Teori Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas Pada Kebudayaan

Posted By frf on Rabu, 25 Januari 2017 | 15.39.00

* Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas
Integrasi dan Disintegrasi
  1. Pengalaman dalam proses mengindonesia diwarnai dinamika integrasi dan disintegrasi bangsa. Dominasi pada strategi politik dan ekonomi menghasilkan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik telah menimbulkan konflik yang disintegratif.
  2. Perlu pengindonesiaan secara terus menerus dengan sebuah “strategi baru” yang menekankan nasion (bukan nasionalisme) dan berwawasan kebudayaan yang tercerahkan.
  3. Solidaritas sosiologis yang muncul pada budaya populer adalah wacana potensi multikultural dalam ruang-ruang keluarga Indonesia. Pada sisi lain, potensi multikultur itu berada pada berbagai konflik etnik, yang menuntut adanya transformasi. Baik melalui pengelolaan konflik dan institusionalisasi konflik secara demokratis. Upaya ini dapat mengurangi menjalarnya kekerasan maupun etnosentrisme.
Identitas dan Krisis Budaya
1. Transisi Identitas
  • Kearifan lokal hendaknya menjadi perhatian pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, serta menjadi landasan moral berbangsa. Untuk membangun kembali karakter bangsa, perlu dilakukan tindakan bersama, menyeluruh dan berkesinambungan. (Kasus-kasus perlakuan diskriminatif terhadap suku Dayak, Papua dan Aceh misalnya, dalam penguasaan penggarapan hutan, dan pengelolaan sumber daya hendaknya memperhatikan hak-hak dasar masyarakat tempatan). 
  • Masyarakat majemuk akan berhadapan dengan feodalisme dan konformisme kebudayaan dominan, pelanggaran moral, merosotnya kewibawaan hukum, hancurnya otoritas dan legitimasi kepemimpinan 
  • Transisi perubahan kebudayaan melahirkan krisis identitas dan situasi heteronomi. Aspek konservatif dan progresif dalam kebudayaan akan mencari keseimbangannya, untuk menjadi acuan bersama. Pengelolaan krisis pada masa transisi dapat dilakukan melalui pendekatan integratif. 
  • Agama dan nilai gotong royong, pada pengalaman bermasyarakat, tidak terbukti digunakan sebagai dasar pembentukan masyarakat budaya plural. Perpecahan dalam agama sering terjadi dan gotong royong hanya efektif dalam budaya agraris, namun tidak tahan berhadapan dengan kebutuhan ekonomi
2. Konflik dan Kekerasan
  • aSuku-suku bangsa tertentu memiliki keterikatan yang sangat kuat kepada tanah dan hutan, religi dan adat serta kebersamaan, namun tersingkir dan terpinggirkan.
  • Potensi konflik budaya dapat dicairkan lewat pendekatan interaktif dan transformatif
Perubahan dan Pemberdayaan
1. Hukum dan Produktivitas
  • Pengakuan atas hak intelektual menghindari eksploitasi ekonomi dan moral bagi pemegang hak. 
  • Mengkaji dan mempertahankan perangkat hukum yang terkait dengan kepentingan umum dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Undang-undang yang terkait dengan HaKI, tanah, adat dan lingkungan hendaknya mengakomodasi perkembangan dan kepentingan kolektif. 
  • Kebijakan dalam pelestarian dan perlindungan bentang-pandang budaya (cultural landscape) dikembangkan dalam prinsip: masyarakat sebagai pusat pengelolaan, terciptanya mekanisme kelembagaan yang mampu menyerap apresiasi dan aksi bersama, adanya dukungan legal, serta bersifat berkelanjutan. 
  • Diperlukan dukungan hukum terhadap politik pengembangan kesenian dan industri budaya.
2. Pendidikan
  • Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti membuat bangsa siap hidup dalam budaya modern dan wahana yang perlu disiapkan adalah satu sistem pendidikan nasional yang berwawasan budaya
  • Pendidikan di sekolah perlu, karena tidak semua dapat diajarkan di rumah, maka sekolah pun perlu diperbaiki sehingga benar-benar membuat siswa dapat mengalami ‘the joy of discovery’ dan tidak lagi menjadi tempat korupsi (tawar-menawar) rundingan tentang nilai
  • Terabaikannya kewajiban membaca buku dan bimbingan mengarang di dunia pendidikan kita selama 60 tahun berakibat lulusan kita tetap ‘rabun membaca dan pincang mengarang.
  • Kongres Kebudayaan hendaknya menghasilkan suatu rencana aksi yang antara lain berkenaan dengan sistem persekolahan dan pembelajaran sosial.
Butir-butir tersebut di atas yang menyangkut sub tema: A. Konsep, Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas, B. Identitas dan Krisis Budaya, C. Perubahan dan Pemberdayaan telah terangkum dan disimpulkan sebagai berikut:

