Teori Kemiskinan

Posted By frf on Kamis, 27 Oktober 2016 | 05.52.00

Teori Kemiskinan
2.3.1. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan secara umum dapat diartikan sebagai kondisi individu penduduk atau keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasarnya secara layak. Namun beberapa institusi atau pihak telah menetapkan acuan dalam penentuan kreteria penduduk miskin.

Terjadinya kemiskinan penduduk secara garis besar disebabkan oleh faktor ekternal dan internal penduduk. Kemiskinan dilihat dari penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Kemiskinan absolut dan Kemiskinan struktural. Kemiskinan absolut yaitu kemiskinan yang disebabkan faktor internal penduduk sendiri. Misalkan disebabkan tingkat pendidikan rendah, ketrampilan rendah, budaya dan sebagainya. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor eksternal sehingga kemampuan akses sumberdaya ekonomi rendah, pada gilirannya pendapatan penduduk menjadi rendah.

Menurut Kuncoro (2004), pengukuran kreteria garis kemiskinan di Indonesia diukur untuk kemiskinan absolut. Institusi pemerintah yang biasa menetapkan kreteria garis kemiskinan yaitu Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS (1994), kreteria batas miskin menggunakan ukuran uang rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum makanan dan bukan makanan. Berarti kreteria garis kemiskinan diukur dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan.

Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan standar yang berlaku. Hendra Esmara (1986) mengukur dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku, maka kemiskinan dapat dibagi tiga: 
  1. Miskin absolut yaitu apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum; pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.
  2. Miskin relatif yaitu seseorang sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. 
  3. Miskin kultural yaitu berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantu. 
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi pendapatan saja tidak mampu memecahkan permasalahan komunitas. Karena permasalahan kemiskinan komunitas bukan hanya masalah ekonomi namun meliputi berbagai masalah lainnya. Kemiskinan dalam berbagai bidang ini disebut dengan kemiskinan plural. Delina Hutabarat (1994), menyebutkan sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang ditanggung komunitas yaitu: 
  1. Kemiskinan Subsistensi yaitu penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal. 
  2. Kemiskinan Perlindungan yaitu lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah. 
  3. Kemiskinan Pemahaman yaitu kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan, dan potensi untuk mengupayakan perubahan. 
  4. Kemiskinan Partisipasi yaitu tidak ada akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas. 
  5. Kemiskinan Identitas yaitu terbatasnya pembauran antar kelompok sosial, terfragmentasi. 
  6. Kemiskinan Kebebasan yitu stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas. 
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, secara harfiah kata miskin diberi arti tidak berharta benda. Sayogyanya membedakan tiga tipe orang miskin, yakni miskin (poor), sangat miskin (very poor) dan termiskin (poorest). Penggolongan ini berdasarkan pendapatan yang diperoleh setiap tahun. Orang miskin adalah orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk beras yakni 320 kg/orang/tahun. Jumlah tersebut dianggap cukup memenuhi kebutuhan makan minimum (1,900 kalori/orang/hari dan 40 gr protein/orang/hari). Orang yang sangat miskin berpenghasilan antara 240 kg sampai 320 kg beras/orang/tahun, dan orang yang digolongkan sebagai termiskin berpenghasilan berkisar antara 180 kg, 240 kg beras/orang/tahun. 

Menurut BPS, penduduk miskin adalah mereka yang asupan kalorinya di bawah 2,100 kalori berdasarkan kategori food dan nonfood diukur menurut infrastruktur antara lain jalan raya, rumah, serta ukuran sosial berupa kesehatan dan pendidikan. Menurut ketentuan BPS kebutuhan makanan minimum per kapita penduduk yaitu sebanyak 2.100 kalori per hari. Mengingat bahan makanan penduduk berbeda-beda, maka ukuran konsumsinya dilihat dari jumlah rupiahnya.

Pendekatan garis kemiskinan lainnya yang dikemukakan oleh Sayogo (dalam Kuncoro, 2004), menggunakan dasar harga beras. Menurut Sayogo, definisi kemiskinan adalah tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Berarti jumlah uang rupiah yang dibelanjakan setara dengan nilai beras sebanyak 20 kilogram untuk daerah perdesaan dan 30 kilogram daerah perkotaan.

2.3.2. Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu prosentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan, dan ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif. 

