DIAGNOSIS KEMISKINAN
2.1. Konsep Kemiskinan
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar secara umum terdiri dari antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai.
2.2. Gambaran Umum
Kabupaten Lombok Tengah menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan yang rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hasil SUSENAS tahun 2005 yang dilakukan oleh BPS memperkirakan sekitar 224.484 jiwa atau 27,31 % (56.121 RT) dari jumlah rumah tangga secara keseluruhan. Jumlah penduduk tersebut hidup dengan pengeluaran sebulan lebih rendah dari garis kemiskinan, yaitu jumlah rupiah yang diperlukan untuk membayar makanan setara dengan 2.100 kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan transportasi.
Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Berbagai indikator pembangunan manusia dan berbagai indikator kemiskinan manusia menunjukkan ketertinggalan Kabupaten Lombok Tengah dengan beberapa daerah lain. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2005 merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai nilai rata-rata dari 3 (tiga) indeks yaitu: indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. IPM tersebut adalah sebagai berikut:
IPM komposit Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan masih rendah. Beberapa pembentuk komponen IPM tersebut adalah sebagai berikut:
- Rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Lombok Tengah baru mencapai 5,1 tahun pada tahun 2005, angka ini masih jauh dari angka ideal wajib belajar 9 tahun.
- Angka Melek Huruf (AMH) yang baru mencapai 69,5 % pada tahun 2005, angka ideal 100% penduduk diatas 15 tahun yang mampu membaca dan menulis.
- Usia Harapan Hidup (UHH) mencapai angka 58,50 tahun pada tahun 2005, idealnya berada di atas rata-rata UHH NTB yaitu 61,90 Tahun.
- Indeks Daya Beli (IDB) penduduk yang diformulasikan sebagai turunan dari pengeluaran konsumsi perkapita Rp.607.200,- pada tahun 2004, angka ini tergolong rendah relatif dengan angka Propinsi NTB sebesar Rp.611.000,-
Masalah kemiskinan di Kabupaten Lombok Tengah masih didominasi kemiskinan di daerah perdesaan. Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa penduduk miskin di perdesaan diperkirakan 69 % lebih, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha dipekirakan sekitar 83.798 atau 38,41 % (Sensus Pertanian, 2003). Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan cenderung lebih tinggi dari perkotaan. Masyarakat miskin perdesaan dihadapkan pada masalah rendahnya mutu sumberdaya manusia, terbatasnya pemilikan lahan, banyaknya rumahtangga yang tidak memiliki asset, terbatasnya alternatif lapangan kerja, belum tercukupinya pelayanan publik, degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, lemahnya kelembagaan dan organisasi masyarakat, dan ketidakberdayaan dalam menentukan harga produk yang dihasilkan.
Di sisi lain, masalah kemiskinan di daerah perkotaan juga perlu mendapat perhatian. Krisis ekonomi tahun 1997 memperlihatkan masyarakat kota masih rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin di perkotaan juga cenderung untuk terus meningkat. Pada umumnya masyarakat miskin perkotaan menjalani pengalaman kemiskinan yang berbeda dengan penduduk miskin perdesaan. Mereka lebih sering mengalami keterisolasian dan perbedaan perlakuan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkan ruang berusaha, pelayanan administrasi kependudukan, air bersih dan sanitasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta rasa aman dari tindak kekerasan. Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan bekerja sebagai buruh dan sektor informal yang tinggal di pemukiman yang tidak sehat dan rentan terhadap penggusuran.
Masyarakat miskin di kawasan pesisir dan kawasan tertinggal menghadapi permasalahan yang sangat khusus. Penduduk di kawasan pesisir umumnya menggantungkan hidup dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar, sangat bergantung musim, dan rentan terhadap polusi dan perusakan lingkungan pesisir. Menurut BPS, 2005 jumlah penduduk miskin dipesisir sekitar 4,50 % atau sekitar 37.071 RT. Mereka hanya mampu bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi yang sangat kecil. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan juga mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan.
