Konsep-konsep Sosiologi

Posted By frf on Minggu, 30 Oktober 2016 | 10.43.00

Konsep-konsep Sosiologi 
Dalam setiap disiplin ilmu, pasti ada kontroversi, termasuk sosiologi. Walaupun para ahli sosiologi sudah berhasil dalam mengidentifikasi sejumlah konsep-konsep dasar sosiologis dan memperoleh konsensus mengenai arti penting tentang itu, konsep-konsep tersebut sering digambarkan dengan cara yang berbeda oleh berbagai peneliti. Kebanyakan para ahli sosiologi terkemuka sangat memperhatikan permasalahan dalam definisi disiplin ilmu sosiologi itu. Herbert Blumer, seorang ahli sosiologi yang terpandang, menetapkan bahwa konsep-konsep yang menjadi kunci dalam sosiologis adalah "samar-samar, ambigu, dan tak tentu" dan usaha itu untuk membuat terminologi yang lebih tepat telah menjadikan sebagian besar ‘tanpa buah’ (Quated dalam Gitter dan Manheim, 1957; 2). 
Zetterberg menuliskan dengan jernih tentang masalah ini sebagai berikut:. Socilogists have spent much energy in developing technical definitions, but to date they have not achieved a consensus about them that is commensurate with their effort. At present there are so many different competing definitions for key sociological notions such as “status” and “social role” that these terms are no more valuable than their counterparts…. In everyday speech” (Zetterberg, 1966: 30). (Para ahli sosiologi sudah menghabiskan banyak energi dalam mengembangkan definisi teknis, tetapi sampai saat ini mereka belum mencapai suatu konsensus tentang mereka bahwa hal itu adalah setaraf dengan usaha mereka. Pada saat sekarang ini terdapat sangat banyak perbedaan persaingan definisi-definisi untuk gagasan kunci sosiologi seperti "status" dan "peranan sosial" bahwa terminologi ini adalah tidak lagi berharga dibanding rekan imbangan mereka…. Di dalam pembicaraan sehari-hari".

Sebaliknya, Horton dan Hunt (1991: 48-49) mengemukakan pendapat yang jauh berbeda. Mereka beranggapan bahwa studi sosiologi yang menggunakan konsep-konsep tersebut paling tidak ada dua manfaat: Pertama, kita memerlukan konsep yang diutarakan dengan teliti untuk melangsungkan suatu diskusi ilmiah. Bagaimana saudara dapat akan mampu menerangkan mesin pada seseorang yang tidak memiliki konsep “roda”… Kedua, perumusan konsep menyebabkan ilmu pengetahuan bertambah. 

Namun ironisnya walaupun perselisihan faham konseptual dalam sosiologi, laju perkembangan dan corak baru disiplin tersebut tidak terpengaruh buruk bahkan mempercepat laju perkembangan bidang tersebut. Walaupun saat itu sosiologi tidak benarbenar muncul sebagai disiplin tersendiri sampai abad yang ke sembilan belas. Baru ketika sosiologi berhasil mendewasakan dirinya dan menjadi lebih ilmiah, semula kita mengharapkan konsensus yang lebih konseptual untuk lebih memudahkan perkembangan sosiologi, namun kenyataannya tetap sulit. 

Konsep-konsep sosiologi seperti masyarakat, peran, konflik sosial, lembaga sosial, kebiasaan (mores), norma, jarang difinisiakn cara serupa atau sama. Di samping itu masalah lain yang muncul ketika grand theory yang bukan hasil seorang peneliti, mendefinisikan terminologi dengan cara yang berbeda dibanding dengan ahli sosiologi yang melakukan penelitian lapangan. Fakta bahwa terdapat tingkat persetujuan tentang makna dari penguasaan konsep-konsep pokok dalam sosiologi yang menyatakan bahwa secara sosiologis perspektif itu dapat memberikan suatu kontribusi substansial untuk membantu penguasaan dasar para siswa dalam memecahkan permasalahan sosial dan membuat keputusan tentang isu sosial yang penting. 

