TEORI LENGKAP KEBUDAYAAN

Posted By frf on Rabu, 25 Januari 2017 | 15.38.00

HASIL PRAKONGRES KEBUDAYAAN V Prakongres Kebudayaan V dengan tema “Konsep, Kebijakan, dan Strategi Kebudayaan” dilaksanakan pada tanggal 28 – 30 April 2003 di Ruang Wiswa Sabha, Komplek Kantor Gubernur Bali, diikuti 148 orang peserta dari seluruh Indonesia yang terdiri atas: pemakalah sebanyak 45 orang, wakil-wakil dari propinsi, kabupaten/kota dan peserta umum lainnya dari berbagai kalangan Perguruan Tinggi, Asosiasi Keilmuan, Lembaga Swadaya Masyarakat, pemuka, tokoh/pemangku adat. Setelah mendengarkan sambutan Gubernur Provinsi Bali, Bapak Dewa Beratha dan sambutan pembukaan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata R.I., Bapak I Gede Ardika, dan setelah mendengarkan presentasi dan diskusi sidang-sidang pleno dan sidang-sidang kelompok, dirumuskan sebagai berikut:
* Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas
Integrasi dan Disintegrasi
  1. Pengalaman dalam proses mengindonesia diwarnai dinamika integrasi dan disintegrasi bangsa. Dominasi pada strategi politik dan ekonomi menghasilkan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik telah menimbulkan konflik yang disintegratif.
  2. Perlu pengindonesiaan secara terus menerus dengan sebuah “strategi baru” yang menekankan nasion (bukan nasionalisme) dan berwawasan kebudayaan yang tercerahkan.
  3. Solidaritas sosiologis yang muncul pada budaya populer adalah wacana potensi multikultural dalam ruang-ruang keluarga Indonesia. Pada sisi lain, potensi multikultur itu berada pada berbagai konflik etnik, yang menuntut adanya transformasi. Baik melalui pengelolaan konflik dan institusionalisasi konflik secara demokratis. Upaya ini dapat mengurangi menjalarnya kekerasan maupun etnosentrisme.
Identitas dan Krisis Budaya
1. Transisi Identitas
  • Kearifan lokal hendaknya menjadi perhatian pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, serta menjadi landasan moral berbangsa. Untuk membangun kembali karakter bangsa, perlu dilakukan tindakan bersama, menyeluruh dan berkesinambungan. (Kasus-kasus perlakuan diskriminatif terhadap suku Dayak, Papua dan Aceh misalnya, dalam penguasaan penggarapan hutan, dan pengelolaan sumber daya hendaknya memperhatikan hak-hak dasar masyarakat tempatan). 
  • Masyarakat majemuk akan berhadapan dengan feodalisme dan konformisme kebudayaan dominan, pelanggaran moral, merosotnya kewibawaan hukum, hancurnya otoritas dan legitimasi kepemimpinan 
  • Transisi perubahan kebudayaan melahirkan krisis identitas dan situasi heteronomi. Aspek konservatif dan progresif dalam kebudayaan akan mencari keseimbangannya, untuk menjadi acuan bersama. Pengelolaan krisis pada masa transisi dapat dilakukan melalui pendekatan integratif. 
  • Agama dan nilai gotong royong, pada pengalaman bermasyarakat, tidak terbukti digunakan sebagai dasar pembentukan masyarakat budaya plural. Perpecahan dalam agama sering terjadi dan gotong royong hanya efektif dalam budaya agraris, namun tidak tahan berhadapan dengan kebutuhan ekonomi
2. Konflik dan Kekerasan
  • aSuku-suku bangsa tertentu memiliki keterikatan yang sangat kuat kepada tanah dan hutan, religi dan adat serta kebersamaan, namun tersingkir dan terpinggirkan.
  • Potensi konflik budaya dapat dicairkan lewat pendekatan interaktif dan transformatif
Perubahan dan Pemberdayaan
1. Hukum dan Produktivitas
  • Pengakuan atas hak intelektual menghindari eksploitasi ekonomi dan moral bagi pemegang hak. 
  • Mengkaji dan mempertahankan perangkat hukum yang terkait dengan kepentingan umum dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Undang-undang yang terkait dengan HaKI, tanah, adat dan lingkungan hendaknya mengakomodasi perkembangan dan kepentingan kolektif. 
  • Kebijakan dalam pelestarian dan perlindungan bentang-pandang budaya (cultural landscape) dikembangkan dalam prinsip: masyarakat sebagai pusat pengelolaan, terciptanya mekanisme kelembagaan yang mampu menyerap apresiasi dan aksi bersama, adanya dukungan legal, serta bersifat berkelanjutan. 
  • Diperlukan dukungan hukum terhadap politik pengembangan kesenian dan industri budaya.
2. Pendidikan
  • Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti membuat bangsa siap hidup dalam budaya modern dan wahana yang perlu disiapkan adalah satu sistem pendidikan nasional yang berwawasan budaya
  • Pendidikan di sekolah perlu, karena tidak semua dapat diajarkan di rumah, maka sekolah pun perlu diperbaiki sehingga benar-benar membuat siswa dapat mengalami ‘the joy of discovery’ dan tidak lagi menjadi tempat korupsi (tawar-menawar) rundingan tentang nilai
  • Terabaikannya kewajiban membaca buku dan bimbingan mengarang di dunia pendidikan kita selama 60 tahun berakibat lulusan kita tetap ‘rabun membaca dan pincang mengarang.
  • Kongres Kebudayaan hendaknya menghasilkan suatu rencana aksi yang antara lain berkenaan dengan sistem persekolahan dan pembelajaran sosial.
Butir-butir tersebut di atas yang menyangkut sub tema: A. Konsep, Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas, B. Identitas dan Krisis Budaya, C. Perubahan dan Pemberdayaan telah terangkum dan disimpulkan sebagai berikut:

Perihal Konsep Kebudayaan:
Konsep kebudayaan Indonesia sebagai budaya nasional masih dipertanyakan, bahkan puncak-puncak kebudayaan daerah dalam kaitan dengan budaya nasional perlu diberi relevansi baru. Reformasi memberi harapan terjadinya demokratisasi budaya tetapi yang lebih sering terjadi adalah konflik antara kelompok budaya bukan dalam identitas budaya utuh masing-masing, tetapi dalam variasi unsur-unsur yang terbuka, baik secara lintas budaya maupun lintas generasi.

Perihal Kebijakan Kebudayaan:
Membangun masyarakat multikultur merupakan keniscayaan – namun tak bisa begitu saja diterima dan tidak dilaksanakan secara otoriter. Kebijakan tersebut diupayakan secara sistematis, programatis, terpadu dan berkesinambungan. Tindakan ini dapat melalui pendidikan multikultur, lewat lembaga-lembaga mediasi interkultural dan kebijakan-kebijakan progresif yang berpihak (affirmative action). 

Perihal Strategi Kebudayaan:
Demokratisasi budaya diupayakan terwujud melalui dekonstruksi budaya dominan, seperti feodalisme, otoritarianisme dan konformisme. Adalah suatu ironi bahwa di satu pihak dirasakan kerinduan terhadap integritas budaya etik, tetapi di lain pihak dirasakan pula keterpasungan lewat adat dan tradisi, sehingga diperlukan reinterpretasi dan reposisi.




Rekomendasi:Dalam penyelenggaraan Prakongres Kebudayaan V di Denpasar belum tercakup beberapa wilayah dan tema-tema yang cukup penting dan perlu diikutsertakan mengingat relevansinya dalam kebudayaan. Rangkaian tema tersebut adalah: ekonomi rakyat, industri budaya (perbukuan, seni populer dll.), religi dan spiritualitas, kesetaraan gender, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa dan simbol serta lingkungan hidup.

SOAL POSISI KEBUDAYAAN DALAM ORGANISASI PEMERINTAHAN
KETIKA sektor kebudayaan yang telah 55 tahun damai bersatu dengan sektor pendidikan dipindahkan guna bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2000), salah satu rujukannya adalah susunan kabinet di Malaysia. Di sana keduanya disatukan dalam Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan.

RUJUKAN itu sekarang berubah. Dalam susunan kabinet Malaysia yang baru (27/3/04), kebudayaan dan kesenian dipisahkan dari pelancongan atau pariwisata menjadi Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan dipimpin oleh Datuk Rais Yatim, sementara Kementerian Pelancongan diterajui oleh Datuk Leo Michel Toyad.

Pemisahan itu disebut sebagai era baru kebudayaan dan pelancongan serta disambut gembira oleh kalangan budayawan dan seniman Malaysia. Mereka berpendapat, kebudayaan mempunyai agenda yang sama sekali tidak selari (selaras?) dengan pelancongan yang menjual produk untuk tujuan komersial. "Apabila kebudayaan dan pelancongan yang kontradiksi ini berada dalam satu kementerian, yang kita lihat adalah pelancongan," demikian mereka menyimpulkan. Dengan pemisahan itu, menurut mereka, "pertindihan kebudayaan dan pelancongan telah berakhir".

Posisi kebudayaan
Dalam lima tahun terakhir, posisi kebudayaan dalam tata organisasi pemerintahan mengalami masa gonjang-ganjing. Dalam tempo sesingkat itu, di samping harus pindah rumah, juga mengalami empat kali "bongkar-pasang" organisasi. Ketidakstabilan itu mulai muncul sejak tahun 1998. Ketika itu, dibentuk Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya (Deparsenibud), sementara nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap ada. Ini berarti ada dua lembaga pemerintah yang menangani bidang yang sama. Agar misinya tidak tumpang tindih, disepakati Direktorat Jenderal Kebudayaan menangani hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, perlindungan, dan pemanfaatan kebudayaan (bagian hulu), sedangkan Deparsenibud menangani hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan kebudayaan untuk pariwisata (bagian hilir). Meskipun demikian, tumpang tindih pengelolaan kebudayaan tidak terelakkan.

