Pengertian, Sejarah, Tujuan Dan Azas Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria

Posted By frf on Sabtu, 18 Februari 2017 | 16.38.00

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam undang-undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat 2, yang menyatakan, bahwa, “seluruh wilayah Indonesia kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia.” Pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa : “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara.

Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan, kiranya dapat dijelaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru di kenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atas bagian bumi, hanya permukaannya yaitu yang disebut tanah. Selain hak milik sebagai hak turun-temurun yang dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan pula hak guna bangunan, dan hak bakat yang akan ditetapkan dengan undang-undang lain (pasal 4 Jo 16).[1]

Tanah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan bagian dari kehormatan, karena itulah tanah bukan saja dilihat dari hubungan ekonomis sebagai salah satu faktor produksi. Tetapi lebih dari itu tanah mempunyai hubungan emosional dengan masyarakat, lebih-lebih lagi masyarakat Indonesia yang agraria di mana lebih dari 60% penduduknya hidup di sekitar pertanian. Selain itu tanah sebagai ajang kehidupan dan salah satu faktor produksi yang penting, di samping harus menjamin tersedianya ruang untuk membangun sarana dan prasarana.[2]

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5 tahun 1960 UUPA Pasal 26 Ayat 1 ditentukan bahwa: “Jual beli, penukaran, penghibahan,pemberian dan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk peralihan hak milik serta pengawasannya diatur oleh Pemerintah,sedangkan peraturan pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah, pasal 34 ayat 2 dan pasal 54 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa : peralihan hak guna bangunan dan hak pokok salah satunya terjadi karena jual beli”. Sedangkan pasal 34 ayat 5 menyebutkan bahwa : “jual beli yang dilakukan di hadapan notaris yang nantinya akan dibuktikan dengan akta tanah”. 

Pada umumnya jual beli adalah menukar suatu barang dengan cara yang tertentu. Namun di dalam pasal 1457 KUUHPdt jual beli nyang obyeknya tanah, mempunyai pengertian “jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang mempunyai tanah “penjual” berjanji dan mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan, kepada pihak lain yang disebut “pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui.

Dalam hukum adat “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum jual beli tanah dalam hukum adat merupakan perbuatan pemindahan atau peralihan hak pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli.[3]

Sebelum membuktikan hak milik dari jual beli maka seseorang harus melakukan proses peralihan hak milik terlebih dahulu seperti yang dijelaskan dalam Undang Undang No 5 tahun 1960 pasal 23 UUPA menjelaskan bahwa: “Hak milik,demikian pula setiap peralihan,hapusnya dan pembebanannya dengan hak hak lain harus didaftarkan”. Agar jual beli yang dilakukan nantinya akan mendapatkan kepastian hukum. Selanjutnya apabila tanah yang sudah berpindah kepemilikannya itu harus didaftarkan seperti ketentuan pasal 19 UU No. 5 tahun 1960 tentang pendaftaran tanah, supaya nantinya mendapatkan bukti kepemilikan dengan akta tanah. 

Namun dalam realitanya masih banyak praktek jual beli tanah yang tidak sesuai dengan undang –undang No.05 tahun 1960 UUPA tentang jual beli tanah. Di kabupaten Tulungagung penerapan undang undang tersebut masih sangat minim, di Kabupaten ini masih ditemukan praktek jual beli tanah yang prosedurnya tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam undang undang, salah satunya jual beli yang masih sering dilakukan adalah jual beli dibawah tangan, jual beli tanah waris, kasus seperti ini penulis temukan di Desa podorejo Kecamatan Sumbergempol. 

Berdasarkan uraian diatas maka penulis memilih judul “Praktek Jual Beli Tanah menurut UU No. 5 Tahun 1960 Undangn-Undang Pokok agraria (UUPA). (Study di desa Podorejo Kec. Sumbergempol Kab. Tulungagung). 

B. Penegasan Istilah dalam Judul
Untuk menghadapi kesalah pahaman interprestasi yang salah terhadap pengertian judul skripsi ini, maka perlu terlebih dahulu diberikan penjelasan istilah yang dianggap perlu dalam studi terhadap prosedur jual beli tanah yang berada di Desa Podorejo.
1. Penegasan Istilah 
Jual beli ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar harga yang telah disepakati.[4]
Tanah adalah permukaan bumi.

2. Penegasan Operasional 

Study tentang praktek jual beli tanah di Desa Podorejo Kec. Sumbergempol Kab. Tulungagung meliputi :
  • Praktek jual beli tanah di Desa Podorejo 
  • Kendala-kendala pelaksanaan jual beli di Desa Podorejo 
  • Pemahaman masyarakat tentang jual beli tanah di Desa Podorejo.
C. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 
1. Identifikasi masalah 
  • Prosedur jual beli tanah di Desa Podorejo 
  • Hal-hal yang menjadi kendala pelaksanaan jual beli tanah di Desa Podorejo 
  • Pemahaman masyarakat Desa Podorejo tentang jual beli tanah 
2. Pembatasan masalah 
Demi tercapainya dan terwujudnya pembahasan sesuai dengan yang diharapkan penulis maka permasalahan yang timbul akan penulis batasi sebagai berikut :
  • Pelaksanaan jual beli tanah di Desa Podorejo
  • Kendala-kendala peralihan hak milik tanah dari hasil jual beli tanah 
  • Pemahaman Masyarakat Desa Podorejo tentang jual beli tanah 
3. Rumusan Masalah
Dari tersebut diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
  • Bagaimana praktek jual beli tanah di Desa Podorejo.
  • Apa yang menjadi kendala terhadap pelaksanaan jual beli tanah di Desa Podorejo.
  • Bagaimana pemahaman Masyarakat Desa Podorejo tentang masalah jual beli tanah 
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 
1. Tujuan Penelitian 
  • Untuk mengetahui bagaimana praktek jual beli tanah yang ada di Desa Podorejo.
  • Untuk mengetahui kendala apa yang menjadi penghambat pelaksanaan jual beli.
  • Untuk mengetahui pemahaman Masyarakat tentang masalah jual beli tanah.
2. Kegunaan Penelitian
a) Bagi Peneliti
  1. Untuk memenuhi tugas guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada STAIN Tulungagung 
  2. Sebagai masukan dan tambahan penulis dalam mengimplementasikan teori perkuliahan di lapangan terutama yang berkaitan dengan permasalahan jual beli tanah yang ada di Desa Podorejo.
b) Bagi pengembangan ilmu 
  1. Sebagai masukan pada pejabat yang berwenang dalam mengambil keputusan.
  2. Sebagai bahan pijakan (Referensi) pada peneliti serupa.
c) Bagi masyarakat 
Sebagai bahan informasi dan sumbangan pikiran bagi siapa saja yang membaca skripsi ini. 

E. Sistematika Pembahasan/Out Line
Untuk memperoleh suatu gambaran tentang sistematika pembahasan dalam skripsi ini maka perlu dijelaskan dengan maksud agar lebih mudah di mengerti dan dipahami. 

Sistematika pembahasan dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian, preliminer yang berisi ; halaman judul, halaman pengajuan, halaman persetujuan, halaman penyelesaian, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, dan daftar isi. Bagian pokok atau isi yang memuat teks pokok yang terdiri dari :

Bab I pendahuluan, terdiri dari : latar belakang masalah, penegasan istilah dalam judul, identifikasi masalah, pembatasan, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, sistematika pembahasan.

Bab II Tinjauan pustaka, Sejarah pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, pengertian jual beli, tujuan jual beli, pengertian tanah dan hukum tanah, pengertian pendaftaran tanah dan juga tujuannya.

Bab III Metodologi penelitian, yang terdiri dari pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan dan analisa data. 

Bab IV Proses jual beli tanah di Desa Podorejo, kendala-kendala jual beli yang terjadi, dan Pemahaman Masyarakat Desa Podorejo tentang masalah jual beli tanah.

Bab V penutupan yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Bagian terakhir terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 
A. Sejarah Tujuan Dan Azas Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria 
1. Sejarah Penyusunan UUPA
Upaya pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan Hukum Agraria Kolonial yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitiaan yang diberi tugas menyusun Undang-Undang Pokok Agraria, selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang maka baru pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria Nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Panitia Agraria Yogya
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di Yogjakarta dengan diketahui Satimin Reksodiharjo kepala bagian Agraria kementerian dalam negeri.

Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang merupakan dasar-dasar Hukum Agraria baru, yaitu :
  • Meniadakan asas domain dan pengakuan hak wilayah.
  • Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
  • Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di Negara-negara lain, terutama Negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
  • Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar para petani kecil dapat hidup layak dan di jawa diusulkan 2 hektar.
  • Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan luas tanah yang tidak memandang luas tanahnya dan untuk jawa diusulkan 10 hektar sedangkan diluar jawa masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
  • Menganjurkan menerima sekema hak-hak tanah yang diusulkan oleh hyhpanitia agraria Yogja.
  • Mengadakan pendaftaran hak milik dan hak-hak menumpang yang penting.[5]
2. Panitia Agraria Jakarta 
Panitia Agrarian Jakarta dibubarkan dengan ketentuan Presiden No 36 Tahun 1951 Tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dibentuk panitia Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta dan diketuai oleh Singgih Praptodiharjo, wakil Kepala bagian Agraria kementerian dalam negeri.

Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk pertanian rakyat kecil yaitu :
  • Mengadakan batas minimum pemilikan tanah yaitu 2 hektar dengan mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya Hukum Adat dan Hukum Waris.
  • Mengadakan ketentuan batas minimum pemilikan tanah yaitu 25 hektar untuk satu keluarga.
  • Pertanian rakyat dalamnya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan membeda-bedakan antara warga Negara yang asli dan bukan asli. Badan Hukum tidak dapat mengerjakan Tanah Rakyat.
  • Bangunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hak milik, Hak Usaha, Hak Sewa, dan Hak Pakai.
  • Penganturan hak sesuai dengan Pokok-Pokok Dasar Negara dengan Undang-Undang.[6]
3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden No 1 Tahun 1956 Tanah 14 Januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria yang berkedudukan di Jakarta dan diketuai Soewahjo Soemodilego, Sekretaris Kementerian Agraria. 

