Karena itulah beliau menyatakan:
...وَلَا
تُكَلِّفُوا الصَّغِيرَ الْكَسْبَ فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يَجِدْ سَرَقَ
وَعِفُّوا إِذْ أَعَفَّكُمُ اللَّهُ وَعَلَيْكُمْ مِنَ الْمَطَاعِمِ بِمَا
طَابَ مِنْهَا (رواه مالك)
Dari
kata idha> lam yajid saraqa dapat dipahami bahwa fenomena pekerja
anak bukanlah fenomena normal. Semua itu lahir dari kemiskinan, yang
jika tidak terpenuhi mereka akan terjebak pada pencurian.
Termasuk
dalam kategori melindungi keselamataan dan kesehatan kerja adalah
dengan memberinya hak istirahat dan cuti. Aturan cuti ini juga selaras
dengan misi Islam untuk menghilangkan eksploitasi terhadap makhluk,
termasuk buruh. Tidak memberi kesempatan istirahat secara cukup terhadap
buruh termasuk bagian dari eksploitasi, yang merupakan kesalahan besar
dan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Dalam al-Qur'an Allah
berfirman:
...لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا(الطلاق : 7)
"…Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan"
Setiap
pekerja mempunyai hak untuk beristirahat dan juga mendapatkan
ketenangan jasmani dan rohani. Tuntutan akan hal-hal tersebut menjadi
tanggung jawab majikan selama ia masih terikat dengan perjanjian kerja
dengannya.
Keseimbangan antara tuntutan jasmani dan ruhani merupakan anjuran syari’at, seperti sabda Rasulullah SAW;
حَدَّثَنِي
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ
اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ
فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ
وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا... (رواه البخارى)
”Wahai
Abdullah, saya mendengar kabar bahwa engkau puasa disiang hari dan
shalat semalam suntuk. 'Abdullah menjawab: Benar, wahai Rasul. Rasul
bersabda: jangan lakukan itu. Fisikmu, matamu, istrimu, dan tamumu
mempunyai hak atas dirimu…"
Kata
jasd dalam kontek hadis ini, sebagaimana yang diyakini Ibn Hajar,
adalah memberikan hak dasarnya, termasuk didalamnya istirahat, baik
jasmani maupun ruhani.
Secara
fiqh, hak untuk beristirahat bagi adalah bagian integral dari kontrak,
sehingga ketentuan tersebut harus diperjelas dan terpisah dari waktu
kerja.
Soal
aturan khsus bagi perempuan, termasuk didalamnya waktu istirahat,
memang sangat diperlukan. Hal ini karena ada waktu-waktu tertentu dimana
ia mempunyai tuntutan reproduksi yang tidak bisa dibatalkan oleh
siapapun. Kita tidak boleh memaksa mereka untuk tidak punya anak, tidak
menyusui, tidak haid dan semisalnya, karena semua itu fitrah mereka.
Kita juga tidak boleh menolak buruh perempuan karena alasan-alasan tidak
produktif, karena produktivitas perempuan tidak semata-mata diukur dari
sisi jam kerja. Allah berfirman:
وَلَا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ( النساْ: 32(
"
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu"
Untuk
itu, menjadi benar jika undang-undang mengkhususkan waktu-waktu cuti
bagi perempuan, sebagaimana uraian di atas. Dalam sebuah Hadith, Nabi
juga berpesan agar jangan memaksakan pekerjaan terhadap tenaga kerja
perempaun. Imam Malik meriwayatkan bahwa:
حَدَّثَنِي
مَالِك عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ
سَمِعَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَهُوَ يَخْطُبُ وَهُوَ يَقُولُ لَا
تُكَلِّفُوا الْأَمَةَ غَيْرَ ذَاتِ الصَّنْعَةِ الْكَسْبَ فَإِنَّكُمْ
مَتَى كَلَّفْتُمُوهَا ذَلِكَ كَسَبَتْ بِفَرْجِهَا ... (مالك)
"Usman
berkata dalam sebuah pidatonya: Janganlah kalian memaksa buruh
perempuan yang tidak layak kerja untuk bekerja. Sebab, jika hal itu
terjadi, mereka akan berkerja dengan alat vitalnya"
Karena
cuti dengan mekanisme di atas telah sesuai dengan hak reproduksi
perempuan, maka pihak majikan tidak boleh membatalkan hak tersebut,
apalagi sampai memutuskan hubungan kerja.