Belum ada satu tahun organisasi baru itu berjalan, terjadi perubahan lagi. Nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Tugas pokoknya mengalami perubahan pula. Kata "kebudayaan" tidak tercantum lagi dalam uraian tugas pokok Depdiknas. Usaha mempertahankan agar posisi kebudayaan tetap bersatu dengan pendidikan berhasil. Presiden menyetujui dalam tugas pokok Depdiknas ditambahkan kata "termasuk kebudayaan" menjadi: "melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk kebudayaan". Hanya berjalan beberapa bulan saja, upaya mempertahankan posisi itu akhirnya pupus. Bidang kebudayaan resmi pindah dari Depdiknas bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar).

Belum mencapai usia satu tahun, status Depbudpar berubah lagi menjadi Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata (Menneg Budpar). Perubahan status itu membawa konsekuensi tugas pokoknya menjadi terbatas pada penyusunan kebijakan saja. Lalu, siapa yang akan menangani pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan? Untuk mengatasi hal itu dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar). Nasib lembaga ini pun tidak terlalu baik. Karena adanya mosi tidak percaya dan sejumlah Asosiasi Industri Pariwisata terhadap kinerja BP Budpar, lembaga yang baru berusia 1,5 tahun itu pun dibubarkan. Pokok permasalahan kericuhan terletak pada pariwisata. Tetapi, sebagai konsekuensinya bidang kebudayaan harus ikut menanggung. Suatu realitas yang sangat tidak menguntungkan kinerja bidang kebudayaan.

Setelah penggabungan
Sejak awal masalah penggabungan, kebudayaan dan pariwisata telah banyak mendapatkan reaksi. Di samping misi antara keduanya berbeda, alasan penggabungan dinilai tidak transparan. Jika penggabungan itu didasarkan atas kemudahan dalam pemanfaatan kebudayaan bagi pariwisata, bukanlah yang dijadikan daya tarik wisatawan tidak hanya kebudayaan? Bukankah pusaka alam dan pusaka saujana (gabungan alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu) Indonesia memiliki daya tarik yang luar biasa?




Reaksi itu semakin memuncak ketika BP Budpar dibubarkan lalu digabungkan ke dalam Menneg Budpar. Langkah itu dinilai tidak menciptakan suasana kerja yang sejuk, tetapi sebaliknya. Sebagai sebuah kementerian negara yang tugasnya terbatas pada "penyusunan kebijakan", ternyata juga menampung tugas "pelaksanaan kebijakan". Di samping misinya yang rancu, nomenklatur satuan-satuan organisasi bidang kebudayaan juga membingungkan.

Salah satu perubahan nomenklatur yang mendapat sorotan adalah perubahan satuan organisasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) menjadi Asisten Deputi Arkeologi Nasional. Dalam rincian tugasnya yang baru tertulis "melaksanakan penyimpangan dan penyusunan kebijakan, pemantauan, analisis, hubungan kerja, evaluasi serta penyusunan laporan di bidang arkeologi nasional". Tidak tercantum tugas pelaksanaan kegiatan penelitian. Tugas baru itu dinilai tidak mencerminkan misinya yang amat penting, yaitu melakukan penelitian untuk mengungkap sejarah awal kehidupan manusia atau menyingkap misteri sangkan paraning dumadi, seperti yang dikatakan oleh Prof Dr Daoed Joesoef pada "Seminar Kebudayaan, Makna, dan Pengelolaannya", tanggal 15 Januari 2004. Di samping itu, nomenklatur deputi pun menimbulkan pertanyaan karena di samping terdapat Deputi Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan juga terdapat Deputi Sejarah dan Purbakala serta Deputi Seni dan Film. Bukankah sejarah dan purbakala serta seni dan film merupakan unsur dari kebudayaan?

Kondisi demikian itu menimbulkan keprihatinan sejumlah pemerhati kebudayaan. Sebagai salah satu bentuk keprihatinan itu, peserta Kongres Kebudayaan 2003 yang terdiri atas para budayawan, seniman, cendekiawan, pemangku adat, dan tokoh masyarakat kembali menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah agar dalam kabinet yang akan datang dibentuk kementerian kebudayaan tersendiri. Usul itu memang bukan hal baru. Sebuah keinginan yang wajar dan tulus itu telah dilontarkan sejak 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka. Dalam Musyawarah Kebudayaan tanggal 31 Desember 1945 di Sukabumi, para peserta sepakat menyampaikan desakan kepada pemerintah agar segera dibentuk kementerian kebudayaan. Meskipun usul tersebut telah dibahas dan disampaikan lagi pada Kongres Kebudayaan 1948, 1951, 1954, 1991, dan Kongres Kesenian 1995, hingga kini belum mendapatkan tanggapan.

Bentuk keprihatinan yang lain juga disampaikan 16 ahli arkeologi dan kebudayaan serta 8 wakil organisasi profesi di bidang kebudayaan dengan menyampaikan petisi kepada presiden pada pertengahan Desember 2003. Dalam petisi tersebut disampaikan dua permohonan. Pertama, agar pemerintah kembali mengaktifkan unit-unit organisasi pemerintah yang sebelum restrukturisasi telah menangani penelitian arkeologi pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Kedua, agar pemerintah tidak menggabungkan urusan pembinaan kebudayaan dengan pengembangan pariwisata.

Kinilah saatnya
Secara diam-diam (tidak melalui kongres atau petisi) Malaysia telah mengambil langkah strategis, memisahkan kebudayaan dan pelancongan. Langkah ini menambah jumlah deretan "acungan jempol" bagi Negeri Jiran dalam keberanian dan kejelian membaca perkembangan. Tujuan pemisahan itu sangat cantik, yaitu untuk memartabatkan kebudayaan dengan memberi tanggung jawab kepada sebuah kementerian yang khusus memartabatkan peradaban bangsa dalam memasuki pergaulan global.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Masalah kebudayaan di Indonesia memiliki dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia yang terdiri atas hampir 500 suku bangsa memiliki agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, masalah yang dihadapi tidak hanya terkait dengan benda cagar budaya, kesenian, dan bahasa saja, tetapi juga masalah jati diri bangsa, persatuan bangsa, peradaban Indonesia, serta pengenalan kebudayaan di luar negeri sebagai salah satu upaya mengangkat derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Untuk kesemuanya itu diperlukan perhatian yang khusus.

Kinilah saatnya untuk menempatkan posisi dan misi kebudayaan dalam sistem pemerintahan secara tepat. Meskipun dalam kampanye pemilu pertama tidak tampak calon presiden atau wakil presiden yang secara lugas menawarkan platform pembangunan kebudayaan, kinilah saatnya berani mengambil kebijakan membentuk organisasi kebudayaan tersendiri. Adapun bentuknya bisa departemen, kementerian, atau LPND. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa.

** Teori dan Pengertian Kebudayaan (Cultural)
Kebudayaan (Cultural)
Kata kebudayaan sering kali dikaitkan dengan suatu penghargaan atas benda-benda atau hasil seni dan kreasi manusia yang bermutu tinggi dan mempunyai nilai artistik seperti misalnya, lukisan, opera, sandiwara dan lain-lain. Akan tetapi dalam ilmu sosiologi kata kebudayaan mempunyai arti lain yang tidak mempunyai kaitan dengan hal-hal seperti itu.

Sir Edward Burnet Taylor seorang antropolog bangsa Inggris adalah orang yang pertama kali mendefinisikan kebudayaan (dalam bukunya Primitive Culture, 1871) sebagai: “that complex whole that includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Secara sosiologis kebudayaan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan, sistem kepercayaan dan keseluruhan tingkah laku yang menjadi ciri anggota suatu masyarakat tertentu yang dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kadang-kadang kata kebudayaan disamakan dengan istilah “warisan sosial” atau “pola hidup”. Kebudayaan bersifat sosial dan sangat bergantung kepada interaksi manusia. Kebudayaan juga harus dipelajari dan bukan merupakan warisan biologis. Sebab itu hanya masyarakat manusia saja yang mempunyai kebudayaan.

1. Komunikasi Simbolik
Salah satu faktor penting yang membedakan manusia dari benatang adalah kemampuan manusia dalam berkomunikasi secara sempurna. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi itulah yang menyebabkan mereka mampu menyebarluaskan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya dan yang menyebabkan pula mereka mampu bertahan untuk hidup terus.

Manusia dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol yang terdiri dari dua macam. Yang pertama lazim disebut sebagai simbol referential (denotative) yakni simbol yang menunjukkan referens tertentu seperti misalnya mesin tik, meja, kursi dan lain-lain. Yang kedua adalah simbol yang memiliki sifat expressive (conotative) yang sering memiliki makna yang jamak dan abstrak, seperti misalnya musik, bentuk tarian dan lain-lain.Tetapi pada umumnya manusia berkomunikasi dengan menggunakan sekelompok simbol yang kita sebut “bahasa”. Yakni dalam bentuk “bahasa percakapan” (spoken language) yang merupakan pola-pola bunyi-bunyian yang mengandung arti tertentu. Disamping itu terdapat juga cara berkomunikasi dengan menggunakan “bahasa tertulis” (written language) yakni pencatatan dengan tulisan yang mendorong ke arah pelestarian kebudayaan tersebut. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah “bahasa isyarat” (body language) yaitu suatu ungkapan atau pernyataan melalui isyarat atau gerakan-gerakan tubuh. Dengan percakapan manusia mampu mengajarkan dan menurunkan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan bahasa tulisan manusia mampu melestarikan apa-apa yang dianggap penting, seperti misalnya resep-resep obat-obatan, teknik bercocok tanam, cara membuat peralatan dan sebagainya.


