Teori dan Pengertian Kebudayaan (Cultural)

Posted By frf on Rabu, 25 Januari 2017 | 15.39.00

Teori dan Pengertian Kebudayaan (Cultural)
Kebudayaan (Cultural)
Kata kebudayaan sering kali dikaitkan dengan suatu penghargaan atas benda-benda atau hasil seni dan kreasi manusia yang bermutu tinggi dan mempunyai nilai artistik seperti misalnya, lukisan, opera, sandiwara dan lain-lain. Akan tetapi dalam ilmu sosiologi kata kebudayaan mempunyai arti lain yang tidak mempunyai kaitan dengan hal-hal seperti itu.

Sir Edward Burnet Taylor seorang antropolog bangsa Inggris adalah orang yang pertama kali mendefinisikan kebudayaan (dalam bukunya Primitive Culture, 1871) sebagai: “that complex whole that includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Secara sosiologis kebudayaan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan, sistem kepercayaan dan keseluruhan tingkah laku yang menjadi ciri anggota suatu masyarakat tertentu yang dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kadang-kadang kata kebudayaan disamakan dengan istilah “warisan sosial” atau “pola hidup”. Kebudayaan bersifat sosial dan sangat bergantung kepada interaksi manusia. Kebudayaan juga harus dipelajari dan bukan merupakan warisan biologis. Sebab itu hanya masyarakat manusia saja yang mempunyai kebudayaan.

1. Komunikasi Simbolik
Salah satu faktor penting yang membedakan manusia dari benatang adalah kemampuan manusia dalam berkomunikasi secara sempurna. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi itulah yang menyebabkan mereka mampu menyebarluaskan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya dan yang menyebabkan pula mereka mampu bertahan untuk hidup terus.

Manusia dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol yang terdiri dari dua macam. Yang pertama lazim disebut sebagai simbol referential (denotative) yakni simbol yang menunjukkan referens tertentu seperti misalnya mesin tik, meja, kursi dan lain-lain. Yang kedua adalah simbol yang memiliki sifat expressive (conotative) yang sering memiliki makna yang jamak dan abstrak, seperti misalnya musik, bentuk tarian dan lain-lain.Tetapi pada umumnya manusia berkomunikasi dengan menggunakan sekelompok simbol yang kita sebut “bahasa”. Yakni dalam bentuk “bahasa percakapan” (spoken language) yang merupakan pola-pola bunyi-bunyian yang mengandung arti tertentu. Disamping itu terdapat juga cara berkomunikasi dengan menggunakan “bahasa tertulis” (written language) yakni pencatatan dengan tulisan yang mendorong ke arah pelestarian kebudayaan tersebut. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah “bahasa isyarat” (body language) yaitu suatu ungkapan atau pernyataan melalui isyarat atau gerakan-gerakan tubuh. Dengan percakapan manusia mampu mengajarkan dan menurunkan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan bahasa tulisan manusia mampu melestarikan apa-apa yang dianggap penting, seperti misalnya resep-resep obat-obatan, teknik bercocok tanam, cara membuat peralatan dan sebagainya.

Manusia berpikir atas dasar sekelompok simbol-simbol atau bahasa tetapi apa yang ia pikirkan ditentukan oleh budayanya yakni melalui bahasa itu. Benyamin Whart, seorang ahli bahasa, mengatakan bahwa bahasa menentukan realitas. Sebagai contoh didalam bahasa Inggris ada “time tense” atau pemisah waktu yakni dengan menggunakan waktu lampau, waktu sekarang dan waktu yang akan datang. Struktur bahasa Indian Hopi, kata Whart, lebih menggambarkan kenyataan yang ada dan tidak memperhatikan masalah waktu. Sebagai contoh untuk menunjukkan suatu tindakan, bahasa Indian Hopi selalu menyebut sifat dari pembuktian untuk menunjukkan apakah tindakan itu suatu pengalaman langsung, suatu kepercayaan atau suatu generalisasi.




