Dikotomi Ilmu Pengetahun (Telaah Tentang Dualisme Pendidikan Agama Versus Pendidikan Umum)
Maurice
Bucaille dalam bukunya Bibel, Qur’an dan Sains Modern menyatakan:
Alquran diwahyukan dengan muceduven dan meyakinkan kepada orang yang
mempelajarinya secara obyektif dengan mereduksi petunjuk dari sains
modern, suatu sifat yang khusus, yakni persesuaian yang sempurna dengan
hasil sains modern. Bahkan sejak zaman Nabi Muhammad saw, hingga dewasa
ini, membuktikan bahwa Alquran mengandung pernyataan ilmiah yang sangat
modern dan tidak masuk akal jika dikatakan bahwa orang yang hidup pada
waktu –ketika- Alquran diwahyukan itu sebagai pencetus-pencetusnya.
Karenanya, ilmu pengetahuan modern memungkinkan kita untuk memahami
ayat-ayat tertentu dalam Alquran, hingga dewasa ini belum mampu
ditafsirkan,[1] secara kontekstual dalam menyikapi perkembangan zaman.
Keterpaduan,
persesuaian, bahkan ketergantungan ilmu pengetahuan modern kepada ilmu
pengetahuan Islam (Alquran) tidak hanya terdiri atas penemuan-penemuan
teori-teori revolusioner yang mengejutkan, tetapi juga berutang dalam
memperkenalkan metode-metode dan semangat memerolehnya.[2]
Pada tahap berikutnya, khazanah keilmuan dalam Islam mengalami
kemunduran yang drastis. Kemunduran itu terjadi karena umat Islam
terlalu bangga atas produk-produk pendahulunya. Mereka cenderung
mempertahankan dan melegitimasi ilmu yang pernah diterimanya, sehingga
daya ijtihad menyusut dan stagnasi pemikiran menjamur, ta’assub fī
al-mażhab berkepanjangan. Tidak hanya itu saja, tekanan ekstrem lebih
parah lagi setelah kekalahan umat Islam dalam perang salib, yang
menghilangkan semangat keilmuan dan terbakarnya perpustakan-perpustakaan
Islam. Maka, saat itulah bangsa Barat mengambil alih khazanah keilmuan
tersebut hingga mampu mendominasi seluruh aspek ilmu pengetahuan.[3]
Sejatinya,
diakui oleh dunia kesarjanaan modern bahwa sekiranya tidak pernah ada
Islam dan kaum Muslimin, tentulah ilmu pengetahuan benar-benar sudah
lama mati oleh “Cyril dan Justinian”,[4]
tanpa ada kemungkinan bangkit lagi, dan Eropa tentunya akan tetap
berada dalam kegelapan (the dark age) yang penuh mitologi dan
kepercayaan palsu. Zaman modern tidak akan pernah ada, maka syukurlah
Islam pernah tampil, kemudian berhasil mewariskan ilmu pengetahuan
kepada umat manusia melalui Eropa.[5]
Namun, dampak dari dominasi peradaban Barat, yang terlanjur
memodernisasi kemajuan modern, menyebabkan format pendidikannya pun
menjadi kiblat bagi negara-negara berkembang yang notabene adalah
mayoritas kaum Muslimin (termasuk Indonesia). Realitas pendidikan sepeti
ini, tentu akan mengarah pada westernisasi yang mengacu pada pendidikan
sekuler, yaitu pendidikan yang memisahkan antara pendidikan agama
dengan pendidikan umum.