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985). 

Indikator-indikator utama kemiskinan berdasarkan pendekatan di atas yang di kutip dari Badan Pusat Statistik, antara lain sebagai berikut: 
  1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan). 
  2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 
  3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 
  4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa. 
  5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam. 
  6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat. 
  7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 
  8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 
  9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil). 
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya pertisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.

2.3.3. Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah mengidentifikasi apa sebenarnya yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan dan bagaimana mengukurnya. Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula. Setelah itu, dicari faktor-faktor dominan (baik yang bersifat kultural maupun struktural) yang menyebabkan kemiskinan. Langkah berikutnya adalah mencari solusi yang relevan untuk memecahkan problem dengan cara merumuskan strategi mengentaskan kelompok miskin atau masyarakat miskin.

Kemiskinan menurut Sharp (1996), dari sisi ekonomi penyebabnya dibagi menjadi tiga yaitu: Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya alam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya randah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam akses modal. 

Sedangkan Nasikun menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu: 
  • Policy induces processes, yaitu proses kemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan. 
  • Socio-economic Dualism, yaitu negara ekskoloni yang mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marginal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor. 
  • Population Growth, yaitu perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti deret hitung. 
  • Resources management and The Environment, yaitu adanya unsur misalnya manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas. 
  • Natural Cycles and Processes, yaitu kemiskinan yang terjadi karena siklus alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal terus-menerus. 
  • The Marginalization of Woman, yaitu peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki. 
  • Cultural and Ethnic Factors, yaitu bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat-istiadat yang konsumtif saat upacara adat-istiadat keagamaan. 
  • Explotative Intermediation, yaitu keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir (lintah darat). 
  • Internal Political Fragmentation and Civil stratfe, yaitu suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya yang kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan. 
  • International Processes, yaitu bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin. 
Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di pedesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki, yaitu: 
  1. Natural Assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya. 
  2. Human Assets; menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi). 
  3. Physical Assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik dan komunikasi. 
  4. Financial Assets; berupa tabungan (saving), serta akses untuk memperoleh modal usaha. 
  5. Sosial Assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. 

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan telah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Sumarto (2002) dari SMERU Research Institute. Penelitian ini melakukan studi pada 100 desa selama periode Agustus 1998 hingga Oktober 1999. Berdasarkan hasil studi tersebut ada beberapa hal yang menjadi temuan berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan antara lain: 
  1. Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara pertumbuhan dan kemiskinan. Artinya ketika perekonomian tumbuh, kemiskinan berkurang; namun ketika perekonomian mengalami kontraksi pertumbuhan, kemiskinan meningkat lagi. 
  2. Pertumbuhan tidak mengurangi kemiskinan secara permanen. Walaupun terjadi pertumbuhan dalam jangka panjang selama periode sebelum krisis, banyak masyarakat yang tetap rentan terhdap kemiskinan. Oleh arena itu, manajemen kejutan (management of shocks) dan jaring pengaman harus diterapkan. 
  3. Pertumbuhan secara kontemporer dapat mengurangi kemiskinan. Sehingga pertumbuhan yang berkelanjutan penting untuk mengurangi kemiskinan. 
  4. Pengurangan ketimpangan mengurangi kemiskinan secara signifikan. Sehingga sangat tepat untuk mencegah pertumbuhan yang meningkatkan ketimpangan. 
  5. Memberikan hak atas properti dan memberikan akses terhadap kapital untuk golongan masyarakat miskin dapat mengurangi kesenjangan, merangsang pertumbuhan, dan mengurangi kemiskinan. 
2.3.4. Karekteristik atau Ciri-ciri Penduduk Miskin
Emil Salim (1976) mengemukakan lima karakteristik kemiskinan, kelima karakteristik kemiskinan tersebut adalah: 
  • Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri. 
  • Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. 
  • Tingkat pendidikan pada umumnya sendiri. 
  • Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas. 
  • Diantara mereka berusaha relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai. 
Ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin, yaitu : 
  1. Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan keterampilan. 
  2. Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. 
  3. Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja). 
  4. Kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area). 
  5. Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup), bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan sosial lainnya. 
Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan perkotaan, pada umumnya dapat digolongkan pada buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis, dan pengangguran.

Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan prosentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehinga kita dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu. Salah satu cara mengukur kemiskinan yang diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara masyarakat miskin, seperti koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien gini atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui karena dampak guncangan perekonomian pada kemiskinan dapat sangat berbeda tergantung pada tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarakat miskin. Prinsip-prinsip untuk mengukur kemiskinan, yakni : 
  1. Anonimitas independensi, yaitu ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. 
  2. Monotenisitas, yakni bahwa jika kita memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada dibawah garis kemiskinan, jika diasumsikan semua pendapatan yang lain tetap maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. 
  3. Sensitivitas distribusional, yaitu menyatakan bahwa dengan semua hal lain konstan, jika mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin. 
2.3.5. Model Solusi Kemiskinan
Pengalaman di negara-negara Asia menunjukkan berbagai model mobilisasi perekonomian pedesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu: Pertama, mendasarkan pada mobilitas tenaga kerja yang masih belum didaya gunakan (idle) dalam rumah tangga petani gurem agar terjadi pembentukan modal di pedesaan (Nurkse, 1953). Tenaga kerja yang masih belum didayagunakan pada rumah tangga petani kecil dan gurem merupakan sumberdaya yang tersembunyi dan potensi tabungan. Alternatif cara untuk memobilisasi tenaga kerja dan tabungan pedesaaan adalah: 1) menggunakan pajak langsung atas tanah, seperti yang dilakukan di Jepang. 2) dilakukan dengan menyusun kerangka kelembagaan di pedesaan yang memungkinkan tenaga kerja yang belum didayagunakan untuk pemupukan modal tanpa perlu menambah upah. Ini persis yang dilakukan Cina yang menerapkan sistem kerjasama kelompok dan brigades ditingkat daerah yang paling rendah (communes). Dengan metode ini ternyata memungkinkan adanya kenaikan yang substansial dalam itensitas tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja.

Model kedua, menitik beratkan pada tranfer daya dari pertanian ke industri melalui mekanisme pasar (Fei & Gustav, 1964). Ide bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas dari rumah tangga petani kecil dapat meningkatkan tabungan dan formasi modal lewat proses pasar. Pengalaman Taiwan menyajikan contoh yang baik atas mobilisasi sumber daya dari sektor pertanian mengandalkan mekanisme pasar, tanpa menggunakan instrumen pajak seperti yang dilakukan oleh Jepang. Proporsi output sektor pertanian sebagian besar tetap dijaga sebagai surplus lewat intermediasi pemilik tanah dan melalui nilai tukar (terms of trade) sebelum Perang Dunia II. 

Model ketiga, menyoroti pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor yang memimpin (Mellor, 1976), Model ini dikenal dengan nama Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi, atau Rural-Led Development. Proses ini akan berhasil apabila dua syarat berikut terpenuhi: 1) kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi; 2) proses ini juga menciptakan pola permintaan yang kondusif terhadap pertumbuhan. Pada gilirannya ini tergantung dari dampak keterkaitan ekonomi pedesaan lewat pengeluaran atas barang konsumsi yang dipasok dari dalam sektor itu sendiri, dan melalui investasi yang didorong.

Model keempat, menyoroti dimensi spasial dalam menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan bisa diatasi dengan cara kemudahan dalam mengakses dua bidang, yaitu: 1) bidang ekonomi dan 2) bidang sosial (Kuncoro, 2004). Akses dalam bidang ekonomi dibagi menjadi dua yaitu: akses terhadap lapangan kerja dan akses terhadap faktor ekonomi. Akses terhadap faktor produksi terdiri dari: 1) Kemudahan masyarakat dalam mengakses modal usaha, 2) kemudahan masyarakat dalam mengakses pasar, 3) kemudahan masyarakat dalam kepemilikan modal. Sedangkan akses dalam bidang sosial dibagi menjadi dua yaitu: akses terhadap fasilitas pendidikan dan akses terhadap fasilitas kesehatan.

2.3.6. Efek Lingkaran Perangkap Kemiskinan Terhadap Pembangunan Ekonomi
Yang dimaksudkan dengan lingkaran perangkap kemiskinan (the vicious circle of poverty), atau dengan singkat perangkap kemiskinan, adalah serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan di mana sesuatu negara akan tetap miskin dan akan tetap mengalami banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Teori ini terutama dikaitkan kepada nama Nurkse, seorang ahli ekonomi yang merintis penelaahan mengenai masalah pembentukan modal di negara berkembang.

