Pengertian dan Fungsi Pajak Menurut Undang-Undang

Posted By frf on Kamis, 12 Januari 2017 | 17.52.00

BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Pajak
II.1.1. Pengertian Pajak
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1 pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang–Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut beberapa ahli dalam buku Waluyo (2011:2), pengertian pajak adalah sebagai berikut:
  1. Pengertian pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam buku De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan): Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihakoleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum;
  2. Pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” menyatakan: “Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Dari definisi di atas tampak istilah “dipaksakan” karena bertitik tolak pada istilah “iuran wajib”. Sisi lainnya yang berhubungan dengan kontraprestasi menekankan pada mewujudkan kontraprestasi itu diperlukan pajak;
  3. Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, S. H. dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan (1990: 5) menyatakan: “Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa pajak adalah suatu iuran yang harus dibayar setiap warga negara yang bersifat memaksa karena telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-Undang yang dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan hasil pembayaran pajak yang Wajib Pajak lakukan tidak langsung terlihat hasilnya.

II.1.2. Wajib Pajak
Pajak dipungut dari pihak-pihak yang disebut dengan Wajib Pajak. Wajib Pajak itu sendiri sebagaimana telah diatur pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1 adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan perpajakan.

Menurut Barata (2011:9), subjek Wajib Pajak ada 4, yaitu:
  1. Orang Pribadi;
  2. Warisan yang belum terbagi; 
  3. Badan; dan
  4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
II.1.3. Fungsi Pajak
Selain itu pajak juga memiliki fungsi, menurut Sumarsan (2012) Fungsi pajak ada dua:
1. Pajak sebagai sumber dana atau penerimaan (budgetair).
Pajak berfungsi sebagai penghimpun dana dari masyarakat ke dalam kas negara, yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah. 

2. Pajak sebagai pengatur (regulerend);
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur struktur pendapatan di tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara pelaku ekonomi.

II.I.4. Pengelompokan Pajak
Menurut Indriyawati (2009) Pajak dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikuil sendiri oleh Wajib 
Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain;
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

2. Menurut sifatnya
  • Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib pajak;
  • Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperharikan keadaan diri wajib pajak. 
3. Berdasarkan kewenanangan pemungutan
  • Pajak Pusat, yaitu pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah pusat.
  • Pajak Daerah, yaitu pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah daerah.
II.1.5. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo(2011), menyatakan ada beberapa sistem pemungutan pajak yang terdiri sebagai berikut:
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-ciri official assessment system adalah sebagai berikut: Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus, Wajib Pajak bersifat pasif, Utang yang timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri, Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang wajib memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

Dari 3 sistem pemungutan pajak di atas, Indonesia merupakan negara yang menganut self asessment system dimana wajib pajak diminta aktif dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Hal ini membuat Wajib Pajak jadi lebih mandiri dalam menjalankan kewajibannya dan Dirjen Pajak atau fiskus hanya tinggal mengawasinya saja.

II.1.6. Surat Pemberitahuan (SPT)
Surat Pembertitahuan (SPT) adalah suatu surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/ atau pembayaran pajak, objek dan/ atau bukan objek pajak, harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Menurut Mardiasmo (2011), SPT memiliki bagi Wajib Pajak sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
  • Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
  • Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
  • Harta dan kewajiban; dan/atau
  • Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pengusaha Kena Pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melapirkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
  • Pengkreditan Pajak Masukan terhadap pajak keluaran; dan
  • Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain alam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pajak yang berlaku.
Bagi pemotongan atau pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

II.2. Pajak Penghasilan (PPh)
Undang-Udang Nomor 36 Tahun 2008 pasal1 menjelaskan Pajak Penghasilan (PPh) pada sebagai berikut,
Undang-Undang ini mengatur pengenanaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak umtuk penghasilan dalm bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah tahun kalender, sepanjang tahun baku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan. 

Menurut Gunadi (2009:291), “PPh akan berhubungan langsung dengan penghasilan dan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (kena pajak) dan pengurang penghasilan lainnya.”

II. 3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Menurut Waluyo (2011:213), dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah 
  • Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan; 
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per 31/Pj./2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilam Pasal 21 dan/atau penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi yelah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per 57/Pj./2009 Tanggal 12 Oktober 2009. 
  • Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tuabeserta pelaksanaannya telah dimuat.
  • -Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009.
II.3.1. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21
Penerima Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:
  1. Pegawai
  2. Penerima uang pesangon, pensiun atau manfaat pensiun, tunjangan hari tu, atau jaminan hari tu, termasuk ahli warisnya.
  3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
  • Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, terdiri dari pengacara, akuntan Arsitek,dokter .konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
  • Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang fil, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, perawan/pergawati, pemain drama, penari,pemahat, peluks, dan seniman lainnya;
  • Olahragawan;
  • Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  • Pengarang, peneliti, penerjemah;
  • Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan soasial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  • Agen iklan;
  • Pengawas dan pengelola proyek;
  • Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan yang menjadi perantara;
  • Petugas penjaja barang dagangan;
  • Petugas dinas luar asuransi;
  • Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
  • Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dab perlombaan lainnya;
  • Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kewrja;
  • Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
  • Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
  • Peserta kegiatan lainnya.
II.4. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
Pajak penghasilan (PPh) pasal 23 adalah pemotongan pajak penghasilan dari penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang bersumber dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. PPh ini dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