Menyikapi
realitas pendidikan tersebut, sebagian ahli pendidikan kita selama ini
cenderung mengambil sikap seakan-akan segala masalah pendidikan, baik
makro maupun mikro yang ada di lingkungan masyarakat dapat diterangkan
dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat. Filsafat Barat pada
umumnya bersifat sekuler, yang kurang relevan dengan kehidupan
masyarakat Indonesia atau Timur, yang cenderung dan atau lebih bersifat
religius. Konsekuaensi dari kekeliruan memahami dan menyikapi filsafat
pendidikan Barat ini, menyebabkan adanya dualisme ilmu di dunia Islam,
yang selanjutnya menyebabkan terjadinya dualisme pendidikan bagi umat
Islam, terutama di Indonesia. Fakta tersebut menarik dikaji dengan
melihat tiga persoalan, yaitu: pertama, apa yang dimaksud dikotomi ilmu
dan dualisme pendidikan?. Kedua, mungkin penting diperhatikan bagaimana
dampak dualisme sistem pendidikan Islam itu? Dan Ketiga, bagaimana upaya
umat Islam untuk menghilangkan (mereduksi) dualisme sistem pendidikan
Islam tersebut?
Defenisi Dikotomi Ilmu dan Faktor Munculnya Dualisme Pendidikan
Dikotomi adalah pembagian dua kelompok yang saling bertentangan.[6]
Dengan dengan demikian, dikotomi ilmu yang dimaksud di sini adalah
pembagian dua kelompok ilmu pengetahuan, yang secara lahiriyah kelihatan
bertentangan, misalnya ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama diklaim
berasal dari Islam, sementara ilmu umum diklaim berasal dari Barat.
Dalam pandangan penulis bahwa, suatu kesalahan besar yang telah
dilakukan sebagian pakar pendidikan selama ini yang telah mendikotomikan
ilmu pengetahuan, sehingga lahirnya klaim dari kalangan mereka ilmu
Islam dan ilmu kafir. Padahal, dalam syariat Islam tidak ada ajaran
tentang dikotomi ilmu tersebut. Justru ada adagium yang dilontarkan oleh
ahli hikmah, yakni ; [7]أطلوا
العلم ولو بالصين (tuntutlah ilmu walau di negeri Cina). Maksudnya, ilmu
itu harus dituntut di manapun saja, walau di negerinya orang kafir.
Berkaitan dengan ini, maka menurut penulis bahwa ilmu apapun namanya,
jika ia diletakkan dalam nilai-nilai Islam, maka ilmu tersebut disebut
Islam. Atau dengan kata lain, ilmu yang bersumber dari Barat bila ia
sesuai dengan ajaran Islam, maka ilmu tersebut harus diterima secara
bijak. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa tidak selamanya ilmu Barat
(ilmu yang dipahami oleh orang-orang Barat selama ini), secara lahiriyah
-bahkan- bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu Islam.
Oleh
karena telah terlanjur adanya pendikotomian ilmu yang dilakukan oleh
sebagian pakar pendidikan, maka pada gilirannya pula melahirkan istilah
lain yang disebut dengan “dualisme pendidikan”, yakni pendidikan agama
dan pendidikan umum. Istilah dualisme diartikan sebagai dua paham atau
pemahaman yang berkembang dan dianut dalam suatu komunitas. Pemahaman
itu mungkin tampak sejalan dan mungkin kontradiksi. Jika kemungkinan
yang terakhir disebut (kontradisksi) yang timbul lalu ditarik benang
merah, maka ia semakna dengan dikotomi secara lahiriyah. Kembali kepada
istilah dualisme, secara semantik terma ini berarti dua macam
pengetahuan, atau dua macam pandangan, yaitu: Pertama, Pengetahuan
(ilmu) yang rasional – pemerolehannya (epistemologi-nya) melalui akal.
Kedua, Pengetahuan (ilmu) non rasional – pemerolehannya melalui wahyu.