4. Hak melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya dengan tetap mendapatkan upah.
Dalam
sebuah negara demokrasi, melakukan internalisasi terhadap standar,
harapan, prinsip, norma, ide dan keyakian yang dipegangnya adalah hak
azasi. Ia berhak mengetahui, memahami, dan mengambil tindakan sesuai
dengan nilai-nilai yang diyakininya. Dalam konteks seorang buruh muslim,
nilai tersebut adalah keimanannya. Keimanan dalam perspektif ini adalah
keyakinan pada keesaan Allah yang terbangun jauh sebelum ia dilahirkan,
sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا
غَافِلِينَ (الاعراف: 172)
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Agar
iman berjalan lurus, stabil, konsisten, dan mempunyai daya
responsifitas tinggi, Islam tidak memisahkan keimanan (faith) dari
pengetahuan (knowledge). Jelas pandangan ini berseberangan dengan
pandangan yang menyatakan bahwa agama dan pengetahuan secara tegas
terpisah dan saling eksklusif. Islamlah yang paling peduli menumbuhkan
konvergensi dan kesatuan dalam keragaman.
Ketidakterpisahan
antara keimanan dan pengetahuan menandakan bahwa, pertama, pengetahuan
dalam pengertiannya yang paling luas diinspirasikan oleh keimanan yang
mengantarkan pada jalan yang lurus; dan kedua, pengetahuan tidak hanya
mengarahkan bagaimana seseorang harus berindak, tetapi juga
menginspirasikan dan mengkarakterisasikan bentuk-bentuk tindakan
(action).
Keterkaitan
antara keimanan (faith), pengetahuan (knowledge), dan tindakan (action)
menunjukkan kesatuan elemen-elemen itu, yaitu, sebuah pemahaman yang
mengantarkan diri pada kesadaran diri (self consciousness) untuk selalu
menghambakan dirinya hanya pada Allah.
Dengan
paradigma ini, pelaksanaan ibadah bagi seorang buruh bukan sebagai
tindakan yang merugikan pihak majikan karena mengurangi waktu, akan
tetapi justru sebagai mekanisme untuk membangun kesadaran diri yang
memunculkan spirit, motivasi, dan kekuatan baru untuk bekerja lebih baik
sehingga produktivitas kerjanya akan naik. Dengan ibadah, ia akan
semakin menyadari makna Hadith Nabi:
عَنْ
أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
بَخِيلٌ وَلَا خَبٌّ وَلَا خَائِنٌ وَلَا سَيِّئُ الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ
مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ الْمَمْلُوكُونَ إِذَا أَحْسَنُوا فِيمَا
بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَفِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ
مَوَالِيهِمْ (رواه احمد)
"Tidak
masuk Surga orang pelit, penipu, pengkhianat, dan orang yang jelek
pelayananannya terhadap majikan. Sedangkan orang yang pertama kali
mengetuk pintu Surga adalah para buruh yang baik terhadap sesamanya,
taat kepada Allah, dan kepada majikannya. (HR Ahmad)
Hadith
ini dengan lugas menyatakan bahwa kewajiban kepada Allah dan majikannya
bukan sesuatu yang antagonistik, tapi seseuatu yang saling mengisi.
Oleh karena itu, Islam tidak memetaforakan tenaga kerja sebagai sebagai
mesin, yang kemudian kehidupan, struktur, dan individualitasnya
dirancang dan dikendalikan secara mekanistis. Sungguh, penggunaan
metafora mesin, secara radikal telah merombak hakikat aktivitas produksi
dan telah meninggalkan jejaknya dalam pikiran, pemikiran, dan perasaaan
manusia selama beberapa waktu. Dan implikasi-implikasi lain dapat
ditemukan, seperti presisi dan repetisi kerja mekanik,
aktivitas-aktivitas yang dapat diramalkan hasilnya, dan kehidupan yang
kering dari nilai kehidupan.
Metafora
seperti ini tentu mempunyai efek yang menguntungkan dan merugikan. Efek
menguntungkannya adalah produk yang dihasilkan dapat dengan pasti
dihitung, sehingga tujuan majikan dapat tercapai. Akan tetapi, Effek
terburuk yang terjadi adalah mengurangi dan merendahkan hakikat esensial
manusia sebagai aktor sosial yang mampu mengkonstruk realitas sosialnya
sendiri yang peniuh dengan makna. Bukan realitas yang kering norma,
nilai atau etika yang pada akhirnya menambah rasa keterasingan
aktor-aktor sosial dari hakikat kemanusiaan mereka.
Oleh
karena itu, sebagaimana Hadi>th di atas, Islam memandang kerja
sebagai amanah yang bermata ganda. Seorang buruh harus menjalankan
amanah Allahnya, disamping amanah majikannya. Dengan cara ini, maka
majikan tidak boleh melarang buruh menjalankan ibadah menurut keyakinan
mereka. Majikan juga tidak perlu kuatir pekerjaan akan terbengkalai,
karena jika hal itu terjadi, maka si buruh telah mengkhianati amanah
majikannya dan bertentangan dengan misi peribadatan itu sendiri. Dalam
sebuah Hadi>th, Nabi bersabda:
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى عَنْ فَرْقَدٍ
السَّبَخِيِّ عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِي
اللَّهم عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ خَبٌّ وَلَا بَخِيلٌ وَلَا مَنَّانٌ وَلَا سَيِّئُ
الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ الْمَمْلُوكُ إِذَا
أَطَاعَ اللَّهَ وَأَطَاعَ سَيِّدَه (رواه احمد)
Rumusan
ini memang masih abstrak dan normatif. Oleh karena itu, metafora amanah
perlu diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk nyata dan operatif yang
merge dengan karakter, kebutuhan masyarakat, dan lingkungan, serta
kekuatan sosial lain.