Untaian fakta-fakta, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi, dan teori-teori suatu disiplin itu diberi nama struktur ilmu. Hal ini mulai dikenal ketika di Amerika Seriakt khususnya terjadi suatu perubahan besar atau revolusi Studi Sosial yang terjadi pada tahun 1960-an.. Ketika pendidik di sana pertama kali menganut konsep struktur ilmu, mereka merasakan optimisme pemecahan permasalahan kependidikan. Sebab pada saat itu mereka mempunyai suatu alternatif untuk mengajar suatu massa yang membuat para siswa tidak mudah lupa namun juga tidak terlalu dibebani dengan sederetan fakta-fakta yang memberatkan untuk dihafal. Jerome S. Bruner mungkin orang yang paling berpengaruh di dalam revolusi structuralis (Banks, 1977: 244). Bagaimana tidak, sejumlah riset yang dilakukan oleh para ahli lainnya mendukung gagasan Bruner dalam karya monumentalnya The Process of Education (1960). Penelitian Senes (1964) yang meneliti di bidang pendidikan ekonomi, Crabtree (1967) meneliti pendidikan geografi, dan Burger (1970) meneliti dalam pendidikan sejarah (Hasan: 1996: 90). Ternyata dengan belajar menguasai struktur ilmu sesuai dengan perkembangan peserta didik (seperti; konsep-konsep, generalisasigeneralisasi, maupun teori-teori) jauh lebih cepat ingat dalam memori daripada dengan menghafal problema-problema yang bersifat “collective memory” dengan gundukan peristiwa-peristiwa hafalan..

Dalam pandangannya, Bruner berasumsi bahwa melalui pembelajaran disiplin ilmu khususnya penguasaan struktur ilmu, maka akan terjadi transfer of lerning yang lebih memberi kemudahan bagi siswa untuk belajar lebih cepat terutama dengan non-specifik transfer yang sifatnya umum dan ini yang merupakan the hesrt of educational process jantungnya proses pendidikan (Bruner, 1960: 23-26), walaupun dalam realitanya Bruner dan rekan-rekannya mempunyai berbagai kesulitan bahwa ada beberapa hal yang tidak memadai untuk dibayangkan sebelumnya yang menyebabkan gagalnya implementasi MACOS (Man A Course of Study) yang ujicobakannya namun saya berpendapat bahwa itu adalah masalah teknis yang terlalu mengharapkan Studi Sosial yang betul-betul terpadu (sintetik), dan kebenaran teori Bruner tersebut tetap menjadi kontributor terpenting strategi penguasaan disiplin ilmu. Oleh karena itu di sini kita akan memulai menguraikan konsep-konsep sosiologi yang sering diajarkan berdasarkan kelaziman dalam mata pelajaran tersebut. 

Adapun konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi tersebut, mencakup; (1) masyarakat; (2) peran (3) norma; (4) sanksi; (5) interaksi sosial ; (6) konflik sosial; (7) 39 perubahan sosial; (8) permasalahan sosial; (9) penyimpangan, (10) globalisasi, (11) patronase, (12) kelompok, (13) patriarki, (14) hirarki 

1. Masyarakat 
“Masyarakat” adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan merupakan sistem sosial yang pengaruh-mempengaruhi satu sama lain (Shadily, 1980: 31; Soekanto, 1993: 466). Dengan demikian hidup bermasyarakat merupakan bagaian integral karakteristik dalam kehidupan manusia. Kita tidak dapat membayangkan, bagaimana jika manusiatidak bermasyarakat. Sebab sesungguhnyalah individu-individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya, karena manusia itu adalah mahluk sosial. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai manusia (Campbell, 1994: 3). Kesalingtergantungan individu atas lainnya maupun kelompok ini menghasilkan bentuk-bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg, dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu yang merupakan sebuah keniscayaan.. Jadi, sebuah masyarakat pada dasarnya adalah sebentuk tatatanan; ia mencakup pola-pola interaksi antar manusia yang berulang secara ajeg pula. Tatanan ini bukan berarti tanpa konflik ataupun tanpa kekerasan, semuanya serba mungkin, serta kadarnya jelas bervariasi dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Akan tetapi, bagaimanapun rendahnya suatu masyarakat tetap tidak hanya sekedar penjumlahan beberapa manusia, melainkan sebuah pengelompokan yang teratur dengan keajegan-keajegan interaksi yang jelas.

2. Peran 
“Peran” adalah satuan keteraturan perilaku yang diharapkan dari individu. Tiap-tiap hari, hampir semua orang harus berfungsi dalam banyak peran yang berbeda. Peran dalam diri seseorang ini sering menimbulkan konflik. Sebagai contoh, para guru sekolah dasar perempuan, diharapkan untuk mempersiapkan pengajaran IPS di sekolah tiap hari sebagai kewajiban profesinya, namun di sisi lain ia juga bertanggung jawab sebagai istri dalam urusan keluarganya. Pada saat sore dan malam hari ia mengurus anak-anaknya di rumah serta keperluan rumah tangga lainnya seperti mempersiapkan makanan untuk anak-anak dan suaminya, mengawasi anak-anaknya belajar, membereskan dan merawat kebersihan ruangan, perabot rumah tangga, dan sebagainya.. Inilah yang sering disebut sebagai peran ganda, dan peran semacam ini hampir terjadi pada setiap profesi. 