Panitia ini menghasilkan naskah rancangan Undang-Undang Pokok Agraria pada Tanggal 1 Januari 1957 yang berisi : 
  1. Dihapuskannya azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus ditundukkan pada kepentingan umum (Negara).
  2. Azas domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara atau Dasar ketentuan pasal 38 ayat 3 UUDS 1950.
  3. Dualisme hukum Agraria dihapuskan, secara sadar diadakan kesatuan hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Barat.
  4. Hak-hak Atas Tanah, Hak milik sebagai hak yang terkuat yang mempunyai fungsi social kemudian ada Hak Usaha, Hak Bangunan dan Hak Pakai. 
  5. Hak milik hanya boleh dimiliki oleh orang-orang warga Indonesia yang tidak diadakan perbedaan antara warga Negara asli dan tidak asli. Badan-Badan Hukum pada azasnya tidak boleh memiliki hak milik atas tanah.
  6. Perlu diadakannya penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi hak milik, seseorang atau badan hukum.
  7. Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
  8. Perlu diadakan pendaftaran dan perencanaan penggunaan tanah.
Berdasarkan Keputusan Presiden No 29 Tahun 1958 Tanggal 6 Mei 1958 Panitia Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan.[7]

4. Rancangan Soenarjo 
Setelah dilakukan beberapa pemilahan mengenai sistematika dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada Tanggal 14 Maret 1958.

Contoh dan Sejarah Singkat Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung

Dewan Menteri dalam sidangnya Tanggal 1 April 1958 dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui amanat Presiden Soekarno Tanggal 24 April 1958.

Dalam membahas rancangan Soenarjo, DPR mengharap perlu untuk mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Selanjutnya panitia Permusyawaratan Rakyat DPR membentuk sebuah Panitia Adhok dengan tugas 
  • Membahas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria secara Teknis dan Yuridis.
  • Mempelajari bahan-bahan yang menyangkut rancangan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan yang baru.
  • Menyampaikan laporan-laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul-usul yang dipandang perlu mengenai rancangan Undang-Undang Pokok Agraria kepada Panitia Permusyawaratan DPR.[8]
5. Rancangan Soejarwo 
Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 159 kita kembali pada UUD 1945 berhubungan rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR, beberanpa waktu lalu berdasarnkan UUDS 1950, maka dengan surat Presiden Tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.

Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan disempurnakan dengan bahan-bahan dari berbagai pihak, maka rancangan Undang-Undang Dasar Pokok Agraria yang baru diajukan oleh Menteri Agraria Soejarwo kepada Kabinet. Rancangan Soejarwo ini disetujui oleh kabinet inti dalam sidangnya Tanggal 1 Agustus 1960. Kemudian dengan Amanat Presiden Soekarno Tanggal 1 Agustus 1960 Nomor 2584/HK/60 rancangan tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Dalam sidang pleno sebanyak 3 kali pada Tanggal 12, 13, dan 14 September 1960 diadakan pemeriksaan pendahuluan, kemudian dengan suara bulat DPRGR itu menerima baik rancangan Undang-Undang Pokok Agraria. Pada hari Sabtu Tanggal 14 September 1960 rancangan Undang-Undang itu Pokok Agraria yang telah disetujui oleh DPRGR itu disyahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Bahwa tercapainya persesuaian paham antara pemerintah dan DPRGR mengenai rumusan terakhir Rancangan Undang-Udang Pokok Agraria tidaklah semudah seperti yang mungkin dilaksanakan oleh pembahasan dalam sidang plenonya. Dua minggu persis Rancangan Undang-Undang ini melewati jalan prosedur baru dari DPRGR yang penuh dengan rintangan dan kesukaran-kesukaran yang kadang-kadang sampai mencapai pada klimaksnya, tetapi selalu dijiwai oleh semangat gotong royong dan toleransi yang sebesar-besarnya yang membuktikan kebesaran jiwa saudara-saudara yang terhormat, yang mewakili golongan masing-masing yaitu: Golongan Nasionalis, Golongan Islam, Golongan Kristen-Katolik, Golongan Komunis, dan Golongan Karya. Berkat itu semua maka pemeriksaan pendahuluan telah selesai dan selamat.

Demikianlah setelah selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan pada Tanggal 14 September 1960 dengan suara bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menerima baik rancangan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, ini berarti bahwa semua golongan DPRGR menyetujuinya. Maka dengan demikian dapatlah apa yang telah disetujui itu dianggap sebagai hasil perpaduan cita-cita dan pemikiran serta kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Termasuk pula para sarjana ahli hukum, ahli adat dan agama, sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Soedjarwo pada pengantar pidatonya di atas.[9]

2. Tujuan Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria 
Tujuan di Undang-Undang UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria Nasional yaitu :
a. Meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.[10]

Dasar kenasionalan Hukum Agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA adalah :
  1. Wilayah Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
  2. Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  3. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bersifat abadi, sehingga tidak dapat diputuskan oleh siapapun.
  4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat Indonesia diberi wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  5. Hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, pengakuan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan dalam yang terkandung di dalamnya adalah warga Negara Indonesia tanpa membedakan yang asli atau tidak asli. Badan Hukum pada prinsipnya tidak mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Tujuan ini merupakan kebaikan dari sistem/cirri Hukum Agraria Kolonial yaitu Hukum Agraria Kolonial disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan (Hindia Belanda) yang ditujukan untuk kepentingan, keuntungan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi pemerintah (Hindia Belanda), orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. 

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan[11]
Dalam rangka mengadakan kesatuan Hukum tersebut sudah semestinya sistem hukum yang akan diberlakukannya harus sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.

Oleh karena itu sebagian besar masyarakat Indonesia tunduk pada Hukum Adat, maka pembentukan Hukum Agraria Nasional didasarkan pada Hukum Adat. Hukum Adat yang dijadikan adat adalah asas/konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga, dan sistem hukumnya. Dengan dijadikannya Hukum adat sebagai dasar pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Nasional, maka sekaligus tercapai kesederhanaan hukum, artinya Hukum Agraria Nasional tersebut mudah dipahami oleh masyarakat dan kemudian dilaksanakan.

Tujuan dan Sistem Pendaftaran Tanah

Tujuan kedua ini merupakan kebalikan dari sistem Hukum Agraria Kolonial, yaitu Hukum Agraria Kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, artinya pada saat yang sama berlaku dan hukum agraria yang berbeda, disatu pihak berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata dan Agrarische Wet Stb 1870 No 55 dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing.

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian Hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.[12]
Upaya untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan membuat peraturan Perundang-Undangan yang diperintahkan oleh UUPA yang sesuai dengan jiwa dan asas UUPA. Selain itu dengan melaksanakan Pendaftaran Tanah atas bidang-bidang tanah yang ada diseluruh wilayah Indonesia yang bersifat mencerdaskan yaitu Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.

Tujuan yang ketiga ini merupakan kebalikan dari ciri hukum Agraria juga, yaitu Hukum Agraria Koloni tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat yang didaftar oleh pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan-tujuan memberikan kepastian hukum (Rect Cadaster) sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Adat tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun didaftarkan tujuannya bukan untuk memperoleh kepastian hukum melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.

B. Pengertian Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli pada Zaman Rosulullah
Jual beli sudah terjadi sebelum pemerintah menetapkannya dalam undang-undang, pada zaman Rasulullah SAW pada waktu itu caranya masih primitif yaitu masih menggunakan sistem barter, tukarn menukar barang, setelah manusia memasuki abad kemajuan, mereka lalu memakai cara dan sistem penentuan harga, untuk lebih mempermudah teknis pemenuhan kebutuhannya dan menghindarkan dari kesukaran dan kesulitan.

Dengan demikian jual beli menjadi cara bekerja yang banyak membuahkan kesejahteraan manusia, karena mereka dapat berusaha mencari rizqi dengan aman dan tenang, tanpa ada yang merasa dirugikan baik kerugian secara terang-terangan, terpaksa maupun kerugian secara tersembunyi, sehingga tercipta kehidupan yang teratur. Oleh karena itu Allah SWT menghalalkan jual beli dengan sekaligus menetapkan aturan yang ibadah untuk menjamin kelangsungan dan kebaikan manusia ini.

Kenyataan memang menunjukkan bahwa sengketa perdata khususnya mengenai jual beli paling banyak terjadi, karena disebabkan tidak dipenuhi persyaratan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan itu. Peraturan dan persyaratan tersebut telah banyak ditulis di berbagai kitab dan buku khususnya di dalam kitab fiqh. Di samping itu ada beberapa aturan tata karma (etika) yang harus dijaga dan dipatuhi bersama agar tercipta iklim usaha yang adil dan bijaksana, dengan begitu tidak ada yang merasa tertipu.[13]

2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Pasal 1457 KUUHPdt.
Jual beli Tanah adalah suatu perjanjian dimana pihak yang mempunyai tanah yang disebut “Penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut “Pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan untuk membayar harya yang telah disetujui yang dijual belikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”. 

Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun npada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya pembeli sudah membayarn penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya.[14]

Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkannya secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459). Untuk itu, wajib dilakukan perbuatan hukum lain, yang disebut “penyerahan yuridis” (dalam bahasa Belanda : “juridische levering”), yang diatur dalam Pasal 616 dan 620. Menurut pasal-pasal tersebut, penyerahan yuridis itu dilakukan juga di hadapan notaries, yang membuat aktanya, yang disebut dalam bahasa Belanda “transport acte” (akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang disebut “Penyimpan hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran tersebut, tatacara penyerahan yuridis selesai dan dengan pendaftaran itu hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli.

Pasal-pasal KUUHPdt yang mengatur tatacara penyerahan yuridis sebagai kelanjutan dari jual beli tanah tersebut, belum pernah berlaku sampai dicabut oleh UUPA. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 dari Bepalingen Omtrent de Invoering van en den Overgang tot de nieuwe Wetgeving (Publikasi 3 Maret 1848 S. 10), penyerahan yuridis hak atas tanah diatur dan tatacaranya ditetapkan dalam Overschrijvingsordonnatie (S. 1834-27). (Secara tidak tepat, umum disebut “Ordonansi Baliknama”). Menurut Pasal 1 Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Overschrijvingsambtenaar (Pejabat Baliknama), yang bertugas membuat akta transportnya, sekaligus melakukan pendaftarannya. 

Ketentuan-ketentuan KUUHPdt dan Overschrijvingsordonnatie yang mengatur penyerahan yuridis itulah yang termasuk Hukum Tanah karena dengan dilakukannya penyerahan yuridis terjadi pemindahan hak atas tanah yang bersangkutan (Dalam sistematika di atas termasuk 2c).

Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Pasal 1457 KUUHPdt

Dalam Hukum Adat, “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam Hukum Adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena justru apa yang disebut “jual beli tanah” itu adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama. Maka jual beli tanah menurut pengertian Hukum Adat ini pengaturannya termasuk Hukum Tanah.[15]

3. Dalam jual beli supaya tidak ada sengketa di kemudian hari ada hukum jual beli yang harus dipenuhi rukun-rukun jual beli antara lain. 

a. Adanya penjual dan pembeli 
Syaratnya adalah : 
  • Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. 
  • Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa
  • Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir di tangan walinya. 
  • Baligh atas dalam hukum perdata cakap yang sudah berumur 15 tahun keatas / dewasa. 
b. Adanya barang yang dimiliki sendiri 
c. Adanya alat untuk melakukan pembayaran (uang).[16]

Dalam pasal 1473 dan 1476 bahwa penjual wajib menyatakan dengan jelas, untuk apa ia mengikatkan dirinya. Janji yang tidak jelas dan dapat diartikan dalam berbagai pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya. Adapun biaya penyerahan barang dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli kecuali karena diperjanjikan sebaliknya. 

Adapun kewajiban utama pembeli adalah pembayaran harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan di dalam perjanjian pasal 1513 KUHPdt.[17]

Dalam pasal 1457 KUUH-Pdt jual beli adalah suatu perjanjian-perjanjian antara 2 belah pihak. Adapun kata perjanjian yang dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPdt, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih ketentuan pasal 1313 KUHPdt ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan antara lain : 
  1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
  2. Kata perbuatan menyangkup juga tanpa consensus. Dalam pengertian buatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan.
  3. Pengertian perjanjian dalam buku 11 KUHPdt sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersufat kepribadian.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian adalah : 
  1. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang (subjek) 
  2. Ada persetujuan pihak-pihak itu 
  3. Adanya obyek yang berupa benda 
  4. Adanya tujuan bersifat kebendaan 
  5. Ada bentuk tertentu lisan maupun tulisan 
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dialasi dan diberi akibat hukum. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt. Adapun syarat syaratny antara lain: 
  1. adanya persetujuan antara pihak pihak yang membuat perjanjian (konsesus)
  2. ada keakapan pihak pihak untuk mebuat perjanjian (capacity)
  3. adanya suatu hal tertentu (obyek)
  4. adanya suatu sebab yang halal (causa)
B. Pengertian Tanah dan Hukum Tanah 
1. Pengertian Tanah
Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.

Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.

Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang… 

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan nhanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. 

Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari npermukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber npada hak tersbeut diperluas hingga meliputi juga penggunaan “sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya”. 

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Dan itu pun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata : sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang ini (yaitu : UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 

Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Penggunaan tubuh bumi itu harus ada hubungannya langsung dengan gedung yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk basement, ruang parker dan lain-lain keperluan yang langsung berhubungan dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun. Lihat BAB XII. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah :
  1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;
  2. Keadaan bumi di suatu tempat
  3. Permukaan bumi yang diberi batas;
  4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya).[18]
2. Pengertian Hukum Tanah
Tanah sebagai bagian dari bumi. Disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 12 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, serta Badan Hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[19]

Sebelum memasuki pada pengertian hukum tanah, maka kita uraikan dulu pengertian hukum. Hukum adalah sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan adanya, itu sebabnya hingga saat ini belum didapatkan suatu definisi tentang hukum yang tepat dan sempurna yang diterima oleh setiap orang (Apeldorn, 1980)[20]. 

Menurut rs. E. Utrecht, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditata oleh masyarakat itu (Ulrecht, 1957)[21]

Effendi Perangin menyatakan bahwa hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum baik yang tertulis maupun tidak terdaftar yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum yang kongkret.[22]

Dari berbagai uraian di atas dapat kita garis bawahi bahwasannya hukum tanah nadalah keseluruhan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkrit, beraspek pablik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu system.[23]

Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah, yang dimaksud hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, atau larangan-larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki, sesuatu yang boleh, wajib/dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.[24]

3. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah
Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai, “lembaga hukum” dan “hubungan hukum konkret”, nketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya ndapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal. 

Dikatakan “khas”, karena hanya dijumpai dalam Hukum Tanah dan tidak dijumpai dalam cabang-cabang Hukum yang lain. Dikatakan “masuk akal” karena mudah ditangkap dan diikuti logikanya. 

1. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum :
  • Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
  • Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. 
2. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkret :
  • Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
  • Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain
  • Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Dengan menggunakan sistematika di atas, ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan.

Hanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang disebutkan di atas dan yang termasuk dalam sistematika di atas saja yang merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah. Penentuan batas dengan bidang Hukum yang lain itu mempunyai juga manfaat praktis, karena sejak mulai berlakunya UUPA Hukum Tanah kita sudah diunifikasikan, sedang Hukum Privat, terutama Hukum Pardata, masih dualistic.

3. Ketentuan-Ketentuan Hak Milik atas Tanah
Dalam pasal 20 ayat 1 UUPA hak milik mempunyai pengertian bahwa hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah.[25]

Menurut ketentuan dalam pasal 570 KUHPdt, “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum.

Dari ketentuan pasal 570 KUHPdt dapat diuraikan pengertian sebagai berikut.
  • Hak milik adalah hak paling utama, karena pemilik dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.
  • Dapat menikmati sepenuhnya, artinya pemilik dapat memanfaatkan semaksimal mungkin.
  • Dapat menguasai sebebas-bebasnya.
  • Hak milik tidak boleh diganggu gugat, baik orang lain maupun penguasa, kecuali dengan alasan syarat-syarat dan menurut ketentuan undang-undang.
4. Ketentuan-Ketentuan Peralihan Hak Milik
Seperti yang dijelaskan dalam pasal 20 ayat 2 “Bahwa hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain” dan juga pasal 23 ayat UUPA Hak Milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

Dalam Hak Milik disebutkan padanya suatu penyerahan. Penyerahan disini memiliki arti : pengalihan suatu benda oleh pemiliknya atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain itu memperoleh hak atas benda itu. Misalnya dalam jual beli, jual beli baris dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja (obligator), tetapi belum memindahkan hak milik.

Dalam perjanjian jual beli, hibah, pemberian hadiah, tukar-menukar penyerahan itu memindahkan hak milik. Dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya, maka penyerahan benda tidak bergerak berupa tanah dan yang melekat di atasnya dilakukan dengan akta otentik di muka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Menurut peraturann yang berlaku sekarang Pejabat Pembuat Akta Tanah ini dapat berupa notaris dan dapat pula camat berdasarkan daerah kerja masing-masing. Kemudian PPAT tersebut didaftarkan ke kantor agraria setempat bagian pendaftaran tanah. Atas dasar ini pejabat pendaftaran tanah menerbitkan sertifikat hak milik sebagai tanda bukti hak.

Adapun syarat-syarat penyerahannya yaitu :
  1. Harus ada alasan hak (title)
  2. Harus ada perjanjian kebendaan
  3. Harus dilakukan oleh orang yang berhak
  4. Harus dengan penyerahan nyata.[26]
Peristiwa-peristiwa hukum seperti meninggalnya seseorang, yang mengakibatkan beralihnya karena hukum hak atas tanah yang dipunyainya kepada ahli warisnya, pengaturannya tetap oleh Hukum Waris, karena tidak ada bedanya yang hakiki dengan beralihnya unsur-unsur harta peninggalan lainnya yang bukan tanah. Tetapi pembuktian mengenai telah beralihnya hak atas tanah nyang bersangkutan kepada dan pemiliknya oleh ahli waris yang bersangkutan, pengaturannya termasuk Hukum Tanah (dalam sistematika di atas termasuk poin 2e).

Sehubungan dengan itu, maka yang dimasukkan dalam poin 2c hanyalah ketentuan-ketentuan yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum pemindahan hak, yaitu perbuatan-perbuatan hukum yang sengaja dilakukan untuk memindahkan suatu hubungan hukum konkret kepada pihak lain.

Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak semua ketentuan hukum mengenai tanah merupakan peraturan Hukum Tanah. Sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Perdata (KUUHPdt) yang tertulis, dan ada yang diatur oleh Hukum Adat yang tidak tertulis.[27]

C. Tujuan Jual Beli Tanah
Pada prinsipnya tujuan dari jual beli tanah adalah untuk peralihan hak milik atas tanah yang dijelaskan dalam pasal 23 ayat 1 UUPA,”hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebabannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal 19 pasal 1 UUPA bahwa,” kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal 2 meliputi : 
  • Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah 
  • Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya 
  • Pemberian surat tanda bukti hak-hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 
Dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 UUPA jual beli penukaran penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adapt dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. [28]

Untuk itu tujuan jual beli tanah untuk menguasai tanah secara individual, berarti bahwa tanah bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan. Tidak ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orang lain secara kolektif, biarpun menguasai dan menggunakan tanah secara bersama-sama dimungkinkan diperbolehkan. 

Hal itu ditegaskan dalam pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa,” atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud di dalam ayat 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun dengan orang lain.[29] \

1. Peralihan Hak Milik Atas Tanah
a) Penjualan di Bawah Tangan dalam Rangka Eksekusi 
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek, hak tanggungan yang dijual.

Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT (Hak Tagihan) dan dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan carna penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Biarpun tidak ada penjelasannya, kiranya penjualan di bawah tangan itu dimungkinkan juga dalam hal sudah diadakan pelelangan umum, tetapi tidak diperoleh penawaran yang mencapai harga minimum yang ditetapkan.

Pelaksanaan penjualannya hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HTN kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggal pemberitahuan tertulis adalah tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui kurir, atau tanggal pengiriman fascsimile. Juga setelah lewat waktu 1 bulan sejak diadakan pengumuman dalam sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat lainnya, seperti radio dan televise. Apabila ada perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan tanggal pengumuman, jangka waktu 1 bulan itu terhitung sejak tanggal paling akhir antara kedua tanggal tersebut. Jangkauan surat kabar dan atau media massa lainnya itu harus meliputi tempat letak obyek HT yang bersangkutan.

Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut ntetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.

Persyaratan yang ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang HT kedua, ketiga dan kreditor-kreditor bukan pemegang HT dan pemberi HT. 

b) Penjualan Di Bawah Tangan Secara Sukarela
Penjualan di bawah ntangan yang dimaksudkan itu adalah penjualan dalam rangka eksekusi HT, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 20 yang mengatur Eksekusi Hak Tanggungan. Maka biarpun untuk itu diperlukan persetujuan pemberi HT, yang melakukan adalah kreditor pemegang HT. Bukan pemberi HT ataupun pemberi HT bersama pemegang HT. Untuk itulah diperlukan janji yang disebut dalam uraian 184/I (2).