Dalam bahasa Inggris kita dapat berkata: “The boy ran down the hill” (waktu lampau), sedangkan bahasa Indian Hopi menggunakan “wari” (suatu petunjuk bahwa “lari-nya” itu telah terlihat secara langsung dan tidak menunjukkan bahwa “lari-nya” itu telah terjadi (past tense) atau apakah “lari-nya” itu sedang terjadi (present tense). Nampaknya perhatian selektif dalam suatu bahasa menggambarkan pengalaman dan masalah yang unik dalam suatu masyarakat. Kata “snow” bagi orang Inggris hanya menggambarkan satu macam obyek pengamatan, tidak perduli apakah salju itu berbentuk pasir, berbentuk kapas atau berbentuk karang. Tetapi bagi kebudayaan Eskimo “salju” itu dapat digambarkan dengan kata atau sifat yang berbeda-beda. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa bagi orang Eskimo penjenisan apa yang disebut salju itu sangat penting dalam mempertahankan hidup mereka. Sebab itu melalui bahasa setiap kebudayaan menghasilkan berbagai macam konsep-konsep tentang realitas bagi para anggota masyarakatnya. Jadi tidak perlu heran bahwa beberapa kata tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa lain.

2. Sikap dan Nilai Budaya
Sikap adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang bereaksi atau berprilaku tertentu apabila diberikan suatu rangsangan tertentu. Sedangkan nilai (Values) adalah pertimbangan-pertimbangan atas suatu kehendak/keinginan atau pertimbangan-pertimbangan tentang pentingnya sesuatu. Dalam hal ini sikap sangat tergantung pada sistem nilai. Apabila kita menilai “hak milik” sebagai sesuatu yang penting, maka kita selalu akan berusaha untuk memiliki sesuatu.

Baik sikap maupun sistem nilai, keduanya tidak bersifat konkrit, tetapi merupakan ide-ide atau sistem kepercayaan yang ditentukan dengan jalan mengamati prilaku semua manusia. Sikap dan nilai-nilai keduanya ditentukan oleh kebudayaan dan oleh sebab itu akan berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Di Amerika Serikat, dapat masuk satu team football di suatu perguruan tinggi dinilai sangat tinggi. Akan tetapi di negara lain permainan football yang mengutamakan adu kekuatan badan mungkin tidak disukai.

Sikap dan nilai diperoleh berdasarkan interaksi dengan sesama manusia. Akan tetapi sering terjadi bahwa pengalaman interaksi dengan manusia lain sangat terbatas, sehingga menimbulkan pandangan sempit yang dikenal dengan istilah “stereotypes” (penyamarataan). Beberapa contoh, misalnya di Amerika Serikat, pegawai negeri di “stereotype” kan sebagai pemalas, tidak memiliki kompentensi; mereka tidak dapat hidup terus kalau mereka bekerja diluar pemerintah. Orang Indian juga sering di “stereotype”kan sebagai pemabuk, kotor; orang Negro di “stereotype” kan sebagai hitam, malas, setengah buta huruf dan berbibir tebal.

Stereotypes mungkin sering tidak benar, tetapi dapat mengatur pola prilaku, sebab stereotype memberi cara (alternatif) bagaimana mengantisipasi prilaku orang lain. Orang putih di Amerika Serikat sangat mengharapkan agar orang Black mengikuti mereka dalam berprilaku. Kadang-kadang ada orang yang baik tetapi di cap nakal, maka orang itu terpaksa harus berprilaku sebagaimana cap (label) yang diberikan kepadanya.

3. Norma-Norma Kebudayaan
Norma adalah aturan-aturan tingkah laku yang menetapkan bagaimana manusia harus berprilaku dalam suatu keadaan tertentu. Bagaimana siswa harus berprilaku di dalam kelas tatkala guru sedang mengajar. Dengan kata lain norma kebudayaan adalah suatu standar konkrit tentang apa yang diharapkan atau disetujui oleh kelompok manusia mengenai pikiran-pikiran atau prilaku mereka. Norma berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Apa yang dianggap norma dalam suatu masyarakat belum tentu merupakan norma di masyarakat lainnya. Orang yang dibesarkan di Jepang diharapkan dapat makan dengan alat yang disebut “chopstick”. Tetapi kalau dibesarkan di Amerika Serikat diharapkan dapat makan dengan menggunakan sendok, garpu dan pisau. Bagaimana di Jawa Barat? Kira-kira anda diharapkan dapat makan dengan tangan. Norma berfungsi sebagai prilaku standard yang akan membawa keteraturan dan keserasian. Di Indonesia sudah terbiasa orang berjalan di sebelah kiri, sebaliknya di Amerika Serikat orang sudah terbiasa berjalan di sebelah kanan jalan. Kebiasaan berjalan di Indonesia sudah tentu jangan dipakai di Amerika Serikat. Bila anda kebetulan jalan-jalan disalah satu jalan di kota New York dengan membawa kebiasaan jalan di Indonesia akan dapat bertabrakan terus.