Dalam mengemukakan teorinya tentang lingkaran perangkap kemiskinan pada hakikatnya Nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan masa lalu tetapi juga menghadirkan hambatan kepada pembangunan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal ini Nurkse mengatakan : “Suatu negara jadi miskin karena ia merupakan negara miskin” (A country is poor because it is poor). Menurut pendapatnya lingkaran perangkap kemiskinan yang terpenting adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terhadap terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Di satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan, dan di lain pihak oleh perangsang untuk menanam modal. Di negara berkembang kedua faktor itu tidak memungkinkan dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Jadi menurut pandangan Nurkse, terdapat dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan yang menghalangi negara berkembang mencapai tingkat pembangunan yang pesat : dari segi penawaran modal dan dari segi permintaan modal. 

Dari segi penawaran modal lingkaran perangkap kemiskinan dapat dinyatakan sebagai berikut. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan tingkat pembentukan modal yang rendah. Keadaan yang terakhir ini selanjutnya akan dapat menyebabkan suatu negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktivitas akan tetap rendah. Dari segi permintaan modal, corak lingkaran perangkap kemiskinan mempunyai bentuk yang berbeda. Di negara-negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagi jenis barang terbatas, dan hal yang belakangan disebutkan ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah. Sedangkan pendapatan yang rendah disebabkan oleh produktivitas yang rendah yang diwujudkan oleh pembentukan modal yang terbatas pada masa lalu. Pembentukan modal yang terbatas ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal. 

Di bagian lain dari analisis Nurkse, ia menyatakan bahwa peningkatan pembentukan modal bukan saja dibatasi oleh lingkaran perangkap kemiskinan seperti yang dijelaskan di atas, tetapi juga oleh adanya international demonstration effect. Maksudnya adalah kecenderungan untuk mencontoh corak konsumsi di kalangan masyarakat yang lebih maju. 

Di samping kedua lingkaran perangkap kemisikinan ini, Meier dan Baldwin mengemukakan satu lingkaran perangkap kemiskinan lain. Lingkaran kemiskinan ini timbul dari hubungan saling mempengaruhi antara keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan alam yang belum dikembangkan. Untuk mengembangkan kekayaan alam yang dimiliki, harus ada tenaga kerja yang mempunyai keahlian untuk memimpin dan melaksanakan berbagai macam kegiatan ekonomi. 

Hubungan Tiga Perangkap Kemiskinan
Pada gambar di atas teori lingkaran perangkap kemiskinan menjelaskan bahwa: 
Adanya ketidakmampuan mengerahkan tabungan yang cukup. 
Kurangnya rangsangan melakukan penanaman modal. 
Rendahnya taraf pendidikan, pengetahuan, dan kemahiran masyarakat, merupakan tiga faktor utama yang menghambat terciptanya pembentukan modal dan perkembangan ekonomi. 

2.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Manusia
2.4.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses terjadinya kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. 

Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang. 

Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan “teknologi” dalam produksi itu sendiri. 

Simon Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai kemampuan negara itu untuk menyediakan barang-barang ekonomi yang terus meningkat bagi penduduknya, dimana pertumbuhan kemampuan ini berdasarkan kepada kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian ideologi yang dibutuhkannya. 