5. Hak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sebelum
bicara lebih jauh berbicara tentang upah, terlebih dulu harus
diperhatikan asumsi dasar pengupahan, yakni pertama, ada hubungan yang
signifikan antara upah dengan perolehan laba; dan kedua, ada tindakan
tidak maksimal dari pihak buruh jika upah tidak diperhatikan.
Ada
banyak teori yang menjelaskan besaran dan jenis upah yang mesti
diterima buruh. Antara lain adalah; 1] Teori Subsistensi yang digunakan
untuk pekerja yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Upah, menurut
teori ini, didasarkan pada tingkat subsistensi sesuai tingkat kebutuhan
mendasar; 2] Teori Dana Upah. Menurut terori ini, upah pekerja adalah
bagian dari modal untuk berproduksi. Besaran upah pekerja akan selalu
didasarkan pada penambahan modal atau pengurangan jumlah pekerja; 3]
Teori Marginal Productivity. Menurut teori ini, upah tenaga kerja
didasarkan pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan
menambah upah pekerja sampai batas pertambahan produktivitas marjinal
minimal sama dengan upah yang diberikan pada mereka. 4]. Teori
Bargaining. Teori ini mengandaikan ada batas minimal dan maksimal upah.
Upah yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak; 5] Teori
Daya Beli. Teori ini mendasarkan permintaan pasar atas barang dengan
upah. Agar barang terbeli, maka upah harus tinggi. Jika upah rendah,
maka daya beli tidak ada, dan barang tidak laku. Jika hal ini dibiarkan,
maka akan terjadi pengangguran besar-besaran; 6] Teori upah hukum alam.
Teori ini menyatakan bahwa upah ditetapkan atas dasar biaya yang
diperlukan untuk memelihara atau memulihkan tenaga buruh yang telah
dipakai untuk berproduksi.
Konsepsi
Islam tentang upah sesungguhnya hampir sama dengan Teori Marginal
Productivity dan Teori Bargaining. Sebagaimana penjelasan di atas, teori
marginal productivity menyatakan bahwa upah tenaga kerja didasarkan
pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan menambah upah
pekerja sampai batas pertambahan produktivitas marjinal minimal sama
dengan upah yang diberikan pada mereka. Dengan cara ini, maka upah dapat
ditentukan secara transparan, seksama, adil, dan tidak menindas pihak
manapun. Setiap pihak mendapat bagian yang sah dari hasil usahanya,
tanpa menzalimi pihak yang lain, sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى (النجم :39-41)
"Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna"
Setelah
besaran upah berdasarkan produktivitas marjinal ketemu angkanya, kedua
belah pihak kemudian melakukan bargaining berdasarkan perubahan umum
tingkat harga barang dan biaya kebutuhan hidup, sehingga upah riil
merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Islam selalu memotivasi
untuk memberikan penjelasan (dan persetujuan) besaran upah dari kedua
belah pihak. Nabi bersabda:
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ
أَجْرُهُ وَعَنِ النَّجْشِ وَاللَّمْسِ وَإِلْقَاءِ الْحَجَرِ ( احمد)
"Sesungguhnya
Nabi melarang mempekerjakan buruh sampai ia menjelaskan besaran
upahnya, melarang Lams, najash dan ilqa>' al-hajr"
Masuknya
kompenen biaya hidup dalam upah, tidak semata-mata pertimbangan
produktivitas kerja, memang masalah tersendiri jika majikan
memetaforakan tenaga kerja sebagai mesin. Akan tetapi, dengan
pertimbangan surplus value dan kemanusiaan, hal tersebut bisa diterima.
Dalam konteks inilah Islam bisa menerima kehadiran Upah Minimum. Allah berfirman:
إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى (طه : 119-120)
"Sesungguhnya
kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan
sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa
panas matahari di dalamnya".
Nabi juga menyatakan bahwa:
سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلِيَ لَنَا
عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ لَيْسَتْ
لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ
خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ
أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ (احمد)
"Saya
mendengar Nabi bersabda: Barang siapa mengangkat pekerja, jika ia tidak
mempunyai rumah harus dibikinkan rumah; jika belum menikah harus
dinikahkan; jika tidak mempunyai pembantu harus dicarikan pembantu; jika
tidak mempunyai kendaraan harus diberikan kendaraan. Jika Majikan tidak
memberikan hal tersebut, ia adalah pembunuh"
Dari
ayat dan Hadi>th ini kita mengetahui bahwa besaran upah dikaitkan
dengan hak dasar untuk hidup (hifz al-nafs) secara layak, bukan
semata-mata oleh sejauhmana produktivitas mereka.