Manusia berpikir atas dasar sekelompok simbol-simbol atau bahasa tetapi apa yang ia pikirkan ditentukan oleh budayanya yakni melalui bahasa itu. Benyamin Whart, seorang ahli bahasa, mengatakan bahwa bahasa menentukan realitas. Sebagai contoh didalam bahasa Inggris ada “time tense” atau pemisah waktu yakni dengan menggunakan waktu lampau, waktu sekarang dan waktu yang akan datang. Struktur bahasa Indian Hopi, kata Whart, lebih menggambarkan kenyataan yang ada dan tidak memperhatikan masalah waktu. Sebagai contoh untuk menunjukkan suatu tindakan, bahasa Indian Hopi selalu menyebut sifat dari pembuktian untuk menunjukkan apakah tindakan itu suatu pengalaman langsung, suatu kepercayaan atau suatu generalisasi. Dalam bahasa Inggris kita dapat berkata: “The boy ran down the hill” (waktu lampau), sedangkan bahasa Indian Hopi menggunakan “wari” (suatu petunjuk bahwa “lari-nya” itu telah terlihat secara langsung dan tidak menunjukkan bahwa “lari-nya” itu telah terjadi (past tense) atau apakah “lari-nya” itu sedang terjadi (present tense). Nampaknya perhatian selektif dalam suatu bahasa menggambarkan pengalaman dan masalah yang unik dalam suatu masyarakat. Kata “snow” bagi orang Inggris hanya menggambarkan satu macam obyek pengamatan, tidak perduli apakah salju itu berbentuk pasir, berbentuk kapas atau berbentuk karang. Tetapi bagi kebudayaan Eskimo “salju” itu dapat digambarkan dengan kata atau sifat yang berbeda-beda. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa bagi orang Eskimo penjenisan apa yang disebut salju itu sangat penting dalam mempertahankan hidup mereka. Sebab itu melalui bahasa setiap kebudayaan menghasilkan berbagai macam konsep-konsep tentang realitas bagi para anggota masyarakatnya. Jadi tidak perlu heran bahwa beberapa kata tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa lain.

2. Sikap dan Nilai Budaya
Sikap adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang bereaksi atau berprilaku tertentu apabila diberikan suatu rangsangan tertentu. Sedangkan nilai (Values) adalah pertimbangan-pertimbangan atas suatu kehendak/keinginan atau pertimbangan-pertimbangan tentang pentingnya sesuatu. Dalam hal ini sikap sangat tergantung pada sistem nilai. Apabila kita menilai “hak milik” sebagai sesuatu yang penting, maka kita selalu akan berusaha untuk memiliki sesuatu.

Baik sikap maupun sistem nilai, keduanya tidak bersifat konkrit, tetapi merupakan ide-ide atau sistem kepercayaan yang ditentukan dengan jalan mengamati prilaku semua manusia. Sikap dan nilai-nilai keduanya ditentukan oleh kebudayaan dan oleh sebab itu akan berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Di Amerika Serikat, dapat masuk satu team football di suatu perguruan tinggi dinilai sangat tinggi. Akan tetapi di negara lain permainan football yang mengutamakan adu kekuatan badan mungkin tidak disukai.

Sikap dan nilai diperoleh berdasarkan interaksi dengan sesama manusia. Akan tetapi sering terjadi bahwa pengalaman interaksi dengan manusia lain sangat terbatas, sehingga menimbulkan pandangan sempit yang dikenal dengan istilah “stereotypes” (penyamarataan). Beberapa contoh, misalnya di Amerika Serikat, pegawai negeri di “stereotype” kan sebagai pemalas, tidak memiliki kompentensi; mereka tidak dapat hidup terus kalau mereka bekerja diluar pemerintah. Orang Indian juga sering di “stereotype”kan sebagai pemabuk, kotor; orang Negro di “stereotype” kan sebagai hitam, malas, setengah buta huruf dan berbibir tebal.

Stereotypes mungkin sering tidak benar, tetapi dapat mengatur pola prilaku, sebab stereotype memberi cara (alternatif) bagaimana mengantisipasi prilaku orang lain. Orang putih di Amerika Serikat sangat mengharapkan agar orang Black mengikuti mereka dalam berprilaku. Kadang-kadang ada orang yang baik tetapi di cap nakal, maka orang itu terpaksa harus berprilaku sebagaimana cap (label) yang diberikan kepadanya.

3. Norma-Norma Kebudayaan
Norma adalah aturan-aturan tingkah laku yang menetapkan bagaimana manusia harus berprilaku dalam suatu keadaan tertentu. Bagaimana siswa harus berprilaku di dalam kelas tatkala guru sedang mengajar. Dengan kata lain norma kebudayaan adalah suatu standar konkrit tentang apa yang diharapkan atau disetujui oleh kelompok manusia mengenai pikiran-pikiran atau prilaku mereka. Norma berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Apa yang dianggap norma dalam suatu masyarakat belum tentu merupakan norma di masyarakat lainnya. Orang yang dibesarkan di Jepang diharapkan dapat makan dengan alat yang disebut “chopstick”. Tetapi kalau dibesarkan di Amerika Serikat diharapkan dapat makan dengan menggunakan sendok, garpu dan pisau. Bagaimana di Jawa Barat? Kira-kira anda diharapkan dapat makan dengan tangan. Norma berfungsi sebagai prilaku standard yang akan membawa keteraturan dan keserasian. Di Indonesia sudah terbiasa orang berjalan di sebelah kiri, sebaliknya di Amerika Serikat orang sudah terbiasa berjalan di sebelah kanan jalan. Kebiasaan berjalan di Indonesia sudah tentu jangan dipakai di Amerika Serikat. Bila anda kebetulan jalan-jalan disalah satu jalan di kota New York dengan membawa kebiasaan jalan di Indonesia akan dapat bertabrakan terus.

Norma juga sering mempunyai sifat komplementer, artinya saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Keadaan seperti ini sering disebut normative (normative system). Akan tetapi karena norma yang berbeda-beda sering berlaku dalam kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat, maka sering terjadi konflik. Beberapa waktu yang lampau (bahkan sekarangpun masih berlaku di beberapa pedesaan) wanita selalu membiarkan laki-laki (suami) berada di depan bila sedang berjalan berkelompok. Tetapi dikalangan anak muda jaman sekarang biasanya laki-laki akan membiarkan wanita berada di muka bila sedang berjalan berkelompok.

Norma dalam beberapa hal adalah sama atau mirip dengan sikap dan nilai-nilai. Keduanya bersikap abstrak dan tidak dapat dilihat kecuali bila kita mengamati prilaku manusia dalam kondisi yang terpisah. Disamping itu norma juga mengurangi tugas pengambilan keputusan para individu. Kita tidak perlu lagi menentukan apakah memakai baju atau tidak kalau berpergian atau pergi tidur.

4. Variasi Norma-Norma
Seorang ahli ilmu sosiologi bangsa Amerika, William Graham Summer, didalam bukunya Folkways (1907) membedakan tiga macam norma yang penting. Yang pertama ia sebut “folkways” yakni adat istiadat atau kebiasaan berprilaku yang bersifat tradisionil. Folkways adalah merupakan prilaku yang disenangi atau yang paling disarankan. Dalam upacara adat perkawinan mempelai pria dan wanita selalu mengenakan pakaian yang sesuai dengan daerahnya. Pelanggaran terhadap adat istiadat tidak menimbulkan hukuman, yang mungkin ada adalah “cemoohan”. Adat istiadan atau folkways merupakan kejadian yang tidak direncanakan, timbulnya kadang-kadang hanya secara kebetulan. Menghadiri upacara perkawinan memakai baju batik sudah dapat diterima oleh sebagian anggota masyarakat di pulau jawa. Yang kedua adalah “mores” yaitu kebiasaan-kebiasaan yang membawa implikasi penting bagi kehidupan para anggota masyarakat. Mores memisahkan mana yang benar mana yang salah. Membunuh sesama manusia adalah salah, meskipun jaman dahulu membunuh musuh dibenarkan. Diwaktu perang membunuh masih dianggap perbuatan yang benar. Pelanggaran terhadap meres dapat dijatuhi hukuman berat. Sebab itu manusia wajib mentaati mores. Yang ketiga adalah “hukum” (laws) yakni mores yang telah dirumuskan menjadi peraturan-peraturan oleh pihak yang mempunyai wewenang atau kekuasaan (pemerintah). Hukum bersifat memaksa, artinya setiap warga masyarakat wajib mengetahui dan mentaatinya. Kadang-kadang hukum tidak sejalan dengan mores. Berdiri telanjang dimuka umum mungkin tidak dianggap melanggar hukum, tetapi jelas melanggar mores, karena melanggar kepantasan.

