Sistem Pertanian Berkelanjutan

Posted By frf on Jumat, 04 November 2016 | 17.43.00

Konsepsi Sistem Pertanian Berkelanjutan
Sistem pertanian berkelanjutan sangat kompleks, dan aksi-aksi manipulatif yang berhubungan dengan sistem ini harus melibatkan perspektif konsumen, totalitas sistem pangan mulai dari produksi hingga konsumsi, implikasi sosial, dan peranan tenagakerja pedesaan dalam pertanian. Dankelman dan Davidson (1988) mengemukakan beberapa persyaratan dasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu: (1). Akses yang merata bagi seluruh petani atas lahan yang subur, fasilitas kredit, serta informasi pertanian; (2). Pemeliharaan dan dukungan terhadap aktivitas pertani­an yang dilakukan oleh petani; (3). Pengembangan metode-metode kultivasi, pengolahan bahan pangan, dan penyimpanan bahan pangan yang mampu menyerap tenagakerja wanita; (4). Diversifikasi spesies yang cukup tinggi guna mempertahankan fleksibilitas pola pertanaman; (5). Konservasi tanah-tanah subur dan produktif dengan jalan mendaur-ulangkan bahan organik; (6). Penggunaan air dan bahan bakar secara tepat. Persyaratan ini masih belum disepakati secara umum, terutama mengenai kebutuhan input bagi usaha on-farm dan off-farm. Sifat yang rumit dari sistem pertanian yang berkelanjutan mengharuskan pengkajian secara lebih mendalam tentang sistem usahatani. Parr (1990) mengu­sulkan bahwa sasaran akhir dari petani dalam pertanian yang berkelanjutan adalah (i) memelihara dan memperbaiki sumberdaya alam dasar, (ii) melindungi lingkungan, (iii) menjamin profitabilitas, (iv) konservasi energi, (v) mening­katkan pproduktivitas, (vi) memperbaiki kualitas pangan dan keamanan pangan, (vii) menciptakan infrastruktur sosial-ekonomi yang viabel bagi usahatani dan komunitas pedesaan.

Kontribusi penting sumberdaya manusia dalam pertanian berkelanjutan tampak dari defi­nisi yang dikemukakan oleh CGIAR (Consultative Group on International Agricul­tural Research), bahwa "sistem pertanian yang berkelanjutan melibatkan keber­hasilan pengelolaan sumberdaya bagi pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia yang senantiasa berubah sambil memelihara atau memperbaiki sumberdaya alam dasar dan menghindari degradasi lingkungan". Berdasarkan hal-hal di atas, Harwood (1990) mengemukakan definisi kerja tentang pertanian yang berkelanjutan sebagai "suatu pertanian yang dapat berevolusi secara indefinit ke arah utilitas manusia yang semakin besar, efisiensi penggunaan sumberdaya yang semakin baik, dan keseimbangan dengan lingkungan yang nyaman baik bagi kehidupan manusia maupun bagi spesies lain­nya". Definisi kerja ini masih sangat umum, untuk lebih mema hami proses-proses yang terlibat didalamnya maka perlu diterjemahkan ke dalam substansi-substansi yang sesuai dengan kondisi dan tatanan yang berlaku di masing-masing negara. Sebagai konsepsi yang dinamis, pertanian yang berkelanjutan melibatkan inter­aksi-interaksi yang kompleks faktor-faktor biologis, fisik, dan sosial-ekono­mis serta memerlukan pende katan yang komprehensif untuk memperbaiki sistem yang ada dan mengembang kan sistem baru yang lebih berkelanjutan. 

Beberapa pertimbangan biologis yang penting adalah: (1). Konservasi sumberdaya genetik; (2). Hasil per unit area per unit waktu harus meningkat; (3). Pengendalian hama jangka panjang harus dikembangkan melalui pengelolaan hama terpadu; (4). Sistem produksi yang seimbang yang mmelibatkan tana­man dan ternak; (5). Perbaikan metode pengendalian hama dan penyakit ternak. Beberapa faktor fisik yang sangat penting ialah: (1). Tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sistem pertanian; sehingga kehilangan material tanah karena erosi dan kemunduran kesu buran tanah akibat kehilangan hara harus diken­dalikan.; (2). Sistem pertanian merupakan pengguna air; pemanfaatan secara tidak efisien cadangan air bumi dan eksploit­asi akuifer akan dapat berakibat fatal; (3). Pengelolaan tanah dan air yang tidak memadai di lahan pertanian tadah hujan dapat memacu degradasi lahan; (4). Penggunaan bahan agrokimia yang tidak tepat dapat mengakibatkan akumulasi bahan-bahan toksik dalam air dan tanah; (5). Perubahan atmosferik akibat ulah manusia dapat berdampak buruk terhadap sistem produksi pertanian; (6). Konsumsi energi oleh sistem produksi pertanian dengan hasil-tinggi harus lebih dicermati. Kendala sosial-ekonomi dan tatanan legal yang juga mempe ngaruhi stategi jangka panjang yang berkelanjutan adalah: (1). Infrastruktur yang lemah sehingga sangat membatasi di namika transportasi dan komunikasi; (2). Program finansial dan administratif seringkali bias ke arah daerah urban; (3). Sistem penguasaan lahan (land tenure)