Norma juga sering mempunyai sifat komplementer, artinya saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Keadaan seperti ini sering disebut normative (normative system). Akan tetapi karena norma yang berbeda-beda sering berlaku dalam kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat, maka sering terjadi konflik. Beberapa waktu yang lampau (bahkan sekarangpun masih berlaku di beberapa pedesaan) wanita selalu membiarkan laki-laki (suami) berada di depan bila sedang berjalan berkelompok. Tetapi dikalangan anak muda jaman sekarang biasanya laki-laki akan membiarkan wanita berada di muka bila sedang berjalan berkelompok.

Norma dalam beberapa hal adalah sama atau mirip dengan sikap dan nilai-nilai. Keduanya bersikap abstrak dan tidak dapat dilihat kecuali bila kita mengamati prilaku manusia dalam kondisi yang terpisah. Disamping itu norma juga mengurangi tugas pengambilan keputusan para individu. Kita tidak perlu lagi menentukan apakah memakai baju atau tidak kalau berpergian atau pergi tidur.

4. Variasi Norma-Norma
Seorang ahli ilmu sosiologi bangsa Amerika, William Graham Summer, didalam bukunya Folkways (1907) membedakan tiga macam norma yang penting. Yang pertama ia sebut “folkways” yakni adat istiadat atau kebiasaan berprilaku yang bersifat tradisionil. Folkways adalah merupakan prilaku yang disenangi atau yang paling disarankan. Dalam upacara adat perkawinan mempelai pria dan wanita selalu mengenakan pakaian yang sesuai dengan daerahnya. Pelanggaran terhadap adat istiadat tidak menimbulkan hukuman, yang mungkin ada adalah “cemoohan”. Adat istiadan atau folkways merupakan kejadian yang tidak direncanakan, timbulnya kadang-kadang hanya secara kebetulan. Menghadiri upacara perkawinan memakai baju batik sudah dapat diterima oleh sebagian anggota masyarakat di pulau jawa. Yang kedua adalah “mores” yaitu kebiasaan-kebiasaan yang membawa implikasi penting bagi kehidupan para anggota masyarakat. Mores memisahkan mana yang benar mana yang salah. Membunuh sesama manusia adalah salah, meskipun jaman dahulu membunuh musuh dibenarkan. Diwaktu perang membunuh masih dianggap perbuatan yang benar. Pelanggaran terhadap meres dapat dijatuhi hukuman berat. Sebab itu manusia wajib mentaati mores. Yang ketiga adalah “hukum” (laws) yakni mores yang telah dirumuskan menjadi peraturan-peraturan oleh pihak yang mempunyai wewenang atau kekuasaan (pemerintah). Hukum bersifat memaksa, artinya setiap warga masyarakat wajib mengetahui dan mentaatinya. Kadang-kadang hukum tidak sejalan dengan mores. Berdiri telanjang dimuka umum mungkin tidak dianggap melanggar hukum, tetapi jelas melanggar mores, karena melanggar kepantasan.

5. Perbedaan dan Persamaan Kebudayaan
Ada perbedaan dalam kebudayaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, masing-masing sejalan dengan sistem kepercayan, sistem nilai dan norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh, didalam setiap masyarakat selalu tersedia sekumpulan norma yang mengatur sistem perkawinan atau sistem pendidikan anak-anak. Dibeberapa masyarakat berlaku norma perkawinan yang monogamus (seorang suami untuk seorang istri), dilain masyarakat berlaku norma perkawinan yang poligamus (seorang suami untuk lebih dari satu orang istri). Dibeberapa masyarakat terdapat kebebasan memilih calon pasangan hidup, sedangkan dimasyarakat lain calon pasangan hidup telah ditetapkan oleh orang tanya masing-masing. Disatu masyarakat kekuasaan keluarga berada dipihak laki-laki (Batak), dilain masyarakat kekuasaan berada dipihak wanita (Minangkabau).

Banyak alasan yang menimbulkan perbedaan-perbedaan tersebut, antara lain adalah: (1) adanya perbedaan tingkat perkembangan/pertumbuhan masyarakat, misalnya cepat atau lambatnya suatu masyarakat yang tradisionil berubah menjadi masyarakat moderen; (2) adanya perbedaan geografis, misalnya bagi orang Eskimo tidak memungkinkan membangun rumah seperti di Indonesia; (3) adanya perbedaan dalam sejarah pertumbuhan suatu masyarakat misalnya, setiap masyarakat memiliki cara-cara yang baik untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (misalnya pangan), akan tetapi cara-cara yang mana yang akan diambil dan dibudayakan tergantung keadaan, bahkan sering terjadi secara kebetulan saja.

6. Organisasi Kebudayaan
Kebudayaan disusun melalui cara yang sistematis agar para anggota masyarakat dapat saling berinteraksi secara efisien. Salah satu sifat kebudayaan yang biasa disebut “cultural trait” yaitu yang merupakan unit terkecil dari suatu kebudayaan. Cultural trait dapat berbentuk suatu benda, suatu isyarat atau kata-kata. Kuku adalah cultural trait, sebab ia tidak dapat diuraikan lagi (mungkin dapat juga dipecah-pecah menjadi bentuk lain, tetapi apa namanya?). Kumpulan dari pada cultural trait biasanya disebut sebagai suatu komplek kebudayaan (cultural complex). Bersalaman mungkin dapat dianggap sebagai suatu cultural trait; tetapi bila bersalaman dihubungkan dengan berbagai prilaku, misalnya bersalaman untuk “sungkem” (bahasa jawa) bersalaman sebagai “selamat jalan” bagi yang mau pergi, maka bersalam-salaman tersebut dapat dianggap komplek. Aspek dari pada komplek budaya tersebut menjadi penting karena salah satu komplek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Gabungan beberapa komplek kebudayaan biasa dikenal dengan istilah “cultural pattern” atau pola kebudayaan. Beberapa diantara ahli sosiologi menanamkan pola kebudayaan sebagai institution (kelembagaan). Jadi lembaga adalah merupakan suatu sistem hubungan sosial yang memiliki pola-pola tertentu untuk dijalankan oleh manusia sebagai anggota di dalamnya.




Kebanyakan ahli sosiologi mendefinisikan kelompok folkways, mores dan hukum sejalan dengan kegiatan-kegiatan suatu kelembagaan (institution) dalam masyarakat. Ada lima macam bentuk kelembagaan dalam ilmu sosiologi, yaitu: (1) Keluarga (family); (2) Agama (relegion); (3) Pemerintah (goverment); (4) Pendidikan (education) dan (5) Sistem perekonomian (the economic system). Pentingnya kelembagaan-kelembagaan itu meningkat melalui berbagai tata cara dalam menjalankan ibadah keagamaan, upacara-upacara adat/tradisi dan perayaan-perayaan yang kesemuanya itu berfungsi sebagai penunjang terhadap kumpulan-kumpulan norma yang menjadi dasar kehidupan kelembagaan tersebut. Dalam kebudayaan suatu masyarakat juga sering dikenal istilah “sub-culture” yakni kelompok kebudayaan kecil yang menginduk kepada kebudayaan yang besar karena ia masih mengakui sejumlah norma kebudayaan induknya. Namun sub-culture dianggap berbeda karena ia memiliki norma-norma tersendiri. Contoh, dalam masyarakat Amerika Serikat golongan menengah adalah yang terbanyak jumlahnya (mayoritas). Mereka menanamkan nilai-nilai tertentu yang dianggap amat penting bagi kehidupan, seperti kerja keras, disiplin pribadi, time is money dan sebagainya. Akan tetapi anggota-anggota sub-culture (orang-orang Black, misalnya) menolak sebagian dari nilai-nilai tersebut. Para anggota sub-culture tidak selalu terisolir dari masyarakat yang lebih besar karena dalam berbagai hal mereka masih saling berinteraksi.

