2.1 Pengertian Peranan
Konsep peran yang digunakan Dalam penelitian ini menggunakan konsep peran yang dikemukakan oleh Paul B. Horton dan Chesner L. Hunt yakni peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status (Horton dan Hunt, 1987:116). Setiap orang mempunyai sejumlah status dengan harapan mengisi peranan sesuai dengan status tersebut. Dalam arti tertentu, status dan peranan adalah dua aspek yang saling berkaitan.
Soejono Soekanto dalam bukunya Sosiologi (Suatu Pengantar) mengemukakan definisi peranan sebagai berikut:
Peranan lebih banyak menunjukan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah bahwa seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan (Soekanto, 1987:221).
Lebih lanjut Soerjono Soekanto mengemukakan aspek-aspek peranan sebagai berikut :
- Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
- Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
- Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
(Soekanto, 1987:153).
Peranan menurut Kamus besar Bahasa Indonesia mempunyi arti sebagai berikut: “Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa atau bagian yang dimainkan seseorang dalam suatu peristiwa.” (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1996:751).
Merujuk pada uraian definisi tersebut diatas, peranan merupakan perilaku seorang,individu atau sekelompok orang yang dihadapkan pada status orang tersebut yang diembannya. Peranan juga merupakan suatu konsep dari apa yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat sebagai suatu organisasi. Dalam hal ini menurut penulis peranan lebih didefinisikan pada fungsi sebagai suatu organisasi. Maka dengan demikian, peranan dapat diukur dari pelaksanaan fungsi suatu organisasi atau lembaga. Apabila dihubungkan dengan masalah ini peranan tersebut dapat dikaitkan dengan peranan lembaga pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat miskin dalam hal ini yaitu Badan Pemberdayaan dan Kesejahtraan Sosial (BPMKS).
2.2 Kemiskinan
Di masa krisis ekonomi yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun jumlah orang miskin di Indonesia kembali bertambah sehingga orang-orang yang berasal dari lapisan menengah, karena terkena PHK ataupun bagi mereka yang memiliki usaha sendiri menjadi lumpuh atau gulung tikar telah masuk menjadi lapisan masyarakat miskin sedangkan untuk kembali menjadi kekeadaan semula mereka dihadapkan pada berbagai kendala yaitu masih terbatasnya peluang usaha dan kesempatan kerja.
Persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut Budi Rajab berbagai pemerintah yang diajukan guna manggulangi kemiskinan selalu tersendat dan tidak efektif dikarenakan;
“Akses dan kontrol warga masyarakat miskin pada berbagai sumber kapital masih terbatas, sektor politik memang mengalami perubahan tetapi perubahan politik tersebut telah memunculkan berbagai konflik kepentingan dikalangan elit daerah dan pusat yang berusaha mempertahan kontrol mereka pada sumber-sumber kapital dan enggan untuk membuka secara langsung sumber-sumber kapital itu untuk masyarakat miskin”(Budi Rajab 2004:20).
Pendapat ini mengemukakan bahwa konfilk elite politik antara pusat dan daerah untuk mempertahan sumber-sumber kapital telah menjauhkan mereka pada perhatian atas orang-orang miskin, sumber kapital yang dimaksud adalah pendapatn-pendapat dari sumber daya alam yang terkandung diadaerah yang klaim oleh pusat maupun daerah dan menjadi konflik. Sebenarnya kontrol atas sumber-sumber kapital tidak masalah di pegang oleh siapapaun asalkan akses atau peruntukan harus sangat terbuka bagi masyarakat miskin.
Hamongan Ritonga juga mengemukakan pendapatnya tentang kegagalan-kegagalan program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia menuruntnya ada dua faktor yang menyebabkan program penaanggulangan kemiskinan di Indonesia:
“Pertama; program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan untuk orang miskin, upaya seperti ini akan sulit meyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidalah untuk pemberdayaan. Kedua; kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasasrkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal”(Ritonga 2004:2).
Ritonga beranggapan seperti ini karena program-program penanggulangan kemiskinan pemerintah selama ini dianggap hanya menimbulkan ketergantungan masyarakat miskin untuk selalu mendapatkan bantun dari pemerintah bukannya memberdayakan masyarakat agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, juga karena pemahaman yang minim tentang berbagai penyebab kemiskinan.