Masalah kemiskinan juga menyangkut dimensi gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang berbeda dalam rumahtangga dan masyarakat, sehingga kemiskinan yang dialami juga berbeda. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah rendahnya partisipasi dan terbatasnya akses perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Masalah mendasar lainnya adalah kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kulutral masyarakat. Selain itu, masalah ketidakadilan gender ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan dan tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
2.3 Permasalahan kemiskinan
Sejalan dengan definisi kemiskinan yang berbasis pada hak-hak dasar, permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari pendapat atau persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat miskin itu sendiri dan diperkuat dengan data statistik. Permasalahan kemiskinan akan dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
2.3.1 Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar
2.3.1.1. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan
Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan dengan rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan. Di sisi lain, masalah yang dihadapi oleh petani penghasil pangan adalah terbatasnya dukungan produksi pangan, tata niaga yang tidak efisien, rendahnya penerimaan usaha tani pangan dan maraknya penyelundupan.
Permasalahan kecukupan pangan antara lain terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Masalah kecukupan pangan dipengaruhi oleh pola konsumsi yang bertumpu pada beras sebagai bahan pangan pokok. Pola konsumsi seperti itu menyebabkan ketergantungan masyarakat pada beras dan peralihan konsumsi pangan dari bukan beras menjadi beras. Perbedaan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antar anggota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan. Pembagian makanan masih dipengaruhi oleh perilaku dan budaya masyarakat yang mengutamakan bapak dan anak laki-laki lalu anak perempuan, dan terakhir ibu. Pola pengaturan makan seperti itu juga berdampak pada buruknya kondisi gizi ibu hamil, dan dapat mengakibatkan kematian ibu pada waktu melahirkan dan setelah melahirkan.
Data BPS Lombok Tengah menunjukkan bahwa, kekurangan gizi pada balita dan wanita usia subur terjadi di beberapa daerah. Sekitar 33-39% dari jumlah anak balita terutama di daerah perdesaan diperkirakan mempunyai berat badan kurang.
Masalah kecukupan pangan juga dialami oleh petani penghasil pangan termasuk petani padi. Penyebab utamanya adalah fluktuasi harga yang terjadi pada saat musim panen dan musim paceklik yang tidak menguntungkan mereka. Impor beras yang dilakukan untuk menutup kebutuhan beras dan menjaga stabilitas harga seringkali tidak tepat waktu sehingga merugikan petani penghasil beras. Berdasarkan observasi Badan Bimas Ketahanan Pangan pada bulan Agustus 2003 di 486 lokasi yang tersebar di 15 provinsi, harga gabah terendah ditingkat petani mencapai Rp.900/kg lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, terdapat 54,9% kasus harga di tingkat petani dan 38,9% kasus harga di tingkat penggilingan yang lebih rendah dari harga dasar pembelian yang ditetapkan.
Masalah lain yang juga mempengaruhi ketahanan masyarakat dalam menghadapi masalah kerawanan pangan adalah kemampuan menyediakan cadangan pangan untuk mengatasi musim paceklik. Saat ini, sebagian besar lumbung pangan milik masyarakat tidak berfungsi karena tidak dikelola dengan baik dan lemahnya dukungan dari pemerintah daerah.
Berbagai permasalahan tersebut menyiratkan pentingnya evaluasi terhadap sistem ketahanan pangan yang dapat mendukung pemenuhan hak masyarakat atas pangan yang cukup dan bermutu.
2.3.1.2 Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan
Masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan akses layanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh dan berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin, selain kecukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi.
Salah satu indikator dari terbatasnya akses layanan kesehatan dasar adalah angka kematian bayi. Data BPS 2005 menunjukkan bahwa AKB untuk tahun 2002 sebesar 34,22 %, dan 60,91% pada tahun 2004. Angka ini berada di atas rata-rata Angka Kelahiran Bayi di NTB.
Status kesehatan masyarakat miskin diperburuk dengan masih tingginya penyakit menular seperti malaria, dan tuberkulosis paru. Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat miskin juga disebabkan oleh perilaku hidup mereka yang tidak sehat. Sekitar 62,2% laki-laki berusia 15 tahun atau lebih merokok, dan persentase di perdesaan lebih besar, yaitu sekitar 67%. Pengeluaran rumah tangga untuk tembakau diperkirakan sekitar 4% dengan tingkat konsumsi yang meningkat sejalan dengan tingkat pendapatan. Kebiasaan merokok menyebabkan meningkatnya beban biaya pengobatan kronis untuk orang yang menderita kanker paru-paru dan penyakit lain yang berhubungan dengan tembakau, dan menurunkan tingkat produktivitas pekerja. Secara umum, penyakit tidak menular seperti kencing manis, penyakit jantung, dan lain-lain menunjukkan kecenderungan meningkat. Hampir sepertiga penyebab kematian di Lombok Tengah disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, di samping itu beban akibat penyakit ini juga diperhitungkan sangat besar.