5. Perbedaan dan Persamaan Kebudayaan
Ada perbedaan dalam kebudayaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, masing-masing sejalan dengan sistem kepercayan, sistem nilai dan norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh, didalam setiap masyarakat selalu tersedia sekumpulan norma yang mengatur sistem perkawinan atau sistem pendidikan anak-anak. Dibeberapa masyarakat berlaku norma perkawinan yang monogamus (seorang suami untuk seorang istri), dilain masyarakat berlaku norma perkawinan yang poligamus (seorang suami untuk lebih dari satu orang istri). Dibeberapa masyarakat terdapat kebebasan memilih calon pasangan hidup, sedangkan dimasyarakat lain calon pasangan hidup telah ditetapkan oleh orang tanya masing-masing. Disatu masyarakat kekuasaan keluarga berada dipihak laki-laki (Batak), dilain masyarakat kekuasaan berada dipihak wanita (Minangkabau).

Banyak alasan yang menimbulkan perbedaan-perbedaan tersebut, antara lain adalah: (1) adanya perbedaan tingkat perkembangan/pertumbuhan masyarakat, misalnya cepat atau lambatnya suatu masyarakat yang tradisionil berubah menjadi masyarakat moderen; (2) adanya perbedaan geografis, misalnya bagi orang Eskimo tidak memungkinkan membangun rumah seperti di Indonesia; (3) adanya perbedaan dalam sejarah pertumbuhan suatu masyarakat misalnya, setiap masyarakat memiliki cara-cara yang baik untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (misalnya pangan), akan tetapi cara-cara yang mana yang akan diambil dan dibudayakan tergantung keadaan, bahkan sering terjadi secara kebetulan saja.

6. Organisasi Kebudayaan
Kebudayaan disusun melalui cara yang sistematis agar para anggota masyarakat dapat saling berinteraksi secara efisien. Salah satu sifat kebudayaan yang biasa disebut “cultural trait” yaitu yang merupakan unit terkecil dari suatu kebudayaan. Cultural trait dapat berbentuk suatu benda, suatu isyarat atau kata-kata. Kuku adalah cultural trait, sebab ia tidak dapat diuraikan lagi (mungkin dapat juga dipecah-pecah menjadi bentuk lain, tetapi apa namanya?). Kumpulan dari pada cultural trait biasanya disebut sebagai suatu komplek kebudayaan (cultural complex). Bersalaman mungkin dapat dianggap sebagai suatu cultural trait; tetapi bila bersalaman dihubungkan dengan berbagai prilaku, misalnya bersalaman untuk “sungkem” (bahasa jawa) bersalaman sebagai “selamat jalan” bagi yang mau pergi, maka bersalam-salaman tersebut dapat dianggap komplek. Aspek dari pada komplek budaya tersebut menjadi penting karena salah satu komplek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Gabungan beberapa komplek kebudayaan biasa dikenal dengan istilah “cultural pattern” atau pola kebudayaan. Beberapa diantara ahli sosiologi menanamkan pola kebudayaan sebagai institution (kelembagaan). Jadi lembaga adalah merupakan suatu sistem hubungan sosial yang memiliki pola-pola tertentu untuk dijalankan oleh manusia sebagai anggota di dalamnya.

Kebanyakan ahli sosiologi mendefinisikan kelompok folkways, mores dan hukum sejalan dengan kegiatan-kegiatan suatu kelembagaan (institution) dalam masyarakat. Ada lima macam bentuk kelembagaan dalam ilmu sosiologi, yaitu: (1) Keluarga (family); (2) Agama (relegion); (3) Pemerintah (goverment); (4) Pendidikan (education) dan (5) Sistem perekonomian (the economic system). Pentingnya kelembagaan-kelembagaan itu meningkat melalui berbagai tata cara dalam menjalankan ibadah keagamaan, upacara-upacara adat/tradisi dan perayaan-perayaan yang kesemuanya itu berfungsi sebagai penunjang terhadap kumpulan-kumpulan norma yang menjadi dasar kehidupan kelembagaan tersebut. Dalam kebudayaan suatu masyarakat juga sering dikenal istilah “sub-culture” yakni kelompok kebudayaan kecil yang menginduk kepada kebudayaan yang besar karena ia masih mengakui sejumlah norma kebudayaan induknya. Namun sub-culture dianggap berbeda karena ia memiliki norma-norma tersendiri. Contoh, dalam masyarakat Amerika Serikat golongan menengah adalah yang terbanyak jumlahnya (mayoritas). Mereka menanamkan nilai-nilai tertentu yang dianggap amat penting bagi kehidupan, seperti kerja keras, disiplin pribadi, time is money dan sebagainya. Akan tetapi anggota-anggota sub-culture (orang-orang Black, misalnya) menolak sebagian dari nilai-nilai tersebut. Para anggota sub-culture tidak selalu terisolir dari masyarakat yang lebih besar karena dalam berbagai hal mereka masih saling berinteraksi.

Disamping sub-culture, dalam suatu masyarakat sering terdapat kelompok pendobrak yang disebut “counter culture” yakni mereka yang menentang atau menolak norma-norma kelompok masyarakat yang berkultur dominan. Namun demikian timbulnya sub-culture atau counter-culture merupakan gejala yang kurang baik bagi kehidupan suatu masyarakat. Oleh karena itu perlu dicari cara atau jalan yang dapat memperbaiki keadaan. Cultural integration atau integrasi budaya merupakan cara-cara terpadu dan fungsionil yang berlaku bagi seluruh sifat dan bentuk (trait dan complex) dalam suatu kebudayaan. Ciri-ciri dari cultural integrated (kebudayaan terpadu) adalah adanya sifat yang saling berkaitan erat, sehingga perubahan dalam satu sifat akan mengakibatkan perubahan pada sifat tertentu yang pada akhirnya akan merubah kebudayaan secara menyeluruh. Contoh, di Amerika Serikat terdapat beberapa kelompok suku Indian yang berasal dari Great Plain. Sebagai akibat kekalahan mereka melawan tentara Amerika, mereka ditampung dalam kamp penampungan. Mereka terpaksa dipisah dari “bison” (sejenis kerbau) yang merupakan sumber makanan tradisionil. Hal ini bukan saja mengacaukan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam memperoleh makanan, tetapi juga mengganggu sistem kepercayaan dan sistem sistem nilai yang mereka agungkan. Berburu bison bagi mereka bukan sekedar suatu cara mencari nafkah, tetapi merupakan unsur pendidikan, terutama bagi anak-anaknya. Berburu berarti menguji kepribadian dan keberanian yang sudah menjadi tata cara hidup mereka.

7. Relativitas Kebudayaan
Karena banyaknya variasi kebudayaan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya maka sering terjadi bahwa apa yang merupakan larangan di suatu masyarakat merupakan perbuatan yang dibenarkan pada masyarakat lainnya. Contoh, dalam budaya orang Eskimo ada suatu norma yang mengharuskan istrinya berhubungan sex dengan temannya sebagai suatu penghormatan. Perbuatan seperti itu di Indonesia adalah suatu pelanggaran norma dan dianggap sebagai zina. Adanya relativitas budaya tidak berarti bahwa unsur moralitas diabaikan, sebab setiap masyarakat mempunyai konsep-konsep tentang apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Kekhususan didalam paugeran itulah yang bersifat relatif. Sebab itu adalah salah bila kita menilai pada prilaku dan budaya suatu masyarakat atas dasar standard moralitas masyarakat kita.

8. Ethnocentrism
Ethnocentrisme adalah tendensi atau kecenderungan yang membudaya yang sukar dihindarkan dan bersifat universil yang menganggap kebudayaan suatu masyarakat lebih baik dari pada kebudayaan masyarakat lain. Membudaya karena anggapan seperti itu dipelajari secara formil melalui berbagai lembaga: keluarga, sekolah (kita umat Islam telah dididik bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan lurus. Orang India dididik bahwa agama Hindu adalah agama yang benar, dsb); dan juga dipelajari secara informal, misalnya melalui homor-humor: Orang Parahiyangan halus budi bahasanya, orang Batak kasar, dsb. Universal karena masyarakat lain juga mempunyai anggapan yang sama terhadap masyarakat kita seperti halnya anggapan kita terhadap masyarakat lain. Tidak dapat dihindari karena kita telah diexpose terhadap budaya sejak kita lahir. Sistem kepercayaan, sistem nilai dan norma telah mendarah daging disanubari tiap anggota masyarakat dan kita tidak pernah mempertanyakan hal itu. Beberapa penelitian tentang ethnosentrisme memberikan banyak keterangan yang cukup meyakinkan. Adorno dkk., dalam studinya “Authoritarian Personality” menemukan bahwa ethnosentrisme cenderung “bias” terhadap semua tipe kelompok (Negro, Yahudi, orang asimg, dll.). Altus dan Tabejian (Journal of Abnormal and Social Psychology, 48: 1953) menemukan bahwa orang-orang tua yang berpendidikan rendah dan yang kurang mengikuti kejadian-kejadian dalam masyarakat dan sangat taat kepada agama memiliki kecenderungan ethnosetrisme yang tinggi.

Disamping aspek yang negatif, sudah tentu ada juga kebaikan atas pandangan yang ethnosentris tersebut. Aspek yang baik dari ethnosentrisme antara lain adalah bahwa ethnosentrisme menunjang “status quo”, sebab itu dapat mencegah perubahan-perubahan yang mungkin kurang baik akibatnya bagi masyarakat. Disamping itu ethnosentrisme juga meningkatkan loyalitas kesatuan dan moral yang tinggi dalam suatu masyarakat, sebab itu dapat memperkokoh persatuan. Pengaruh negatif dari ethnosentrisme antara lain adalah menghabat perubahan-perubahan yang mungkin sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Ethnosentrisme juga mencegah saling pengertian dan kerja sama antar bangsa. Ethnosentrisme juga menghambat asimilasi dan akulturasi kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat.