2.4.2. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Manusia 
Dalam literatur-literatur konvensional tentang teori ekonomi modern, demokrasi dianggap sebagai barang mewah. Tuntutan akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Hipotesis yang berkaitan dengan ini adalah hipotesis pilihan yang tidak menyenangkan (cruel choice) antara dua demokrasi dan disiplin. Karena demokrasi pada tahap awal pembangunan tidak terlalu bersahabat dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka yang dibutuhkan oleh suatu negara adalah disiplin. Teori Konvensional yang lain adalah hipotesis tetesan ke bawah (trickle down) yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat akan memberi sumbangan pada pembangunan manusia. Jika pembangunan meningkat, maka masyarakat dapat membelanjakan lebih banyak untuk pembangunan manusia. Berdasarkan kedua hipotesa tersebut, hubungan antara pembangunan manusia, demokrasi dan pertumbuhan ekonomi merupakan satu garis linear satu arah, dimana pertumbuhan ekonomi menjadi penggeraknya. Namun bukti-bukti mengenai kebenaran hipotesa cruel choice dan trickle down tidak terlalu meyakinkan
Hubungan Antara Pembangunan Manusia, Demokrasi dan Pertumbuhan 
Model pertumbuhan endogenus (dari dalam) memberikan suatu kerangka alternative untuk mempelajari hubungan antara pembangunan manusia, demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Teori ini menyatakan bahwa perbaikan dalam tingkat kematian bayi, dan pencapaian pendidikan dasar akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada gilirannya akan secara substansial meningkatkan peluang bahwa dari waktu ke waktu lembaga-lembaga politik akan menjadi lebih demokratis. Studi lintas negara yang dilakukan oleh Barro menemukan adanya hubungan kausal antara kematian bayi dan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi yang juga mengikuti teori modal manusia atau human capital theory. 

Dengan membangun hubungan tersebut, Barro secara efektif menolak hipotesa trickle down yang menyatakan bahwa pembangunan manusia yang tinggi hanya dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, dalam kerangka ini, demokrasi masih dianggap sebagai barang mewah, dengan implikasi bahwa negara-negara miskin tinggi dapat (atau mungkin seharusnya tidak) berdemokrasi. 

Kerangka Barro
Bhalla memperkenalkan perspektif lain dalam perdebatan ini. Ia menemukan adanya pengaruh positif dari demokrasi cenderung untuk melindungi hak milik dan kontrak yang penting artinya bagi berfungsinya ekonomi pasar dengan baik, yang memerlukan dukungan dari sektor swasta. Walaupun Bhalla tidak secara langsung meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia, dengan membalik hubungan kausalitasnya, temuannya secara tidak langsung membawa pada pendekatan trickle down terhadap pembangunan. 

Pendekatan Trickle Down terhadap Pembangunan
Laporan pembangunan manusia untuk Indonesia ini menunjukan argument bahwa pembangunan manusia merupakan unsur terpenting bagi konsolidasi demokrasi. Fakta-fakta dan argument-argument yang dijabarkan dalam tinjauan teoritis ini memungkinkan kita untuk melengkapi hubungan antara pembangunan manusia, demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana ketiga variabel berinteraksi satu sama lainnya untuk menghasilkan segitiga kebaikan (virtous triangle).

Virtous Triangle
Dalam segitiga kebaikan ini, pembangunan manusia secara positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui demokrasi. Efek langsung dari pembangunan manusia terhadap pembangunan mengikuti teori modal manusia dan model pertumbuhan endogenous yang banyak ditemukan dalam berbagai literatur empiris. Penelitian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia menemukan bahwa melek huruf yang tinggi, angka kematian bayi yang rendah, ketidakmerataan dan kemiskinan yang rendah memberikan kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi yang cepat di Asia Timur dan Tenggara.

2.5. Kaitan Kesehatan Dan Pembangunan
2.5.1. Problematika Kesehatan di Indonesi
Hal utama yang diperbincangkan dalam cara pandang aktual seputar pembangunan kesehatan di Indonesia akan kita kaji meliputi beberapa hal di bawah ini.
a. Problem Kematian Ibu
Kematian maternal yaitu kematian wanita sewaktu hamil, melahirkan atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, yang disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan atau penanganannya dan tidak tergantung pada lamanya dan lokasi kehamilan. (Sarwono, 1994 ).

Kematian maternal sangat berkaitan dengan kematian bayi. Hal itu menjadi penting apabila kita menyadari setiap tahun berapa banyak wanita yang bersalin dan berapa banyak ibu dan bayi yang mati setiap tahun karena persalinan. Hal ini berkaitan dengan tujuan obstetri (ilmu kebidanan) yaitu membawa ibu dan bayi dengan selamat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan kerusakan yang seminimal mungkin (Bagian obsgin UNPAD, 1983).