Kaitannya dengan pendidikan, ilmu rasional itu disebut ilmu umum yang
kemudian melahirkan sekolah umum. Ilmu non rasional disebut ilmu agama
yang kemudian melahirkan bidang-bidang studi agama pemisahana di antara
keduanya.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dinyatakan bahwa dualisme pendidikan bukan
terpisah-pisahnya ilmu pada beberapa disiplin, melainkan fungsi ilmu
sendiri yang seharusnya terdapat hubungan fungsional lalu hubungan itu
dipisahkan, sehingga muncullah istilah pendidikan agama dan pendidikan
umum. Adapun faktor-faktor penyebab munculnya dualisme sistem
pendidikan, pendidikan agama dan umum adalah sebagai berikut:
a. Stagnasi Pemikiran Umat Islam
Stagnasi
yang melanda keserjanaan Muslim terjadi sejak abad XVI hingga abad XVII
M. Kondisi tersebut secara umum merupakan imbas dari kelesuan bidang
politik dan budaya masyarakat Islam saat itu cenderung melihat ke atas,
melihat gemerlapannya kejayaan abad pertengahan, sehingga lupa kenyataan
yang tengah terjadi di lapangan. Maka para sarjana Barat menyatakan,
rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para
sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan-tantangan yang dilemparkan
oleh sarjana Barat. Padahal bila tantangan tersebut ditangani secara
positif dan lebih arif, dunia Muslim dapat mengasimilasikan ilmu
pengetahuan baru itu, kemudian memberi arah baru.[8]
b. Penjajahan Barat atas Dunia Islam
Penjajahan
Barat terhadap dunia Muslim telah dicatat para sejarawan berlangsung
sejak abad CVIII hingga abad XIX M. pada saat itu dunia Muslim
benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan imprialisme Barat. Dalam
kondisi seperti itu, tentu tidaklah mudah dunia Muslim menolak
upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradaban
modern Barat. Karenanya pendidikan budaya Barat mendominasi budaya
tradisional setempat yang dibangun sejak lama, bahkan dapat dikatakan,
pendidikan ilmu-ilmu Barat telah mendominasi kurikulum pendidikan di
sekolah-sekolah di dunia Muslim.
Baca juga; PENGERTIAN FILSAFAT PERENNIAL DAN ISLAM
Dengan
demikian, integrasi ilmu pengetahuan tidak diupayakan apalagi
dipertahankan. Ini sebagai dampak mengalirnya gaya pemikiran serjana
Barat yang memang berusaha memisahkan antara urusan ilmu dengan urusan
agama. Bagi mereka, kajian keilmuan harus dipisahkan dari kajian
keagamaan. Sehingga di dunia Muslim juga berkembang hal yang sama, yakni
kajian ilmu dan teknologi harus terpisah dari kajian agama. Pendekatan
keilmuan seperti ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M mulai
mempengaruhi cabang ilmu lain terutama ilmu yang menyangkut masyarakat,
seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi dan politik.[9]
c. Modernisasi atas Dunia Muslim
Faktor
lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi sistem
pendidikan di dunia Muslim adalah modernisasi. Yang harus disadari,
modernisasi itu muncul sebagai suatu perpaduan antara dua ideologi
Barat, teknekisme dan nasionalisme.[10]
Teknikisme muncul sebagai reaksi terhadap dogma, sedangkan nasionalisme
ditemukan di Eropa dan diinjeksikan secara paksa kepada rakyat Muslim.
Perpaduan kedua paham modernisme inilah, menurut Zianuddin,[11]
yang sangat membahayakan dibandingkan dengan tradisionalisme yang
sempit. Selain itu, penyebab dikotomi sistem pendidikan adalah
diterimanya budaya Barat secara total bersama adopsi ilmu pengetahuan
dan teknologinya.[12]
Sementera itu, Amrullah Ahmad[13]
menilai bahwa penyebab utama terjadinya dikotomi adalah peradaban umat
Islam yang tidak bisa menyajikan Islam secara kaffah. Sebagai akibat
dari dikotomi itu, lahirnya pendidikan umat Islam yang sekularistik,
rasionalistik, dan materialistik.