Masalah lain adalah rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah ketersediaan berbagai fasilitas kesehatan dan sarana kesehatan periode 2000-2003 adalah sebagai berikut:
Pemanfaatan layanan kesehatan oleh kelompok masyarakat miskin umumnya jauh lebih rendah dibanding kelompok kaya. Bagi 20 % masyarakat berpenghasilan terendah, layanan kesehatan yang sering digunakan adalah praktek petugas kesehatan (34,3%) dan praktek dokter (19,7%). Praktek petugas kesehatan yang paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat miskin adalah bidan dan mantri yang lokasinya terdekat dari tempat tinggal mereka.
Salah satu keluhan utama masyarakat miskin adalah mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Hal ini disebabkan oleh jauhnya tempat pelayanan kesehatan dan rendahnya jaminan kesehatan. Data BPS, 2005 menunjukkan hanya sekitar 20,6% penduduk yang memiliki salah satu bentuk jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15% memiliki Kartu Sehat (KS) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang KS masih rendah. Penyebab utama rendahnya pemanfaatan tersebut adalah ketidaktahuan tentang proses pembuatan KS dan kurang jelasnya pelayanan terhadap pemegang KS. Sedangkan untuk pemanfaatan tenaga kesehatan oleh kelompok terkaya jauh lebih tinggi (sekitar 82%) dibanding pemanfaatan oleh kelompok miskin yang hanya sekitar 40%.
Masalah lain dalam perluasan akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin adalah rendahnya anggaran yang tersedia bagi pembangunan dan pelayanan kesehatan. Menurut perkiraan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan-WHO, kebutuhan pelayanan kesehatan perorang adalah sebesar US $30–40, sedangkan di Indonesia diperkirakan hanya sebesar US $3 pada tahun 2001.
2.3.1.3 Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan
Masyarakat miskin mempunyai akses yang rendah terhadap pendidikan formal dan non formal. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah, sebaran dan mutu program kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan non formal.
Rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan terjadi mulai dari pendidikan anak usia dini. APS Kabupaten Lombok Tengah relatif Kecil yaitu sebesar 56,1 pada tahun 2002 dan menjadi 57,7% pada tahun 2004. Jika dilihat dari jenis kelamin, persentase perempuan yang berpendidikan rendah (SD dan SMP) relatif lebih tinggi dibanding laki-laki. namun, persentase perempuan berpendidikan menengah dan tinggi lebih rendah dibanding laki-laki. Angka putus sekolah, secara absolut masih cukup tinggi
Berdasarkan pada kelompok umur 7-12 tahun terlihat presentasenya relatif kecil , akan tetapi semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi pula angka putus sekolah yang terjadi, kenyataan ini tidak terlepas dari akses Ke sekolah semakin jauh sehingga diperlukan biaya yang cukup tinggi untuk transportasi ke sekolah. (Suplemen, LTH, 2002). Hal ini disebabkan oleh alasan ekonomi, yaitu tidak adanya biaya dan keharusan untuk mencari nafkah.
Tingginya biaya pendidikan menyebabkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan menjadi terbatas. Sesuai dengan ketentuan, biaya SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat tetap harus membayar berbagai iuran sekolah seperti pembelian buku, alat tulis, pakaian seragam, sepatu seragam, biaya transportasi, dan uang saku. Berbagai iuran tersebut menjadi penghambat bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Masalah lain yang dialami oleh siswa SD/MI terutama di daerah perdesaan adalah kekurangan kalori dan kekurangan gizi yang mengakibatkan rendahnya daya tahan belajar dan semangat belajar siswa. Dalam jangka panjang, hal ini berpengaruh terhadap kemungkinan anak untuk putus belajar, mengulang kelas dan tidak mau sekolah.
Berbagai masalah dalam layanan pendidikan menyiratkan perlunya peninjauan kembali terhadap berbagai kebijakan untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu layanan pendidikan seperti penurunan beban biaya pendidikan, peningkatan jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, penambahan jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, dan peningkatan prasarana pendidikan berupa gedung sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar.