Dengan tingginya angka kematian ibu, tentu sangat menyedihkan karena yang meninggal adalah anggota masyarakat yang masih muda dan menjadi pusat kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Penyebab kematian ibu hamil merupakan suatu hal yang cukup kompleks, dan dapat digolongkan menjadi beberapa faktor, antara lain :
  1. Reproduksi. Pada reproduksi kita akan dihadapkan oleh beberapa persoalan pada usia, paritas serta kehamilan yang tidak normal 
  2. Komplikasi Obstetrika. Sedangkan untuk komplikasi kebidanan sering dihadapkan adanya perdarahan sebelum dan sesudah anak lahir, kehamilan ektopik, infeksi nifas serta gestosis
  3. Pelayanan Kesehatan. Pada tingkat pelayanan adanya kelemahan dalam upaya memudahkan bagi upaya memajukan kesehatan maternal, asuhan medik yang kurang baik, kurangnya tenaga terlatih serta obat – obat kedaruratan yang minimal
  4. Sosio Budaya. Apalagi dalam bidang sosial budaya, persoalan kemiskinan, bagaimana status pendidikannya (tertinggal atau memang bodoh), transportasi yang sulit serta terjadinya mitologi pantangan makanan tertentu pada ibu hamil. 
Dari banyak faktor tersebut maka sebab – sebab kematian ibu hamil yang terpenting antara lain meliputi pendarahan, penyakit kehamilan dan persalinan, eklampsia serta kehamilan ektopik. 

Beberapa pengalaman ilmiah faktor – faktor tersebut tampaknya dari kebanyakan kematian ibu hamil dapat dicegah. Upaya yang dapat kita lakukan untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan anak adalah dengan pengawasan sempurna dan paripurna, yang terdiri dari 3 hal penting, yaitu : 
  • Prenatal care, Pengawasan ibu sewaktu hamil. Pertolongan dalam masa ini terutama bersifat profilaksis / pencegahan. 
  • Pertolongan sewaktu persalinan, Pimpinan persalinan yang tepat dapat membantu mengurangi terjadinya kelainan dalam persalinan. 
  • Postpartum care, Upaya pengawasan setelah melahirkan, untuk menghindari dan mengetahui lebih dini terjadinya kelainan postpartum. 
Sehingga harus dipahami bahwa bukan hanya pertolongan waktu persalinan saja yang penting, tetapi juga harus didahului oleh prenatal care (ANC : Ante Natal Care) yang baik dan disusul dengan perawatan postpartum yang baik.

b. Problem Kematian Bayi
Kematian Perinatal adalah kematian janin yang terjadi pada usia kehamilan diatas 22 minggu atau berat janin diatas 500 gr sampai dengan 4 minggu setelah lahir. Lahir mati (Stillbirth) bayi lahir mati dengan berat 500 gr atau lebih yang saat dilahirkan tidak menunjukkan tanda kehidupan. Kematian Neonatal adalah bayi lahir dengan berat 500 gr atau lebih yang mati dalam 28 hari setelah dilahirkan (Mochtar, 1994)

Angka kematian perinatal, angka kematian bayi, kematian maternal dan kematian balita merupakan parameter dari keadaan kesehatan, pelayanan kebidanan dan kesehatan yang mencerminkan keadaan sosek dari suatu negara.

Setiap wanita dalam kehamilan dan persalinan tidak luput dari kemungkinan penyebab dari resiko kematian perinatal. Morbiditas dan mortalitas perinatal mempunyai kaitan erat dengan kehidupan janin dalam kandungan dan waktu persalinan. Jika digolongkan secara garis besar maka penyebab utama kematian perinatal menurut (Mochtar, 1994) adalah:
  • Faktor resiko Hipoksia/asfiksia.
  • Faktor resiko Berat Badan Lahir Rendah.
  • Faktor resiko Cacat bawaan dan Infeksi.
  • Faktor resiko Trauma Persalinan.
Sebenarnya dengan menyediakan pelayanan kesehatan dan pelayanan kebidanan yang bermutu akan bisa menekan faktor-faktor utama tersebut guna menurunkan angka kematian perinatal selain faktor-faktor yang lain harus ditingkatkan seperti menaikkan tingkat sosial dan ekonomi masyarakat.

2.5.2. Strategi Percepatan Pembangunan Kesehatan 
Untuk memasuki pada wilayah penjelajahan menuju strategi percepatan (crass strategy) terhadap problematika yang ada kita gunakan Standar Pelayanan Prima (SPP) sebuah pedoman pelayanan aktual yang dipergunakan oleh Pemerintah RI maupun lembaga-lembaga non pemerintah. SPP ini sangat terkait dengan pembangunan pelayanan mandiri atau kemandirian pelayanan sehingga terwujudnya keadaan lingkungan dan perilaku publik.