Sehubungan dengan itu tidak termasuk dalam ketentuan mengenai penjualan eksekusi di bawah tangan itu dengan syarat-syarat yang diuraikan di atas, penjualan obyek HT oleh pemberi HT, yang hasilnya disepakati untuk digunakan melunasi piutang kreditor pemegang HT, dan disepakati pula pembersihan obyek HT yang dijual dan HT yang membebaninya. Ini termasuk pengertian “penjualan sukarela”. Biarpun dibebani HT, obyek yang bersangkutan masih merupakan hak pemberi HT. Karena itu ia mempunyai hak untuk menjualnya kepada siapapun yang dikehendakinya, tidak terkecuali kepada pemegang HT sendiri. Dalam rangka melindungi kepentingan kreditor pemegang HT untuk itulah disediakan lembaga “droit de suite” (Uraian 176 B). Pada pihak lain kreditor pemegang HT pun menurut ketentuan Pasal 18 mempunyai hak melepaskan HT yang dipunyainya. 

Sudah barang tentu penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan maksud merugikan pihak lain, khususnya kreditor lain. Misalnya penjualan ataupun sebagai yang disebut dalam Akta Jual Beli yang bersangkutan. Dalam hal demikian jual-beli yang dilakukan dapat dituntut pembatalannya oleh pihak yang merasa dirugikan dengan menggunakan lembaga “Action Pauliana”. (Pasal 1341 KUUHPdt).[30]

D. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada asas hukum yang dianut oleh Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas hukum yaitu : “asas I’tikad baik” dan “asas nemo plus yuridis”, sekalipun suatu Negara menganut salah satu asas hukum tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hokum. Asas I’tikad baik berbunyi “orang yang memperoleh suatu hak dengan I’tikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini melindungi orang yang beri’tikad baik sedangkan asas nemo plus yuridis berbunyi” orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini melindungi pemegang hak yang sebenarnya.[31] Di dalam literature hukum agraria kita kenal beberapa sistem pendaftaran tanah yakni antara lain Sistem Torrens, Sistem Positif, Sistem Negative

a. Sistem Torent 
Sesuai dengan namanya, sistem ini diciptakan oleh SIR Robert Torent putra salah satu pendiri koloni Australia Selatan. Jadi sistem ini berasal dari Australia Selatan. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Act yang mulai berlaku di Australia sejak Tanggal 1 Juli 1858. Sistem ini sekarang dipakai di Aljazair, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaya, Kepulauan Fuji, Kanada, Yamanica, Trinidad, Dalam memakai sistem ini Negara-negara bersangkutan melihat pengalaman-pengalaman dari Negara-negara lain yang memakai sistem Torent ini Dalam detailnya agak menyimpang dari sistem aslinya, tetapi pada hakikatnya adalah sistem Torent yang disempurnakan dengan beberapa tambahan-tambahan serta percobaan-percobaan yang disesuaikan dengan hukum materialnya Negara-Negara masing-masing tata dasarnya adalah sama yakni The Real property Act. 

Dalam sistem ini sistem ini menyatakan bahwa sertifikat tanah merupakan alat bukti yang paling lengkap tentang gak dari pemilik yang tersebut di dalam serta tidak dapat diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilikan sejati adalah melalui dana asuransi dan untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin, terkecuali jika memperoleh sertifikat tanah, dimaksud melalui cara pemalsuan/penipuan.[32]

b. Sistem Positif
Menurut sistem ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak yang mutlak, serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.[33]

Ciri-ciri sistem ini menurut DEr. Ny Mariam Darus Badrul Zaman. S.H. dalam bukunya Bab-bab tentang Hypotik Hulas ialah bahwa pendaftaran menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah walaupun ia bukan pemilik tanah yang berhak, Stelsel ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah, pejabat-pejabat balik nama disini memberikan peran yang sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak yang dipindahkan itu dapat didaftar, menyelidiki identitas pihak-pihak, wewenang-wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disyaratkan telah dipenuhi atau tidak.

Adapun keberatan-keberatan terhadap sistem positif ini diantaranya :
  1. Peran aktif pejabat-pejabat balik nama ini memakan waktu yang lama.
  2. pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya diluar perbuatan dan diluar kesalahannya.
  3. Apa nyang menjadi wewenang pengadilan diletakkan dibawah kekuasaan administrasi.
Dengan melihat uraian di atas kita dapat menarik satu manfaat dari kegunaan sistem positif ini yaitu :
  1. Adanya kepastian dari buku tanah.
  2. Peran aktif dari pejabat balik nama tanah.
  3. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertifikat tanah mudah dimengerti oleh umum.
Dengan demikian sistem ini memberikan suatu jaminan yang mutlak terhadap buku tanah kendatipun ternyata bahwa pemegang sertifikat tanah bukanlah pemilik sejati dan oleh karena itu ketika yang ber’tikad baik. Yang bertindak berdasar bukti tersbeut akan mendapat jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat adalah tidak benar.

c. Sistem Negatif 
Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.[34]

Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah bukanlah merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain bahwa buku tanah bisa saja berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik yang sebenarnya melalui putusan yang telah mempunyai keuatan hukum tetap.

Menurut Dr. Ny. Mariam Darus Badrul Zaman, S.H dalam bukunya Bab-bab tentang Hypothek Hal 44 dan 45 (dalam Bachtiar Efendi hal 82) mengemukakan bahwa hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai. Menyelidiki apakah pemberian hak sebelumnya (Rehtsvoorganger) mempunyai wewenang menguasai (Besehikkingbe Veegdheid) atau tidak, berkaitan dengan bagaimana cara orang terdaftar itu memperoleh haknya, apakah telah memenuhi ketentuan Undang-Undang atau tidak. Demikianlah penjajahan itu dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang mendahului penyerahan. 

Kebaikan sistem negative ini adalah : 
  1. Adanya perlindungan pada pemegang hak yang sebenarnya.
  2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterima.
Azas peralihan hak atas tanah menurut system ini adalah azas-azas nemo plus yuris yakni orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal, Azas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini pemegang hak yang sebenarnya akan tetap dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

Sehubungan dengan kewajiban pendaftaran dimaksud system apakah yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dari beberapa sistem yang dikemukakan diatas untuk mengetahui hal ini terlebih dahulu kita akan mengemukakan dasar hukum dari pendaftaran tanah yang dilaksanakan di Indonesia yang dapat kita temukan dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Agaria yang selengkapnya berbunyi :

Ayat 1 : Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
  1. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.
  2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ayat 3: Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi, serta kemungkinan penyelenggaraan menurut pertimbangan menteri agraria.

Ayat 4: Dalam peraturan pemerintah di atas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas dengan ketentuan-ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.[35]

Dari ketentuan pasal 19 ayat 2 di atas huruf C Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan dasar hukum Pendaftaran Tanah tersebut dapat kita ketahui bahwa yang didaftarkannya hak-hak atas tanah akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kata “kuat” dalam pengertian pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA tersebut di atas adalah berarti bahwa sertifikat tanah yang diberikan tersebut adalah tidak mutlak, dan membawa akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sepanjang tidak ada yang membuktikan keadaan yang sebaliknya.

Yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut adalah tidak benar, kalau kita hubungkan ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C dengan sistem-sistem pendaftaran tanah yang telah dikemukakan di atas, maka akibat hukum dari ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA dengan kata lain bahwa system yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pendaftaran Tanah adalah system Negatif dengan tendensi positif.[36]

Sedangkan sistem yang dianut UUPA adalah sebagai berikut :
1) Menurut DR. Ny. Mariam darus badrul Zaman, S.H (dalam bukunya bab-bab tentang hipotik)
Menurut beliau sistem yang dianut UUPA adalah sistem campuran, antara Sistem Negatif dan Positif, hal ini terlihat dengan adanya perlindungan pada pemilik yang sebenarnya (Sistem Negative), sedangkan sistem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah, dimana sebelumnya diterbitkan sertifikat tanah, terlebih dahulu diadakan penjajahan terhadap peristiwa-peristiwa hukum apa saja yang mendahului penyerahan.[37]

2) Menurut Abdur Rahman (dalam tulisannya Berita Pusat Study hukum Tanah Fakultas Hukum Uniam No 5/Mei/1978
Beliau cenderung condong pada pendapat DR. Ny Mariam yang mengatakan bahwa sistem pendaftaran yang dianut UUPA dan PP No 10/1961 adalah campuran (positif dan negative) dimana dalam sistem yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negative dan positif sudah tertutup. Sistem yang demikian ini menurut hematnya pada saat masa sekarang sangat baik dan cocok keadaannya dengan keadaan di Negara kita, sekalipun memang harus diakui perlunya diadakan beberapa penyempurnaan guna disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan.[38]

3) Menurut DR. Sumarti Hartono (dalam buku beberapa pemikiran kearah pembaharuan Hukum hal 107)
Menurut beliau katanya setelah UUPA berlaku selama hampir 20 tahun tiba saatnya kita berpegang pada sistem positif, yang menjadikan sertifikat tanah satu satunya alat bukti untuk membuktikan hak milik atas tanah dengan pengertian bahwa apabila dapat membuktikan bahwa sertifikat itu palsu / diupalsukan / diperoleh dengan jalan yang tidak sah / karena paksaan / pungutan liar / menyogok. Misalnya maka tentu saja sertifikat itu dianggap tidak sah sehingga menjadi batal dengan sendirinya (Van Rechts Weignieting).[39]

Mantaha, mantan kepala jawatan pendaftaran tanah menyatakan bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang dianut sekarang ini adalah sistem negative dengan tendensi positif. 

Dengan sistem ini keterangan-keterangan yang ada apabila tidak ternyata benar maka dapat diubah dan dibatalkan.[40]

Dengan pasal 19 Undang-Undang Agraria ini, maka untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan suatu peraturan pemerintah.

Berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, pendaftaran tanah berdasarkan azas-azas sebagai berikut.

a. Azas Sederhana 
Maksudnya sederhana dalam pendaftaran tanah adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknnya maupun prosedurnya dengan mudah dimengerti atau dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah.

b. Azas Aman 
Azas aman adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara lebih dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Azas Terjangkau 
Azas terjangkau adalah keterjangkauan bagi pihak yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi tanah lemah.

d. Azas Mutakhir 
Azas mutakhir menentukan data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu dengan keadaan nyata di lapangan, masyarakat dapat memperoleh keterangan data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pola Azas Terbuka.[41]

e. Dasar Hukum Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 
Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan hukum dasar dan sekaligus merupakan sumber hukum dalam arti formal artinya, sumber berlakunya hukum, sumber berlakunya peraturan-peraturan hukum. Apabila dilihat dari pasal-pasalnya UUD 1945 hanya berisikan 37 pasal dengan 4 pasal peraturan peralihan, diantara ke 37 pasal itu adalah pasal 33 ayat 3 yang menjadi dasar berlakunya UUPA No 5 Tahun 1960, jadi berdasarkan uraian diatas tersebut jelas bahwa UUPA No 5 Tahun 1960 itu dibentuk berdasarkan Undang-Undang 1945.[42]

Badan Pembentuk Undang-Undang pada waktu pembentukan UUPA itu menggunakan pola pikiran hukum adat, dimana kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam hukum adat yaitu hukum agraria adapt, dilengkapi oleh hukum agraria barat. Jadi hakekatnya UUPA No 5 Tahun 1960 adalah hukum agraria adat dengan “Baju Baru” yaitu hukum agraria adat yang diberi bentuk tertulis berbentuk Undangn-Undang.[43]

Sedang Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No 5 Tahun 1960, jadi dasar hukum berlakunya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang No 5 Tahun 1960.

E. Tujuan Pendaftaran Tanah
Dalam Peraturan yang menyempurnakan PP No 10 Tahun 1961 ini tetap dipertahankan tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah sebagai yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA yaitu bahwa Pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan. Rincian tujuan pendaftaran tanah dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah :

a. Untuk memberikan kepastian hukum perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertifikat sebagai tanda buktinya. Inilah yang merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaranya diperintahkan oleh pasal 19 UUPA, maka memperolah sertifikat bukan sekedar fasilitas melainkan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang.

Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana termasuk dalam pasal 19 ayat 2 huruf C. UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan buku tanah adalah dokumen yang dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah-tanah yang sudah ada haknya.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan Hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah di daftar. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Nasional kabupaten/kota madya. Para pihak yang berkepentingan terutama calon pembeli atau calon kreditur sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah atas satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan terbuka untuk umum ini sesuai dengan asas pendaftaran yang bersifat terbuka.

Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah untuk dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisiknya dan data yuridisnya belum. 

c. Untuk terselenggaranya tartib administrasi pertanahan, Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dan tertib. Administrasi dibidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihannya, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.[44]

Dari berbagai tujuan pendaftaran di atas merupakan wujud pembaharuan hukum tanah Indonesia, karena hukum Agraria yang berlaku sebelum di Undangkannya. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 adalah Hukum Agraria Barat dan Hukum Agraria Adat. Hukum Agraria kolonial tersusun berdasarkan dan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya dipengaruhi oleh biaya, sehingga sangat besar kemungkinannya yang terjadi adalah adanya pertentangan kepentingan rakyat dan Negara dalam melaksanakan pembangunan semesta dan juga sebagai akibat politik Hukum pemerintah jajahan itu, hukum agraria mempunyai sifat dualisme hukum yaitu berlakunya peraturan-peraturan Hukum adapt disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan pada Hukum Barat, hal ini selalu menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, dan juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa Indonesia.

Masalah-masalah yang timbul adalah adanya ketidakpastian hukum hak atas tanah oleh rakyat Indonesia, Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria kolonial yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memberikan jaminan hukum (Recht Kadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum Agraria adapt tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalau di daftar oleh pemerintah Hindia Belanda tujuannya bukan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.

Jadi dengan telah di Undang-Undangkannya Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dianut dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 rakyat Indonesia yang mempunyai hak-hak atas tanah memperoleh kepastian hukum hak-hak atas tanah dengan melaksanakan pendaftaran tanah miliknya sebagaimana tertuang dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian kualitatif yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis, gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.[45]

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, jenis penelitian ini berusaha mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (Holistic Kontekstual) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci, karena selain peneliti sebagai pengumpul data dan penganalisis data, peneliti juga terlihat langsung dalam proses penelitian.

Penelitian semacam ini bersifat diskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif, penelitian ini lebih menonjolkan proses dan makna dari sudut pandang subjek, Laporan penelitian kualitatif tersebut mewarnai sifat dan bentuk laporannya. Laporan penelitian kualitatif disusun dalam bentuk narasi yang bersifat kreatif dan mendalam serta menunjukkan ciri-ciri alamiahnya (natural setting) artinya data-data yang didapat dari hasil penelitian dipaparkan sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Hasil penelitian ini bersifat deskriptif karena data yang dikumpulkan lebih menonjolkan kata-kata atau kalimat dari pada angka-angka.

Laporan penelitian kualitatif memiliki struktur dan bentuk yang koheren, sehingga dapat memenuhi maksud yang tercermin dalam fokus penelitian, laporan penelitian ini memiliki fokus yang jelas, Fokus tersebut dapat berupa masalah, objek evaluasi, atau pilihan kebijakan.

B. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh,[46] Menurut Lufland (dalam Meleong dan Tanzeh, Suyitno 2006) menyatakan bahwa sumber data terdiri dari data utama dalam bentuk kata-kata atau ucapan atau perilaku orang-orang yang diamati dan diwawancarai, sedangakan karakteristik dari data pendukung benda dalam bentuk non manusia, artinya data tambahan dari penelitian ini dapat berbentuk surat-surat, daftar hadir, dan statistic ataupun segala bentuk dokumentasi yang berhubungan faktor penelitian.[47]

Sebagaimana data yang dikumpulkan penulis, maka sumber data dapat dibedakan ada dua jenis, yaitu : 
  • Sumber Data Primer : Responden yang terdiri dari pegawai Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungangung bagian pendaftaran Hak Milik Tanah, bagian survey pemetaan dan pengukuran, dan juga Masyarakat.
  • Sumber Data Sekunder, dokumentasi yang terdiri darin dokumen-dokumen yang menguatkan data primer.
Penelitian merupakan aktifitas ilmiah yang sistematis, terarah bertujuan maka data/informasi yang dikumpulkan haruslah relevan dengan masalah/persoalan yang dihadapi.

Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu :
a. Data Primer : data langsung yang dikumpulkan oleh peneliti/petugas-petugasnya dari sumber pertamanya.[48]
Meliputi : Observasi, dan interview dengan Subjek penelitian.

b. Data Sekunder yaitu : data yang diperoleh dari/berasal dari bahan kepustakaan.[49]
Meliputi : teori-teori, data-data dari Sekretaris Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung, buku.
C. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data

1. Teknik Pengumpulan Data 
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standard untuk memperoleh data yang diperlukan.[50]

Menurut kebiasaan metode diartikan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan dan cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.[51] Dalam pengumpulan data penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Metode Observasi
Metode observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya.[52]

b. Metode Interview
Metode Interview merupakan cara untuk mengumpulkan data dengan mengadakan tatap muka secara langsung antara orang yang bertugas mengumpulkan data dan orang yang menjadi sumber data atau objek penelitian.[53]

Interview wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan orang yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[54]

c. Metode Dokumentasi 
Metode dokumentasi ialah mencari data dengan mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan/transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.[55]

2. Analisa Data
Analisa data adalah sebagai tindak lanjut proses pengolahan data yang merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian dan pencurahan daya pikir secara optimal.[56] Sesuai dengan jenis penelitian, maka analisis data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif.

Analisa data kualitatif yaitu : analisa data yang digunakan untuk mengolah data yang tidak dapat diwujudkan dengan angka, untuk mengolah data-data kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode.

a. Metode Induktif
Metode induktif adalah berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit, kemudian dari fakta-fakta/peristiwa yang kongkrit itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum.[57]

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa Metode induktif adalah menganalisis dari peristiwa-peristiwa yang terjadi yang sifatnya khusus yang kemudian disimpulkan menjadi pengertian yang sifatnya umum.

Penerapan metode ini penulis gunakan untuk mengumpulkan data-data yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas kemudian disimpulkannya.

b. Metode Deduktif 
Metode Deduktif adalah berangkat dari pengertian yang sifatnya umum. Dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus.[58]

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa metode deduktif adalah menganalisis dari data yang umum kemudian diuraikan. Secara luas dan mendalam untuk diambil kesimpulan secara khusus.

Penerapan metode ini penulis gunakan untuk mengumpulkan data yang perlu penjelasan secara melebar kemudian disimpulkan secara lebih khusus.

BAB IV
JUAL BELI TANAH DI DESA PODOREJO KECAMATAN SUMBERGEMPOL TULUNGAGUNG
A. Sejarah Singkat Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. 
1. Sejarah Desa Podorejo 
Sejarah desa podorejo pada zaman mataram. Podorejo diambil dari kata Podo dan Rejo. Podo artinya sama, Rejo artinya Ramai. Berawal dari seorang senopati mataram bernama Ki Ageng Patmodilogo pada perjalanannya tiba di suatu tempat yang cukup ramai dan ternyata tempat itu berada disebelah timur gunung, dan ternyata gunung itu terdapat suatu gua yang banyak dikunjungi orang. Sedangkan lokasi yang ditempati Ki Ageng juga ikut ramai karena mau menuju gua tersebut, sehingga banyak orang lalu lalang jadi ramene. Akhirnya tempat itu dinamakan sama ramene (istilah jawa) = Podorejo. 

Desa podorejo terbagi menjadi 3 dusun atau wilayah yaitu: 
  • Dusun Dawuhan 
  • Dusun Ngadirejo 
  • Dusun Somoteleng 
Dusun Dawuhan diambil dari istilah “dawuan” yang mempunyai arti tempat pembagian air untuk mengaliri sawah. Pada zaman sekarang lebih dikenal DAM (Pintu Air). Menurut sejarah dikawasan tersebut terdapat bangunan tersebut (DAM), namun dalam perkembangannya bangunan tersebut tergusur oleh padatnya pemukiman. Sehingga saat ini tidak ada wujudnya. 