Agroteknologi Lahan Kering 
Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering secara subsistensi (Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan kering dan pembenahan kelembagaan penunjangnya. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya perekayasaan dan pengembangan teknol­ogi pengelolaan lahan kering, adalah (i) secara teknis bisa dilaksana­kan oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan kondisi agroekologis setempat, (ii) secara ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan, (iii) secara sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman lingkungan, dan (v) mampu membuka peluang untuk mendorong pertum­buhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. 

Evaluasi kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, se­dangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum meli­batkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperi­mental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987; PLKK, 1988). Kondisi lahan kering umumnya ditandai oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasan-keterbatasa akses lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengaki­batkan mereka kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara mandiri. Kondisi seperti ini diperparah oleh keterbatasan kemam­puan aparat pemerintah untuk menjangkau masyarakat di lahan kering yang sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi seperti itu, siperlukan rancangan khusus sistem usahatani konservasi di lahan kering untuk menciptakan produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan disertai dengan dukungan pengembangan peranan wanita pedesaan, fasilitas perkreditan, jalan dan transportasi desa, sarana air bersih pedesaan dan sarana penunjang lainnya.

Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluk tuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi kendala yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada. Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional. Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa. Kedua jenis komodi­tas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman. 

Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai melalui pendekatan usahatani yang menyeluruh denagn menerapkan paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan paket teknologi yang terdiri atas penggunaan benih unggul, pengolahan tanah, pengai­ran, perlindungan tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil, pemasaran dan konservasi tanah ini diharapkan akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah. Dalam hubungan ini diperlukan berbagai petunjuk teknis yang tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan sistem pertanian lahan kering ini terdiri atas Usahatani konservasi dan produksi pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan transfer informa­si, Pembinaan wanita pedesaan, pengembangan lembaga keuangan pedesaan, Pembangunan prasarana jalan, dan Pengadaan fasilitas air bersih. Komponen-komponen teknologi ini dikemas dalam suatu program pembangunan pertanian lahan kering untuk meningkatkan ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat setempat.

Teknologi Konservasi Lahan Pertanian
Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang sering dijumpai di lahan kering adalah (i) kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan tanah akan merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor, (ii) rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang menyebabkan tidak mampu untuk membiayai kegiatan konservasi tanah, (iii) masih terbatasnya kesadaran petani akan usaha konservasi tanah sebagai akibat dari keterbatasan informasi dan pengetahuan, dan (iv) keterbatasan sarana dan prasarana pengem­bangan sistem pertanian lahan kering. Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi tanah harus memenuhi kriteria (i) terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan lahan lebih dari 75% lahan kering; (ii) sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil; (iii) kemiringan lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum lebih dari 30 cm, untuk daerah yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tanaman keras tahunan; dan (iv) respon petani cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering digunakan adalah metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik konser­vasi tanah dapat berupa teknik teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras kebun, saluran diversi, saluran pembuangan air, dan penanaman tanaman penguat teras pada bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras dan penanaman berjalur (strip cropping). 

Pembangunan Teras Kredit
Pada hakekatnya pembuatan teras dimaksudkan untuk memperpendek panjang lereng dan/atau memperkecil kemiringan lereng. Teras juga dilengkapi dengan saluran untuk menampung dan menyalurkan air yang masih mengalir di atas permukaan tanah. Tujuan pembuatan teras adalah (i) mengurangi kecepatan limpasan permukaan, (ii) memperbesar resapan air ke dalam tanah, (iii) menampung dan mengendalikan arah dan kecepatan limpasan permu­kaan. Ciri-ciri penting dari bangunan teras kredit adalah (i) sesuai untuk tanah landai hingga bergelombang dengan derajat kemiringan 3-10%; (ii) jarak antara larikan teras 5-12 m; (iii) tanaman pada larikan teras berfungsi untuk menahan butir-butir tanah yang terbawa erosi dari sebelah atas larikan; (iv) teras kredit ini secara berangsur-angsur dimodifikasi menjadi teras bangku. Tahapan pembuatan teras ini meliputi pemancangan patok menurut garis kontur dengan jarak patok dalam baris 5 m dan jarak antar baris 5-12 m; pembuatan bangunan teras berupa guludan tanah yang sejajar dengan garis kontur; dan penanaman tanaman penguat teras secara rapat di sepanjang guludan. Jenis tanaman legume tahunan ditanam dengan benih.