Dengan
demikian, dalam Islam, upah yang layak bukanlah semata-mata konsesi
buruh-majikan, tetapi merupakan hak asasi yang dapat dipaksakan oleh
kekuasaan negara. Majikan harus memberikan upah minimum yang bisa
menutupi keperluan dasar hidup yang meliputi makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan sebagainya.
Data
sejarah menunjukkan bahwa upah minimum dimasa Rasul (tahun 5 H) adalah
200 Dirham, sedang upah maksimumnya adalah 2000 dirham, dengan
perbandingan 1:10. Seiring dengan perkembangan perekonomian Madinah saat
itu, upah minimumnya menjadi 300 dirham dan upah maksimumnya 3000 dirham.
Namun perlu diingat pula, bahwa adanya jaminan kebutuhan ini bukan berarti Islam menyamakan seluruh upah sebagaimana dibayangkan mazhab sosialis. Islam tetap mengakui perbedaan upah karena faktor perbedaan skill dan pengalaman kerja.
6. Hak mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh.
Penulis
tidak menemukan padanan kata arab untuk kata guild (serikat pekerja).
Istilah ‘T{a>ifah’ yang sering digunakan untuk menyebut serikat
pekerja, sebenarnya menunjukkan pengertian yang lebih luas, yakni suatu
komunitas atau kelompok, khususnya kelompok keagamaan atau nasional.
Sedangkan kata hirfah dan Shinf, yang juga kadang-kadang dipakai, lebih
berarti perdagangan, bukan organisasinya. Ketiadaan padanan kata yang
pas bagi ‘serikat pekerja’ mungkin akibat terlambatnya kemunculan
serikat pekerja di dunia arab.
Menurut
Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The Islamic City (1970), serikat
pekerja secara resmi baru muncul di era Uthmaniyyah. Di Turki Anatolia,
organisasi profesional pernah muncul pada abad XIV, yang kala itu
disebut Akhi dan Fityan, sebagaimana di ulas oleh Ibn Battutah. Dokumen
lain menyebut adanya kelompok-kelompok profesional (jama’ah) sebelum
penaklukan Uthmaniyyah, yang dipimpin oleh Sheikh dan dikontrol oleh
muhtasib. Serikat Pekerja ini aktif di Andalusia, dimana institusi
Hisbah terorganisasi dengan baik.
Sejak
abad keenam belas hingga kesembilan belas, serikat-serikat pekerja
terorganisir diseputar wilayah perdagangan dan kegiatan pertukangan.
Mereka hidup di pasar kota, termasuk pasar yang dikelola oleh grossir
(pedagang besar) rempah-rempah dan tujjar (pedagang kain) yang merupakan
bagian dari sistem itu. Tidak hanya pedagang besar, pedagang kecil-pun
mempunyai serikat pekerja. Bahkan, pencuri tampaknya juga mempunyai
serikat pekerja.
Serikat
pekerja umumnya dikepalai oleh seorang Shaikh (Timur Dekat) atau
Ami>n (Maghribi) yang dipilih oleh anggota serikat pekerja, dan
disahkan oleh otoritas lokal atau penguasa pusat, sebagaimana dibuktikan
oleh sarana nominasi di Istanbul. Tampaknya, mereka juga punya otoritas
melakukan intervensi, khususnya ketika muncul masalah dengan nominasi
seorang shaikh atau ami>n.
Dalam
tradisi Syi'ah, keberadaan serikat pekerja dipertalikan dengan Nabi
melalui wali pelindung mereka, pir. Imam Ali yang dilantik Nabi Muhammad
dalam upacara pengikatan (shadd), pada gilirannya meresmikan tujuh
belas pir, dan kemudian Salman Al-Farisi (sahabat Nabi dan pelindung
tukang cukur) mengambil sumpah para pelindung serikat pekerja non
ekonomi lainnya (mu'azin, pembawa panji/pemimpin) dan serikat pekerja
non tradisional (kopi disebut, tetapi tembakau tidak).
Dengan
menyimak data sejarah di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam Islam,
peranan serikat pekerja di bidang ekonomi antara lain adalah mengatur
produksi barang, menjaga kode etik profesi menjaga stabilitas harga,
khususnya pada masa krisis, membina hubungan baik antar anggota, dan
memasok tenaga kerja.
Serikat
pekerja juga membantu mengelola kota di area ekonominya sendiri, dan
dengan demikian mereka membantu memelihara tatanan. Oleh karena itu,
serikat pekerja telah memainkan sebuah mekanisme yang sangat dibutuhkan
kota yang tak punya struktur administratif yang jelas. Dengan
mengorganisasi penduduk pekerja sesuai dengan profesinya, serikat
pekerja telah memberikan andil secara efesien bagi keseimbangan sosial.