Kata Ngadirogo diambil dari kata Ngabdi Rogo. Ngabdi artinya ngabekti Rogo artinya jasad. Konon tempat itu tempatnya menjadi kawasan dimana Ki Ageng Patmodilogo untuk mengabdikan diri (jasad) sampai akhir hayatnya. Akhirnya tempat itu di namakan dengan Ngabdirogo yang pada perkembangannya berubah menjadi Ngadirogo. Di sana terletak makam Ki Ageng Patmodilogo yang sampai sekarang setiap malam jum’at tetap banyak dikunjungi para peziarah. 

Dusun Somoteleng, berasal dari kata Somo dan Teleng. Samo berarti harimau atau macan orang dulu menyebutnya, sedangkan teleng artinya sumber air atau mata air. Sejarah menceritakan di tempat itu terdapat sumber mata air yang di tunggui oleh seekor macan, sehingga tempat itu dinamakan dengan Somoteleng. Namun seiring dengan perkembangan zaman sumber air itu telah lenyap dan rat dengan tanah. 

Daftar nama orang – orang yang pernah menjabat sebagai kepala Desa Podorejo dari pertama sampai kepala desa saat ini yaitu:
  1. Bapak Dono Reso 
  2. Bapak Dono Kerto
  3. Bapak Banas Pati 
  4. Bapak Keni 
  5. Bapak Sukardi 
  6. Bapak Bambang Suwarno 
  7. Bapak Ngapani
  8. Bapak Tamyis (…. Sampai sekarang)
2. Kondisi Desa
Wilayah Desa Podorejo berada di ketinggian ± 92 M di atas permukaan laut, terletak 9 km arah tenggara kota kabupaten Tulungagung dan 5 km arah selatan dari kecamatan Sumbergempol. Desa Podorejo dengan luas wilayah 211,33 Ha di bagi menjadi tiga dusun yaitu dusun Dawuhan, dusun Ngadirejo dan dusun Somoteleng dengan batas – batas wilayah sebagai berikut: 
  • Sebelah Utara : Desa Tambakrejo (Kec. Sumbergempol)
  • Sebelah Timur : Desa Sambijajar (Kec. Sumbergempol)
  • Sebelah Selatan : Desa Junjung (Kec. Sumbergempol)
  • Sebelah Barat : Desa Doroampel (Kec. Sumbergempol)
Secara geografis Desa Podorejo memiliki letak cukup strategis karena hampir seluruh wilayah berada pada tanah datar dan dijadikan jalur penting untuk mengakses kecamatan kalidawir bahkan Ngunut dengan tingkat mobilitasa yang cukup padat. Bahkan dengan kondisi ini jalur yang melintas di desa podorejo dijadikan jalur penting untuk menuju kota. 

Dengan topografi desa di dataran dan subur dengan didukung sistem pengairan menjadi potensi pengembangan pertanian yang potensial menghasilkan produk tertanian yang baik. Pola pembangunan lahan di Desa Podorejo lebih didominasi oleh kegiatan pertanian pangan dan horticultural yaitu padi, jagung, tebu dan lain – lain. Dengan penggunaanpengairan irigasi teknis dari lodoagung yang cukup memadai serta dibantu dengan pembuatan sumur buatan, membantu sistem pertanian yang baik. 

Namun demikian, tidak berarti tidak ada permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan kenakalan remaja di Desa podorejo. Potensi desa yang ada belum maksimal diberdayakan, hal ini disebabkan kurang menunjangnya infrastruktur yang memadai dan potensi sumber daya manusia yang belum tergali. 

Luas Wilayah Desa Podorejo terdiri : 
  • Tanah Sawah : 41,5 Ha
  • Tnah Tegal / Pekarangan : 56,5 Ha
  • Tanah Tempat Pemukiman : 94,5 Ha
  • Tanah untuk lain – lain : 18,83 Ha
Jumlah keseluruhan : 211,33 Ha

3. Kondisi Pemerintahan Desa 
1. Pembagian Wilayah Desa 
  • Dusun Dawuhan : 2 RT 6 RW 
  • Dusun Ngadigoro : 3 RT 7 RW
  • Dusun Somoteleng : 3 RT 9 RW 
2. Struktur Organisasi Pemerintahan 
Terlampir : 
a. Lembaga Pemerintahan 
Ø Kepala Desa : Kepala Desa berjumlah 1 (satu) orang memiliki tugas menyelenggaarakan urusan pemerintahan, pembanguanan, dan kemasyarakatan di Desa; Kepala Desa mempunyai fungsi pelaksanaan kegiatan Pemerintahan Desa, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Pelayanan Masyarakat Desa, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum dan pembinaan lembaga – lembaga kemasyarakatan. 

Ø Sekdes : Sekretaris Desa berjumlah 1 (satu) orang memiliki Tugas menjalankan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa serta memberikan pelayanan administrasi kepada Kepala Desa; memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Desa di bidang tugasnya; melaksanakan tugas Kepala Desa apabila Kepala Desa berhalangan ; mengkoordinasi urusan – urusan ; melakasanakan Tugas lain yang diberikan kepala Desa. 

Ø Kaur Pemerintahan : Kepala Urusan Pemerintahan berjumlah 1 (satu) orang mempunyai tugas melaksanakan tugas kegiatan bidang administrasi penduduk; administrasi agraris; tranmigrasi; pemilu; monografi desa. 

Ø Kaur Pembangunan : Kepala Urusan Pembangunan berjumlah 1 (satu) orang (sementara masing kosong) memiliki melaksanakan tugas kegiatan masalah – masalah pembangunan desa untuk dibahas bersama BPD; membina kelompok pendengar siaran pedesaan; koperasi; lumbung kemakmuran dan perijinan perusahaan; menyiapkan petunjuk dalam melaksanakan pembangunan kepada lembaga yang menangani bidang pembangunan; meniliti dan mengadakan evaluasi dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi rencana pembangunan desa serta membantu penyusunan program pembangunan desa; menggiatkan pelaksanaan gotong – royong dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan; memberikan saran dan pertimbangan kepada sekretaris desa dalam bidang pembangunan desa; melaksanakan administrasi pembangunan; melaksanakan pekerjaan lain yang ditugaskan oleh sekretaris desa dan / atau kepala desa. 

Ø Kaur Kesra : Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat berjumlah 1 (satu) orang mempunyai tugas menyiapkan saran dan pertimbangan dalam penyusunan kegiatan generasi muda dan olah raga; membantu menngatur pemberian bantuan kepada korban bencana alam; mengadakan usaha – usaha untuk menghimpun dana sosial; membantu pengawasan / penanggulangan tindak perjudian, gelandangan dan tuna sosial; melaksanakan pembinaan dibidang pendidikan, kebudayaan, tempat – tempat bersejarah, kesehatan masyarakat, keagamaan, aliran kepercayaan, memelihara tempat – tempat ibadah, pembinaan badan – badan sosial dan ijin usaha sosial; memberikan saran dan perimbangan kepada sekretaris desa dibidang kesejahteraan rakyat; melaksanakan pekerjaan lain yang ditugaskan oleh sekretaris desa dan / atau kepala desa; 

Ø Kaur Keuangan : Kepala Urusan Keuangan berjumlah 1 (satu) orang mempunyai tugas mengolah administrasi keuangan desa, menyusun rencana anggaran, perubahan dan perhitungan penerimaan / pengeluaran keuangan desa serta melaksanakan tata pembukuan secara teratur; mengadakan penilaian pelaksanaan anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan desa, mempersiapkan secara periodic program kerja dibidang keuangan; mengurusi perkreditan yang ada di desa (KUT); memberikan saran dan pertimbangan kepada sekretaris desa dibidang keuangan desa; melaksanakan administrasi keuangan ; melaksanakan pekerjaan lain yang ditugaskan oleh sekretaris desa / atau kepala desa. 

Ø Kaur Umum : Kepala Urusan Umum berjumlah 1 (satu) orang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan surat menyurat; mengatur dan menata surat menyurat yang diselesaikan kepada desa / sekretaris desa; mengatur rumah tangga sekretaris desa, tamu – tamu dan kebutuhan kantor; menyimpan, memelihara, dan mengamankan arsip, mensitematisasikan buku – buku inventaris, dokumen – dokumen serta memberikan pelayanan adaministratif kepada semua urusan; memberikan saran dan pertimbangan kepada sekretaris desa dibidang tugasnya; melaksanakan pekerjaan lain yang di tugaskan oleh sekretaris desa dan / atau kepala desa. 

Ø Kasun : Kepala Dusun berjumlah 3 (tiga) orang mempunyai tugas menjalankan kegiatan kepala dusun dalam kepemimpinan kepala dusun di wilayah kerjanya; memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala desa di bidang tugasnya; melaksanakan pembinaan kemasyarakat di wilayahnya; melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala desa. 

Ø Jogo waluyo : Jogo waluyo berjumlah 1 (satu) orang mempunyai tugas mengurusi kesehatan masyarakat, mendata dan melaporkan terjangkitnya wabah penyakit; meningkatkan keluarga berencana; melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Urusan Umum. 
Ø RW : Berjumlah 8 Ketua RW 
Ø RT : Berjumlah 22 Ketua RT 
Ø BPD : Berjumlah sebanyak 11 orang 
Ø LPM : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat berjumalah 13 (tiga belas) orang mempunyai tugas membantu Pemerintah Desa dalam hal : Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan / pengendalian, pembangunan; menggerakkan dan meningkatkan prakarsa untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik berasal dari berbagai kegiatan Pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat; menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat untuk mengembangkan ketahanan masyarakat di desa; menyampaikan saran/ usul, pendapat dan pertimbangan kepada pemerintahan desa mengenai hal – hal yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan; melaksanakan musyawarah membina kerukunan hidup masyarakat serta menyalurkan aspirasi masyarakat. 
· Tingkat Pendidikan : 
  1. Kades : SLTA
  2. Sekdes : SLTA
  3. Kaur Pemerintahan : SLTA
  4. Kaur Pembangunan : SLTA
  5. Kaur Umum : SLTA
  6. Kaur Kesra : SLTA
  7. Kaur Keuangan : SLTA
  8. Staf : SLTA
  9. Kasun : SLTP
  10. RW : SLTP – S1
  11. RT : SD - SMA
  12. BPD : SMA – S1
  13. LPM : SMA – S1
4. Keadaan Ekonomi Desa Podorejo 
Dengan kondisi secara geografis dan sistem kultur yang ada di wilayah desa Podorejo yang mayoritas berada di dataran dengan di Bantu sistem pengairan dan sumur buatan sawah sangat mempengaruhi pola mata pencaharian warga desa Podorejo. Degan mata pencaharian yang bervariasi pemanfaatan lahan desa Podorejo terbagi menjadi ; untuk pemukiman 94,5 Ha, pertanian sawah 41,5 Ha, Ladang / Tegalan 56,5 Ha, bangunan 10,8 Ha, perikanan darat 1,2 Ha dan sisa digunakan pemanfaatan lain – lain. 