9. Goncangan Budaya (Culture Shock)
Bagi individu-individu yang memiliki sifat terbuka dalam menerima kebudayaan luar tetapi hidup dalam masyarakat yang tidak menganut keyakinan dan kepercayaan yang sama, maka keadaan seperti itu dapat dikatakan sebagai goncangan budaya. Meskipun sebagian besar anggota masyarakat enggan untuk melepaskan adat istiadat yang tradisionil, sistem nilai dan sistem kepercayaan yang ada namun perubahan-perubahan dalam suatu masyarakat tidak dapt dihindarkan. Change is normal untuk setiap masyarakat, kata para ahli. Hanya cara dan kadar perubahannya yang tidak sama. Tantangan-tantangan terhadap perubahan muncul manakala terdapat penyimpangan-penyimpangan yang besar terhadap nilai-nilai dan adat istiadat tradisionil yang hakiki.

Diantara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya antara lain adalah: kemajuan teknologi, lingkungan fisik, perubahan penduduk dan kebutuhan manusia. Teknologi merupakan penyebab paling penting. Perkembangan dan perubahan dalam bidang teknologi umumnya terjadi di negara-negara maju dan juga negara yang sedang berkembang. Semakin cepat perubahan teknologi terjadi maka perubahan-perubahan sosial budaya harus disesuaikan. Bila tidak maka akan muncul ketimpangan yang akan merugikan masyarakat itu sendiri. Perubahan lingkungan (fisik) secara tiba-tiba jarang terjadi (misalnya gempa bumi). Akan tetapi perubahan sistem hidrologis di dunia ini yang berjalan secara perlahan-lahan pada akhirnya akan membawa perubahan sosial budaya bagi masyarakat. Peristiwa kelaparan yang terjadi di Etiopia akhir-akhir ini menunjukkan betapa musim kemarau dapat merubah sistem sosial budaya suatu masyarakat. Perubahan jumlah penduduk juga membawa perubahan terhadap kehidupan sosial budaya. Keluarga Berencana yang pada masa almarhum Presiden Soekarno dilarang oleh pemerintah, kini sangat dianjurkan. Para tokoh agama (ulama) yang sebelumnya menentang KB kini harus menentukan sikap lain demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kebutuhan manusia juga merupakan faktor yang dapat merubah sosial budaya masyarakat. Kebutuhan anggota masyarakat terhadap energi (minyak) merubah kebiasaan-kebiasaan memasak diantara anggota masyarakat. Sifat minyak yang berbeda dengan kayu bakar menciptakan bentuk atau cara baru tentang bagaimana menyiapkan santapan bagi para anggota keluarga. Bentuk rumah yang dahulu dilengkapi dengan dapur khusus kini berubah. Bahkan dengan semakin meningkatnya kebutuhan para anggota masyarakat terhadap makanan yang dapat cepat disajikan, mungkin “dapur” dalam rumah akan berubah fungsinya bukan tempat memasak tetapi sekedar tempat menghangatkan. Gejala budaya “jajan di warung” sudah mulai meluas dikalangan ibu-ibu yang bekerja di kantor-kantor atau pabrik-pabrik. Apakah perubahan tersebut baik atau buruk rasanya masih terlalu pagi untuk mengatakannya.

10. Cultural Lag
Budaya manusia terdiri dari unsur materi dan non materi. Telah sering diperdebatkan bahwa perubahan-perubahan hanya akan terjadi pada budaya materi saja. Masyarakat mungkin akan menerima perubahan-perubahan dalam teknologi (sebagian dari budaya materi), tetapi sedikit kemungkinan bahwa mereka mau merubah sistem kepercayaannya, sistem nilainya, norma-normanya atau organisasi sosialnya. Hal tersebut menimbulkan celah perbedaan yang disebut “cultural lag”, yakni manakala unsur-unsur non materi dari pada budaya mencoba mengimbangi perubahan yang terjadi pada unsur materi.

*** Hubumgan Kebudayaan Antara Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
1. Umum
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.

Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling (1930). 

Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu konsep suku-bangsa. Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas.

Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores.




Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di Indonesia.

Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi dikalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan.

Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.

2. Prejudice dan Stereotype Ethnic
Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa tertentu sehari-harinya dijumpai gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau yang lazim disebut dengan stereotipe etnik. 

Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif (akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula gambaran yang bersifat positif. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Untuk memahami bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks kelompoknya, Herbert M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan, ialah secara mikro dan makro. Secara mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan dengan berbagai hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai masalah diskriminasi dan kepemimpinan. Berbagai hal yang erat kaitannya dengan itu antara lain mengenai bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah status dan peranan ditempatkan sebagai unit analisis yang penting.

Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses (discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi tentang diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable. Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya tentang diskriminasi F.H.Hankins (1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of equals. Ada beberapa aspek yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus diperhatikan (Blalock, 1976:2; Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah (anxiety), rasa frustrasi, sifat otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot, konvensional dan yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut melekat dalam struktur masyara-kat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan berbagai hal yang melatar belakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilita vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi timbulnya suatu prejudice. 

Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D. Photiadis dan Jeane Bigger dikalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti bahwa authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya dengan indikator yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata tidak selalu tepat.

Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun psikologis (Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan stereotype merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan penilaian negative yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group memberikan penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan menyebabkan timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula sebagai perkembangan lebih lanjut dari stereotype.

Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti itu, juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh akibat terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai perbedaan rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu wilayah geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya diusahakan untuk memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan loyalitas bersama. Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai bahwa adanya keragaman dan perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan ancaman untuk menumbuhkan solidaritas nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai kristalisasi prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya kendala perbedaan fisik semata.

Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai etisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-bangsa) untuk bersedia menerima norma-norma tertentu dalam suatu proses interaksi sosial. Oleh karenanya para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman (1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang menunjuk pada aspek mendasar yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu sementara itu pihak lain juga sering mengidentifikasikan bahwa perilaku seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesuku-bangsannya.

3. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari kata Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non Kristen atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala.

Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di London pada 1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah Societe Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga serupa tersebut di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian M.du Toit et al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-kultural dari pada yang berkaitan dengan ras.

Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn (1970:12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari berbagai unsur simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in localism or sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali pemakaian istilah golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan kehadiran masyarakat Cina di Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas. Secara sepintas, konotasi arti minoritas adalah lebih dikaitkan dengan perbandingan jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia, misalnya Jawa dan Sunda. Selain itu, jumlah mereka pada tahun 1971 adalah merupakan 2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima sampai dengan sepuluh persen dari keseluruhan penduduk suatu kota.

Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan variabel. Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger (1972:11) menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika dikaitkan dengan konsep-konsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering dipakai tetapi tidak dalam konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering dipakai untuk menunjukkan kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau prasangka dan diskriminasi; misalnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson (1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer some disadvantage due to prejudice or discrimination". Apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas adalah masih umumnya sifatnya. Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth (1943:347), “We may define a minority as a group of people who, because of their physical or cultural characteristics are single out from the other society in which they live for differential and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges. Minority status carries it the exclusion from full participation in the life of the society".

Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak selalu harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu diterapkan terhadap orang Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun berbagai suku-bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam klasifikasi ras Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud fisik dan lebih menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya.

Timbulnya perlakuan 'diskriminatif' dalam konteks Louis Wirth adalah lebih disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh karena itu, untuk lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat yang majemuk, kiranya paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang Cina di Indonesia. tampak pada bagan 1 di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi keturunan

Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat
Kelompok Dominan
Jumlah Kekuasaan
Kelompok A + + Golongan mayoritas
Kelompok B - + Elite
Kelompok Subordinat
Jumlah Kekuasaan
Kelompok C + - Subyek massa
Kelompok D - - Golongan minoritas

Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan subordinat, didasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan). Berdasarkan paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim diklasifikasikan sebagai golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai kelompok B dan D; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering dikategorikan sebagai golongan mayoritas adalah lebih memiliki ciri-siri kelompok A dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan minoritas (kelompok D) menurut model paradigma tersebut diterapkan untuk orang Cina di Indonesia, adalah tidak tepat. Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika golongan Cina di Indonesia termasuk minoritas.

Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar. Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk lebih dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan variabel.

Pengertian Spiritual dan Religiusitas

Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan penduduk bumiputera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan untuk melakukan perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan oleh Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh Simpson dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki lima karakteristik. Pertama, golongan minoritas adalah merupakan segmen dari subordinat dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas memiliki bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas memiliki kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas adalah diperoleh karena keturunan atau karena ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima, perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas adalah cenderung dengan sesamanya.

4. Asimilasi dan Integrasi Nasional
Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli antropologi (Gordon, 1964:61). 

Lebih lanjut M.J.Herskovits berpendapat bahwa akulturasi lebih spesifik istilah yang lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan. Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan. Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang ahli antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149). Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136). Selanjutnya, pada dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest W.Burgess (1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life".

Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan akulturasi adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups".

Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Sementara itu yang tampak membedakannya adalah tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari "sharing their experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih lanjut Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanyalah merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-558) mengatakan bahwa “........the adoption by a person or group of the culture of another social group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah karakteristik dari asimilasi.

Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak terlepaskan dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami perubahan, terutama sejak awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika, bangsa-bangsa 'primitif' mulai menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan yang terjadi di Amerika, konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai dikaitkan dengan aspek politik.

Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya, Park (1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " .......... the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural heritage, accupying a common territory, achieve a cultural solidarity sufficient at least to sustain a national exixtence". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi apabila mereka itu secepatnya dapat mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi dan politik tanpa menyebabkan timbulnya prasangka. Oleh karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi. Dalam hal itu asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold M.Rose, dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.

Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional, adalah menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh Milton M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the grandfather". Timbulnya ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian dalam bentuk stereotipe terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun orang Yahudi hidup tersebar di berbagai Negara tetapi mengingat kuatnya ikatan perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina di berbagai negara Asia Tenggara juga sering disamakan dan memiliki cirri seperti orang Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964).

Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut bukanlah merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia adalah menunjuk pada suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah aspek primordial attachment dapat dieliminasi sehingga tujuan akhir untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan. Dalam salah satu ntulisannya, C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan primordial attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, misalnya karena ras, hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai bentuk keterikatan tersebut antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai akibatnya, proses pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan kata lain, suatu proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat.

5. Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)
A B
Superordinat Sp Sf
Cenderung ke arah integrasi
Subordinat Sp Sf
Assimilation Incorporation Cultural Autonomy

C D
Superordinat Sf Sp
Cenderung ke arah konflik
Subordinat Sp Sf
Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance
SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal

Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan identitas golongan minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok dominan atau superordinat. Hal tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis.

Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat, atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan mereka. Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang Cina di Indonesia dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan. Untuk orang orang Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia berlaku kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina diarahkan dan diharapkan menerima dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik.

Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi yang mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan sejauh manakah kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan kelompok subordinate melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu pertanyaan apakah kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas akan berasimilasi ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu pula, apakah kelompok dominan dapat menerima berbagai hal kontradiktip yang mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika berbagai hal tadi dapat diterima maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent.

Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi, terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep utama yang dapat dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua adalah inkorporasi.

Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi dikalangan subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok dominan atau dari berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal tersebut lazim terjadi karena kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga berbagai tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya. Guna melindungi berbagai hal tersebut, diperlukan persyaratan struktural, antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk melakukan endogami atau mendirikan perkumpulan yang terpisah, dan bahkan memusatkan diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif terhadap out-group.

Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.

**** BUDAYA DAERAH
1. TATA KRAMA SUKU BANGSA MELAYU BETAWI
A. Berbicara dan Mendengarkan
Bahasa Betawi merupakan bahasa yang komunikatif bagi orang Betawi, yang dipergunakan dalam lingkunga eluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Sebagaimana bahasa Indonesia pada umumnya yang tidak mengenal tingkatan pemakaianya, baik bila berbicara dengan yang sebaya, lebih tua maupunberbicaradengan yang lebih muda. Hanya dalam penggunaan kata ganti orang pertama tungal, bila orang berbicara dengan yang lebih tua usianya, maka biasanya akan mengatakan ‘saya’, tetapi bila dengan yang sebaya atau yang lebih muda usia, maka yang dipakai adalah ‘gua’, kecuali apabila yang sudah akrab betul dengan yang lebih tua pun akan mengatakan ‘gua’.

Di dalam kehidupan tentunya ada orang yang dihormati, yakni mereka yang memiliki usia yang lebih tua, dan bagi orang Betawi tatakrama lebih menitikberatkan pada usia yang dimiliki seseorang, sekalipun demikian sopan santun kekerabatan perlu mendapat perhatian sesuai dengan hubungan yang berlaku.

Seorang anak apabila bericara dengan orang tua harus lebih lunak sekalipun yang digunakan adalah sama bahasa Betawi, karena bahasa Betawi tidak ada bahasa yang halus dankasar. Anak tidak boleh menyebut ‘lu’ kepada orang tua, khususnya kepada ibu bapaknya.

Akan tetapi sebaliknya, orang tua terhadap anak tidak ada aturan, kadang-kadang suami terhadap istripun lebih banyak menggunakan kata yang dianggap kasar, namun bagi orang Betawi sendiri dianggap biasa, jadi bukannya kasar atau tidak hormat, iniseagai tanda keakraban antara satu dengan lainnya. Misalnya saja seoran anak berbicara dengan ayahnya: “Bapa, ini hari saya kagak bakal…..”, kata bapa adalah sebutan bagi ayah, sedangkan oran tua atau yang lebih tua kepada anak atau yang lebih muda akan mengatakan: “lu kagak pantes…..” noh gua…….” Jadi dalam bahasa Betawi, sebagai pernyataan hormat akan ditandai dengan pengucapan kata ganti orang. Bila seseorang bertemu di jalan,maka akan mengatakan “assalamualaikum” terlebih dahulu diucapkan yang usianya lebih muda, demikian pula bila anak bertemu orang tua di jalan akan menyapa “assalamualaikum” dan dibalas oleh orang tuanya “waalaikum salam” yang lebih muda selalu yang lebihdulu menyapa diiringi dengan sikap yang agak membungkukkan badan. Selanjutnya sapaan diucapkan tergatung dari hubungan kekerabatan yang ada, seperti menyapa kepada ibu, nyak/mak, sebaliknya orang tua menyebut anak perempuan dengan istilah noan, dan ntong untuk aak laki-laki. Sapaan kepada anak tersebut sebagai pernyataan syang orang tua. Saudara yang muda kepada yang lebih tua, menyebut mpok (perempuan) dan abang (laki-laki). Apabila memerintah atau menyuruh: “Nyak lu, tolong ambilkan rokok gua”. Hal ini bila yang diperintah adalah istrinya. Cara melaran melakukan sesuatu: “lebih baik jangan lu kerjainitu, kagak ada artinya”, apabila yang dilarang adalah istri, anak, atau yang lebih muda. Cara menolak perintah: “segen” bila yang memerintah sederajad, akan tetapi bila yang lebih tua: “saya nggak mau”. Cara menyangkal perkataan: “ngomong jangan sembarangan, masa gua yang dikatain ……..”

B. Berpakaian dan Berdandan
Pada setiap orang Betawi tidaklah ada pakaian khusus yang harus dikenakan pada waktu tertentu, mereka bebas mengenakan pakaian apapun pada waktu santai, tidur dan melakukan kegiatan rumah tangga, kecuali waktu menghadiri pesta atau pergi mengaji. Untuk wanita yang sudah berkeluarga biasanya menggunakan kain dengan kebaya panjang dilengkapi dengan kerudung, sedangkan untuk laki-laki memakai celana panjang atau sarung dengan kemeja yang longgar memakai krah kemeja berdiri (semacam kemeja Cina), yang disebut baju koko, dan peci.

Bagi laki-laki yang sudah haji, biasanya ada tanda yang merupakan cirri khasnya, yaitu mengenakan ikat pinggang besar warna hijau yang disebut amben,sedangkan perempuan mengenakan stagen yang berwarna hijau pula. Untuk berpergian tentunya tidak sma dengan pakaian yang dikenakan sehari-hari di rumah, biasanya bila berpergian pakaian yang dikenakan lebih bagus dari pada pakaian sehari-hari. Orang tua tidak diperkenankan dan meanggalkan pakaian di hadapan anak-anak yang sudah dewasa, demikian pula sebaliknya yang berlaku bagi anak-anak yang sudah dewasa. Mereka biasanya pergi ke kamar, sehingga tidak diketahui oleh anak-anak. Dalam sopan santun membetulkan pakaian di hadapan orang banyak tidak diperkenankan. Bila suami sedang berhadapan dengan tamu misalnya, maka istri akan memanggil suami masuk untuk memberitahukan pakaian yang dikenakan tidak betul, kemudia suami sendirilah yang membetulkannya.

Bila menyusukan anak, tidak dilakukan di hadapan rang banyak, kecuali masih anggota keluarganya. Apabila sedang ada tamu atau bepergian, maka si ibu akan encari tempat yang tertutupuntuk menyusukan anak. Hal ini sesuai dengan sopan santun yang berlaku, lagi pula tidak pantas mengeluarkan anggota tubuh di hadapa orang banyak,sekalipun anak sangat membutuhkannya. Apabila bepergian, biasanya ibu membawa dot yang diisi susu, agar suatu saat diperlukan dapat diberikan pada bayi.

Berdandan dengan rapi merupakan salah satu keharusan bagi wanita, selain bagi daya tarik, juga kerapian seseorang secara tidak langsung dapat merupakan gambaran pribadinya, dalam hal ini berdandan tidak perlu menyolok. Berdandan dengan rapi namun sederhana dilengkapi perhiasan yang sederhana pula memberi ciri bahwa dia senang akan kehidupan yang sederhana.

C. Bersalam
Pada orang Betawi, tatakrama bersalam merupakan hal yang menonjol dalam kehidupannya, ini merupakan cirri khas dari orang Betawi. Ucapan assalamualaikum yang diucapkan ketika bertemu di jalan, diiringi dengan saling bersalaman tangan. Pada masyarakat Betawi ada empat macam salam yang membedakan satu dengan lainnya yaitu : 
  • Salam sebagai penghormatan, yakni salam dengan mencium tangan orang yang dihormati.
  • Salam medok (salam akrab), yakni salam dengan menjabat tangan erat-erat, kadang-kadang diikuti berpelukan dan menepuk bahu yangdisalami.
  • Salam curiga, yakni tangan kanan saling berjabatan, sementara tangan kiri emegang lengan tangan kanan orang yang dicurigai.
  • Salam diendus (mengendus), yaitu salam sambil mencium tangan tetapi tidak sampai kena, jadi hanya diendus. Salam inipun sebagai penghormatan, akan tetapi yang dihormati bukan anggota keluarga atau kerabat.
Cara bersalaman seperti itu hanya berlaku bagi mereka yang sama jenis kelamin, kecuali apabilamereka yang bersalaman tersebut masih sebagai kerabat.