2.2.1 Pengertian Kemiskinan dan Masyarakat Miskin
Kemiskinan merupakan keadaan yang tidak menguntungkan karena kemiskinan akan menjauhkan masyarakat pada akses-akses kehidupan dalam masyarakat seperti pada akases pendidikan dikarenakan masalah biaya sehingga masyarakat miskin enggan untuk menyekolahkan anaknya, selanjutnya akses pada kesehatan, tingakat kesehatan masyarakat miskin biasanya rendah dikarenakan pola makan yang tidak baik dan pemenuhan gizi dalam tubuh yang tidak terpenuhi secara optimal bahkan jika masyarakat miskin ada yang mengalami sakit dan harus dirawat dirumah sakit mereka tidak memeiliki biaya untuk membayar rumah sakit atau dokter.
Lewis dalam Budi Rajab (2004:20) kemiskinan adalah ketidak cukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhab-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang dan papan untuk kelangsungan hidup dan dan meningkat posisi sosial ekonominya. Tetapi masalahnya adalah sumber-sumber daya material yang dimiliki masyarakat miskin keadaanya sangat terbatas hanya dapat digunakan untuk memepertahankan kehidupan fisiknya dan tidak memungkinkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan. Mar’ie Muhamad mantan mentri keuangan RI juga mengemukakan bahwa:
“Kemiskinan merupakan ketidak mampuan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, baik pangan maupun non pangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan dan kebutuhan transportasi” (Muhamad 2004:2).
Konsep kemiskinan yang dikemukakan oleh Marie Muhamad ini menggambarkan ketidak mampuan orang miskin atau suatu kelompok masyarakat miskin pada kebutuhan-kebutuhan dasarnya dalam konsep tersebut tentunya kita bisa menarik suatu kesimpulan bagaimana masyarkat miskin berupaya meningkatkan perekonomiannya jika kebutuhan dasarpun tidak terpenuhi dan untuk meningkatkan tingkat perekonomian mereka harus mendapat bantuan dan bantuan itu bukan sekedar bantuan yang berupa materi tetapi berikut kesempatan-kesempatan dalam dalam memanfaatkan sumber-sumber kapital.
Departemen sosial dan Badan Pusat Statistik sebagai suatu badan yang berkpentingan langsung dengan masalah kemiskinan merumuskan konsep kemiskinan sebagai berikut:
“Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya” (BPS dan Depsos, 2002:4).
Badan Pusat Statistik dan Departement Sosial menentukan garis kemsikinan dengan penilaian jumlah rupiah yang didapatkan seseorang untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orangg per hari. Sedangkan Semeru dalam Suharto dkk,2004: berpendapat bahwa kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh fiedman dimana pendapatnya ini lebih mengkritisi pada aspek kesempatan yang dapat dimiliki oleh masyarakat miskin:
“Kemiskinan adalah ketidak samaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup”. (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).
Pendapat lain dari buku yang sama juga mengemukakan bahwa:
“kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunggan non-material yang diterima oleh seseorang. secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat” (Semeru dalam Suharto 2004:4).
2.2.2 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan di Indonesia memang bukan suatu hal yang baru tetapi kemiskinan juga bukan suatu masalah yang tanpa sebab yang hadir ketengah-tengah masyarakat kita sitidaknya ada penyebab dari adanya masalah kemiskinan tersebut Ragnar Nurkse megemukakan bahwa setidaknya:
“Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang selulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan” ( Nurkse,1953:2).
Kondisi yang menyebabkan kemiskinan menurut Nurske yang pertama lebih dikaibatkan oleh kemiskinan alamaiah dan yang dimaksudkan dengan kemiskinan alamiah ini diakibatkan dari terbatasnya sumber daya alam yang terkandung dalam wilayah masyarakat yang dikatagorikan miskin, penggunaan teknologi yang rendah dimana ini akan berkaitan dengan sumber daya manusia yang rendah pula karena pada dasarnya masyarakat miskin memiliki akses yang sangat minim pada pendidikan dan ilmu pengetahuan.Terakhir dari kondisi alamiah yang dapat meyebabkan kemiskinan adalah adanya bencana alam hal ini juga merupakan hal sangat mungkin di Indonesia karena keadaan Indonesia yang akhir-akhir terus terkana bencana dan musibah dapat pula mendorong atau lebih mempercepat keadaan masyarakat menjadi miskin karena pada saat terjadi bencana dimungkinkan beberapa akses yang biasanya digunakan untuk menopang aktivitas perekonomian di daerah yang dimaksud menjadi lumpuh seperti halnya yang terjadi di Aceh dan Sumatra Barat akibat bencana Gelombang tsunami beberapa waktu yang lalu.