7. Hak melakukan mogok kerja.
Harus
diakui, bahwa pemogokan buruh memang persoalan yang krusial. Pemogokan
dapat diartikan sebagai penarikan diri seorang buruh dari pekerjaannya
yang selama ini dilakukan, dengan harapan memperoleh perlakuan atau
penghasilan yang lebih baik. Pressure ini akan mengakibatkan produksi
terhenti, sehingga harga akan naik, dan majikan akan mengalami kerugian.
Jawaban
dari langkah ini, jika kesepakatan tetap tidak tercapai, adalah dengan
lock out atau menutup perusahaan. Target dari langkah ini adalah untuk
memaksakan keinginan majikan terhadap buruh, sebab buruh akan dihadapkan
pada dua pilihan yang sama-sama sulit; tetap kerja atau PHK.
Secara
umum, ada dua motivasi besar pemogokan, yaitu faktor ekonomis dan
faktor psikologis. Secara ekonomis, laba merupakan penambahan tenaga
buruh atas modal, atau pinjam istilahnya Marx, suplus value. Jika buruh
hanya diberi sekedar untuk mencukupi taraf hidupnya yang minimal,
sementara majikan memiliki kelebihannya, mau tak mau hal ini akan
menimbulkan rasa tidak senang buruh. Maraknya model kerja lembur disaat
banyak pengangguran seperti sekarang ini, tidak lain adalah upaya
majikan untuk mengurangi hak kaum miskin yang merugikan buruh karena
bersifat retrogresif, menghilangkan standar upah yang sebenarnya,
memperbanyak pengangguran, dan juga membahayakan kesehatan pekerja.
Sedangkan
faktor psikologis penyebab mogok adalah adanya keberpihakan pemerintah
lebih kepada majikan dari pada buruh. Para majikan dengan cerdik membuat
regulasi yang menekan buruh pada posisi inferior. Karena keterdesakan
ini, kemudian muncul perlawanan (baca: pemogokan) kolektif. Umumnya, hal
ini disebabkan adanya ketidakadilan regulasi mengenai konstruk hubungan
kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Namun demikian,
ada pula pemogokan yang bersifat personal, jika ternyata si buruh tidak
menjadi anggota serikat pekerja. Karena dipicu oleh hal-hal tersebut di
atas, sampai saat pemogokan masih merupakan masalah besar yang
pro-kontra.
Apapun
alasannya, baik mogok ataupun pemecatan (termasuk lock out) sebenarnya
bukan pilihan ideal, karena keduanya berdampak negatif dalam skala
makro. Karena itulah, Islam mengidealkan musyawarah kolektif dibawah
panji-panji norma Islam untuk menyelesaikan perselisihan industrial.
Akan
tetapi, jika hal tersebut tidak tercapai, pertanyaannya kemudian adalah
sejauh mana hak untuk mogok dan memecat diperkenankan? Ini masalah yang
tidak bisa dijawab secara hitam-putih dan memuaskan semua pihak. Sebab
disana ada banyak variabel, seperti tingkat pemusatan tenaga kerja,
orientasi gerakan buruh, tingkat kesenjangan, kebijakan perusahaan dan
perundang-undangan pemerintah.
Akan
tetapi, jika kedua belah pihak mau menghayati nilai-nilai Islam,
setidaknya persoalan tersebut dapat berkurang. Sebab, kedua belah pihak
harus tunduk dalam panji-panji Islam. Majikan dilarang menghisap buruh,
buruh-pun dilarang menuntut sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh
majikan.
Dalam
Islam, ada beberapa norma yang bisa kita jadikan sebagai basic ideas
untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan secara damai,
jujur dan menjamin rasa keadilan bagi kedua belah pihak.
Pertama-tama
harus dipahami, bahwa kedua belah pihak terikat dengan norma amanah.