Salam yang pertama bertujuan untuk menghormati orang yang lebih tua, terutama ditujukan bagi orang tua, anak-anak yang akan pergi, berangkat sekolah atau kerja selalu menyalami demikian, begitu pula sepulang dari kerja atau sekolah. Salam yang kedua bertujuan untuk memelihara atau meningkatkan kekakraban diantara kedua belah pihak. Berpelukan dan menepuk bahu biasanya sebagai pernyataan selamat atas keberhasilannya, kerinduan atau akan terjadi perpsahan. Salam yang ketiga bertujuan untuk melindungi diri, agar yang dicurigai tidak melakukan tinakan semena-mea. Salam yang keempat bertujuan untuk menghormati orang yang patut dihormati, misalnya guru ngaji, tokoh-tokoh masyarakat, orang lain yang lebih tua usianya.

Bersalam ketika menerima tamu, tergantung dari siapakah tamu tersebut, maka dapat dilakukan salah satu dari keempat cara salam yang diuraikan di atas. Akan tetapi bila tamu tersebut baru dikenalnya, maka dilakukan dengan kedua belah tangan dengan sikap agak membungkuk. Sebenarnya salam dengan kedua belah tangan ini bukanlah merupakan salam asli Betawi, namun orang-orang Betawi yang menyesuaikan dengan yang umum sering dilakukan.

D. Duduk
Pada masyarakat Betawi, tidak ada susunan (tempat) duduk yang menjadi ukuran tatakrama dalam keluarga batih, baik yang berlaku pada waktu santai, menerima tamu dan membicarakan masalah keluarga yang penting, hanya pada waktu makan, walaupun tidak mutlak harus dilakukan, tetapi masih ada keluarga yang masih memiliki kebiasaan mengatur susunan duduk pada waktu makan.

Kesempatan duduk dapat dibedakan antara duduk di atas tikar dengan duduk di atas kursi. Duduk di atas tikar pada masyarakat Betawi, mempunyai dua cara yang dianggap sopan, yaitu duduk bersila untuk laki-laki, dan duduk timpuh untuk perempuan. Duduk bersila adalah duduk dengan melipat kedua belah kaki, dengan sebelah kaki berada di bawah (dijepit) kaki sebelahnya.

Cara duduk bersila iniberlaku untuk segala acara, misalnya pada waktu makan, pada waktu santai, menerima tamu dan membicarakan masalah keluarga yang penting. Pada kesempatan yang sama, maka wanita akan duduk bertimuh.

Kesempatan duduk di kursi, dianggap tidak sopan bila kaki diangkat, dan diinjakkan ke kursi yang dipakai untuk duduk, sikap yang patut untuk dilaksanakan adalah kedua belah kaki secara sejajar menginjak lantai, badan duduk tegak dan tangan berada di atas tangan kursi atau di atas paha. Duduk di kursi, sementara yang sudah tua duduk di bawah/tikar, dinyatakan sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Disamping itu ada beberapa cara duduk yang dianggap tidak baik untuk dilakukan, karena tidak sesuai dengan sopan santun yang berlaku. Cara duduk tersebut diantaranya : 
  • Dekukul, yaitu kaki diangkat sebelah, dengan tangan saling tumpang di dengkul. Duduk seperti ini seringkali dilakukan pada waktu santai sendiri, akan tetapi apabila berhadapan dengan orang lain, terutama yang lebih tua, tamu, atau kerabat, dinyatakan sebagai orang yang tidak tahu adat sopan santun, tidak menghargai orang yang ada di sekelilingnya. 
  • Berdeku, yaitu cara duduk dengan kedua belah kaki dilipat ke belakang, posisi kaki di bawah pantat, kedua belah tangan diletakkan di atas paha. Cara duduk semacam ini, biasanya dilakukan padakesempatan upacara. 
  • Istiras, yaitu cara duduk dengan kedua belah kaki setengah dilipat, kedua belah tangan saling berpegangan, yang seolah-olah tergantung di dengkul. Cara duduk semacam ini biasanya dilakukan pada waktu istirahat bersama keluarga, dan tidak pantas apabila berhadapan dengan tamu atau kerabat yang patut dihormati. 
  • Loa-loa, yaitu duduk dengan mengangkat sebelah kaki, sementara jari-jari tangan saling menjepit yang diletakkan di dengul, cara duduk seperti ini sangatlah tidak sopan apabila dilakukan di hadapan orang lain yang pantas dihormati. Para orang tua akan marah, apabila melihat anak-anak duduk seperti ini, kebiasaan duduk seperti ini akan membuat orang jadi pemalas, dengan demikian rezekipun akan sulit didapat. Hal ini disebabkan apabilaorang sudah terbiasa duduk demikian, akan lama bergerak dari tempat duduk, karena duduk seperti ini mempunyai kenikmatan tersendiri. 
E. Makan Minum
Pada orang Betawi, kegiatan makan dan minum dapat dilakukan di meja makan dan gelar tikar, yakni duduk bersama-sama di lantai dengan beralaskan tikar. Makan di meja biasanya dilakukan bila bersama-sama tamu atau kerabat yang sangat dihormati, kalau makan biasanya cukup duduk di atas tikar.


Istri/ibu atau anak perempuan yang sudah dewasa yang mempersiapkan makan, pada keluarga yang mempunyai anak gadis, dianjurkan agar dialah yang mempersiapkan segala sesuatu untuk makan, baik alat makannya, maupun santapannya. Anak gadis dari kecil sudah dididik segala sesuatu yang berhubungan dengan dengan pekerjaan rumah tangga, dari mulai mempersiapkan hingga membereskannya. Dengan demikian dialah yang akan menggantikan peran ibunya dalam rumah tangga, selagi ibunya tidak di rumah atau sebelum ia menikah.

Alat-alat makan yang dipersiapkan terdiri dari; piring, tesi (sendok), kobokan (tempat yang berisi air untuk cuci tangan) dan gelas, setiap alat tersebut tidak ditempatkan menurut cara atau aturan tertentu. Biasanya piring-piring dibiarkan ditumpuk, demikian pula sendoknya, kadang-kadang diletakkan di atas tumpukan piring, kadang pula disamping piring. Kobokan hanya disediakan satu atau dua buah saja, sehingga bila orang yang makan banyak, cuci tangan dilakukan secara bergantian. Ikan dan nasi biasanya disajikan di tengah orang-orang yang makan, sedangkansayur disajikan dengan menggunakan cawan atau piring sayur, peletakan sayur tersebut tidak bersama lauk pauk yang lain, melainkan sudah disajikan di depan tempat duduk masing-masing orang yang akan makan.

Cara duduk, suami berhadapan dengan istri, anak-anak berada di sebelah kanan atau kiri orang tuanya. Istri biasanya duduk dekat nasi diletakkan, hal ini untuk memudahkan si istri menyendok nasi, karena istrilah yang biasa mengambilkan nasi untuk suami dan anak-anak yang masih kecil, sedangkan lauk pauknya anak (anak-anak) mengambilnya masing-masing. Kecuali sayur istri biasanya mengambilkan langsung dari kuali yang masih disimpan di dapur. Setiap orang yang makan akan mendapatkan sepiring sayur, kecuali anak-anak tergantung dari kemauannya. Apabila ada yang ingin tambah sayur, maka istri jugalah yang mengambilkan di dapur, jadi khusus sayur tidak disajikan di tempat makan.

Di saat makan sehari-hari dalam keluarga, tidak ada kata mempersilahkan makan, kalau anak atau istri sudah selesai menyajikan makan, dengan sendirinya suami dan anak-anak sudah berkumpul di tempat makan tersebut. Ada kalanya sebelum makan siap disajikan, orang-orang sudah berkumpul di tempat makan. Kecuali makan bersama tamu atau kerabat, maka biasanya istrilah yang mempersilakan makan. Istri mengambilkan nasi yang diperuntukkan bagi tamu atau kerabat yang lebih tua.

Cara duduk bila makan bersama tamu, tergantung dengan siapa tamu tersebut, laki-laki atau perempuan. Apabila tamu tersebut laki-laki, maka duduk bersebelahan dengan suami, sebaliknya bila tamu tersebut perempuan duduknya dekat istri. Akan tetapi bila tamu itu terdiri dari beberapa orang laki-laki, maka suamilah yang menemani makan, demikian pula halnya bila tamu tersebut terdiri dari beberapa orang perempuan, maka istrilah yang menemani makan, hal inmi dilakukan untuk menghindari supaya tamu tersebut dapat makan dengan leluasa an tidak canggung.

Ketika berlangsung acara makan, anak-anak dilarang sambil berbicara, hal ini untuk menghindari eselak, yaitu masuknya makanan tanpa dikunyah yang menimbulkan batuk-batuk, tetapi bila makan bersama tamu, justru merupakan hal yang mengasikkan apabila makan sampil bercakap-cakap, hingga kadang-kadang tidak terasa lagi sudah berkali-kali nasi ditambah.