Perihal Konsep Kebudayaan:
Konsep kebudayaan Indonesia sebagai budaya nasional masih dipertanyakan, bahkan puncak-puncak kebudayaan daerah dalam kaitan dengan budaya nasional perlu diberi relevansi baru. Reformasi memberi harapan terjadinya demokratisasi budaya tetapi yang lebih sering terjadi adalah konflik antara kelompok budaya bukan dalam identitas budaya utuh masing-masing, tetapi dalam variasi unsur-unsur yang terbuka, baik secara lintas budaya maupun lintas generasi.

Perihal Kebijakan Kebudayaan:
Membangun masyarakat multikultur merupakan keniscayaan – namun tak bisa begitu saja diterima dan tidak dilaksanakan secara otoriter. Kebijakan tersebut diupayakan secara sistematis, programatis, terpadu dan berkesinambungan. Tindakan ini dapat melalui pendidikan multikultur, lewat lembaga-lembaga mediasi interkultural dan kebijakan-kebijakan progresif yang berpihak (affirmative action). 

Perihal Strategi Kebudayaan:
Demokratisasi budaya diupayakan terwujud melalui dekonstruksi budaya dominan, seperti feodalisme, otoritarianisme dan konformisme. Adalah suatu ironi bahwa di satu pihak dirasakan kerinduan terhadap integritas budaya etik, tetapi di lain pihak dirasakan pula keterpasungan lewat adat dan tradisi, sehingga diperlukan reinterpretasi dan reposisi.

Rekomendasi:Dalam penyelenggaraan Prakongres Kebudayaan V di Denpasar belum tercakup beberapa wilayah dan tema-tema yang cukup penting dan perlu diikutsertakan mengingat relevansinya dalam kebudayaan. Rangkaian tema tersebut adalah: ekonomi rakyat, industri budaya (perbukuan, seni populer dll.), religi dan spiritualitas, kesetaraan gender, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa dan simbol serta lingkungan hidup.

SOAL POSISI KEBUDAYAAN DALAM ORGANISASI PEMERINTAHAN
KETIKA sektor kebudayaan yang telah 55 tahun damai bersatu dengan sektor pendidikan dipindahkan guna bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2000), salah satu rujukannya adalah susunan kabinet di Malaysia. Di sana keduanya disatukan dalam Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan.

RUJUKAN itu sekarang berubah. Dalam susunan kabinet Malaysia yang baru (27/3/04), kebudayaan dan kesenian dipisahkan dari pelancongan atau pariwisata menjadi Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan dipimpin oleh Datuk Rais Yatim, sementara Kementerian Pelancongan diterajui oleh Datuk Leo Michel Toyad.

Pemisahan itu disebut sebagai era baru kebudayaan dan pelancongan serta disambut gembira oleh kalangan budayawan dan seniman Malaysia. Mereka berpendapat, kebudayaan mempunyai agenda yang sama sekali tidak selari (selaras?) dengan pelancongan yang menjual produk untuk tujuan komersial. "Apabila kebudayaan dan pelancongan yang kontradiksi ini berada dalam satu kementerian, yang kita lihat adalah pelancongan," demikian mereka menyimpulkan. Dengan pemisahan itu, menurut mereka, "pertindihan kebudayaan dan pelancongan telah berakhir".