Seorang majikan mempunyai amanah untuk mengelola perusahaan dengan cara
yang adil dan tidak menindas, sementara buruh juga mempunyai amanah
untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak curang, apalagi
mengkhianati majikan. Dalam konteks inilah Allah berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا
بَصِيرًا(النساء:58)
"Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat"
Dengan
cara ini, hubungan industrial buruh-majikan akan berjalan dengan damai,
aman, kondusif dan produktif. Mereka tidak angkuh, keras kepala,
boikot, dan saling mencari kesalahan pihak lain. Yang diperlukan oleh
kesalahan bukan kambing hitam, tapi ma'af dan penyelesaian. Nabi
bersabda:
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَمْ يُعْفَى عَنِ الْمَمْلُوكِ قَالَ فَصَمَتَ عَنْهُ
ثُمَّ أَعَادَ فَصَمَتَ عَنْهُ ثُمَّ أَعَادَ فَقَالَ يُعْفَى عَنْهُ كُلَّ
يَوْمٍ سَبْعِينَ مَرَّةً (رواه احمد
"Seorang
laki-laki datang kepada Nabi. Ia bertanya: wahai Rasul, berapa kali
seorang buruh layak dimaafkan (jika melakukan kesalahan). Nabi diam
saja. Kemudian ia bertanya lagi, dan Nabipun hanya diam. Untuk
pertanyaan yang ketga kalinya, Nabi menjawab: Buruh harus dima'afkan,
walaupun ia melakukan kesalahan 70 kali sehari"
Jika
mereka tidak mau melaksanakannya, sudah pasti iklim kerja berubah
menjadi panas, destruktif dan jauh dari tujuan awal. Mereka terjebak
pada sikap saling intai, mencari kesalahan pihak lain, dan berkutat pada
alasan pembenar untuk menjastifikasi kesalahan masing-masing. Maka tak
ayal lagi, situasi kerja menjadi tidak kondusif dan produktivitas
meenjadi rendah. Dalam konteks inilah al-Qur'an berpesan agar
kondusivitas dirawat sedemikian rupa.
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران : 159)
"Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya"
Sikap
angkuh tidak akan menghasilkan apapun kecuali perselisihan, yang
berakhir pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Kedua belah pihak akan
sama-sama rugi dengan tindakan tersebut.
Nabi bersabda:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِي النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ يَحْتَرِفُ فَشَكَا
الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ (رواه الترمذى)
"Salah
satu dua orang bersaudara datang kepada Nabi dan mengeluhkan saudaranya
yang tidak mau bekerja. Nabi menjawab: Justru (anda terpacu kerja)
sehingga mendapatkan hasil sebab dia"
Apabila
terpaksa berselisih, dan perselisihan tersebut tidak mampu didamaikan
secara intern, yaitu penyelesaian secara bersama antara majikan dan
buruh, maka kasus tersebut bisa diselesaikan segera oleh badan arbitrase
(al-tahkim) untuk mendamaikannya, sehingga masing-masing pihak merasa
puas dengan keputusan itu. Penyelesaian kasus ini pertama-tama dilakukan
oleh lembaga yang bertanggung jawab terhadap stabilitas sosial
perdagangan yang dikenal dengan nama wilayat al-H{isbah, yang kemudian
diteruskan kepada wilayat al-qad}a>' atau wilayat al-maz}a>lim,
sesuai dengan jenis pelanggarannya. Ketiga kekuasaan ini, masing-masing
mempunyai tugas dan wewenang tersendiri yang berbeda antara satu dengan
yang lain, tetapi ketiganya mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan
keamanan, ketertiban, dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
D. Obkektifikasi Konsep Islam di Indonesia
Dari
penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa konsep hubungan industrial
dirumuskan Islam sebagai pola perilaku manajemen yang didasarkan pada
penghormatan setiap individu sebagai potensi, kapabelitas, pengalaman,
hak dan kewajiban masing-masing.
Masalahnya
kemudian adalah karena buruh sudah menjadi kelas atau komunitas
tersendiri, maka rumusan-rumusan hukum tekstual yang telah dihasilkan
oleh ulama terdahulu kurang mampu mengakomodir isu perburuhan
kontemporer. Persoalan buruh dewasa ini sudah menjadi masalah sosial
yang sangat kompleks yang melibatkan institusi dan struktur-struktur
negara. Maka mengkaji isu buruh harus pula melibatkan pendekatan sosial,
ekonomi dan politik.
Objektifikasi
konsep Islam dalam perindustrian di Indonesia mengharuskan perubahan
paradigmatic, dimana hubungan industrial memiliki kualitas yang spesifik
dan berbeda dengan negara lain. Sehingga pola hubungan industrial model
liberal kapitalis, sosialis, dan semacamnya harus ditolak. Pola
hubungan industrial yang diharapkan tumbuh berkembang di negara
Indonesia adalah yang memegang teguh nilai dan cara pandang orang
Indonesia yang harmonis dan seimbang. Hubungan antara pekerja dan
perusahaan bukan didasarkan pada mola profit maximize, tapi pada pola
yang saling menguntungkan.
Kehadiran
UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU no 2 tahun 2004
adalah bagian dari skenario besar pemerintah Indonesia untuk menata dan
menegosiasikan kepentingan bersama buruh, majikan dan negara. Jika
pengusaha berkepentingan terhadap pengembangan modal, buruh
berkepentingan menaikkan pendapatan, maka pemerintah berkepentingan
mengamankan makro ekonominya. Tanpa kondisi yang kondusif, maka makro
ekonomi sebuah negara akan terguncang. Dalam posisi ini, semua pihak
akan terkena getahnya.