Perkonomian masyarakat desa Podorejo tergolong cukup variatif dilihat dari jenis usaha yang bermacam – macam. Secara umum dilihat dari klasifikasi kelembagaan dan kelompok industry dapat dibagi sebagai berikut: 
  • Koperasi / Pra Koperasi : 2 Jumlah anggota : 94 Orang 
  • Industry Kerajinan : 114 Jumlah Pekerja : 114 Orang 
  • Industry Pakaian : 5 Jumlah Pekerja : 49 Orang
  • Industry Makanan : 4 Jumalh Pekerja : 54 Orang 
  • Industry Bangunan : 2 Jumlah Pekerja : 6 Orang 
  • Toko / Kios : 27
  • Pasar : - 
  • Kelompok Simpan Pinjam : 5 Kelompok 
  • Usaha perikanan : 31 Orang 
  • Usaha Peternakan : 31 Orang[59]
B. PRAKTEK JUAL BELI TANAH DI DESA PODOREJO
Jual beli tanah menurut UU No. 05 tahun 1960 Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 26 ayat 1 ditentukan bahwa: “Jual beli,penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah

Jual beli pada umumnya adalah suatu persetujuan dengan mana adanya suatu perjanjian atau suatu ikatan antara pihak yang mempunyai barang yang disebut pejual yang nantinya mempunyai kewajiban menyerahkan barang yang dimilikinya kepada pihak yang lain yang disebut pembeli adapun kewajibannya adalah membayar harga yang telah disepakati.

Setiap jual beli nanti akan menimbulkan suatu perjajian dimana perjanjian tersebut dianggap syah apabila memenui syarat syarat yang telah ditetapkan oleh undang undang. Menurut pasal 1320 KUHPdt, syrat syarat syah perjanjian antara lain yaitu ;
  • Adanya persetujuan kehendak antara pihak pihak yang membuat perjanjian 
  • Adanya kecakapan pihak pihak untuk membuat perjanjian 
  • Adanya suatu hal tertentu
  • Adany suatu hal yang halal
Jual beli yang tidak memenui syarat syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun hal itu diakui oleh pihak pihak yang mebuatnya. Selagi pihak pihak mengakui dan mematui perjanjian yang mereka buat kendatipun tidak memenui syarat syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Menurut pasal 1457 KUHPdt apa yang disebut “jual beli tanah“ adalah suatu perjanjian dimana pihak yang mepunyai tanah yang disebut penjual berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain yang disebut pembeli, sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui.

Namun walaupun telah melakukan jual beli belum terjadi perubahan hak apapun pada hak atas tanah yang bersangkutan. Biarpun misalnya pembeli sudah membayar penuh harganya dan tanahnya secara fisik sudah diserahkannya. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli jika penjual sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya, penyerahan secara yuridis biasanya dilakukan dihadapan notaris yang membuat aktanya sekaligus melakukan pendaftarannya.

Namun realita yang ada jual beli tanah yang dilakukan tidak semua sama dengan apa yang telah dijelaskan dalam peraturan undang undang. Di desa Podorejo jual beli tanah yang dilakukan menganut hokum adat setempat, dimana jual beli yang dilakukan bukan suatu perbuatan hukum. Dimana jual beli menurut hokum adat merupakan hokum pemindahan hak dengan pembayaran tunai.

Jual beli tanah yang penulis temukan di desa Podorejo diantaranya adalah jual beli dibawah tangan dimana pihak yang mempunyai tanah menyerahkan tanahnya setelah pembeli membayar penuh harga yang telah disepakati, hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan notaris desa atau aparat desa setempat. Selain itu ada praktek jual beli tanah warisan yang masih belum dibagi antara pewaris yang satu dengan pewaris yang lain yang pada saat itu masih di luar provinsi. Dari hasil wawancara penulis dengan salah satu warga Podorejo Rt 02/ Rw 01 bahwasannya jual beli itu terjadi apabila antara kedua belah pihak menyetujui akan perjanjian yang dilakukannya, dari situ jual beli tanah sudah dianggap syah.

Di bawah ini ada beberapa data tentang masyarakat desa Podorejo yang melakukan jual beli tanah dalam kurun waktu 5 tahun mulai tahun 2006 – 2011.
  • Bapak Sujak beliau memiliki tanah seluas 25 x 10 m2 dan menjual tanahnya dengan cara jual beli di bawah tangan
  • Ibu Lasemi beliau membeli tanahnya seluas 25 x 10 m2 dengan cara jual beli di bawah tangan 
  • Ibu Suratun memiliki tanah seluas 50 x 12 m2 beliau melakukan jual beli sesuai dengan peraturan yang ada di desa tersebut
  • Bastomi membeli tanah seluas 15 x 25 m2 tanah tersebut masih ada sengketa ahli waris
  • Mukayah pada tahun 2009 menbeli tanah hasil warisan pada saat itu msih juga ada senggketa dari ahli waris
  • Bapak sujiono membeli tanah yang sesuai dengan peraturan jual beli yang ada di desa akan tetapi beliau tidak mendaftarkan peralihan hak miliknya
  • Ibu istiroh menjual tanah seluas 45 x 87 m2 waktu itu semua urusan surat suratnya di serahkan kepada pejabat desa
  • Bapak sumaji membeli tanah sesuai dengan peraturan yang ada dalam undang undang
  • Bapak salamun membeli tanah tampa ada akta tanah
  • Ibu yayuk membeli tanah yang prosedurnya sama dengan undang undang
  • Bapak yayak juga membeli tanahyang prosedurnya sesuai dengan peraturan undang undang 
Data Responden Masyarakat Desa Podorejo Kec. Sumbergempol Kab. Tulungagung Tentang Jual Beli Tanah Menurut Peraturan Undang – Undang No. 05 tahun 1960
  • Responden A dan C sebenarnya tahu akan tetapi tidak mau tahu dengan peraturan yang ada 
  • Responden B bukannya tidak mau tahu akan tetapi benar benar tidak tahu 
  • Responden D,I dan F tidak tau dan tidak mau tau dengan Peraturan tersebut
  • Responden G dan E benar benar tidak tau 
  • Responden H, J, dan K tahu 
Dari data diatas menjelaskan bahwasannya dalam kurun waktu tahun 2006-2011, jual beli dalam prakteknya tidak semua sama dengan peraturan Undang Undang yang berlaku. Kenyataannya dari ke 11 (sebelas) responden yang diwawancarai penulis 8 (delapan) diantaranya tidak tau dengan Peraturan tentang jual beli tanah menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1960, Tiga (3) diantaranya sesuai dengan Peraturan yang berlaku.Demikianlah data yang penulis dapatkan di lapangan tepatnya di Desa Podorejo Kecamatan Sombergempol Kabupaten Tulungagung.

C. Kendala-Kendala yang Terjadi Dalam Jual Beli Hak Atas di Desa Podorejo
Jual beli dalam bidang pertanahan baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja ( obligator ),tetapi belum memindahkan hak milik. Hak milik baru beralih kepada pembeli apabila dilakukan penyerahan bendanya itu oleh penjual kepada pembeli, peralihan hak milik benda tersebut adalah perbuatan yuridis.

Dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria No.3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan hak atas tanah Negara.Proses peralihan hak atas tanah yang diperlukan untuk menjalankan usahanya,yaitu hak milik atas tanah. Menurut proses proses yang biasa,Maka hak semula ( hak milik, hak pakai atau hak guna usaha ) harus dilepaskan sehingga tanah tersebut menjadi tanah Negara dan kemudian kemudian dimohon sebagai hak milik baru.

Pejabat Notaris Bapak Ariadin desa podorejo yang merupakan salah satu pelaksana dan fungsi dari peralihan pendaftaran jual beli tanah di desa podorejo atau lingkup suatu Desa. Dalam pelaksanaannya jual beli petanahan di Desa Podorejo selama ini sudah dirasa berjalan baik, namun dalam perjalanannya, proses jual beli tanah tersebut bukan berarti tidak menemui kendala kendala,ada beberapa kendala yang sempat dialami antara lain:
  • Masyarakat tidak mau dibuat repot dengan peraturan tentang jual beli tanah yang ada
  • Masyarakat disibukan oleh pekerjaanya,sehingga segala sesuatu tentang urusan jual beli tanah terpaksa diserahkan ke kepala desa dan sekretaris desa 
  • Faktor biaya menjadi salah satu factor gagalnya proses peralihan hak atas tanah dari jual beli. 
  • Setelah pengukuran biasanya pemohon pergi ke luar negeri/ luar kota, sehingga petugas kesulitan klarifikasi data tambahan.
  • Setelah pengukuran, pethok batas bidang tanah jarang dipasang oleh pemohon dengan begitu petugas kesulitan dalam pengukuran ulang.
  • Terjadi sengketa batas antara pemohon dengan pemilik hak milik tanah sebelahnya.
  • Adanya salah satu pihak ahli waris tidak menyetujui, biasanya terjadi dalam jual beli hak waris.
Untuk harta bersama apabila suami atau istri ingin menjual tanahny maka harus mendapat persetujuan salah satunya. Missal,suami ingin menjual hak milik atas tanah harus mendapat persetujuan istri,begitu juga sebaliknya.[60]

D. Pemahaman Masyarakat Terhadap Mekanisme Jual Beli Tanah
Landasan awal jual beli atas tanah sebagai upaya memperoleh kepastian hukum Hak milik atas tanah adalah dengan dikeluarkannya Undang Undang No.5 Tahun 1960,pada Pasal 23 ayat 1 ,Undang Undang tersebut diserukan bahwa “Hak Milik,demikian pula setiap peralihannya, hapusnya hak dan pembebananya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 1.

Pada Pasal 19 Ayat 1 yang berbunyi bahwa”untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah dilakukan perdaftaran tanah di seluruh wilayah republik Indonesia menurut ketentua-ketentuan yang diatur oleh pemerintah. Dengan begitu maka pemerintah selaku sebagai kekuasaan tertinggi dapat memberikan kepastian hokum kepada masyarakatterhadap tanah yang dimilikinya.