Dampak dari Dikotomi dan Dualisme Sistem Pendidikan
Ketergantungan
bangsa Muslim dalam bidang pendidikan, disadari sebagai faktor
terpenting dalam membina umat, hampir tidak dapat dihindarkan dari
pengaruh Barat. Ujungnya, krisis identitas pun tidak bisa dihindarkan
melanda umat Islam. menurut istilah AM. Saefuddin, ketidakberdayaan umat
Islam itu membuatnya bersifat taqiyyah.[14]
Artinya, kaum Muslimin lebih menyembunyikan identitas islamnya, karena
rasa takut dan malu. Ternyata sikap seperti itu yang banyak melanda umat
Islam di segala tingkatan dimanapun berada, baik di infrastruktur,
maupun suprastruktur. Melemahnya orientasi sosial umat Islam ini secara
tidak sadar telah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam
pengertiam parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya
dipandang dari arti ritual saja. Sementara urusan lain banyak didominasi
dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, umat Islam lebih
kenal budaya Barat ketimbang budaya sendiri/Islam.
Di
samping dampak umum yang dirasakan di atas, berikut akan dipaparkan
dampak negatif lain sebagai akibat munculnya pendidikan tersebut.
a. Munculnya Ambivalensi Orientasi Pendidikan Islam
Salah
satu dampak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan, terutama di
Indonesia adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.[15] Sementara
ini, dengan pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya kekurangan
dalam program yang diterapkan. Misanya dalam bidang mu’amalah (ibadah
dalam arti luas) yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan
keterampilan, terdapat anggapan, bahwa seolah semua itu bukan merupakan
bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan khusus sistem pendidikan
sekuler. Sistem madrasah apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam,
telah membagi forsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan umum
dalam prosentase tertentu. Hal itu tentu menunjukkan bahwa pendidikan
Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam.
namun ironisnya, juga tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada
akhirnya, pendidikan Islam di sekolah dan perguruan tinggi (terutama
umum) diketahui sebagai materi pelengkap yang menempel sebagai pencapain
orientasi pendidikan sekuler.
b. Kesenjangan antara Sisem Pendidikan Islam dan Ajaran Islam
Pandangan
dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang memiliki ajaran
integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah
dengan urusan akhirat. Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam
ilmu-ilmu umum seharusnya difahami sebgai bagian tak terpisahkan dari
ilmu-ilmu agama. Karenanya, bila paham dikotomi dan ambivalen
dipertahankan, output pendidikannya itu tentu jauh dari cita-cita
pendidikan Islam itu sendiri.
c. Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam
Hingga
saat ini, boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang
terjadinya perpaduan (usaha integralisasi). Kenyataan ini diperburuk
oleh ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan
agama. Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan
guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama di sekolah umum.[16]
Dualisme dan dikotomi pendidikan dari sstem pendidikan warizan zaman
kolonial yang membedakan antara pendidikan umum di satu pihak dan
pendidikan agama di pihak lain, adalah penyebab utama dari kerancuan dan
kesenjangan pendidikan khususnya di Indonesia dengan segala akibat yang
di-timbulkannya. Hal tersebut, menurut Marwan Saridjo,[17]
bahwa akibat dan dampak negatif dari sistem pendidikan dualistic ada
dua, yaitu; pertama, arti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang
berkaitan dengan aspek teologi Islam seprti yang diajarkan di
sekolah-sekolah agama selama ini; Kedua, sekolah-sekolah agama dan
perguruan tinggi agama Islam rata-rata ber I.Q rendah dan dari kelompok
residual.