Lebih lanjut dari teori yang dikemukakan oleh Nurkse penyebab kedua yaitu akibat buatan dimana terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Menurut pandangan penulis hal ini memang terjadi karena buatan yang dimaksud buatan disini dapat didefinisikan sbagai suatu akibat dari gagalnya sebuah kebijakan tetapi sekalipun ini subuahpenyebab kemiskinan akibat buatan bukan berarti ini suatu hal yang disengaja tetapi ini lebih pada pengutamaan prioritas bisa saja kebijakan yang diambil untuk megejar ketertinggalan dalam suatu hal ekonomi sehingga pemerintah lebih melakukan penargetan pada masalah pertumbuhan ekonomi tingkat industri besar saja tetapi disisi lain terjadi tidak meratanya perkembangan ekonomi tingkat bawah sehingga terjadilah ketimpangan yang mengakibatkan kemiskinan.
David Cox dalam Edi Suharto (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi: Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi, Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). Kemiskinan social, Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. Kemiskinan konsekuensia, Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
Sedangkan menurut Semeru masih dalam buku yang sama mengemukakan bahwa:
“Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan). Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil” (Semeru dalam Suharto 2004:7-8).
2.3 Pengertian Pemberdayaan
(Edi Suharto 2004:1) Pemberdayaan merupakan pekerjaan sosial dan kegiatan kemanusiaan yang sejak dahulu telah memiliki perhatian yang mendalam pada keadaan masyrakat miskin. Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti ‘menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri’ (to help people to help themselves), ‘penentuan nasib sendiri’ (self determination), ‘bekerja dengan masyarakat’ (working with people dan bukan ‘bekerja untuk masyarakat’ atau working for people), pemberdayaan telah menunjukan itikadnya dalam sejarah pekerjaan sosial untuk menjauh masyarakat miskin dari ketidak berdayaanya selama ini.
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah.
Berbeda halnya dengan kekuasaan yang diasumsikan pada konsep pemberdayaan, kekuasaan yang didefinisikan dalam pemberdayaan lebih pada memberikan dan memerankan kekusaan itu sendiri pada objek atau masyarakat yang diberdayakan. Ife dalam Suharto 1995:56): berpendapat bahwa pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung.
Sedangkan pendapat lain dikemukakn oleh Talcot parsons bahwa:
“Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya” (Parsons, 1994:106).
Pemberdayaaan dalam dalam konsep Parson menekankan agar memproleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan bagi yang memberdayakan maupun yang diberdayakan agar mereka memiliki kekuatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan social dan dapat mengendalikan pengaruh-pengaruh dari kejadian-kejadian disekitarnya.
Edi Suharto mengungkapkan definisi pemberdayaan lebih luas lagi sebagai berikut:
“Pemberdayaan dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses” (Suharto 2002:6).
Upaya memberdayakan masyarakat menurut Kartasasmita (1996:159) harus dilakukan melalui tiga langkah yaitu:
- Menciptakan suasana yang memungkinkan masyarakat berkembang (enabling);
- Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering);
- Memberdayakan juga dapat diartikan sebagai melindungi
Prijono (1996:97) berpendapat bahwa memberdayakan rakyat mengandung makna mengambangkan, memandirikan, mensadayakan dan memperkuat potensi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan disegala bidang dan sector kehidupan, disamping itu juga mengandung arti melindungi dan membela denggan berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi yang lemah.
Pandangan lain dikemukakan juga oleh Kiefer dalam Prijono dan Pranarka bahwa:
“Empowering is an interactive and higly subjective relationship of individuals and their environment, it demand innovation in qualitative/ ethnographic methodology and special strategy to capture the intens experience ofhuman struggle and tranformation. pemberdayaan adalah saling terkait dan mempunyai hubungan yang samngatsubjektifpada individu dengan pemberdayaan itu sendiri, yang membutuhkan inovasi yang berkualitas denagan metodologi dan strategi tertentu untuk menangkap pengalaman yangberkesinambungan dalam perjuangan manusia dan perubahannya” (Kiefer dalam Prijono dan Pranarka 1996:72).
