PENGERTIAN PEGAWAI

Posted By frf on Kamis, 15 Desember 2016 | 05.26.00

BAB II KAJIAN PUSTAKA 
2.1. Pengertian Pegawai 
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Muhammad Ali), kata pegawai berarti orang yang bekerja pada pemerintah (Perusahaan dan sebagainya) Sedangkan negeri berarti “negara“ atau “pemerintah“ Jadi pegawai negeri adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau negara“. Di dalam Undang-Undang Nomor 8/1974 tentang pokok-pokok kepegawaian memberikan dua perumusan Pegawai Negeri. 
  1. Dinyatakan pada pasal 3 undang-undang Nomor 8/1974 yang menyatakan: Pegawai Negeri adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah dan pembangunan. 
  2. Terdapat pada pasal 1 sub a Undang-Undang Nomor 8/1947 tentang pokokpokok kepegawaian, merumuskan pegawai negeri sebagai berikut: “Pegawai Negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan disetai tugas negara lainnya, yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 
Dari rumusan di atas, terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dapat disebut Pegawai Negeri yaitu, seseorang yang memenuhi syaratsyarat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau tugas  negara lainnya, digaji menurut peraturan perundangan yang berlaku. (http://irend.wordpress.com/2008/11/28/korps-pegawai-republikindonesia-sebagai wadah-penghimpun-pegawai-negeri-sipil-meningkatkanmutu-pelayanan-publik/ diakses pada tanggal 19 Januari 2010 pukul 20:57 WIB) 

2.2. Konsumsi dan Gaya Hidup 
Konsumsi dipandang dalam sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkaitan kepada aspekaspek sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera,identitas, atau gaya hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan pada kualitas simbolik dari barang, dan tergantungan pada persepsi tentang selera dari orang lain. Selera merupakan pengikat kelompok dalam (ingroup). Aktor-aktor kolektif atau kelompok status, berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok dalam (Weber dalam Damzar 2002:136). 

Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status yang dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang. Situasi kelas ditentukan secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial terhadap kehormatan. Misalnya, pada beberapa masyarakat pedesaan indonesia memberikan penghargaan sosial yang lebih tinggi pada kelompok status guru dibandingkan kelompok status pedagang; meskipun secara ekonomi yang disebut terakhir mempunyai penghasilan yang lebih tinggi, terjadi tumpang tindih antara kelas dan kelompok status. Hal itu disebabkan kelompok status tertentu mempunyai peluang yang lebih untuk masuk pada pperolehan pendapatan yang lain. Kembali kepada kasus kelompok status guru di pedesaan, banyak di antara mereka mempunyai pekerjaan sampingan, menjadi pedagang misalnya. Mereka cenderung lebih berhasil melakukan aktivitas berdagang dibandingkan pedagang tulen. Karena masyarakat desa menganggap guru sebagai orang jujur dan pendidik masyarakat maka guru dianggap tidak akan mungkin melakukan penipuan seperti mengubah standar timbangan. 

2.3 Antropologi dan Teori Motivasi 
Seperti telah diketahui bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai individu yang mempunyai jati diri yang khas. Telah dimaklumi pula bahwa istilah antropologi berasal dari dua suku kata dalam Bahasa Yunani, yaitu antropos yangberarti manusia dan logos yang berarti ilmu. Berbagai hal tentang manusia sebagai individu seperti karateristik biografikalnya, lingkungannya, latar belakang pendidikannya, latar belakang sosialnya merupakan ruang lingkup studi ilmu ini yang bermuara pada pengenalan karateristik personal orang yang bersangkutan yang sifatnya khas itu. Karakteristik personal dari orang itulah yang kemudian tercermin dalam perilaku dan tindak tanduknya yang didasarkan pada persepsi tertentu. Aplikasinya secara tepat akan berakibat pada penggunaan teknik motivasi tertentu. Persepsi seseorang tentang skala prioritas pemenuhan kebutuhan adalah salah satu contoh. Dengan berbagai alasan yang didasarkan pada persepsi dan harapan tertentu, tidak mustahil menemukan pemuasaan kebutuhan primer sebagai ukuran keberhasilannya berkarya. Artinya, jika dalam skala prioritas seseorang pemuasaan kebutuhan yang bersifat kebendaan ditempatkan pada tingkat pertama, dalam kehidupan organisasionalnya imbalan berupa penghasilan akan dijadikannya sebagai pertimbangan utama. Lain halnya jika pada skala prioritas pemuasan kebutuhan non materiil pada peringkat terasa. Peranan uang baginya menjadi sekunder dan faktor-faktor motivasional lainnya yang akan memegang peranan yang lebih penting. (Siagian, 2004:52) 

2.4 Teori Harapan 
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “work and Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebut sebagai : Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat dari suatu hasil yang dicapai oleh tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan nampaknya terbuka untuk memperolehnya yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasi untuk berupaya pun akan menjadi rendah. (Sondang 1995:292 dalam Sitompul 1995:16 ) 