Buruh
berkewajiban menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan ketrampilan, dan keahliannya serta ikut
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya. Sedangkan majikan berkewajiban menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Sementara pemerintah, disamping memerankan tiga fungsi, pelindung
(protector), pembimbing (guide), dan penengah (arbitrator), juga
dituntut untuk lebih aktif membela kepentingan rakyatnya, bukan tunduk
begitu saja pada pasar.
Disamping
pergeseran paradigma yang berimplikasi pada penerjemahan
prinsip-prinsip Islam di atas dalam perundang-undangan, satu hal yang
perlu dicermati adalah bahwa perundang-undangan di Indoensia masih
mendikotomi buruh dan majikan, sehingga buruh selamanya buruh dan
majikan selamanya majikan. Ini merupakan kerawanan yang tersembunyi.
Untuk
itu, Islam dapat menawarkan kombinasi konsep ijarah dengan Shirkah
inan. Sebagaimana diketahui, bahwa Shirkah 'Ina>n adalah kontrak
kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sebuah
pekerjaan. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana,
dan juga berpartisipasi dalam kerja. Kedua belah pihak berbagi dalam
untung maupun rugi (profit-loss Sharing) sesuai dengan kesepakatan yang
mereka capai.
Dengan
kombinasi Shirkah Ina>n-Ija>rah, seorang buruh mempunyai posisi
yang relatif sama dengan majikan dalam hal keuntungan. Semakin tinggi
laba yang diperoleh, maka dengan sendirinya upah mereka akan naik.
Begitupun sebaliknya. Jika perusahaan mengalami kerugian, maka seorang
buruh-pun ikut merasakan derita majikannya.
Aplikasi
teori shirkah ini dapat menggunakan gainsharing approach sebagaimana
telah dilakukan oleh Manajemen Sumber Daya Modern. Gainsharing adalah
pendekatan kompensasi yang berhubungan dengan outcome tertentu. Sistem
ini di set up sebagai bentuk berbagi keuntungan dengan pekerja atas
performa dan produktvitas mereka dalam menghasilkan peningkatan laba
dalam perusahaan. Biasanya gainsaharing diterapakan terhadap seluruh
pekerja, bukan secara individual.
Gainsharing
dibagi manjadi tiga kategori, yaitu; kepemilikan pekerja (Employee
ownership), sharing produksi (Production Sharing), dan profit sharing.
1. Employee ownership
Employee
ownership adalah pendekatan gainsharing bagi pekerja untuk memiliki
perusahaan. Beberapa perusahaan memperbolehkan pekerja membeli sahamnya
sebagai andil perusahaan. Hasilnya adalah partisipasi pekerja dalam
memiliki bagian-bagian perusahaan.
Pendekatan
revolusioner ini salah satunya diwujudkan dengan rencana kepemilikan
saham pekerja, atau ESOP (Employee Stock Ownership Plan). Sekalipun
Employee ownership dilakukan dengan berbagai cara, namun semua berarti
pekerja membeli saham perusahaan.
Ada beberapa model ESOP yang bisa dipilih perusahaan. Antara lain adalah:
a. Pekerja membeli saham dengan uang pinjaman berdasarkan perjanjian pekerja.
b. Pekerja membeli saham dengan dana dari kontribusi pajak (tax-deductible contribution)
c. Pekerja membeli saham melalui keuntungan yang akan diperoleh di perusahaan dengan perencanaan tertentu.
d. Pekerja membeli saham melalui perusahaan yang sudah go publik.
Dengan
cara tesebut, ESOP sesungguhnya dapat digunakan untuk melindungi
perusahaan dari serangan kerja-sama (corporate raider), perburuan
membeli perusahaan, pemogokan buruh. ESOP juga bisa menjadi salah satu
cara untuk malakukan divestasi perusahaan menuju prospek yang lebih
cerah.
2. Production Sharing Plans
Prodution
Sharing Plans adalah rencana pembagian produksi dengan pekerja dengan
memberikan bonus ketika melebihi tingkat output yang direncanakan.
Rencana ini cenderung menjadi jangka pendek dan berhubungan dengan
tujuan produksi yang spesifik.
3. Profit-sharing plans
Profit-sharing
plans adalah sistem membagi keuntungan perusahaan dengan para pekerja.
Profit-sharing dipilih karena keuntungan tidak selalu berhubungan dengan
performa pekerja. Sebuah resesi atau kompetisi baru bisa berpangaruh
secara signifikan. Beberapa perusahaan kemudian mengantisipasinya dengan
mengurangi insentif untuk kemudian mengalokasikannya pada pembagian
profit pekerja. Ketika langkah reinforcement (penguatan) ini berjalan
dengan baik, maka akan menimbulkan pengaruh yang dramatis pada
organisasi, melahirkan kepercayaan baru dan memunculkan perasaan
senasib-sepenanggungan di antara para pekerja dan menajemen.