Bryant dan White dalam ….. (1989: 23), menyebutkan bahwa istilah pemberdayaan (empowerment) sebagai salah satu implikasi dari pelaksanaan pembangunan. Lebih lanjut lagi menurut Bryant dan White (1989:25)
“Pemberdayaan hendaknya dipahami sebagai suatu proses meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga mereka dapat memcahkan masalahnya sendiri dengan cara memberikan kapada mereka kepercayaan untuk mengelola program-program tertentu atas keputu sannya sendiri.
Weissglass (1990: 351-370), memberikan suatu pengertian tetntang pemberdayaan bahwa pemberdayaan menurutnya sebagai”a process of supporting people to contruct new meaning and exercise their freedom to choose”, artinya suatu proses yang membangkitkan masyarakat untuk membangun makna dan menggunakan hak kebebasan untuk menentukan pilhan yang baru. Sementara itu menurut Irwin (1995: 82):
“Empowering other people means giving them a cance to make their special contribution … your contribution may be a particular talednt, a particular energy, a particular loving way be with people” upaya memberdayakan masyarakat itu berarti memberikan kepada masyarakat peluang untuk melibatkan diri denngan hal-hal yang menyangkut ppaham, bakat, kekuatan dan kesenangan masyarakat” (Irwin 1995:82).
Parson juga mengemukakan pendapat tentang pemberdayaan bahwa :
“Pemberdayaan adalah sebuah prroses dengan mana orang menjadi kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lambaga yang mempengaruhi kehidupanya. Pemeberdayaan menekankan bahwa orang memproleh keterampilan, pegetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya” (Parsons 1994:106).
2.4 Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam setiap program pemberdayaan selain agar masyrakat dapat merasakan manfaatnya masyarakat juga dapat mengetahui itikad baik ppemerintah dan mereka sadar akan pembangunan melalui pemberdayaan adalah suatu pembangunan dari rakyat dan untuk rakyat. Pembangunan masyarakat merupakan hak dan kewajiban masyarakat oleh karena itu pemerintah berkewajiban melindungi kepentinggan masyarakat tersebut melalui produk-produk hukum berupa peraturan perundang-udangan yang jelas tentanng pembangunan masyarakat melalui pemberdayaan, dan sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat mereka harus berperan aktif demi terlaksananya pembangunnan.
Masyarakat yang tingkat keberdayaannya masih rendah dianggap berdaya bila ia mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, peningktan kemampuan permodalan, pengembangan usaha dan pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong royong, kesewedayaan dasn partusipasi.
Keterlibatan masyarakat dalam program-perogram pengentasan kemiskinan selama ini hanya dilihat dalam konteks yang sempit bahkan hanya dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan sosial. Kondisi seperti ini mengakibatkaan peran serta masyarakat terbatas hanya pada implementasi atau penerapan program saja; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari mereka harus menerima keputusan yang sudah ditentukan pihak luar baik itu pemerintah ataupun lembaga bukan pemerintah yang berorientasi menanggulangi kemiskinan.
Edi Suharto sangat menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat karena menurutnya:
“masyarakat miskin harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri karena tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan mereka sendiri. Tingkat kesadaraan masyarakat merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapatmemobilisasi tindakan bagi perubahan pemberdayaan juga melibatkan akses tehadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif” (Suharto 2004:8)
Dubeois dan Miley (1992:211) dalam Suharto (2004:8) memberi beberapa cara atau tehnik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat:
- membangun relasi pertolongan yang (a) merflesikan respon empati; (b) menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination); (c) menghargai keberadaan dan keunikan individu; (d) menekankan kerjasama klien (client partnership)
- membangun komunikasi yang: (a)menghormati martabat dan harga diri klien; (b) mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) menjaga kerahasiaan klien.
- terlibat dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam aspek proses pemecahan masalah; (b) menghargai hak-hak klien; (c) merangkai tantangan-tangan sebagai kesempatan belajar; (d) melibatkan klien dalam keputusan dan evaluasi.
- merfleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaaan social melalui: (a) ketaatan terhadap kode etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengembangan professional, riset, dan perumusan kebijakan : (c) penterjemahan kesulitan-kesulitan pribadi kedalam isu-isu publik; (d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidak staraan kesempatan.