2.3.1.4 Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha
Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya.
Belum berhasil diatasinya masalah ketenagakerjaan yang terpuruk ketika krisis dan kurangnya perluasan kesempatan kerja dapat dilihat dari kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2003 yang menunjukkan belum adanya perbaikan. Selama 5 tahun terakhir indikator keberhasilan pembangunan menunjukkan adanya perubahan kearah yang lebih baik, namun demikian masih menghadapi permasalahan dibidang ketenagakerjaan yaitu tidak seimbangnya pertumbuhan lapangan pekerjaan dengan peningkatan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Oleh karenanya tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana membina dan mendayagunakan tenaga kerja yang ada supaya menjadi modal dasar yang efektif dalam pembangunan. Sebagai ilustrasi berikut ditampilkan presentasi penduduk usia 15 tahun ke atas sebagai berikut :
Dari tabel di atas dapat lihat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menunjukkan angka yang relatif besar kecuali 2 kecamatan yaitu Praya Tengah dan Praya masing-masing 66.18 % dan 65.31 %. Hal ini berarti bahwa 2 kecamatan tersebut tingkat penganggurannya relatif lebih besar dibandingkan dengan kecamatan lain.
Jika dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan maka sektor pertanian masih memberikan kontribusi paling besar dalam menyerap tenaga kerja.
Menurut status pekerja, terlihat posisi angkatan kerja sebagai pengelola/pengusaha masih menempati urutan pertama dengan persentase 44.08 % dan sebagai karyawan 29.59 % dan yang terakhir berstatus sebagai pekerja tidak dibayar mencapai 26.33 %
Tingginya jumlah pekerja yang bekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan sehingga tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (near poor). Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat rentan terhadap kepastian hubungan kerja yang berkelanjutan. Ketidakjelasan mengenai hak-hak mereka dalam bekerja menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja.
Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang terbatas untuk memulai dan mengembangkan koperasi dan usaha, mikro dan kecil (KUMK). Permasalahan yang dihadapi antara lain sulitnya mengakses modal dengan suku bunga rendah, hambatan untuk memperoleh ijin usaha, kurangnya perlindungan dari kegiatan usaha, rendahnya kapasitas kewirausahaan dan terbatasnya akses terhadap informasi, pasar, bahan baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan-teknis dan teknologi. Ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga pasar, masih sulit diakses oleh pengusaha kecil dan mikro yang sebagian besar masih lemah dalam kapasitas SDM. Selain kesulitan mengakses modal tersebut, tidak adanya lembaga resmi yang dapat memberi modal dengan persyaratan yang dapat dipenuhi kapasitas masyarakat miskin. Kenyataan ini tidak memberi pilihan lain untuk memperoleh modal dengan cara meminjam dari rentenir dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Masyarakat miskin juga menghadapi masalah lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terutama perlindungan terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya aset usaha akibat penggusuran. Usaha koperasi juga seringkali menghadapi kesulitan untuk menjadi badan hukum karena persyaratan yang sangat rumit, seperti batas modal, anggota, dan kegiatan usaha. Dengan tidak menjadi badan hukum koperasi menjadi sulit berkembang dan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Masalah lain yang dihadapi dalam pengembangan KUMK adalah lemahnya perlindungan terhadap usaha yang dikembangkan oleh masyarakat, sehingga koperasi sulit berkembang dan kehilangan kesempatan kesempatan untuk meningkatkan kesempatan untuk meningkat kapasitas melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Data BPS (2005), menunjukkan bahwa terjadi perkembangan jumlah koperasi yang aktif yaitu sebanyak 263 pada tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 302 pada tahun 2005. Berdasarkan data tersebut, berarti terjadi peningkatan usaha khususnya dalam bidang perkoperasian, tetapi ditinjau dari kondisi saat ini masih perlu di kembangkan melalui keterlibatan pemerintah dan berbagai pihak seperti swasta.
2.3.1.5 Terbatasnya Akses Layanan Perumahan
Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Secara umum, masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya perlindungan atas pemilikan perumahan.