Disamping sub-culture, dalam suatu masyarakat sering terdapat kelompok pendobrak yang disebut “counter culture” yakni mereka yang menentang atau menolak norma-norma kelompok masyarakat yang berkultur dominan. Namun demikian timbulnya sub-culture atau counter-culture merupakan gejala yang kurang baik bagi kehidupan suatu masyarakat. Oleh karena itu perlu dicari cara atau jalan yang dapat memperbaiki keadaan. Cultural integration atau integrasi budaya merupakan cara-cara terpadu dan fungsionil yang berlaku bagi seluruh sifat dan bentuk (trait dan complex) dalam suatu kebudayaan. Ciri-ciri dari cultural integrated (kebudayaan terpadu) adalah adanya sifat yang saling berkaitan erat, sehingga perubahan dalam satu sifat akan mengakibatkan perubahan pada sifat tertentu yang pada akhirnya akan merubah kebudayaan secara menyeluruh. Contoh, di Amerika Serikat terdapat beberapa kelompok suku Indian yang berasal dari Great Plain. Sebagai akibat kekalahan mereka melawan tentara Amerika, mereka ditampung dalam kamp penampungan. Mereka terpaksa dipisah dari “bison” (sejenis kerbau) yang merupakan sumber makanan tradisionil. Hal ini bukan saja mengacaukan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam memperoleh makanan, tetapi juga mengganggu sistem kepercayaan dan sistem sistem nilai yang mereka agungkan. Berburu bison bagi mereka bukan sekedar suatu cara mencari nafkah, tetapi merupakan unsur pendidikan, terutama bagi anak-anaknya. Berburu berarti menguji kepribadian dan keberanian yang sudah menjadi tata cara hidup mereka.

7. Relativitas Kebudayaan
Karena banyaknya variasi kebudayaan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya maka sering terjadi bahwa apa yang merupakan larangan di suatu masyarakat merupakan perbuatan yang dibenarkan pada masyarakat lainnya. Contoh, dalam budaya orang Eskimo ada suatu norma yang mengharuskan istrinya berhubungan sex dengan temannya sebagai suatu penghormatan. Perbuatan seperti itu di Indonesia adalah suatu pelanggaran norma dan dianggap sebagai zina. Adanya relativitas budaya tidak berarti bahwa unsur moralitas diabaikan, sebab setiap masyarakat mempunyai konsep-konsep tentang apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Kekhususan didalam paugeran itulah yang bersifat relatif. Sebab itu adalah salah bila kita menilai pada prilaku dan budaya suatu masyarakat atas dasar standard moralitas masyarakat kita.

8. Ethnocentrism
Ethnocentrisme adalah tendensi atau kecenderungan yang membudaya yang sukar dihindarkan dan bersifat universil yang menganggap kebudayaan suatu masyarakat lebih baik dari pada kebudayaan masyarakat lain. Membudaya karena anggapan seperti itu dipelajari secara formil melalui berbagai lembaga: keluarga, sekolah (kita umat Islam telah dididik bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan lurus. Orang India dididik bahwa agama Hindu adalah agama yang benar, dsb); dan juga dipelajari secara informal, misalnya melalui homor-humor: Orang Parahiyangan halus budi bahasanya, orang Batak kasar, dsb. Universal karena masyarakat lain juga mempunyai anggapan yang sama terhadap masyarakat kita seperti halnya anggapan kita terhadap masyarakat lain. Tidak dapat dihindari karena kita telah diexpose terhadap budaya sejak kita lahir. Sistem kepercayaan, sistem nilai dan norma telah mendarah daging disanubari tiap anggota masyarakat dan kita tidak pernah mempertanyakan hal itu. Beberapa penelitian tentang ethnosentrisme memberikan banyak keterangan yang cukup meyakinkan. Adorno dkk., dalam studinya “Authoritarian Personality” menemukan bahwa ethnosentrisme cenderung “bias” terhadap semua tipe kelompok (Negro, Yahudi, orang asimg, dll.). Altus dan Tabejian (Journal of Abnormal and Social Psychology, 48: 1953) menemukan bahwa orang-orang tua yang berpendidikan rendah dan yang kurang mengikuti kejadian-kejadian dalam masyarakat dan sangat taat kepada agama memiliki kecenderungan ethnosetrisme yang tinggi.

Disamping aspek yang negatif, sudah tentu ada juga kebaikan atas pandangan yang ethnosentris tersebut. Aspek yang baik dari ethnosentrisme antara lain adalah bahwa ethnosentrisme menunjang “status quo”, sebab itu dapat mencegah perubahan-perubahan yang mungkin kurang baik akibatnya bagi masyarakat. Disamping itu ethnosentrisme juga meningkatkan loyalitas kesatuan dan moral yang tinggi dalam suatu masyarakat, sebab itu dapat memperkokoh persatuan. Pengaruh negatif dari ethnosentrisme antara lain adalah menghabat perubahan-perubahan yang mungkin sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Ethnosentrisme juga mencegah saling pengertian dan kerja sama antar bangsa. Ethnosentrisme juga menghambat asimilasi dan akulturasi kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat.