Pengaruh-pengaruh
negatif yang diakibatkan oleh sistem dualisme pendidikan tersebut
sangat merugikan dunia pendidikan Islam. ke-cenderungan untuk terpukau
pada sistem pendidikan Barat, sebagai tolok ukur kemajuan pendidikan
nasional, diakui itu tidak telah mempengaruhi sistem pendidikan Islam.
sehingga sistem pendidikan agama Islam menjadi terpecah dalam tiga
bentuk, yakni; sistem pesantren; madrasah; dan sistem perguruan tinggi
Islam,[18]
yang masing-masing memiliki orientasi yang tidak terpadu.. Sistem
pesantren berorientasi pada tujuan insttitusionalnya, antara lain
terciptanya ahli ilmu agama. Sistem madrasah bergeser orientasi ke
penguasaan ilmu umum sebagai tujuan sekunder. Akhirnya berkembang
menjadi sekolah Islam atau sekolah tinggi Islam yang tujuan
institusional perimernya adalah penguasaan ilmu-ilmu umum, sedangkan
ilmu-ilmu agama menjadi tujuan skunder.
Upaya Mereduksi Dualisme Sistem Pendidikan di Dunia Islam
Disadari
atau tidak, persoalan dualisme sistem pendidikan Islam itu masih aktual
dibicarakan. Hal itu bisa dilihat, di kalangan pakar pendidikan Islam
persoalan tersebut sering menjadi bahan diskusi cukup serius. Mengapa,
karena dualisme sistem pendidikan yang seharusnya tidak boleh ada, malah
seolah telah menjadi trend pendidikan bagi masyarakat kita. Ditolaknya
sistem pendidikan dualisme tersebut, tidak lain karena sejarah telah
membuktikan sistem pendidikan Barat seringkali tidak memahami
prinsip-prinsip Islam, atau setidaknya sistem pendidikan Barat menjadi
penghalang dalam melanding-kan Islam secara kaffah dalam kehidupan umat
Islam.[19]
Karenanya, para sarjana Muslim seharusnya melahirkan suatu pemikiran
dan atau penafsiran yang searah dan bersatu menciptakan ajaran-ajaran
mereka sendiri guna mengembangkan ilmu pengetahuan alam, sosial dan ilmu
kemanusiaan lainnya. di samping itu, para pemikir Muslim harus berani
menantang ilmuan Barat pikiran-pikirannya dipenuhi hipotesis-hipotesis
materialistik, yang menolak berlakunya kehnedak Allah di alam ini.[20] Dengan demikian diharapkan umat Islam akan dapat kembali menemukan sistem pendidikan Islam dalam bentuk utuhnya.
Baca juga; Pengertian Interrelasi Islam Dan Ekonomi
Sementara, Zianuddin Sardar[21]
memberikan solusi untuk menghilangkan dikotomi itu dengan cara
meletakkan epistimologinya dan teosri sistem pendidikan yang bersifat
mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di
dunia Islam perlu dilakukan usaha-usaha sebagai berikut: Pertama, Dari
segi epistimologi, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka
pengatahuan masa kini yang teraktikulasi sepenuhnya. Ini berarti
kerangka pengetahuan yang dirancang harus aplikatif. Kerangka
pengetahuan dimaksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan
pendekatan yang tepat yang nantinya dapat membantu para pakar Musllim
dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan di
masa sekarang.
Kedua,
Perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang menggambarkan
gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan teknologi yang sesuai
tinjauan dunia dan mencerminkan nilai dan norma budaya Muslim. Dan
Ketiga, Perlu diciptakan teori-teori pendidikan yang memadukan ciri-ciri
terbaik sistem tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan
integralistik itu secara sentral harus mengacu pada konsep ajaran Islam,
seperti tazkiah al-nafsu, tauhid dan sebagianya. Di samping itu sistem
tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim
secara multidemensional masa depan. Dan yang terpenting langi,
pemaknaan pendidikan, mencari ilmu sebagai pengalaman belajar sepanjang
hidup.