Mengenai SPP ini kita akan menjelaskan secara detail dibawah ini. SPP merupakan pelayanan publik yang dianggap terbaik karena selalu berangkat dari pemikiran, perasaan dan kontekstualisasi kebutuhan publik yang meliputi :
  • Standar Pelayanan Prima (SPP) dibutuhkan dalam menejemen publik karena, kepercayaan pelanggan sebuah kemutlakan dalam menghadapi persaingan bebas di era global
  • Agar tercipta sebuah “kepercayaan publik” baik di lembaga kesehatan maupun publik maka diperlukan sebuah pemberdayaan SDM, SDA dan menejemen publiknya secara kokoh dan sistemik melalui berbagai program keberdayaan yang meningkatkan kualitas. 
  • Adapun legalitas hukum bagi gerak SPP melalui : salah satu sikap Pemerintah Republik Indonesia yang telah menerbitkan dengan SK Men-PAN No.81 Tahun 1993 tentang : Pelayanan Publik; lalu diperkuat dengan Inpres No.1 Tahun 1995 tentang perintah pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kepada men-pan serta pada tahun 1998 melalui menko wasbang menerbitkan surat edaran menko wasbang no.145 tahun 1999 tentang rincian pelayanan publik dengan SPP.
  • Dalam SPP sendiri memiliki prinsip yaitu : mengutamakan pelanggan, sistem efektif, pelayanan berbasis merebut hati, pola perbaikan layanan terus menerus / berkelanjutan dan pelanggan terberdayakan
  • Sedangkan konseptualisasi SPP melalui : prokreasi berdasarkan inisiatif, kreatif dan bertanggung jawah / amanah dalam segala hal
  • Poros gerakan yang dikembangkan melalui SPP terhadap strategi aksi dengan menggunakan gerakan katalitik, adanya kepemilikan publik, bergaung secara kompetitif dan mempunyai misi suci (keterlibatan seimbang antara dimensi provan dan eskatologik) 
  • Hasil akhir dari sebuah pelaksanaan SPP ialah menjadikan pelanggan mendapat keuntungan setara, terwujudnya sistem desentralisasi operasional, berkemampuan dalam mendongkrak pasar bisnis baru karena menjadi perhatian yang sangat menguntungkan pasar konsumen
  • Pola menejemen SPP dalam pelaksanaannya menggunakan pola TQM (Total Quality Management) yang telah lebih dahulu populer digunakan dalam berbagai kebijakan publik maupun spesialisasi tertentu
  • Metode akuntansi untuk pelaksanaan SPP selalu melibatkan publik
  • Unsur-unsur penting yang mempengaruhi keberhasilan SPP di lapangan ialah bagaimana SPP diimplementasikan dalam bentuk yang sederhana, jelas dan pasti (terhitung), kondisi kegiatan menjadi aman, baik publik dan perangkat kelembagaan hukumnya, selalu bernuansa terbuka, ekonomis, berkeadilan serta dijalankan tepat waktu
  • Ketika SPP dioperasionalkan diperlukan kelembagaan yang terorganisir untuk menjalankan SPP diperlukan wadah organisasi sistemik dalam kategori sebagai media Learning Organization – organisasi pembelajaran, hal ini akan berguna bagi analisis dampak kesejahteraan publik (public welfare). Jadi peran masyarakat secara terbuka untuk berpartisipasi dalam keberlanjutan sistem layanan yang makin kredibel (terpercaya)
  • SPP dalam memenuhi pelaksanaan di masyarakat menggunakan berbagai jenis atau model yakni: Pelayanan Eksternal, Pelayanan Internal, Pelayanan Utama, Pelayanan Pendukung serta terakhir yakni munculnya beberapa Pelayanan Tambahan
  • Secara aplikatif SPP sangat membutuhkan fragmentasi kepribadian dari para SDM yang terlibat untuk komitmen, profesional dalam keahliannya serta selalu konsisten dalam bertindak
  • Untuk meluncurkan SPP diperlukan siklus aplikatif sebagai berikut :