Posisi kebudayaan
Dalam lima tahun terakhir, posisi kebudayaan dalam tata organisasi pemerintahan mengalami masa gonjang-ganjing. Dalam tempo sesingkat itu, di samping harus pindah rumah, juga mengalami empat kali "bongkar-pasang" organisasi. Ketidakstabilan itu mulai muncul sejak tahun 1998. Ketika itu, dibentuk Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya (Deparsenibud), sementara nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap ada. Ini berarti ada dua lembaga pemerintah yang menangani bidang yang sama. Agar misinya tidak tumpang tindih, disepakati Direktorat Jenderal Kebudayaan menangani hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, perlindungan, dan pemanfaatan kebudayaan (bagian hulu), sedangkan Deparsenibud menangani hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan kebudayaan untuk pariwisata (bagian hilir). Meskipun demikian, tumpang tindih pengelolaan kebudayaan tidak terelakkan.

Belum ada satu tahun organisasi baru itu berjalan, terjadi perubahan lagi. Nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Tugas pokoknya mengalami perubahan pula. Kata "kebudayaan" tidak tercantum lagi dalam uraian tugas pokok Depdiknas. Usaha mempertahankan agar posisi kebudayaan tetap bersatu dengan pendidikan berhasil. Presiden menyetujui dalam tugas pokok Depdiknas ditambahkan kata "termasuk kebudayaan" menjadi: "melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk kebudayaan". Hanya berjalan beberapa bulan saja, upaya mempertahankan posisi itu akhirnya pupus. Bidang kebudayaan resmi pindah dari Depdiknas bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar).

Belum mencapai usia satu tahun, status Depbudpar berubah lagi menjadi Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata (Menneg Budpar). Perubahan status itu membawa konsekuensi tugas pokoknya menjadi terbatas pada penyusunan kebijakan saja. Lalu, siapa yang akan menangani pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan? Untuk mengatasi hal itu dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar). Nasib lembaga ini pun tidak terlalu baik. Karena adanya mosi tidak percaya dan sejumlah Asosiasi Industri Pariwisata terhadap kinerja BP Budpar, lembaga yang baru berusia 1,5 tahun itu pun dibubarkan. Pokok permasalahan kericuhan terletak pada pariwisata. Tetapi, sebagai konsekuensinya bidang kebudayaan harus ikut menanggung. Suatu realitas yang sangat tidak menguntungkan kinerja bidang kebudayaan.

Setelah penggabungan
Sejak awal masalah penggabungan, kebudayaan dan pariwisata telah banyak mendapatkan reaksi. Di samping misi antara keduanya berbeda, alasan penggabungan dinilai tidak transparan. Jika penggabungan itu didasarkan atas kemudahan dalam pemanfaatan kebudayaan bagi pariwisata, bukanlah yang dijadikan daya tarik wisatawan tidak hanya kebudayaan? Bukankah pusaka alam dan pusaka saujana (gabungan alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu) Indonesia memiliki daya tarik yang luar biasa?

Reaksi itu semakin memuncak ketika BP Budpar dibubarkan lalu digabungkan ke dalam Menneg Budpar. Langkah itu dinilai tidak menciptakan suasana kerja yang sejuk, tetapi sebaliknya. Sebagai sebuah kementerian negara yang tugasnya terbatas pada "penyusunan kebijakan", ternyata juga menampung tugas "pelaksanaan kebijakan". Di samping misinya yang rancu, nomenklatur satuan-satuan organisasi bidang kebudayaan juga membingungkan.