II.4.1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23
Dasar hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:
  • Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 yahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undnag-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Undang-Undnag Nomor 36 Tahun 2008
II.4.2. Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 adalah:
  1. Badan Pemerintah.
  2. Subjek pajak badan dalam negeri.
  3. Penyelenggara kegiatan
  4. Bentuk usaha tetap.
  5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
  6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23, yang meliputi:
  • Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
II.4.3. Objek dan Pengecualian Objek Pemotongan PPh Pasal 23
Menurut Mardiasmo (2011) menyebutkan pihak-pihak yang dipotong dan tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah
  • Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  • Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  • Royalti;
  • Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
  • Sewa dan penghasilan lalu sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan; dan
  • Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
2. Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah:
a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daeah, dari peneyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat;
  • Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
  • Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
d. Dividen diterima oleh orang pribadi;
e. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer.
f. Bagiann laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpuulan, firma, dan ongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
g. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
h. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atau jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

II.4.4. Tarif Pemotongan
Sesuai dengan UU No.36 Tahun 2008 pasal 23, besarnya PPh pasal 23 yang dipotong adalah 
a. Sebesar 15% (lima belas persen) atas jumlah bruto dari:

  1. Dividen
  2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jamina pengembalian utang;
  3. Royalti; dan
  4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
b. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

  1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunanaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
  2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, seperti:

  • Jasa penilai (aprraisal);
  • Jasa aktuaris;
  • Jasa akuntansi, pembukuan, astetasi laporan keuangan;
  • Jasa perancang (design);
  • Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT) ;
  • Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
  • Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
  • Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara
  • Jasa penebangan hutan;
  • Jasa pengolahan limbah;
  • Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
  • Jasa perantara dan atau keagenan;
  • Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
  • Jasa custodian atau penimpanan atau penitipan kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
  • Jasa pengisian suara dan atau sulih suara;
  • Jasa mixing film;
  • Jasa sehubungan dengan software computer;
  • Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan listrik, telepon \, air, gas, AC dan atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan atau sertifikat sebagai pengusaha konstruksi;
  • Jasa perawatan atau perbaikan atau pemeliharaan mesin, peralatan listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi atau kendaraan dan atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup nya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan atau sertifikasai sebagai pengusaha konstruksi;
  • Jasa maklon;
  • Jasa penyelidikan dan keamanan;
  • Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
  • Jasa pengepakan;
  • Jasa penyediaan tempat dan atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
  • Jasa pembasmian ham; 
  • Jasa kebersihan atau cleaning service;
aa. Jasa catering atau tata boga.
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif di atas.

II.4.5. Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
Adapun menurut Barata (2011:442) tata caranya sebagai berikut:
1. Tata cara pemotongan PPh Pasal 23
Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pemotong pajak dengan cara sebgai berikut:

  • Dipotong pada saat dilakuan pembayaran,
  • Memberikan bukti pemotongan yang telah diisi lengkap. Lembar ke-1 bukti pemotongan diserahkan kepada WP yang bersangkutan sebagai bukti pemotongan.
2. Tata cara penyetoran PPh Pasal 23
Penyetoran pajak oleh pemotongan dilakukan dengan cara mengikuti ketentuan sebagai berikut:

  1. Besar potongan PPh Pasal 23 yang tercantum dalam bukti pemotongan selama satu bulan di jumlahkan,
  2. Jumlah PPh Pasal 23 yang telah dipotong selam satu bulan disetor ke bank Persepsi atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur nasional maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya,
  3. Penyetoran dilakukan melalui bank atau kantor pos. Dari bank atau kantor pos, pihak penyetor menrima SSP lembar 1 dan 3.
3. Tata cara pelaporan PPh Pasal 23

  • Lembar ke-2 bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang dibuat selama 1 (satu) bulan dicatat dalam Daftar Bukti Pemotongan Pajak (rangkap dua),
  • Bendahara atau Pemotong Pajak mengisi dengan lengkap dan benar form SPT Masa PPh Pasal 23 rangkap dua dilampiri lembar ketiga SSP, Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 23, dan lembar ke-2 bukti pemotongan.,
  • Atas SPT masa PPh Pasal 23 yang telah diisi lengkap beserta lampirannya, harus dilaporkan ke KPP selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur nasional maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya,
  • Bendahara menerima Tanda Terima pelaporan SPT dari Kantor Pelayanan Pajak (lembar LPAD) sebagai bukti telah melapor.
II.5. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat (2) atau PPh Final
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) merupakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Yang dimaksud dengan final adalah, bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. 

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan bahwa PPh Pasal 4 ayat (2) dipotong atas :

  1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. Penghasilan berupa hadiah undian;
  3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
  4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
  5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
II.6. Sanksi-Sanksi yang Terkait
Adapun sanksi-sanksinya sebagai berikut:
1. UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 8 ayat (2a), 
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang di bayar, dihitunng sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1(satu) bulan.

2. UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 8 ayat (3), 
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan WP tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayarn jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah yang kurang bayar.

3. UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 8 ayat (5),
Pajak yang kurang dibayar timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana domaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibaya, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.

4. UU KUP No. 28 tahun 2007 Pasal 9 ayat (2a), 
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

5. UU KUP No. 28Tahun 2007 Pasal 13 Ayat (3) huruf b
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayarsebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang pungut, tidak atau kurang disetor, dan dipootong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.

6. UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 13A, 
Wajib Pajak yang karena ke alpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulakn kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak (WP) dan WP tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus perseen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

7. UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 14,
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. 

8. UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 38, 
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

9. UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 39 Huruf (i)
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Blog, Updated at: 17.52.00

0 komentar:

Posting Komentar