Anak-anak tidak selamanya harus makan bersama orang tuanya, kadang-kadang anak dianjurkan makan lebih dulu, sebelum orang tua menyajikan makan, anak-anak tidak boleh mengganggu orang tua yang sedang makan. Makan merupakan salah satu kegiatan untuk menikmati karunia Tuhan, oleh karena itudi saat makan, suasananya betul-betul tenang, sehingga makanan dapat dinikmati sepuas mungkin. Orang tua akan marah bila ditengah makan, ada anaknya yang rewel, yang mengganggu apalagi makan bersama tamu, sedapat mungkin anak yang rewek tersebut dibawa keluar oleh ibunya. Namun tentunya marah tersebut tidak dilakukan di saat makan, karena marah pada waktu makan akan membuat suasana tegang, sehingga makananpun tidak dapat dinikmati. Mengeluarkan bunyi alat-alat makan, misalnya karena piring terantuk dengan piring, atau bunyi sendok yang beradu dengan piring, tidaklah merupakan larangan, asalkan tidak disengaja seperti dianggap mainan. Justru dengan adanya bunyi tersebut meandakan orang di rumah itu sedang makan, sehingga apabila ingin bertamu, orang menjadi tahu diri, tidak mengganggu keluarga yang sedang makan.

Walaupun bukan merupakan larangan, namun bagi orang Betawi tidaklah pantas makan sambil bersendawa. Setiap orang Betawi apabila akan menambah makanan (nasi) tidaklah diperbolehkan menghabiskan nasi yang ada di piring makan, setidak-tidaknya masih ada tersisa sesuap atau sesendok di piring makan, baru nasi ditambah. Kebiasaan ini disebut long-longan, yang berarti tidak ada batasnya, tidakada kenyangnya. Kebiasaan itu berdasarkan anggapan bahwa rezeki harus dicari tanpa henti-hentinya, setiap rezeki yang datang merupakan tambahan rezeki sebelumnya. Dengan kata lain dalam hidup ini, rezeki yang didapat tidak ada habisnya, bahkansebelum rezeki yang bakal datang, rezeki sebelumnya masih tersisa, tidak habis sama sekali. Dengan keyakinan seperti itu, maka orang Betawi tidak mau menyalahi kebiasaan mereka. Setiap orang yang menambah nasi, menggunakan tangan kiri, apabila makan pakai tangan kanan, tetapi apabila makan dengan tesi (sendok), nasi harus diambil dengan tangan kanan, dengan lebih dulu meletakkan sendok secara terbuka di atas piring makan.Cara membukakan sendok di atas piring makan, menandakan masih akan tambah nasi. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga Betawi, jarang sekali menggunakan garpun sebagai alat makan, menurut pandangan mereka makan dengan garpu merupakan pengaruh kebudayaan modern, dan tidak pantas makan duduk di atas tikar menggunakan garpu. Makan dengan sendok dan garpu hanya dilakukan pada pesta-pesta, sedangkan bagi orang Betawi, secara tradisional, dalam pestapun jarang dilakukan perjamuan makan, hanya sekedar makanan ringan dan minum teh, nasi dan lauk pauk sudah ditata dalam kotak (besek), yaitu tempat nasi yang dibuat dri bamboo, khusus dipakai pada waktu selamatan atau pesta untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Minuman biasanya disajikan oleh ibu/istri sebagai slah satu cara pelayanan seorang istri terhadap suami, bahkan pada kesempatan itu pula istri ikut mendampingi suami sambil membicarakan maslah keluarga. Pisin atau piring kecil sering dijadikan sebagai alat bantu untuk menuangkan air dari gelas, apabila air yang akan diminum masih panas. Bila minum menggunakan pisin, gelas dipegang di tangan kanan, pisin di tangan kiri, air (teh atau kopi) dituang ke dalam pisin, lalu diminum dengan tangan kiri pula. Minuman yang dihirup dari pisin biasanya menimbulkan bunyi, justru di sinilah nikmatnya minum dengan menggunakan alat bantu pisin.

Dalam kesempatan minum ini ada kalanya disertai dengan makanan ringan, seperti goring pisang, ubi atau singkong, terutama pada pagi hari, karena kebiasaan orang Betawi makan pertama sekitar pukul 10.00 – 11.00, jadi makan dan minum pagi itu dianggap sebagai sarapan pagi.

Makan yang kedua kali sekitar pukul 12.00 – 13.00, bagi orang Betawi disebut makan mindo, berarti makan yang kedua kalinya, makan malam dilakukan biasanya menjelang Magrib atau sesudah shalat Magrib.

3. KESIMPULAN 
Di Indonesia orang Melayu dikenal sebagai salah satu sukubangsa yang cukup besar peranan dan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan nasional. Ciri paling mendasar bagi identitas kesukubangsaan Melayu pada masa sekarang adalah: 
  1. Bahasanya yang mendasari bahasa nasional Indonesia, 
  2. Memeluk agama Islam, dan 
  3. Kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap pembaharuan. 
Setelah islam masuk dan berkembang, maka hampir semua unsur kebudayaan yang mentradisi sebelumnya ( animisme, dinamisme, hindu dan budha ) diislamkan sehingga pada gilirannya nafas dan ajaran agama islam terasa lebih dominant didalam kebudayaan Melayu. Unsur-unsur budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama islam dihilangkan meskipn tak sepenuhnya berhasil. Sisa-sisa budaya lama itu masih terasa melekat sampai sekarang. Di dalam adat istiadat misalnya, dominasi islam itu dibakukan dengan motto “ adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Ungkapan ini menyampaikan, bahwa adat istiadat yang berlaku didalam masyarakat Melayu Riau adalah adat yang serasi dan tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. 

Bagi orang melayu Riau, lingkungan hidup itu disebut hutan tanah, artinya bahwa lingkungan itu bukan hanya tanahnya saja tetapi meliputi hutan dan seluruh sumber daya yang harus dilestarikan. Hutan sangat berharga bagi masyarakat melayu karena kandungan sumber daya alam di dalamnya. Pada masyarakat Melayu mengenal pembagian tanah yang terdiri dari tiga bagian yakni tanah perladangan, rimba larangan, rimba simpanan (ulayat) dan rimba kepungan sialang. Pembagian tersebut merupakan salah satu upaya menjaga kelestarian alam(hutan). 

Kalaulah kita mau bercermin, kita seharusnya bisa belajar dari kearifan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alamnya. Masyarakat, tak terkecuali masyarakat Melayu Riau yang umumnya tinggal di kawasan pesisir. Umumnya, kearifan lokal yang berlaku dalam keseharian mereka merupakan pesan-pesan budaya yang diwujudkan dan diekspresikan melalui upacara tradisional, seloka-seloka, tabu-tabu dan tradisi lainnya. 

Sebagai ilustrasi bagaimana masyarakat Melayu menjaga lautnya bisa dilihat dari posisi rumah yang mereka tempati beranak-pinak selalu menghadap ke laut. Dalam artian, bagi mereka laut sebenarnya bukanlah bagian belakang rumah mereka yang seringkali diartikan sebagai bagian atau tempat pembuangan sampah. Laut bagi masyarakat Melayu Riau adalah masa depan dan tantangan yang membuat mereka harus selalu berpikir untuk menaklukkannya. 

Mestinya kita juga harus belajar dari suku Sakai bagaimana mereka memperlakukan alamnya. Bagi masyarakat sakai, hutan dan sungai adalah rentak nadi yang menyatu dalam kehidupan yang mereka hadapi. Oleh sebab rasa kebersatuannya dengan alam, Sakai kaya dengan kearifan-kearifan dalam berhubungan hutan. Bukankah Sakai atau masyarakat lokal lainnya memerlukan alam dalam memenuhi keperluannya. Tapi mengapa mereka lebih arif daripada masyarakat modern yang seringkali mengaku mempunyai peradaban maju. 

DAFTAR PUSTAKA;
  • Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951.
  • Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954, Hlm.5-53.
  • Arimbi HP (1997 ).Penghancuran Secara Sistematis Sistem-sistem Adat oleh Kelompok dominant. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Friends of the Earth (FoE) Indonesia 
  • Anonim ( 2003) Matrik Sosial Budaya Masyarakat kampong Hutan terhadap Lingkungan hidup Indonesia Media 
  • Anonim (2001) .Visi Riau 2020, Pusat Kebudayaan Melayu . Dinas Pariwita Propinsi Riau. 
  • Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and Sons Inc., New York, 1967.
  • Bierstedt, Robert; The Social Order, (3rd ed.) Mc Graw-Hill, New York 1968;
  • Broom, Leonard, and Phillip Selznick; Sociology : A text with Adapted Readings. (4th ed.) Harper & Row. New York 1968;
  • Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974.
  • Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free Press, 1965, Hlm.105-107.
  • Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York, 1964.
  • Green, Arnold W.; Sosiology : An Analysis of Life in Modern Society. (5th ed). Mc Graw- Hill. New York. 1968;
  • Harun Daud(1998).Sejarah Melayu: Satu Kajian Daripada Aspek Pensejarahan Budaya, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 
  • Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter Smith, 1958.
  • Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982.
  • Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia University Press, 1945.
  • Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill Publishing Company, Ohio, 1973.
  • Merrill, Francis E. : Society and Culture : An Introduction to Sociology. (4th ed.) PrenticeHaal. Englewood Cliffs, New York. 1969;
  • Rusdi Idar ( 1990). Mengibarkan panji-panji budi, daya dan karsa.Dinas Pariwita Propinsi Riau 
  • Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random House, New York, 1970.
  • Shibutani T., Kian M.Kwan, Ethnic Stratification: A Comparative Approach, The MacMillan Company, London, 1969.
  • Toit, Brian M.du (ed.), Ethnicity in Modern Africa, Westview Press, Colorado, 1978.
  • Wirth, Louis, "The Problem of Minority Groups", The Science of Man in the World Crisis, R.Linton (ed.), New York, Columbia University Press, 1945, Hlm.347-372.
Blog, Updated at: 15.38.00

0 komentar:

Posting Komentar