Dengan
gainsharing system di atas, maka tidak ada alasan bagi buruh untuk
malas bekerja, karena hasil yang akan mereka terima (deviden) bergantung
pada produktivitas yang mereka hasilkan. Disamping itu, mereka juga
masih menerima upah harian yang besaran dan regulasinya menggunakan
model Ijarah, yang secara teoritik hampir sama dengan Teori Marginal
Productivity dan Teori Bargaining.
Riset
Werther menyebutkan bahwa sistem gainsharing mampu menumbuhkan perasaan
senasib sehingga bisa meningkatkan komitmen, performa, produktivitas,
dan kualitas kerja. Dia menyatakan bahwa 80 % perusahaan di Amerika
menggunakan sistem gainsharing sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Lincoln Electric. Dengan gainsharing, pengusaha telah membagi informasi
finansial dan non finansial dengan pekerja lebih sering (65 persen)
dibanding perusahaan tanpa gainsharing (37 persen). Selama tahun 1980
dan awal 1990, penggunaan gainsharing menjadi berlipat ganda.
Di
Indonesia, Bank Mandiri dan bank BRI adalah contoh perusahaan yang
menerapkan system tersebut. Hasilnya sangat fantastis. Dalam waktu dua
tahun sejak pola tersebut diterapkan, return saham Bank Mandiri naik 119
%, sedangkan bank BRI naik 234%.
Sampai
disini sesungguhnya masih ada masalah lain, yakni bagaimana menyiapkan
basis kesadaran kultural dan struktural yang memungkinkan cita ideal
tersebut menjadi sebuah kenyataan sosial-politik di negeri ini. Dalam
konteks negara kebangsaan, norma tersebut harus dipahami sebagai bahan
baku (raw material) seperti halnya hukum adat atau hukum‑hukum yang
lain, yang bisa saja ditransformasikan menjadi hukum positif sejauh bisa
disepakati/diterima oleh forum pengambil keputusan publik (parleman)
melalui cara dan prosedur yang demokratis. Wallahu A'lam.
BIBLIOGRAPHY
al-Azhari,
Abdullah ibn Hija>zi ibn Ibra>hi>m al-Shafi’I, Hashiyah
al-Syarqa>wi ‘ala> Tuhfah al-Tulla>b, vol.2 Beirut: Da>r
al-Ma’rifah, tt.;
Briggs, Asa "The Walfare State in Historical Perspective" dalam Archives Europeenes de Sociologie, 1961.
Brinton, Crane, "Eglightenment", dalam Encyclopedia of Philosophy, vol 2, New York: Macmillan and the Free Press, 1967;
al-Buhuti,
Mans}u>r ibn Yu>nus ibn Idris, Sharh Muntaha> al-Ira>dat
al-Musamma, vol. 2, Madi>nah: maktabah al-Salafiyah , tt; 1980;
Budiono, Tori Eknomi Mikro, Yogyakarta: BPFE, 1998;
Capra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: IIT, 2000;
al-Fanjari,
Shauqi, Huquq al-Ummal fi al-Islam, Riyad: Rabithah al-'alam al-Islami,
Gramsci, Antonio, "Ekonomi dan Korporasi Negara" dalam Catatan-catan
Politik, terj. Gafna Raiza, Surabaya: Pustaka Promethea, 2001;
Hitti, Philip K. History of The Arabs, London: The Macmillan Press Ltd, 1970;
Indaryani,
Mamik, dkk. Hasil Penelitian Penentuan Upah Minimal di Kabupaten Kudus
Jawa tengah, Kudus: Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi bekerja sama
dengan Litbang UMK, 2002;
al-Isfiha>ni>, Abu al-Faraj Kita>b al-Agha>ni>, vol. 1, Beiru>t: Mat}ba’ah al-‘Arabiyyah, tt;
Mannan, M.A. Islamic Economy: Theory and Practice, England: Edward Arnold Limited, 1993;
McEachern, William A., Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer, Jakarta: Thomson Learning, 2001;
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982;
al-Sharbaini, Muhammad al-Kha>tib, Mughni al-Muhta>j, vol. 2, Qa>hirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1985;
Setiadji, Bambang, Upah Antar Buruh Industri di Indonesia, Surakarta: Muhammdiyyah University Press, 2002;
Tempo interaktif, 19 Januari 2005
'Uthma>n,
Fakhr al-di>n ibn 'Ali al-H{anafi, Tabyi>n al-H{aqa>iq, vol.
5, Qa>hirah: Mat}ba’ah al-Kubra> al-A<miriyah, 1315 H.;
Wawasan, 11 Juli 2005
Werther, William B, Human Resources and Personal management, New York: University Of Miami, 1989;
Zaman, Hasanuz, S.M. Economic Funtion of an Economic State: The Early experience, Leicerster, The Islamic Funtion, 1991;
Zuhaili>,Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu,vol. V, Damaskus: Da>r al-Fikr, 1977.
0 komentar:
Posting Komentar