3. Norma 
Suatu ‘norma’ adalah suatu standard atau kode yang memandu perilaku masyarakat.. Norma-norma tersebut mengajarkan kepada kita agar peri-laku kita itu benar, layak atau pantas.. Dalam kehidupan masyarakat kita, orang-orang sering diharapkan untuk berpakaian dan berbicara yang sesuai dengan tuntutan dan kondisinya. Seseorang yang akan menghadiri pesta pernikahan, jelas akan berpakaian lain dibanding ia akan berolahraga. Begitu juga kebiasaan untuk anak-anak sering diharapkan untuk bertindak, berbicara dan berprilaku, sopan sesuai dengan kehendak orang dewasa. Sebaliknya juga pada orang dewasa itu sendiri biasanya diharapkan untuk bisa bertindak sopan ataupun hormat jika ia bertamu ke rumah orang lain.

4. Sanksi 
‘Sanksi’ adalah suatu rangsangan untuk mlakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan (Soekanto, 1993: 446). Begitu juga hal yang serupa dikemukakan K. Daniel O’Leary dan Susan G. O’Leary dalam Classroom Management: The Successful Use of Behavior Modification mengemukakan bahwa sanksi merupakan upaya dengan suatu konsekensi yang diduga dapat mengurangi atau menurunkan kemungkinan untuk melakukan perbuatan melanggar untuk masa yang akan datang O’Leary dan O’Leary, 1977: 110).

5. Interaksi Sosial 
‘Interaksi sosial’ adalah proses sosial yang menyangkut hubungan timbal-balik antar pribadi, kelompok, maupun pribadi dengan kelompok. (Poponoe, 1983: 104; Soekanto: 1993: 247). Interaksi sosial tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Mengingat dalam interaksi sosial tersebut di samping ruang-lingkupnya sangat luas dan bentuknya yang dinamis (Gillin dan Gillin, 489). Bagi siswa di kelas konsep ‘interaksi so.

6. Konflik Sosial 
Konflik sosial adalah merupakan pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan fihak lain. Konflik sosial juga bisa berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau menghancurkan kelompok lain, walaupun hal itu tidak menjadi tujuan utama aktivitas kelompok tersebut (Soekanto, 1993: 101). Dalam wujudnya konflik sosial itu bisa tersembunyi tersebunyi (covert) maupun terbuka. Konflik sosial merupakan salah satu bentuk interaksi sosial di mana ekstrem yang satu mengarah ke integrasi sosial yang sudah menjadi suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan, dan yang lain ke konflik sosial. Tercapainya ‘tata tertib’ dan ‘konflik’ adalah dua kenyataan yang melekat bersama dalam setiap sistem sosial. Sebab tumbuhnya tata tertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakatnya, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik dalam masyarakat. Justru sebaliknya, tumbuhnya tata tertib sosial mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial dalam masyarakat. Dengan demikian jika kita berbicara tentang ‘stabilitas’ dan ‘instabilitas’ dari suatu sistem sosial, maka yang di kita maksudkan adalah tidak lebih dari menyatakan derajat keberhasilan atau kegagalan dari suatu tertib normative dalam mengatur kepentingan yang saling berkonflik (Lockwood, 1965: 285).

7. Perubahan Sosial 
‘Perbahan sosial’ mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritzer, 1987: 560). Kemudian sosiolog lain mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat (Persel, 1987: 586). Dari dua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial segala transformasi pada individu, kelompok, masyarakat, dan lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. 

8. Permasalahan sosial 
Istilah ”permasalahan sosial” merujuk kepada suatu kondsi yang tidak dinginkan, tidak adail, berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.. Dalam pendekatannya, studi tentang permasalahan sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni pendekatan; (1) realis dan obyektif, (2) pendekatan pendekatan konstruksionisme sosial. (Pawluch, 2000: 995). Perhatian utama kelompok yang memakai pendekatan realis dan obyektif mengidentifikasi berbagai kondisi dan kekuatan dasar yang menjadi sebab dari permasalahan tersebut, seringkali dengan sebuah pandangan yang mengutamakan tindakan amelioratif (peningkatan nilai makna dari makna biasa mapun buruk menjadi makin baik). Sedangkan pendekatan konstruksionisme sosial, tidak memusatkan pada perhatian kondisi-kondisi obyektif, tetapi mengarahkan pada suatu definisi proses sosial di mana kondisi tersebut muncul sebagai permasalahan 