Salah satu perubahan nomenklatur yang mendapat sorotan adalah perubahan satuan organisasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) menjadi Asisten Deputi Arkeologi Nasional. Dalam rincian tugasnya yang baru tertulis "melaksanakan penyimpangan dan penyusunan kebijakan, pemantauan, analisis, hubungan kerja, evaluasi serta penyusunan laporan di bidang arkeologi nasional". Tidak tercantum tugas pelaksanaan kegiatan penelitian. Tugas baru itu dinilai tidak mencerminkan misinya yang amat penting, yaitu melakukan penelitian untuk mengungkap sejarah awal kehidupan manusia atau menyingkap misteri sangkan paraning dumadi, seperti yang dikatakan oleh Prof Dr Daoed Joesoef pada "Seminar Kebudayaan, Makna, dan Pengelolaannya", tanggal 15 Januari 2004. Di samping itu, nomenklatur deputi pun menimbulkan pertanyaan karena di samping terdapat Deputi Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan juga terdapat Deputi Sejarah dan Purbakala serta Deputi Seni dan Film. Bukankah sejarah dan purbakala serta seni dan film merupakan unsur dari kebudayaan?

Kondisi demikian itu menimbulkan keprihatinan sejumlah pemerhati kebudayaan. Sebagai salah satu bentuk keprihatinan itu, peserta Kongres Kebudayaan 2003 yang terdiri atas para budayawan, seniman, cendekiawan, pemangku adat, dan tokoh masyarakat kembali menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah agar dalam kabinet yang akan datang dibentuk kementerian kebudayaan tersendiri. Usul itu memang bukan hal baru. Sebuah keinginan yang wajar dan tulus itu telah dilontarkan sejak 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka. Dalam Musyawarah Kebudayaan tanggal 31 Desember 1945 di Sukabumi, para peserta sepakat menyampaikan desakan kepada pemerintah agar segera dibentuk kementerian kebudayaan. Meskipun usul tersebut telah dibahas dan disampaikan lagi pada Kongres Kebudayaan 1948, 1951, 1954, 1991, dan Kongres Kesenian 1995, hingga kini belum mendapatkan tanggapan.

Bentuk keprihatinan yang lain juga disampaikan 16 ahli arkeologi dan kebudayaan serta 8 wakil organisasi profesi di bidang kebudayaan dengan menyampaikan petisi kepada presiden pada pertengahan Desember 2003. Dalam petisi tersebut disampaikan dua permohonan. Pertama, agar pemerintah kembali mengaktifkan unit-unit organisasi pemerintah yang sebelum restrukturisasi telah menangani penelitian arkeologi pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Kedua, agar pemerintah tidak menggabungkan urusan pembinaan kebudayaan dengan pengembangan pariwisata.

Kinilah saatnya
Secara diam-diam (tidak melalui kongres atau petisi) Malaysia telah mengambil langkah strategis, memisahkan kebudayaan dan pelancongan. Langkah ini menambah jumlah deretan "acungan jempol" bagi Negeri Jiran dalam keberanian dan kejelian membaca perkembangan. Tujuan pemisahan itu sangat cantik, yaitu untuk memartabatkan kebudayaan dengan memberi tanggung jawab kepada sebuah kementerian yang khusus memartabatkan peradaban bangsa dalam memasuki pergaulan global.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Masalah kebudayaan di Indonesia memiliki dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia yang terdiri atas hampir 500 suku bangsa memiliki agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, masalah yang dihadapi tidak hanya terkait dengan benda cagar budaya, kesenian, dan bahasa saja, tetapi juga masalah jati diri bangsa, persatuan bangsa, peradaban Indonesia, serta pengenalan kebudayaan di luar negeri sebagai salah satu upaya mengangkat derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Untuk kesemuanya itu diperlukan perhatian yang khusus.

Kinilah saatnya untuk menempatkan posisi dan misi kebudayaan dalam sistem pemerintahan secara tepat. Meskipun dalam kampanye pemilu pertama tidak tampak calon presiden atau wakil presiden yang secara lugas menawarkan platform pembangunan kebudayaan, kinilah saatnya berani mengambil kebijakan membentuk organisasi kebudayaan tersendiri. Adapun bentuknya bisa departemen, kementerian, atau LPND. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa.

Sumber;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=2507451846163469865;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link
Blog, Updated at: 15.39.00

0 komentar:

Posting Komentar