PENGERTIAN FILSAFAT PERENNIAL DAN ISLAM

Posted By frf on Kamis, 23 Februari 2017 | 13.32.00

ISLAM DAN FILSAFAT PERENNIAL
Istilah Filsafat Perennial diduga untuk pertama kali digunakan di dunia Barat oleh seorang bernama Augustinus Steuchus [1497- 1548] sebagai judul karyanya, De perenni philosophia, yang diterbitkan pada tahun 1540,1 untuk kemudian dipopulerkan oleh Leibnitz dalam sepucuk suratnya yang ditulis pada tahun 1715.2

Dalam perspektif penggagasnya, filsafat Perennial dipandang sebagai filsafat yang bisa menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki (esensi), menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalankan hidup yang benar, yang menjadi hakikat dari seluruh agama-agama dan tradisitradisi besar spiritualitas manusia. Oleh karenanya, filsafat ini--sekali lagi oleh penggasnya, dipandang--sangat penting karena melalui filsafat inilah kita bisa memahami kompleksitas perbedaan antar tradisi dan agama, yang selama ini dianggap banyak orang--bahkan oleh para ahli agama sekalipun--bahwa yang ada dalam realitas agama-agama hanya perbedaan saja.

Inti pandangan filsafat perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Dengan kata lain, dalam bentuk eksoteris agama-agama terdapat kesatuan transenden esoterikal, yang dapat mengantarkan para pemeluk agama pada perspektif yang genuine dan original dalam memandang kebhinekaan agama.

Makalah ini akan mengkaji tentang hal tersebut, dengan bertitik lokus pada seorang tokoh penggagasnya, yang setelah masuk Islam mengganti namanya dengan Muhammad Isa Nur al-Din.

Islam dan Filsafat Perennial
Dalam perspektif, doktrin tentang tauhid dalam islam ternyata tidak secara eksklusif esensi pesannya hanya milik islam, melainkan terlebih merupakan inti setiap Agama. Konsep kewahyuan dalam Islam dimaknai sebagai penegasan doktrin tentang tauhid.

Secara historis tradisi intelektual Islam telah menampakkan dalam dua aspek yaitu gnostik ( ma’rifah atau ‘irfân ) dan filsafat atau teosof (al-hikmah) Filsafat Perenial memandang bahwa sumber-sumber dari kebenaran unik yang merupakan Agama yang benar ( dîn al-haq) sudah terdapat dalam ajaran-ajaran para Nabi dan ‘ârifîn terdahulu. Menurut Schuon, ajaran tersebut sudah terdapat sejak Nabi Adam yang kemudian dikembangkan oleh Nabi Idris yang dalam tradisi filsafat Yunani diidentikkan dengan Hermes--sebagai “ father of philosophers” ( abû al- hukamâ’).

Lebih lanjut, dalam Islam tradisi Perennial begitu kental terdapat dalam hampir seluruh bidang kajian tasawuf. Menurut Nasr, tasawuf dalam Islam banyak dipengaruhi oleh orang-orang suci terdahulu semisal Pythagoras, Plato dll.

Dalam pandangan Islam banyak orang suci yang hidup sebelum Nabi Muhammad, termasuk orang yang bertauhid meskipun secara literer kebahasaan tidak mengucapkannya dalam Bahasa Al-Qur’an .

Bahkan al-qur’an sendiri secara tegas menyatakan bahwa setiap umat itu pasti ada Nabinya meskipun al-Qur’an tidak menyebutnya secara eksplisit, sehingga kajian historis tidak mampu menjangkaunya untuk membuktikan data tersebut. 

Mereka itu semua juga banyak memberikan pengaruh terhadap aliran sufisme Islam yang di dalamnya sarat dengan hikmah primordial kenabian.

Dalam perspektif filsafat perenial, Islam yang dibawa Muhammad –dilihat dari sisi ajaran dasarnya-- sesungguhnya bukanlah ajaran baru, melainkan kelanjutan dan penegasan kembali dari ajaran para utusan Tuhan sebelumnya. Kata al-Din, misalnya yang mungkin sangat cocok diterjemahkan dengan istilah tradition, tidak dapat dipisahkan dari ide mengenai kearifan abadi, sophia perennis, yang juga di sebut philosophia perennis, sebagaimana dipahami oleh banyak orang semisal A.K.

Coomaraswamy. al-Din yang diterjemahkan sebagai “ikatan“ atau “dominasi” oleh sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia itu sendiri, merupakan tradisi dan karakter manusia primodial, yaitu manusia yang sikap tauhidnya belum tercemari oleh nafsu pemujaan terhadap berhala materi. Jika manusia tidak melakukan ketundukan atau kepasrahan kepada Yang Mutlak, maka yang terjadi adalah manusia pasti akan tunduk kepada yang relatif.

Baca juga; Pengertian Interrelasi Islam Dan Ekonomi

Maka jika ini terjadi, jatuhlah derajat kemanusiaannya, sebab makhluk Tuhan selain manusia adalah bearda pada posisi di bawah derajat manusia. Jadi implikasi dari sikap tunduk dan pasrah kepada Yang Mutlak adalah sebuah pembebasan manusia untuk tidak membiarkan dirinya terjajah oleh sesuatu ynag lebih rendah dari dirinya. Dengan demikian , hanya Dialah ( Yang Mutlak ) yang pantas kita lihat ke atas dan hanya kepada-Nya lah kita bersujud. Dalam ungkapan Aldous Huxley: “ The perennial philosophy will do something to preserve men and women from the temptation to idolatrous worship of things is time – hurch –worship, state worship, revolutionary future worship, humanistic worship all of them essentially and necessarily opposed to charity.”3

Semangat inilah yang sesungguhnya juga dikandung oleh kalimat syahadat, yang bagaikan suatu garis demarkasi atau pintu gerbang yang secara formal wajib dikrarkan bagi seseorang yang menyatakan memeluk Islam. Pernyataan ini sebetulnya bukanlah hal yang baru dalam diri manusia, melainkan hanya menegaskan, mengingatkan dan mengungkapkan kembali benih monoteisme yang telah tertanam dalam lembaran hati yang paling dalam yang merupakan fitrah manusia. Dalam tradisi tasawuf kualitas manusia primordial ini biasanya dirujukkan kepada al-Qur’an suart ke –7 ayat 172.

Dalam tradisi tasawuf, sebagaimana juga dalam filsafat perennial, antara Tuhan dan manusia dihubungkan dengan gelora cinta. Iman adalah respon manusia terhadap kasih yang memancarkan dari Yang Maha Kasih. Dengan cinta kasih tersebut, maka hidup ini lebih dinamis dan  produktif. Hanya mereka yang hatinya penuh kasih yang bisa berbagi kasih dengan sesamanya. Dan mereka yang hatinya miskin dan kering dari pancaran kasih, maka hidupnya diwarnai oleh ketamakan dan kegelisihan. Dalam tradisi perennial, pancaran kasih sayang manusia akan segera meredup yang akhirnya bermuara kedalam suasana alienasi- jika hatinya tidak diikatkan dengan Tuhan, sumber kasih yang Maha Kasih dan Tak terbatas.

Konsep Filsafat Perennial:
Menelusuri Konteks Kebhinekaan Agama Filsafat Perennial ( philosophia perennis) dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. Filsafat ini berusaha memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini, dengan realitas yang Absolut. 

Realisasi pengetahuan ini dalam diri manusia, hanya dapat dicapai melalui apa yang sudah sejak zaman Plotinus lewat bukunya The six Eneads- disebut “intelek” (soul/spirit), yang “jalannya” pun hanya bisa dicapai melalui tradisi-tradsi ritusritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan. Dasar-dasar teoretis pengetahuan tersebut, ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik , yang dikenal dengan berbagai konsep.

Kalau disebut perennial religion, maksudnya adalah terdapat hakikat yang sama dalam setiap agama, yang dalam istilah filsafat agama sering disebut dengan relegion of the heart, meskipun terbungkus dalam wadah/jalan yang berbeda.

Kehadiran sebuah agama adalah untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sudah tertanam dalam fitrah manusia. Kedatangan setiap agama yang otentik adalah untuk mengingatkan kembali manusia pada panggilan abadinya dalam kehidupan. 

Agama adalah “fitrah yang diturunkan” [alfitrah al-munazzalah]. Fitrah ini sering dilupakan karena penyalahgunaan kebebasan yang ada pada manusia. Maka, pada saat-saat paling krisi dalam kehidupan rohani manusia, akan selalu datang agama yang akan mengingatkan lagi hakikat kejadiannya itu. Realisasi perennial religion karenanya, akan menghasilkan kebijaksanaan yang menjadi dasar kehidupan manusia.

Jadi hakikat daripada agama yang perennial adalah “mengikatkan manusia pada Tuhan.” Kata ini sebenarnya biasa dan sering didengar, tetapi karena tidak adanya kesadaran perennial, maka menjadi sangat verbal. Padahal, dari sudut pengertian perennial, ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan menjadi alamiah, demi kebajikannya sendiri.

Dengan wawasan ini, sangat mungkinlah dicapai suatu “kesatuan transenden agama-agama” atau istilah asli yang dicapai Fritjof Schuon adalah The Transcendent Unity of Religion. Tetapi kesatuan agama-agama ini hanya berada dan bisa dipahami pada level “esoterik” [istilah Huston Smith] “essensial” [istilah baghavan Das], atau transenden” [istilah Fritjof Schuon, Sayyed Hossein Nasr dan tentu saja pengikut setia filsafat perennial sendiri]. Sebaliknya kesatuan agama-agama tidak berada pada level eksoterisme [lahiriah]. Ada metafor bagus sekali, yang biasa digunakan perennialis untuk mengilustrasikan kesatuan agama-agama lain. Jika esoterisme adalah cahaya, maka setiap agama menangkap cahaya itu dalam berbagai warna [sebagai agamaagama] dan berbagai “daya terang” –ada yang terang sekali, ada yang menengah dan ada juga yang samar-samar. Maksudnya tentu saja pada perumusan doktrin metafisiknya. Tetapi dari sudut pandang filsafat perennial, adanya aneka warna cahaya berikut “daya terang”nya tidaklah penting karena : (1) Walaupun ada berbagai macam cahaya, tetapi semua itu tetap dinamakan cahaya. Jadi, kalau agama itu otentik tetap ada core yang sama; (2) Walaupun cahaya memiliki daya terang yang beragam, tetapi semua cahaya [sumber agama itu, yakni Tuhan], sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab, jika ia terus menelusuri cahaya itu, ia akan tetap sampai kepada sumbernya. Karena itu hakikat agama adalah adanya sense of the absolute pada diri manusia, sehingga ia merasakan terus menerus adanya “Yang absolut” pada dirinya.

Disinilah manusia merasakan makna simbolik kehadiran Tuhan. Wujud hakikat agama itu, sebenarnya bukan hanya merupakan pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan sekaligus. Itulah sebabnya, hakikat agama sering disebut sebagai scientia sacra yang berarti pengetahuan suci atau devine knowledge. Pengetahuan ini dialami –bukan sekadar diyakini- berasal dari “Alam Surgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan berbagai cara/metode. Oleh karena itu, harmoni [kesatuan agama-agama] berada dalam “langit ilahi” [esoteris, transenden], bukan dalam “atmosfir bumi” [eksoteris].

Dengan perspektif bahasa filsafat perennial itulah, maka semua ritus, doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai untuk mencapai pengertian menyeluruh mengenai dasar keagamaan tersebut, mendapatkan penjelasan yang menyeluruh melalui bentuknya yang formal atau yang terpaku kokoh dalam suatu tradisi keagamaan atau dalam Islam dikonsepsikan “terpaku dalam satu shari’ah tertentu”.

Dengan cara seperti inilah Filsafat Perennial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama, bisa diterima dengan lapang dada dan penuh toleransi.Pada hakikatnya, ajaran perennial Tuhan –seperti Tuhan itu sendiri- hanya satu, tapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran. “Yang Satu” ini dalam pandangan perennial adalah “Yang tidak berubah”, merupakan fitrah. Mengembalikan keanekaragaman yang ada dalam kehidupan sehari-hari ini kepada “Yang tidak berubah” merupakan pesan dasar filsafat perennial, yang pada dasarnya adalah pesan keagamaan seperti yang disebut dalam terminologi Islam al-dîn-alnashîhah [agama itu adalah pesan/nasehat].

Inilah pesan yang termuat dalam QS.al-Rûm/30:30, yang artinya; Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama itu secara hanif, sesuai dengan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Itulah agama yang tegak lurus, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Dengan cara transendental ini, dapat ditemukan adanya norma-norma abadi yang hidup dalam hati setiap agama-agama besar maupun tradisi-tradisi spiritual kuno, yang oleh Fritjof Schoun [sebagai Genius terbesar Metafisika Tradisional diistilahkan dengan The Heart of Religion [jantungnya agama]. The Heart of Religion inilah yang bersifat ilahi, yang selalu disampaikan dan diajarkan oleh kalangan perennialis. Mereka beranggapan bahwa mengerti tentang hal tersebut adalah cara untuk mengerti ‘pesan ketuhanan’ kepada manusia sekaligus cara manusia kembali kepada Tuhannya.

Menurut Fritjof Schoun, metafisika keagamaan ini tidak terpisah sama sekali dari tradisi dan transmisi tradisional, termasuk realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio perennis, agama yang bersifat abadi. Metafisika ini juga yang hidup dalam hati manusia, dimana di dalamnya ada Divine Intellect, atau seperti dikatakn Kristiani ada “Kerajaan Allah dalam hati manusia.” Dalam bahasa Meister Eickrhat, “Dalam diri manusia ada sesuatu yang tidak diciptakan, dan tidak dapat diciptakan. Itulah Intelek.”

Memang Filsafat Perennial sepenuhnya mencurahkan perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transenden atau metafisik yang bersifat tran-historis.

Bukan hanya agama dalam kenyataan faktual, seperti dalam ajaran religion wissenschaft, bahkan fenomenologi.

Usaha transendental-metafisis ini dilakukan untuk mendapatkan kunci agar manusia dapat memahami ajaran agama-agama yang sangat kompleks dan penuh teka-teki, yang tak pernah bisa diduga maknanya lewat analisis empiris saja, apalagi historis seperti yang dilakukan oleh para ahli agama-agama selama ini.

CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
  • Hal ini bisa dilihat pada Pengantar Seyyed Hossein Nasr dalam buku Fitjof Schoun, Islam and the Perennial Philosophy, translated by J.Peter Hobson, [New York: World of Islam Festival Publishing Company, 1976], hlm. vii
  • Isinya membicarakan pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perennial. Periksa Ibid.
  • Aldous Huxley, The Perennial Philosophy [New York: harper & Row, 1945], hlm. 95
Blog, Updated at: 13.32.00

0 komentar:

Posting Komentar