2.5 Kondisi Status Sosial-Ekonomi Masyarakat 
Setiap individu yang masih bayi dilahirkan dalam status sosial yang dimiliki orangtuanya. Jika ia tidak mau menerima kedudukan sosial yang diwariskan dan mau mencari kedudukan yang lebih tinggi harus memperhitungkan dua hal yaitu bakat kemampuannya dan jalan yang sesuai dengan bakatnya untuk ditempuh melewati jenjang-jenjang sosial (vertikal) menuju pada strata kedudukan sosial yang lebih tinggi. Kenyataan membuktikan, bahwa tidak sedikit anak yang berhasil meraih kedudukan sosial yang lebih tinggi dati pada kedudukan orangtuanya. Apa yang dicapai inilah berkat apa yang disebut dengan prestasi individu (Ishomuddin, 2005:295). 

Kedudukan (status) seseorang atau kedudukan yang melekat padanya dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu yang dinamakan prestise-simbol (status-symbol). Ciri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian hidupnya yang telah institutionalized atau bahkan internalized. Ada beberapa ciri-ciri tertentu yang dianggap sebagai status symbol, seperti cara berpakaian, pergaulan, cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal, cara dan corak menghias rumah kediaman dan seterusnya (Soekanto, 2001:267). Kehidupan manusia secara wajar, telah dilihat dari segi tingkat pendapatannya serta besar jumlah uang yang dikonsumsikan juga tidak terlepas dari posisi didalam pergaulan hidup masyarakat. Sebab tingkat hidup seseorang juga mempengaruhi pergaulan hidup di dalam lingkungan. Dalam hidup, manusia memiliki seperangkat nilai yang telah tertanam didalam dirinya. Suatu nilai adalah suatu konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang dianggapnya buruk. Yang baik akan dianutnya sedangkan yang buruk akan dihindarinya. Sistem nilai-nilai akan timbul atas dasar pengalaman-pengalaman manusia di dalam berinteraksi yang kemudian membentuk pergaulan hidup, oleh karena : 
  •  Nilai-nilai abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang 
  • Nilai-nilai tersebut senantiasa diisi dan bersifat dinamis 
  • Nilai-nilai merupakan kriteria untuk mencapai tujuan hidup yang terwujud dalam prikelakuan (Soejono Soekanto dalam Simarmata 2001) 
2.6 Teori Pilihan Rasional 
Teori pilihan rasional memusatkan pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor dipandang mempunyai pilihan (atau nilai, keperluan). Teori pilihan rasional tak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Meski teori pilihan rasional berawal dari tujuan atau maksud aktor, namun teori ini memperhatikan sekurang-kurangnya dua pemaksa utama tindakan. Pertama adalah keterbatasan sumber, aktor mempunyai sumber yang berbeda maupun akses yang berbeda terhadap sumber daya yang lain. Bagi aktor yang mempunyai sumber daya yang besar, pencapaian tujuan mungkin relatif mudah. Tetapi, bagi aktor yang mempunyai sumber daya sedikit, pencapaian tujuan mungkin sukar atau mustahil sama sekali (Ritzer & Goodman, 2007:357 ). Ide dasar aliran pemikiran ini dapat dirujuk kepada tiga proposisi utama yang diajukan oleh (Swedberg & Granovetter 1992:619), tindakan ekonomi adalah suatu bentuk dari tindakan sosial, tindakan ekonomi disituasikan secara sosial, institusiinstitusi ekonomi dikonstruksi secara sosial. 

Ketiga proposisi tersebut berakar dari pemikiran weber yang dikembangkan secara lebih luas tajam oleh Swedberg dan, granovetter. Memahami tindakan ekonomi sebagai bentuk dari tindakan sosial dapat dirujuk kepada konsep tindakan sosial yang diajukan Weber. Bagi Weber, dunia sebagaimana kita saksikan terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukan itu untuk mencapai apa yang mereka kehendaki. Setelah memiih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih tindakan. Struktur sosial adalah produk (hasil) tindakan itu. Cara hidup adalah produk dari pilihan yang dimotivasi. Keadaan sosial yang tercipta karena tindakan itu menjadi hambatan sebagai kekuatan struktural, tetapi bagaimanapun tindakan sejatinya tetap mental yang dipilih dalam persepsi pelaku dari hambatan srtuktural itu. Memahami realitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan pilihan. Teori-teori sosiologi bukanlah teori-teori mengenai system social, yang memiliki dinamikanya sendiri, melainkan mengenai makna di balik tindakan. 