Dalam pelaksanaannya diatur dalam peraturan peraturan pemerintah yang mana dalam peraturan peraturan itu memuat tentang berbagai syarat syarat dan mekanisme untuk proses jual beli tanah menurut hak milik peralihan hak milik ,satuan satuan rumah susun dan hak guna bangunan dan sebagainya.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan di masyarakat adalah masyarakat banyak yang tidak tahu tentang bagaimana cara yang benar untuk memperoleh hak milik atas tanah dari jual beli tanah yang telah dilakukannya. Kalaupun ada masyarakat yang mengetahui mekanisme jual beli tanah benar itupun cuma sedikit, setelah penulis terjun langsung ke masyarakat tepatnya di Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung, ternyata benar masih banyak masyarakat yang tidak tahu tentang jual beli hak atas tanah yang benar,

Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa warga desa Podorejo salah satunya adalah Bapak Sujak warga RT 02/ RW 01 beliau mengaku bahwa sepengetahuanya jual beli tanah itu cukup dengan adanya persetujuan dari pihak pembeli dan pihak penjual saja sudah cukup untuk melakukan jual beli, selain itu urusan yang lain diserahkan kepada aparat desa, kita tidak perlu mengurus sampai ke BPN (ujar bapak Sujak).[61]

Dari hasil wawancara itu penulis menarik kesimpulan bahwa hal tersebut disebabkan karena masyarakat tidak meperoleh penyuluhan tentang bagaimana cara melakukan jual beli tanah yang benar, yang mereka ketahui tentang jual beli tanah hanyalah adanya pembayaran seorang pembeli kepada penjual hak milik atas tanah tersebut. Selain itu apabila suatu saat mereka ingin menjual atau membeli mereka cukup melapor ke kepala desa dan perangkatnya untuk mengurusnya. Tanpa mereka tahu bagaimana proses dan tahapan tahapannya, kalaupun ada masyarakat yang tahu dengan prosedur jual beli ini, mereka juga terkesan diam dan tidak mau memberi pengalaman kepada masyarakat yang lainnya.

Kekurang pahaman masyarakat terhadap prosedur atau mekanisme jual beli tanah sangat memprihatinkan, menurut penulis kemungkinan penyebabnya adalah terbatasnya pendidikan, rasa ingin tahu yang kurang, tidak mau repot dengan proses yang dilaluinya, dan mereka condong untuk menjalankan aktifitas pekerjaannya, dan dengan berat hati mereka melimpahkan urusan urusan tersebut kepada kepala desa dan perangkatnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tamyis selaku Kepala Desa Podorejo dan juga Bapak Carik pada bagian staff survei, pemetaan dan pengukuran , beliau menghimbau pada masyrakat khususnya masyarakat Desa Podorejo agar ;
  • Mengusahan mendaftarkan tanah miliknya dari hasil jual beli maupun milik sendiri di Kantor Badan Pertanahan Tulungagung.
  • Memanfaatkan prugam SMS (Sertifikat Masal Swadaya)
  • Kalau ada masalah sengketa tanah usahakan diselesaikan dengan musyawarah
  • Apabila melakukan mekanisme jual beli dengan memenui syrat syarat yang ada.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN 
Praktek jual beli menurut Undang Undang No.05 Tahun 1960 adalah melakukan peralihan hak milik atas tanah dengan langkah langkah mendaftarkan tanahnya supaya mendapatkan kepastian hukum yang kuat. 

Seperti yang tertuang dalam Pasal 6 Ayat 1 menjelaskan bahwa: “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dan wasiat dan perbuatan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk peralihan hak milik serta pengwasannya diatur oleh Pemerintah. Adapun peralihan haknya diatur dalam Pasal 23 Ayat 1 menyatakan: “Hak milik, demikian pula peralihannya, hapusnya dan pembebananya atas hak hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan Pasal 19” UUPA.

Adapun dalam prakteknya tidak semua jual beli hak milik atas tanah sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam Undang undang No, 05 Tahun 1960 tentang jual beli tanah, kenyataanya dari data yang penulis peroleh di lapangan tepatnya di Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung banyak praktek jual beli yang menyalahi aturan yang ada dalam Undang Undang No. 05 Tahun 1960, seperti halnya masyarakat melakukan jual beli dibawah tangan, pemindahan hak milik atas tanah tidak didaftarkan, masih adanya paksaan dari pihak lain hal ini terjadi pada jual beli tanah dari hasil warisan. 

Kendala kendala jual beli yang ada di Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol adalah masyrakatnya tidak mau dibuat repot dengan aturan jual beli yang ada, masih adanya sengketa lahan, factor biaya yang mahal, dll. 

Pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan jual beli yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah sangat minim ,hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi dan penyuluhan yang berkaitan dengan hukum jual beli yang benar.\ 

SARAN SARAN
Dengan terselesainya skripsi ini, maka penulis memberikan saran kepada pejabat pemerintahan desa Podorejo dan juga masyarakat agar:
  1. Hendaknya kepala desa memberikan pelayanan yang mempermudah proses jual beli, dan juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang jual beli yang benar.
  2. Hendaknya pemerintah desa bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional untuk mengadakan penyuluhan hukum atau tata cara jual beli yang benar, sehingga masyarakat tidak buta terhadap proses dan tata cara jual beli seperti dalam peraturan pemerintah yang berlaku.
  3. Untuk masyarakat hedaknya mengikuti hukum yang berlaku jangan membuat hukum sendiri. Supaya nantinya mendapatkan hak atas tanah yang seadil adilnya.
SUMBER ARTIKEL;
[1] Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan Hukum Tanah. (Djabatan : Jakarta). 2006 nhal 29 
[2] AA. Oka Marindra. Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, (Jakarta : sinar Harapan, 1996) hal. 260 
[3] Soedarya Saimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Sinar Grafindo : Jakarta) hal. 356 
[4] Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Cetakan Pertama, Penerbit eLKAF, Surabaya, hal. 96 
[5] Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan : Jakarta) 2005 hal 125 
[6] Urip Santoso. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta 2007.hal. 47 
[7] Budi Harsono, Sejarah Pembentukan…hal 127 
[8] Urip Santoso. Hukum Agraria…hal. 48 
[9] Budi Harsono. Hukum Agraria (Sejarah Pembentukan…). hal. 130 
[10] Ibid. hal. 219 
[11] Ibid… 
[12] Ibid… 
[13] Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Cetakan Pertama eLKAF, Surabaya, 2006, hal. 96 
[14] Soedaryo Saimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Pdt). (Sinar Grafika : Jakarta). 
[15] Budi Harsono, Hukum Agraria Jakarta, Penerbit Jambatan, Jakarta, 2005, hal. 29 
[16] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. Sinar Baru Al Gasindo. Bandung. 
[17] Medaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPDT). Sinar Grafika. Jakarta. 
[18] Buedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya) (Djambatan: Jakarta) Edisi Revisi cet 10,2005, hal. 18 
[19] Buedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya)..., hal. 18
[20] Darin, A.M. Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Diktat, STAIN Tulungagung, 2003, tidak diterbitkan hal 2 
[21] Ibid hal 2 
[22] Effendi Perangain. Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. (Rajawali. Jakarta) 1989 hal 195 
[23] Urip santoso, hukum Agraria dan hak-hak atas tanah, (Kencana, Jakarta) 2007 cet 3 hal 12. 
[24] Ibid hal. 11 
[25] Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. (Himpunan peraturan…), hal. 12 
[26] Hukum Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti 
[27] Budi Harsono, Hukum Agraria Jakarta (Sejarah Pembentukan…), Penerbit Jambatan, Jakarta, 2005, hal. 27 
[28] Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. (Himpunan peraturan ...). hal 13. 
[29] Boed Harsono. Hukum Agraria Indonesia. (Sejarah Pembentukan …) (Djambatan, Jakarta). Hal 273. 
[30] Ibid, hal. 458-459 
[31] Andrian Sutendi. Peralihan hak-hak atas tanah dan pendaftarannya. Sinar Grafika : Jakarta. 2007 hal 117 
[32] Bahtiar effendi, Kumpulan tulisan tentang hukum Tanah, (Alumni Bandung) 1982. hal. 48
[33] Ibid hal 48 
[34] Ibid hal 49 
[35] Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia (kumpulan…) hal 11 
[36] Bachtiar Effendi. Kumpulan…hal. 52 
[37] Ibid hal 53 
[38] Ibid hal 55 
[39] Ibid hal 57 
[40] Ali ahmadn Chamzah, hukum agraria (pertahanan Indonesia) hal 16 
[41] Ali achmad Chamzah. Hal 5-6 
[42]Bachsan Mustaka, Hukum agrarian dalam perpektif, Remaja Karya : Bandung. 1988 hal 7-8 
[43] Ibid hal 8 
[44] Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah…hal. 472-473 
[45] Burhan, Ashshofa, S.H. Metode Penelitian Hukum. (Rineka Cipta : Jakarta) 2001 hal 20 
[46] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. (Jakarta : Rieneka Cipta, 1993)hal.107 
[47] Ahmad Tanzeh&Suyitno. Dasar-Dasar Penelitian (El Kaf : Surabaya) 2006 hal. 131 
[48] Sumadi Surya Barata 
[49] Joko Subagyo, Metode Penelitian Teori dan Praktek. (Jakarta, Raja Grafindo, 1999) hal 88 
[50] Ahmad Tanzeh, Metode Penelitian Praktis. (Bintang Ilmu : Jakarta) 2004 hal. 28 
[51] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Pers : Jakarta) 1989 hal 5 
[52] Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Sosial, Erlangga : Surabaya. 2001. hal. 142 
[53] Ahmad Tanzeh dan Suyitno, Dasar-Dasar Penelitian. El Kaf Surabaya. 2006. hal. 32 
[54] Lexy J Moeleong. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda Karya, 1998), 135 
[55] Arikunto, Prosedur Penelitian. hal. 134 
[56] Bambang Waloyo. Penelitian Hukum Dalam Praktik. (Sinar Grafika : Jakarta) 2002 hal 77 
[57] Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research. (Yogjakarta, Andi Ofset, 1987) hal 42 
[58] Ibid hal 43 
[59] Data dari Desa Podorejo tahun 2010 
[60] Hasil wawancara dengan Bapak Ariadin selaku Sekretaris Desa Podorejo tanggal 26 Juli 2011 
[61] Hasil wawancara dengan warga RT 02 RW 01 Ds. Podorejo tanggal 27 Juni 2011
Blog, Updated at: 16.38.00

1 komentar: