Tujuan dan Sistem Pendaftaran Tanah

Posted By frf on Sabtu, 18 Februari 2017 | 16.43.00

Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada asas hukum yang dianut oleh Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas hukum yaitu : “asas I’tikad baik” dan “asas nemo plus yuridis”, sekalipun suatu Negara menganut salah satu asas hukum tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hokum. Asas I’tikad baik berbunyi “orang yang memperoleh suatu hak dengan I’tikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini melindungi orang yang beri’tikad baik sedangkan asas nemo plus yuridis berbunyi” orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini melindungi pemegang hak yang sebenarnya.[31] Di dalam literature hukum agraria kita kenal beberapa sistem pendaftaran tanah yakni antara lain Sistem Torrens, Sistem Positif, Sistem Negative

a. Sistem Torent 
Sesuai dengan namanya, sistem ini diciptakan oleh SIR Robert Torent putra salah satu pendiri koloni Australia Selatan. Jadi sistem ini berasal dari Australia Selatan. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Act yang mulai berlaku di Australia sejak Tanggal 1 Juli 1858. Sistem ini sekarang dipakai di Aljazair, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaya, Kepulauan Fuji, Kanada, Yamanica, Trinidad, Dalam memakai sistem ini Negara-negara bersangkutan melihat pengalaman-pengalaman dari Negara-negara lain yang memakai sistem Torent ini Dalam detailnya agak menyimpang dari sistem aslinya, tetapi pada hakikatnya adalah sistem Torent yang disempurnakan dengan beberapa tambahan-tambahan serta percobaan-percobaan yang disesuaikan dengan hukum materialnya Negara-Negara masing-masing tata dasarnya adalah sama yakni The Real property Act. 

Dalam sistem ini sistem ini menyatakan bahwa sertifikat tanah merupakan alat bukti yang paling lengkap tentang gak dari pemilik yang tersebut di dalam serta tidak dapat diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilikan sejati adalah melalui dana asuransi dan untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin, terkecuali jika memperoleh sertifikat tanah, dimaksud melalui cara pemalsuan/penipuan.[32]

b. Sistem Positif
Menurut sistem ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak yang mutlak, serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.[33]

Ciri-ciri sistem ini menurut DEr. Ny Mariam Darus Badrul Zaman. S.H. dalam bukunya Bab-bab tentang Hypotik Hulas ialah bahwa pendaftaran menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah walaupun ia bukan pemilik tanah yang berhak, Stelsel ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah, pejabat-pejabat balik nama disini memberikan peran yang sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak yang dipindahkan itu dapat didaftar, menyelidiki identitas pihak-pihak, wewenang-wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disyaratkan telah dipenuhi atau tidak.

Adapun keberatan-keberatan terhadap sistem positif ini diantaranya :
  1. Peran aktif pejabat-pejabat balik nama ini memakan waktu yang lama.
  2. pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya diluar perbuatan dan diluar kesalahannya.
  3. Apa nyang menjadi wewenang pengadilan diletakkan dibawah kekuasaan administrasi.
Dengan melihat uraian di atas kita dapat menarik satu manfaat dari kegunaan sistem positif ini yaitu :
  1. Adanya kepastian dari buku tanah.
  2. Peran aktif dari pejabat balik nama tanah.
  3. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertifikat tanah mudah dimengerti oleh umum.
Dengan demikian sistem ini memberikan suatu jaminan yang mutlak terhadap buku tanah kendatipun ternyata bahwa pemegang sertifikat tanah bukanlah pemilik sejati dan oleh karena itu ketika yang ber’tikad baik. Yang bertindak berdasar bukti tersbeut akan mendapat jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat adalah tidak benar.

c. Sistem Negatif 
Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.[34]

Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah bukanlah merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain bahwa buku tanah bisa saja berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik yang sebenarnya melalui putusan yang telah mempunyai keuatan hukum tetap.


Menurut Dr. Ny. Mariam Darus Badrul Zaman, S.H dalam bukunya Bab-bab tentang Hypothek Hal 44 dan 45 (dalam Bachtiar Efendi hal 82) mengemukakan bahwa hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai. Menyelidiki apakah pemberian hak sebelumnya (Rehtsvoorganger) mempunyai wewenang menguasai (Besehikkingbe Veegdheid) atau tidak, berkaitan dengan bagaimana cara orang terdaftar itu memperoleh haknya, apakah telah memenuhi ketentuan Undang-Undang atau tidak. Demikianlah penjajahan itu dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang mendahului penyerahan. 

Kebaikan sistem negative ini adalah : 
  1. Adanya perlindungan pada pemegang hak yang sebenarnya.
  2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterima.
Azas peralihan hak atas tanah menurut system ini adalah azas-azas nemo plus yuris yakni orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal, Azas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini pemegang hak yang sebenarnya akan tetap dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

Sehubungan dengan kewajiban pendaftaran dimaksud system apakah yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dari beberapa sistem yang dikemukakan diatas untuk mengetahui hal ini terlebih dahulu kita akan mengemukakan dasar hukum dari pendaftaran tanah yang dilaksanakan di Indonesia yang dapat kita temukan dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Agaria yang selengkapnya berbunyi :

Ayat 1 : Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
  1. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.
  2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ayat 3: Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi, serta kemungkinan penyelenggaraan menurut pertimbangan menteri agraria.

Ayat 4: Dalam peraturan pemerintah di atas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas dengan ketentuan-ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.[35]

Dari ketentuan pasal 19 ayat 2 di atas huruf C Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan dasar hukum Pendaftaran Tanah tersebut dapat kita ketahui bahwa yang didaftarkannya hak-hak atas tanah akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kata “kuat” dalam pengertian pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA tersebut di atas adalah berarti bahwa sertifikat tanah yang diberikan tersebut adalah tidak mutlak, dan membawa akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sepanjang tidak ada yang membuktikan keadaan yang sebaliknya.

Yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut adalah tidak benar, kalau kita hubungkan ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C dengan sistem-sistem pendaftaran tanah yang telah dikemukakan di atas, maka akibat hukum dari ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA dengan kata lain bahwa system yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pendaftaran Tanah adalah system Negatif dengan tendensi positif.[36]

Sedangkan sistem yang dianut UUPA adalah sebagai berikut :
1) Menurut DR. Ny. Mariam darus badrul Zaman, S.H (dalam bukunya bab-bab tentang hipotik)
Menurut beliau sistem yang dianut UUPA adalah sistem campuran, antara Sistem Negatif dan Positif, hal ini terlihat dengan adanya perlindungan pada pemilik yang sebenarnya (Sistem Negative), sedangkan sistem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah, dimana sebelumnya diterbitkan sertifikat tanah, terlebih dahulu diadakan penjajahan terhadap peristiwa-peristiwa hukum apa saja yang mendahului penyerahan.[37]

2) Menurut Abdur Rahman (dalam tulisannya Berita Pusat Study hukum Tanah Fakultas Hukum Uniam No 5/Mei/1978
Beliau cenderung condong pada pendapat DR. Ny Mariam yang mengatakan bahwa sistem pendaftaran yang dianut UUPA dan PP No 10/1961 adalah campuran (positif dan negative) dimana dalam sistem yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negative dan positif sudah tertutup. Sistem yang demikian ini menurut hematnya pada saat masa sekarang sangat baik dan cocok keadaannya dengan keadaan di Negara kita, sekalipun memang harus diakui perlunya diadakan beberapa penyempurnaan guna disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan.[38]

3) Menurut DR. Sumarti Hartono (dalam buku beberapa pemikiran kearah pembaharuan Hukum hal 107)
Menurut beliau katanya setelah UUPA berlaku selama hampir 20 tahun tiba saatnya kita berpegang pada sistem positif, yang menjadikan sertifikat tanah satu satunya alat bukti untuk membuktikan hak milik atas tanah dengan pengertian bahwa apabila dapat membuktikan bahwa sertifikat itu palsu / diupalsukan / diperoleh dengan jalan yang tidak sah / karena paksaan / pungutan liar / menyogok. Misalnya maka tentu saja sertifikat itu dianggap tidak sah sehingga menjadi batal dengan sendirinya (Van Rechts Weignieting).[39]

Mantaha, mantan kepala jawatan pendaftaran tanah menyatakan bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang dianut sekarang ini adalah sistem negative dengan tendensi positif. 

Dengan sistem ini keterangan-keterangan yang ada apabila tidak ternyata benar maka dapat diubah dan dibatalkan.[40]

Dengan pasal 19 Undang-Undang Agraria ini, maka untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan suatu peraturan pemerintah.

Berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, pendaftaran tanah berdasarkan azas-azas sebagai berikut.

a. Azas Sederhana 
Maksudnya sederhana dalam pendaftaran tanah adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknnya maupun prosedurnya dengan mudah dimengerti atau dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah.

b. Azas Aman 
Azas aman adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara lebih dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Azas Terjangkau 
Azas terjangkau adalah keterjangkauan bagi pihak yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi tanah lemah.

d. Azas Mutakhir 
Azas mutakhir menentukan data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu dengan keadaan nyata di lapangan, masyarakat dapat memperoleh keterangan data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pola Azas Terbuka.[41]

e. Dasar Hukum Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 
Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan hukum dasar dan sekaligus merupakan sumber hukum dalam arti formal artinya, sumber berlakunya hukum, sumber berlakunya peraturan-peraturan hukum. Apabila dilihat dari pasal-pasalnya UUD 1945 hanya berisikan 37 pasal dengan 4 pasal peraturan peralihan, diantara ke 37 pasal itu adalah pasal 33 ayat 3 yang menjadi dasar berlakunya UUPA No 5 Tahun 1960, jadi berdasarkan uraian diatas tersebut jelas bahwa UUPA No 5 Tahun 1960 itu dibentuk berdasarkan Undang-Undang 1945.[42]

Badan Pembentuk Undang-Undang pada waktu pembentukan UUPA itu menggunakan pola pikiran hukum adat, dimana kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam hukum adat yaitu hukum agraria adapt, dilengkapi oleh hukum agraria barat. Jadi hakekatnya UUPA No 5 Tahun 1960 adalah hukum agraria adat dengan “Baju Baru” yaitu hukum agraria adat yang diberi bentuk tertulis berbentuk Undangn-Undang.[43]

Sedang Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No 5 Tahun 1960, jadi dasar hukum berlakunya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang No 5 Tahun 1960.

Tujuan Pendaftaran Tanah
Dalam Peraturan yang menyempurnakan PP No 10 Tahun 1961 ini tetap dipertahankan tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah sebagai yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA yaitu bahwa Pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan. Rincian tujuan pendaftaran tanah dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah :

a. Untuk memberikan kepastian hukum perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertifikat sebagai tanda buktinya. Inilah yang merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaranya diperintahkan oleh pasal 19 UUPA, maka memperolah sertifikat bukan sekedar fasilitas melainkan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang.


Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana termasuk dalam pasal 19 ayat 2 huruf C. UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan buku tanah adalah dokumen yang dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah-tanah yang sudah ada haknya.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan Hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah di daftar. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Nasional kabupaten/kota madya. Para pihak yang berkepentingan terutama calon pembeli atau calon kreditur sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah atas satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan terbuka untuk umum ini sesuai dengan asas pendaftaran yang bersifat terbuka.

Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah untuk dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisiknya dan data yuridisnya belum. 

c. Untuk terselenggaranya tartib administrasi pertanahan, Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dan tertib. Administrasi dibidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihannya, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.[44]

Dari berbagai tujuan pendaftaran di atas merupakan wujud pembaharuan hukum tanah Indonesia, karena hukum Agraria yang berlaku sebelum di Undangkannya. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 adalah Hukum Agraria Barat dan Hukum Agraria Adat. Hukum Agraria kolonial tersusun berdasarkan dan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya dipengaruhi oleh biaya, sehingga sangat besar kemungkinannya yang terjadi adalah adanya pertentangan kepentingan rakyat dan Negara dalam melaksanakan pembangunan semesta dan juga sebagai akibat politik Hukum pemerintah jajahan itu, hukum agraria mempunyai sifat dualisme hukum yaitu berlakunya peraturan-peraturan Hukum adapt disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan pada Hukum Barat, hal ini selalu menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, dan juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa Indonesia.

Masalah-masalah yang timbul adalah adanya ketidakpastian hukum hak atas tanah oleh rakyat Indonesia, Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria kolonial yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memberikan jaminan hukum (Recht Kadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum Agraria adapt tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalau di daftar oleh pemerintah Hindia Belanda tujuannya bukan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.

Jadi dengan telah di Undang-Undangkannya Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dianut dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 rakyat Indonesia yang mempunyai hak-hak atas tanah memperoleh kepastian hukum hak-hak atas tanah dengan melaksanakan pendaftaran tanah miliknya sebagaimana tertuang dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran.
Blog, Updated at: 16.43.00

0 komentar:

Posting Komentar