Masalah perumahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin di perkotaan berbeda dengan masyarakat miskin yang berada di perdesaan. Di perkotaan keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang berada di balik gedung-gedung pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga. Kondisi permukiman mereka juga seringkali tidak dilengkapi dengan lingkungan permukiman yang memadai. Untuk mendapatkan tempat bermukim yang sehat dan layak, mereka tidak mampu membayar biaya awal untuk mendapatkan perumahan sangat sederhana dengan harga murah. Perumahan yang diperuntukkan bagi golongan berpenghasilan rendah terletak jauh dari pusat kota tempat mereka bekerja sehingga beban biaya transportasi akan mengurangi kemampuan mereka untuk menenuhi kebutuhan hidup lain yang lebih mendesak.
Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan perumahan dan permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan umumnya disiasati dengan menumpang pada anggota keluarga lainnya. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Karekteristik tempat tinggal di Kabupaten Lombok Tengah seperti terlihat pada tabel 2.7.
Dari data terjadi perkembangan kondisi perumahan tahun 2000 dengan tahun 2003. Namun perkembangan tersebut sangat kecil, oleh karena itu diperlukan kebijakan perumahan dan pemukiman yang lebih menyentuh masyarakat miskin, sehingga mereka bisa hidup dengan layak dan sehat.
2.3.1.5 Terbatasnya Akses Terhadap Air Bersih dan Aman, serta Sanitasi.
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Air bersih didefinisikan sebagai air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Masyarakat miskin seringkali menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan aman. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air, belum terjangkau oleh jaringan distribusi, menurunnya mutu sumber air, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih dan sanitasi untuk kesehatan. Kesulitan memperoleh air bersih dan aman umumnya dihadapi oleh sekitar 44,8% penduduk terutama rumah tangga yang tinggal di daerah yang sulit air. Menurut data BPS 2005, rumahtangga yang belum mampu mengakses air bersih masih cukup besar. Pada tahun 2001 jumlah Rumah Tangga yang menggunakan air bersih sebanyak 83,81 % dari seluruh Penduduk, dan pada tahun 2003 jumlah tersebut menjadi 40,07%.
Persentase masyarakat miskin yang memiliki ketergantungan suplai air dari pemerintah daerah didominasi oleh wilayah : Kecamatan Pujut , Kecamatan Praya Barat, Praya Tengah dan Praya Barat Daya. Pada saat musim kemarau, mereka terpaksa harus membeli air minum yang cukup mahal. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli, mereka terpaksa mengambil air dari sungai. Kesulitan air bersih juga dialami oleh masyarakat petani lahan kering. Untuk mengatasi masalah ini telah diupayakan layanan PDAM dan dinas Kimpraswil.
Masyarakat miskin juga menghadapi masalah buruknya sanitasi dan lingkungan permukiman terutama yang tinggal di kawasan kumuh. Kondisi sanitasi dan lingkungan yang buruk berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mereka terutama anak-anak dan ibu. Selain itu, masyarakat miskin juga kurang memahami pengelolaan sanitasi dan lingkungan hidup sebagai bagian dari perilaku hidup sehat.
Kesulitan dalam mengakses air bersih dan aman, dan sanitasi akan menjadi beban berat bagi masyarakat miskin. Upaya pemenuhan hak dasar atas air bersih dan aman perlu menjadi perhatian terutama dalam penyediaan dan distribusi air bersih, terbangunnya mekanisme subsidi penyediaan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat miskin, serta peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin terhadap pentingnya air bersih dan sanitasi.
2.3.1.7 Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah
Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Masalah tersebut sangat dirasakan oleh petani penggarap yang sering tidak mampu memenuhi kebutuhan subsisten.
Kehidupan rumahtangga petani sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah dan kemampuan memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Tingkat pendapatan rumahtangga petani ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan. Penguasaan tanah cenderung makin menyempit. Jumlah rumahtangga petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0,2 ha pada tahun 2003 sebanyak 126.654 rumah tangga. Yang terdiri dari Rumah Tangga Pertanian pengguna lahan sebanyak 123.870 dan Rumah tangga petani gurem sebanyak 83.758. Masalah tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak secara formal menguasai lahan sebagai hak milik.
2.3.1.8 Memburuknya Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, daerah pinggiran hutan, kawasan pesisir, dan daerah pertambangan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang buruk dan tidak sehat, misalnya di daerah rawan banjir dan daerah yang tercemar.
Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya dan hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat miskin akibat penurunan mutu lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah pertambangan. Penyusutan ini disebabkan oleh penebangan hutan yang tidak terkendali, penjarahan hutan, kebakaran,dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman Dampak lanjutan dari kerusakan ini adalah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi. Selain itu, kerusakan hutan juga berdampak bagi masyarakat miskin dalam bentuk menyusutnya lahan yang menjadi sumber penghidupan, dan terjadinya erosi dan tanah longsor yang menyebabkan semakin berat beban yang mereka tanggung.
Masyarakat miskin nelayan juga menghadapai masalah kerusakan hutan bakau dan terumbu karang. Hal ini berdampak pada rusaknya habitat tempat induk ikan mencari makan dan bertelur. Hutan bakau menyusut menjadi setengah dalam waktu sekitar 11 tahun. Terumbu karang saat ini dalam kondisi rusak dan sangat kritis. Degradasi lingkungan wilayah pesisir mengakibatkan menurunnya populasi ikan dari 5-10% kawasan perikanan tangkap, dan meningkatnya kesulitan nelayan dalam memperoleh ikan.
Berbagai permasalahan tersebut menegaskan terbatasnya akses dan kesempatan masyarakat miskin yang tinggal di kawasan hutan, kawasan pertambangan, kawasan pesisir, dan kawasan lindung terhadap sumberdaya alam sebagai sumber penghidupan. Masalah tersebut diperparah dengan terjadinya kerusakan dan degradasi lingkungan yang mengakibatkan menurunnya mutu lingkungan hidup sebagai penunjang kehidupan. Perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup seperti pembuatan peraturan perundangan juga sering mengabaikan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan review berbagai kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.3.1.9. Kurangnya Keamanan dan Ketertiban Umum
Masyarakat miskin seringkali menghadapi berbagai tindak kekerasan yang menyebabkan tidak terjaminnya rasa aman. Tindak kekerasan tersebut disebabkan oleh konflik sosial dan ancaman non kekerasan antara lain krisis ekonomi dan penyebaran penyakit menular. Berbagai tindak kekerasan dan non kekerasan tersebut mengancam rasa aman dan menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Kondisi Kamtibmas di Kabupaten Lombok Tengah selama 5 tahun terakhir menunjukkan kenaikan pada beberapa jenis kriminalitas seperti dalam tabel 2.9.
Sumber : BPS, 2005
Data pada tabel 2.9. mengindikasikan dampak yang membuat rasa aman yang kurang terhadap masyarakat. Disamping itu juga masih terjadinya konflik sosial antar masyarakat desa yang satu dengan lainnya. konflik yang terjadi di berbagai daerah seperti di Kecamatan Pujut, Praya Barat, Janapria dan beberapa daerah lainnya berdampak langsung pada merosotnya taraf hidup masyarakat miskin dan munculnya masyarakat miskin baru.
Situasi keamanan yang memburuk akibat konflik menimbulkan dampak pada kondisi kemiskinan. Konflik telah menyebabkan hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan usaha sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, rusaknya infrastuktur ekonomi yang menyebabkan langkanya ketersediaan bahan pangan, menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa amarah, putus asa dan trauma kolektif. Oleh karena itu, kemiskinan di daerah konflik tidak dapat disamakan dengan kemiskinan di daerah bukan konflik karena adanya ancaman dari terjadinya kekerasan secara berkelanjutan dan tidak adanya jaminan keamanan.
Lemahnya jaminan rasa aman sebagai pemicu terjadinya konflik kekerasan dan non kekerasan menunjukkan lemahnya sistem politik dan pemerintahan. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralis dan otoriter menjadi pemerintahan desentralis dan demokratis. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial menjadi salah satu penyebab kerentanan masyarakat miskin. Hal ini juga diperkuat dengan tidak berjalannya penegakan hukum secara adil terhadap pelanggaran korupsi, pelanggaran HAM, dan pelaku pelanggaran kekerasan lainnya. Kurangnya jaminan rasa aman juga disebabkan oleh terbatasnya kapasitas aparat keamanan terutama polisi.