9. Penyimpangan 
Istilah ”penyimpangan” atau deviance sebenarnya dalam sosiologi telah lama ada sejak awal kelahiran ilmu tersebut. Akan tetapi makna sosiologisnya baru muncul belakangan. Para sosiolog dan kriminolog mengartikan sebagai perilaku yang terlarang, perlu dibatasi, disensor, diancam hukuman, atau label lain yang dianggap buruk sehingga istilah tersebut sering dipandankan dengan ”pelanggaran aturan” (Rock, 2000: 227-228). Namun demikian istilah ”penyimpangan” tersebut tetap lebih luas daripada kriminalitas karena yang menyimpang itu tidak sepenuhnya melanggar secara kriminal. Dalam sosiologi, istilah ”pemnyimpangan” memang selalu tidak jelas bagi para sosiolog. Oleh karena itu setiap sosiolog punya punya pemahaman sendiri (bersifat adhoc) atas istilah tersebut. Namun dmikian bagi kaum sosiolog untuk mengkaji beberapa perilaku yang dianggap ”aneh” dapat memenuhi kebutuhan untuk memuaskan rasa ingintahu, memahami hal-hal aneh, merupakan alasan yang sahih bagi sosiologi untuk mengadakan kajaian ilmiah atas istilah tersebut.

10. Globalisasi 
Istilah ”globalisasi” merujuk pada implikasi tidak berartinya lagi jarak nasional, regional, maupun teritorial, sehingga apapun yang terjadi dan berlangsung di satu tempat, bukan jaminan bahwa kejadian atau peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh di tempat lain (2002: Ohmae, 3-30). Runtuhnya suatu ekonomi, politik, dan sosial budaya suatu negara, bisa jadi negara lain juga ikut merasakan dampaknya. Suasana chaos di satu negarabangsa, sangat berimbas ke negara lain. Begitu juga budaya ”meyimpang” yang tumbuh subur di satu negara, tidak menutup kemungkinan cepat ”menular” ke negara lain. Ibarat dunia yang semakin tidak terbatas lagi, globalisasi dapat dimetaforakan sebagai kamar yang 45 tanpa sekat, di mana ratusan negara-bangsa seolah menyatu, seakan-akan berada dalam satu keluarga. 

11 Patronase 
Istilah ”patronase” dalam istilah ilmu-ilmu sosial lebih banyak dikaitkan dengan birokrasi sehingga dikenal ”birokrasi patrimonial”. Dalam birokrasi patrimonial ini serupa dengan lembaga ”perkawulaan”, di mana ”patron” adalah ”gusti” atau ”juragan”, dan klien adalah ”kawula”. Hubungan antara gusti dan kawula tersebut bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali perhubungan (Kuntjoro-Jakti, 1980: 6).

12. Kelompok 
Konsep ”kelompok” atau ”group” secara umum dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang disatukan oleh suatu prinsip, dengan pola rekrutmen, hak dan kewajiban tertentu. (Holy, 2000: 421). Konsep ini sangat dominan dalam kajian soiologi karena dalam kajian ”kelompok” tersebut difahami berbagai interaksi yang bersifat kebiasaan (habitual), melembaga, atau bertahan dalam waktu relatif lama, yang biasanya terjalin antar kelompok..

13. Patriarki 
Secara harfiah ”patriarki” berarti aturan dari pihak ayah. Istilah ini memiliki penggunaan yang cukup luas namun umumnya memiliki kecenderungan untuk mendeskripsikan kondisi superioritas laki-laki atas perempuan (Cannel, 2000: 734). Dalam sejarah modern istilah tersebut muncul oleh Henry Maine dengan karyanya Ancient Law (1861). Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa keluarga patriarkal merupakan dasar dan unit universal dari masyarakat (Coward, 1983: 18), yang berasumsi bahwa organisasi manusia sepenuhnya bersifat sosial sejak awal. Pendapat tersebut tentu saja mendapat kritik keras dari alairan-aliran evolusi keluarga dan masyarakat, seperti Bachoven (1861, McLennan (1865), dan Morgan (1877), karena bagi mereka bahwa terciptanya masyarakat modern melalui berbagai tahapan budaya. 

14. Hirarki 
Konsep ”hirarki” merujuk kepada suatu jenjang atau tatanan atau peringkat kekuatan, prestise atau otoritas. Ditinjau dari historisnya secara umum konsep hirarki diserap oleh ilmu-ilmu sosial pada mulanya hanya mengacu kepada gereja, pemerintahan pendeta, dan bisanya Gereja Katolik Roma. Dalam pengertian yang lebih luas merujuk pada organisasi bertingkat dari para pendeta atau paderi (Halsey, 2000: 433)..
Blog, Updated at: 10.43.00

0 komentar:

Posting Komentar