Tipe-tipe tindakan sosial: tindakan tradisional, tindakan afektif, tindakan berorientasi nilai, atau penggunaan rasionalitas nilai, tindakan berorientasi tujuan, atau penggunaan rasionalitas instrumental. Misalnya, “Saya melakukan ini karena saya selalu melakukannya”, “Apa boleh buat saya lakukan”, “Yang saya tahu hanya melakukan ini”, Tindakan ini paling efisien untuk mencapai tujuan ini, dan inilah cara terbaik untuk mencapainya”. (http://ferarashekill.blogspot.com/2009/08/bab-1-pendahuluansebagaimana-kita.html di akses pada tanggal 10 Januari 2010 pukul : 20:18 WIB). Tindakan ekonomi dapat di pandang sebagai suatu tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Memberikan perhatian ini dilakukan secara sosial dalam berbagai cara misalnya memperhatiakn orang lain, berbincang dengan mereka, berpikir tentang mereka, dan memberi senyum kepada mereka. Lebih jauh Weber menjelaskan bahwa aktor selalu mengarahkan tindakannya kepada perilaku orang orang lain melalui makna-makna yang terstruktur. Itu berarti bahwa aktor menginterpresikan (verstehen) kebiasan-kebiasaan, adat, dan normanorma yang dimiliki, dalam sistem hubungan sosial yang sedang berlangsung (Weber 1964:112). 

Adanya kelompok formal dan informal yaitu suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara kelompok formal dan informal. Segera setelah seseorang menjadi anggota organisasi formal seperti sekolah, universitas, perusahaan atau kantor, ia sering mulai menjalin hubungan persahabatan dengan anggota lain dalam organisai formal tersebut sehingga dalam organisasi formal akan terbentuk berbagai kelompok informal, seperti kelompok teman sebaya, kelompok yang tempat tinggalnya berdekatan, kelompok yang bertugas dalam satu bagian kantor yang sama, kelompok yang lulus dari perguruan tinggi sama, kelompok yang lulus sekolah seangkatan dan sebagainya. Dalam tindakan ekonomi adanya etika subsistensi, muncul dari kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan dan merupakan konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis dari krisis subsitensi (James Scott dalam Damzar 2002: 1976).

2.7 Mobilitas Sosial 
 Mobilitas sosial menunjukan pada perpindahan individu-individu dari satu status sosial ke status sosial yang lain. Perpindahan ini bisa naik bisa turun, atau tetap pada tingkat yang sama tetapi dalam pekerjaan yang berbeda (Bruce J. Cohen dalam Ishomuddin,2005:293). Tipe-tipe gerak sosial yang prinsipil ada dua macam, yaitu gerak sosial yang horizontal dan vertikal. 
1. Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Mobilitas osial vertikal sendiri terdiri dari: 
a) Gerak sosial vertikal yang naik mempunyai dua bentuk utama, yaitu: 
  • Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. 
  • Pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentukan kelompok tersebut. 
b) Gerak sosial vertikal yang menurun mempunyai dua bentuk utama, yaitu: 
  • Turun kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya, 
  • Turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan (Soekanto, 2001:275). 
2. Mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari sutau kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas horizontal tidak ada perubahan dalam derajat status seseorang atau objek sosial lainnya. Horton dan Hunt menerangkan ada 2 faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yaitu: 
  • Faktor struktur, yaitu jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. 
  • Faktor individu, yaitu kualitas orang per orang, baik di tinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, keterampilan pribadi dan termasuk faktor kesempatan yang menentukan siapa yang berhasil mencapai kedudukan itu. 
Mobilitas juga di bagi menjadi 2 yaitu: 
  • Mobilitas intragenerasi yang mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya. Misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau perwira pertama yang menjadi perwira tinggi. 
  • Mobilitas antar generasi yang mengacu pada perbedaan status yang dicapai seseorang dengan status orang tuanya. Misalnya anak tukang sepatu berhasil menjadi Insinyur (Kartika, 2010:19). 
2.8 Defenisi Konsep 
Untuk memudahkan penelitian ini digunakan beberapa konsep yaitu : 
  1. Diversifikasi adalah bagaimana cara kita dalam menempatan investasi atau pekerjaan kita yang lainnya di bidang yang berbeda-beda. 
  2. Okupasi adalah jenis atau pekerjaan yang dimiliki seseorang. 
  3. Strategi adalah suatu prosedur yang mempunyai alternatif-alternatif pada berbagai tahap atau langkah ( Soekanto, 1983:484). Strategi yang dimaksud adalah langkah tepat yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan sekunder setelah kebutuhan primer.
  4. Status adalah merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sering juga disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakat. 
  5. Sosial Ekonomi adalah kehidupan perekonomian masyarakat sebagai kedudukan atau posisi dalam peningkatan taraf kehidupan di masyarakat. 
  6. Pegawai Negri Sipil adalah salah satu jenis Kepegawaian Negeri di samping Anggota TNI dan Anggota Polri (UU No 43 Th.1999). Pengertian Pegawai Negeri adalah warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 1 UU 43/1999). 
  7. Subsitensi adalah memenuhi kebutuhan sekunder setelah terpenuhinya kebutuahan primer. Universitas Sumatera Utara
Blog, Updated at: 05.26.00

0 komentar:

Posting Komentar