Dalam pernyataan Dubois dan Miley memang tidak menyatakan secara gamblang tentang perlunya partisipasi masyarakat tetapi jika dilihat lebih spesifik lagi, Dubois dan Miley merumuskan langkah-langkah teknik yang dikemuukakannya merujuk pada sangat diperlukanya partisipasi masyarakat karena akan memudahkan pemberdayaan karena pihak yang akan memberdayakannya mengetahui pokok-pokok permaslahan dan apa yang harus mereka kerjakan.
2.5 Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pemberdayaan
Pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat sangat relefanse bagi paradigma kebijakan desentralisasi dalam penanganan masalah sosial. Pendekatan ini menyadari tentang betapa pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kkemandirian dan kekuatan internal melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya materi dan non material.
korten dalam hari hikmat (2001:16) menyatakan bahwa ada tiga dasar untuk perubahan stuktural dan normatip dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat.Pertama memusatkan pemikirandan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri,dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat individual ,keluarga dan komunitas. Kedua mengembangkan struktur-struktur dan proses organisasi-organisasi yang berpungsi menurut kaidah-kaidah sistem swaorganisasi. Ketiga mengembangkan sistem-sistem produksi-konsumsi yang di organisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.
Kendati demikian, model pembangunan yang berpusat kepada rakyat lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment).model ini memandang inisiatif-kreatif rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama dan memandang kesejahteraan material-spiritual rakyat sebagai tujuan yang harus di capai oleh proses pembangunan.
Pemberdayaan merupakan langkah yang tepat dalam pembangunan lapisan bahwa hanya saja pemberdayaan memerlukan keterlibatan pihak lain selain masyarakat yang diberdayakan itu sendiri dan pihak lain tersebut yang harus benar-benar konsisten dalam program pemberdayaan adalalah pemerintah karena pemerintah mempunyai tanggung jawab besar atas keadaan setiap rakyatnya.
Dalam hal ini penulis menyamakan pemerintah terutama pemerintah daerah sebagai pekerja sosial dan menurut Schawartz :
“Ada lima tugas yang harus dikerjakan oleh pekerja social, mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat miskin mengenai kebutuhan mereka sendiri dan aspek-aspek tuntutan social yang dihadapai mereka. Mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat banyak orang dan membuat frustasi usaha-usaha orang untuk menidentifikasi kepemntingan mereka dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh (Signicant others) terhadap mereka. Memberi kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang tidak dimiliki masyarakat miskin , tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi realitas social dan masalah yang dihadapai mereka. Membagi vivi kepada masyarakat miskin; harapan dan aspirasi pekerja social merupaka investasi bagi interaksi antara orang dan masyarakat dan bagi kesejahtraan individu dan social. Mendefinikan syarat-syarat dan batasan-batasan situasi dengan mana system pekerja social dan masyarakat miskin dibentuk” (Schwartz dalam Suharto 8-9).
Hal tersebut akan membentuk konteks bagi ‘kontrak kerja’ yang mengikat masyarakat miskin dan lembaga terutama lembaga pemerintah yang bertanggung jawab. Batasan tersebut juga akan menciptakan kondisi yang dapat membuat masyarakat miskin dan pekerja social mejlankan funsunya masing-masing.
Edi Suharto mengemukakan tentang setrategi pemberdayaan yang disingkat menjadi 5P yaitu: pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan dan pemeliharaan namun penulis mencermati lima strategi ini menyangku dan mendasari tentang penting peran pemerintah dalan pemberdayaan, (Suharto, 1997:218-219):
- pemungkinan: menciptkan suasana tau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat miskin berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat miskin dari sekat-sekat cultural dan structural yang menghambat.
- penguatan: memperkuatpengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin dalam memcahkan maslah dan memenuhi kebutuhan-keebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat miskin yang menunjang kemandirian mereka.
- perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat,menghindari terjadinya persaingan yang tidak simbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan yang lemah dan mecegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarakan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
- penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat miskin mmampu menjalankan peranan dan tugas-tugas hidupnya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat miskin agar tidak terjatuh kedalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
Poin-poin tersebut memang tidak menyebutkan pranan pemerintah didalamnya namun dalam poin-poin yang dikemukakan oleh Edi Suharto tersebut banyak mengungkapkan tentang manfaat dan pentingnya peranan pemerintah dalam program pemberdayaan.
0 komentar:
Posting Komentar