2.3.1.10. Lemahnya Partisipasi
Tidak terpenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin karena tidak tepatnya layanan yang diberikan oleh pemerintah, menyentuh langsung persoalan kapabilitas dasar yang kemudian menghambat mereka untuk mencapai harkat martabat sebagai warganegara. Gagalnya kapabilitas dasar itu sering muncul dalam berbagai kasus, terkooptasinya masyarakat miskin dari kehidupan sosial dan membuat mereka semakin tidak berdaya untuk menyampaikan aspirasinya. Kasus tersebut terjadi sebagai akibat dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek dan mengabaikan keterlibatan masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan.
Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah lemahnya partisipasi masyarakat miskin, atau partisipasi LSM untuk dapat menyampaikan suara si miskin dalam tahap perumusan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi kebijakan dan program pembangunan. Berbagai kasus pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat diantaranya dapat tergambarkan dalam wujud organisasi-organisasi masyarakat yang dapat memperkuat posisi tawar untuk mempengaruhi kebijakan, antara lain (Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Taruna Tani).
Berbagai bentuk musyawarah pembangunan dan konsultasi publik dalam pengambilan keputusan hanya terbatas pada kalangan pemerintah dan kurang melibatkan masyarakat. Praktek pengambilan keputusan dalam perencanaan anggaran juga kurang melibatkan masyarakat. Pembahasan anggaran dilakukan secara terbatas oleh pemerintah dan DPRD. Kurangnya informasi mengenai proses tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi masyarakat. Di tingkat masyarakat, perempuan sangat jarang dilibatkan dalam musyawarah di tingkat desa ataupun di tingkat dusun karena secara formal keluarga diwakili oleh suami yang oleh Undang-Undang Perkawinan ditetapkan sebagai kepala keluarga.
2.3.2 Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender
Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara, dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan, dan sistem distribusi sumberdaya yang bias gender.
Sistem pemerintahan yang hirarki, hegemoni dan patriarki telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik yang menjadi basis pengambilan keputusan dalam penyusunan kebijakan dan program tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki. Data tersebut dikumpulkan secara terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu mengungkap perbedaan kondisi perempuan-laki-laki sehingga kebijakan, program, dan lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan.
Masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender tercemin pada tingginya angka kematian ibu, keluarga berencana dan aborsi tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan terhadap perempuan, dan buruknya sanitasi dan air bersih. Budaya patriarki yang dilegitimasi oleh negara mengakibatkan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah dan suara perempuan tidak tersalurkan melalui mekanisme pengambilan keputusan formal. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi positif antara keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif dengan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi partisipasi perempuan, maka semakin tinggi kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Masalah keterwakilan suara dan kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral gender hanya akan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.
2.4. Isu Strategis
Bebabagai masalah yang dihadapai masyarakat miskin menunjukkan bahwa kemiskinan bersumber dari ketidak berdayaan dan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hah-hak dasar; pangan, kesehatan, pendidikan pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan SDA, rasa aman, dan berpartisipasi.
Kemiskinan juga memiliki spesifikasi yang berbeda antarwilayah pedesaan, perkotaan serta wilayah pesisir dan kawasana tertinggal. Ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan hak-hak dasar secara umum berkaitan dengan kegagalan:
- Kepemilikan asset terutama tanah dan modal
- Terbatasnya jangkauan layanan dasar terutama pangan, pendidikan, dan kesehatan yang murah dan berkualitas
- Terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
- Rendahnya produktivitas dan pembentukan modal masyarakat
- Lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik
- Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak berwawasan lingkungan dan kurang melibatkan masyarakat
- Kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral dan jangka pendek
- Lemahnya koordinasi instansi pemerintah dalam menjamin penghormatan, perlindungan hak-hak dasar
Analisa kemiskinan juga menunjukkan faktor utama penyebab kemiskinan yang bersifat struktural, yaitu pelaksanaan kebijakan, pengelolaan anggaran dan penataan kelembagaan yang kurang mendukung penghormatan, perlindungan hak-hak dasar masyarakat masyarakat miskin. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan perlu didukung oleh reorientasi kebijakan yang menekankan perubahan dalam perumusan kebijakan, pengelolaan anggaran dan penataan kelembagaan yang mengutamakan hak-hak dasar masyarakat.
Thanks infonya. Oiya ngomongin kemiskinan, ada loh orang-orang yang akhirnya jatoh miskin karena foya-foya. Siapa aja mereka? Temen-temen bisa cek di sini: miskin karena foya-foya
BalasHapus