Menurut Syed Ali Asyraf,[22]
ada dua sistem pendidikan yang di negara-negara Muslim yang bisa
dilebur kedalam satu sistem. Namun syarat utama yakni fondasi
filosofisnya dalam konteks Islam. Bersamaan dengan itu, kandungan materi
(subyek kurikulum) religius harus tetap eksis sebagai suatu
spesialisasi. Setiap pelajar harus mempunyai semua pengetahuan dasar
yang diperlukan sebagai seorang Muslim, dan agar memenuhi tuntunan
sebagai sistem pendidikan modern, semua pengetahuan yang termuat
didalamnya harus diatur dan disusun atas prinsip kesinambungan, urutan
dan integrasi. Walaupun gagasan para ahli pendidikan Muslim telah banyak
dilontarkan, namun disadari benar bahwa soal dualisme sistem pendidikan
ini tidak mudah diselesaikan. Oleh karenanya, sikap optimisme dan
berani menjadi modal penting. Dengan modal tersebut lambat laun
usaha-usaha para pakar dan sambutan positif masyarakat Islam akan
menjadi kenyataan.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Qur’ān al-Karīm
- Abu Sulaiman, Abdul Hamid. Krisis Pemikiran, Jakarta: Media Da’wah, 1994
- Ahmad, Amrullah (ed), Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Muslih Musa, Pendidikan Islam di Indonesia; antara cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991
- Ashaf, Syed Ali. New Hoizons in Muslim Education, diterjemahkan oleh Soni Siregar dengan judul Baru Dunia Islam. Jakarta: Logos: Pustaka Firdaus, 1991
- Bucaille, Maurice. La Bible Le Qoran Et La Science, diterjemahkan oleh H.M. Rasyidi dengan judul Bibel, Qur’an dan Sains Modern. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
- Farhān, Ishāq Ahmad. al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-Asālah wa al-Ma’āsirah Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983.
- Ismail SM. dkk., Paradigma Pendidikan Isla.mSemarang: Pustaka Pelajar, 2001
- Madjid, Nurchalish. Islam Doktrin dan Peradaban. Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000
- Muhaiman, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda, 1993
- Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Jakarta: P3M, 1986
- Saridjo, Marwan. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996
- Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press, 1994
- Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan, 1986.
CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
- [1]Maurice Bucaille, La Bible Le Qoran Et La Science, diterjemahkan oleh H.M. Rsyidi dengan judul Bibel, Qur’an dan Sains Modern (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 373
- [2]Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta: P3M, 1986), hal. 19
- [3]Muhaiman, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda, 1993), hal. 39
- [4]Nurchalish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hal. xli
- [5]Ibid.
- [6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 220.
- [7]Ishāq Ahmad Farhān, al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-Asālah wa al-Ma’āsirah (Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983), hal. 30
- [8]Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran (Jakarta: Media Da’wah, 1994), hal. 50
- [9]Syed Ali Ashaf, New Hoizons in Muslim Education, diterjemahkan oleh Soni Siregar dengan judul Baru Dunia Islam (Jakarta: Logos: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 33
- [10]Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Bandung: Mizan, 1986), hal. 75
- [11]Ibid.
- [12]Ibid., hal. 77
- [13]Amrullah Ahmad (ed), Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Muslih Musa, Pendidikan Islam di Indonesia; antara cita dan fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 52
- [14]A. Saifuddin, Desekularisasi Pemikiran (Bandung: Mizan, 1991), hal. 97
- [15]Ibid., hal. 103
- [16]AM. Saefuddin, op. cit., hal. 105
- [17]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996), hal. 21.
- [18]Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Buaya dan Politik (Yogyakarta: SI Press, 1994), hal. 167
- [19]Ibid.
- [20]Ada perbedaan pokok antara pakar Muslilm dan pakar Barat dalam memandang hukum alam. Menurut Barat, hukum alam adalah hukum sebab akibat yang pasti terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Sementara menurut Islam, hukum alam itu ada karena kehendak Tuhan. Jadi sekalipun hukum alam itu berisi sebab akibat, namun hukum sebab akibat itu tidak berlaku bila Tuhan tidak menghendakinya. Ismail SM. dkk., Paradigma Pendidikan Islam (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 91
- [21]Zianuddin Sardar, op. cit., hal. 280-281
- [22]Ali Asyraf, op. cit., hal. 43
0 komentar:
Posting Komentar