1). Pembaharuan desain yang meliputi : 
  1. Roh pelayanan, jenis SPP secara detail, penghayatan kemauan publik, perancangan publik
  2. Memperjelas pembagian kegiatan, unit pelaksana dan sikap serta sarana dan prasarana juga alur giat.
2). Sosialisasi serta koordinasi meliputi : 
  • Civitas stakeholders harus faham, 
  • Semua layanan terkoordinir, 
  • Adanya Dialog antara pemasok dan penerima
3). Langkah tepat mengenai penyusunan berbagai hal meliputi : 
  • Visi dan Misi, 
  • Jenis yang dipublikkan, 
  • Spesifikasi, 
  • Prosedur, 
  • Pengawasan dan Pengendalian Kualitas, 
  • Lampiran lengkap (denah lokasi, formulir, hasil MoU dan lain-lain).
4). Persiapan Aksi yang ditandai adanya: 
  • Tersedinya sarana dan prasarana dengan syarat tiadanya konflik antara asumsi dan realitas serta kokohnya PDCA (Plan – Do – Check – Action) dari menejemen TQM.
  • Tersedia tenaga terlatih.
  • Adanya Uji Coba telah final melalui Model Mutu yang dicapai dengan tehnik SQGM (service quality gap model) yaitu teknik untuk peta kesenjangan mutu pelayanan serta melalui Gap Model untuk melihat letak kelemahannya.
  • Efektifitas pemasaran.
5). Antara Aksi dan Evaluasi berjalan stimulatif.

2.5.3. Strategi Baru Pembangunan Kesehatan
Mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan, selanjutnya telah pula dirumuskan Strategi baru Pembangunan Kesehatan. Strategi baru Pembangunan Kesehatan yang telah dirumuskan oleh Departemen Kesehatan adalah: 
  1. pembangunan nasional berwawasan kesehatan, 
  2. profesionalisme, 
  3. jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), dan 
4) desentralisasi. 

Dalam upaya melancarkan strategi tersebut maka setiap strategi telah pula dirumuskan faktor-faktor kritis keberhasilannya (critical success factors). Faktor-faktor kritis untuk melancarkan strategi dapat dijelaskan berikut.
  • Strategi ke-1: Pembangunan nasional berwawasan kesehatan. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilannya adalah: 1) visi kesehatan sebagai landasan bagi pembangunan nasional, 2) paradigma sehat sebagai komitmen gerakan nasional, 3) sistem advokasi untuk upaya promotif dan preventif dalam program kesehatan yang paripurna, 4) dukungan sumberdaya yang berkelanjutan, 5) sosialisasi internal maupun eksternal, dan 6) restrukturisasi dan revitalisasi infrastruktur dalam kerangka desentralisasi. 
  • Strategi ke-2: Profesionalisme. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilannya adalah: 1) konsolidasi manajemen sumberdaya manusia, 2) perkuatan aspek-aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, semangat pengabdian, dan kode etik profesi, 3) perkuatan konsep profesionalisme kesehatan dan kedokteran, dan 4) aliansi strategis antara profesi kesehatan dengan profesi lain terkait.
  • Strategi ke-3: Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilannya adalah: 1) komitmen bersama dan gerakan mendukung paradigma sehat, 2) dukungan peraturan perundang-undangan, 3) sosialisasi internal maupun eksternal, 4) intervensi pemerintah pada tahap-tahap awal penghimpunan dana, 5) kebijakan pengembangan otonomi dalam manajemen pelayanan kesehatan.
  • Strategi ke-4: Desentralisasi. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilannya adalah: 1) perimbangan dan keselarasan antara desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, 2) kejelasan jenis dan tingkat kewenangan, 3) petunjuk-petunjuk yang jelas tentang manajemen berikut indikator kinerjanya, 4) pemberdayaan, 5) sistem dan kebijakan keberlanjutan di bidang sumber daya manusia, 6) infrastruktur lintas sektor yang kondusif, serta, 7) mekanisme pembinaan dan pengawasan yang efektif.
Blog, Updated at: 05.52.00

2 komentar:


  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin kemiskinan, ada loh orang-orang yang akhirnya jatoh miskin karena foya-foya. Siapa aja mereka? Temen-temen bisa cek di sini: miskin karena foya-foya

    BalasHapus