9. Goncangan Budaya (Culture Shock)
Bagi individu-individu yang memiliki sifat terbuka dalam menerima kebudayaan luar tetapi hidup dalam masyarakat yang tidak menganut keyakinan dan kepercayaan yang sama, maka keadaan seperti itu dapat dikatakan sebagai goncangan budaya. Meskipun sebagian besar anggota masyarakat enggan untuk melepaskan adat istiadat yang tradisionil, sistem nilai dan sistem kepercayaan yang ada namun perubahan-perubahan dalam suatu masyarakat tidak dapt dihindarkan. Change is normal untuk setiap masyarakat, kata para ahli. Hanya cara dan kadar perubahannya yang tidak sama. Tantangan-tantangan terhadap perubahan muncul manakala terdapat penyimpangan-penyimpangan yang besar terhadap nilai-nilai dan adat istiadat tradisionil yang hakiki.

TEORI LENGKAP KEBUDAYAAN

Diantara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya antara lain adalah: kemajuan teknologi, lingkungan fisik, perubahan penduduk dan kebutuhan manusia. Teknologi merupakan penyebab paling penting. Perkembangan dan perubahan dalam bidang teknologi umumnya terjadi di negara-negara maju dan juga negara yang sedang berkembang. Semakin cepat perubahan teknologi terjadi maka perubahan-perubahan sosial budaya harus disesuaikan. Bila tidak maka akan muncul ketimpangan yang akan merugikan masyarakat itu sendiri. Perubahan lingkungan (fisik) secara tiba-tiba jarang terjadi (misalnya gempa bumi). Akan tetapi perubahan sistem hidrologis di dunia ini yang berjalan secara perlahan-lahan pada akhirnya akan membawa perubahan sosial budaya bagi masyarakat. Peristiwa kelaparan yang terjadi di Etiopia akhir-akhir ini menunjukkan betapa musim kemarau dapat merubah sistem sosial budaya suatu masyarakat. Perubahan jumlah penduduk juga membawa perubahan terhadap kehidupan sosial budaya. Keluarga Berencana yang pada masa almarhum Presiden Soekarno dilarang oleh pemerintah, kini sangat dianjurkan. Para tokoh agama (ulama) yang sebelumnya menentang KB kini harus menentukan sikap lain demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kebutuhan manusia juga merupakan faktor yang dapat merubah sosial budaya masyarakat. Kebutuhan anggota masyarakat terhadap energi (minyak) merubah kebiasaan-kebiasaan memasak diantara anggota masyarakat. Sifat minyak yang berbeda dengan kayu bakar menciptakan bentuk atau cara baru tentang bagaimana menyiapkan santapan bagi para anggota keluarga. Bentuk rumah yang dahulu dilengkapi dengan dapur khusus kini berubah. Bahkan dengan semakin meningkatnya kebutuhan para anggota masyarakat terhadap makanan yang dapat cepat disajikan, mungkin “dapur” dalam rumah akan berubah fungsinya bukan tempat memasak tetapi sekedar tempat menghangatkan. Gejala budaya “jajan di warung” sudah mulai meluas dikalangan ibu-ibu yang bekerja di kantor-kantor atau pabrik-pabrik. Apakah perubahan tersebut baik atau buruk rasanya masih terlalu pagi untuk mengatakannya.

10. Cultural Lag
Budaya manusia terdiri dari unsur materi dan non materi. Telah sering diperdebatkan bahwa perubahan-perubahan hanya akan terjadi pada budaya materi saja. Masyarakat mungkin akan menerima perubahan-perubahan dalam teknologi (sebagian dari budaya materi), tetapi sedikit kemungkinan bahwa mereka mau merubah sistem kepercayaannya, sistem nilainya, norma-normanya atau organisasi sosialnya. Hal tersebut menimbulkan celah perbedaan yang disebut “cultural lag”, yakni manakala unsur-unsur non materi dari pada budaya mencoba mengimbangi perubahan yang terjadi pada unsur materi.

SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=2507451846163469865;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link
Blog, Updated at: 15.39.00

0 komentar:

Posting Komentar