Pembangunan Teras Gulud
Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan 10-20%; jarak antar guludan rata-rata 10 m; saluran air pada teras berfungsi sebagai saluran diversi untuk mengu­rangi limpasan permukaan ke arah lereng di bawahnya. Cara dan tahapan pembangunannya adalah pemancangan patok menurut garis kontur dengan jarak dalam baris 5 m dan jarak patok antar baris 10 m; pembuatan saluran teras dengan jalan menggali tanah menurut arah larikan patok, ukurannya dalam 30 cm, lebar bawah 20 cm dan lebar atas 50 cm; tanah hasil galian ditimbun untuk membentuk guludan, panjang guludan dan saluran maksimum 50 m dan dipotong oleh SPA yang dibuat tegak lurus garis kontur; penanaman tanaman penguat etras pada guludan.

Jenis tanaman penguat teras dapat berupa: kayu-kayuan yang ditanam dengan jarak 50 cm (bibit stek) atau benih ditabur merata; rumput-rumputan yang ditanam dengan jarak 30-50 cm.

Pembangunan Teras Bangku
Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan 10-30%; bidang olah teras bangku hampir datar, sedi­kit miring ke arah bagian dalam (± 1%); di antara dua bidang teras dibatasi oleh tampingan/talud/riser; di bawah tampingan teras dibuat selokan teras yang miring ke atrah SPA. Cara pembuatan teras ini diawali dengan penggalian tanah menurut larikan patok pembantu; memisahkan lapisan tanah bagian atas dan menimbun di kiri atau kanan galian; menggali tanah lapisan bawah sesuai dengan deretan patok-patok dan menimbun tanah galian di sebelah bawah patok; pemadatan timbunan tanah dan permukaan bidang olah dibuat miring ke arah bawah 1%; tanah lapisan atas ditaburkan kembali secara merata pada permukaan bidang olah; pada bibir teras dibuat guludan 20 x 20 cm, di bagian dalam teras dibuat selokan 20 cm x 10 cm; talud teras dibuat dengan kemiringan 2:1 atau 1:1 tergantung pada kondisi tanah. Talud bagian atas ditanami gebalan rumput atau tanaman penguat teras lainnya. 

Pembangunan Teras Kebun
Ciri-ciri bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan 30-50% yang dirancang untuk penananaman tanaman perkebunan; pembuatan teras hanya pada jalur tanaman, sehingga ada lahan yang tidak diteras dan hanya tertutup oleh vegetasi penutup tanah; lebar jalur teras dan jarak antara jalur teras disesuaikan dengan jenis tanaman. Cara pembuatannya hampir sama dengan pembuatan teras bangku, pengolahan tanah pada bidang teras hanya dilakukan pada lubang tanam. Talud teras ditanami rumput atau cover crop. Lahan yang terletak di antara dua teras dibiarkan tidak diolah. Tatacara pembangunannya diawali dengan membuat batas galian dengan menghubungkan patok-patok pembantu melalui pencangkulan tanah; menggali tanah di bagian bawah batas galian yang telah terbentuk dan ditimbun ke bagian bawah hingga patok batas timbunan; tanah urugan dipadatkan dan permukaannya dibuat miring 1% ke arah dalam; talud teras ditanami dengan cover crop atau rumput; di bagian bawah batas galian talud dibuat selokan teras atau saluran buntu sepanjang 2 m lebar 20 cm sedalam 10 cm.

2Penanaman tanaman penguat teras
Tanaman penguat teras adalah jenis vegetasi yang karena sifat tumbuh dan/atau cara tumbuhnya dapat berfungsi sebagai penguat teras. Jenis tanaman ini dapat berupa rumput-rumputan atau pohon-pohonan. Persyaratan tanaman penguat teras adalah (i) sistem perakar annya intensif sehingga mampu mengikat tanah, (ii) tahan pangkas, (iii) bermanfaat dalam menyuburkan tanah dan penyedia pakan ternak. Beberapa jenis tanaman penguat teras adalah (i) Turi (Sesbania grandiflora), (ii) Gomal (Gliricidea maculata), (iii) Akasia merah (Acacia villosa), (iv) Opo-opo (Flemingia sp.), (v) Rumput setaria (Setaria sphacellata), (vi) Rumput bebe (Brachiarta brizantha), (vii) Rumput benggala (Panicum maximum), (viii) Rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan Desmodium sp.

DAFTAR  PUSTAKA
  • Arsyad, S. , A. Priyanto, dan L.I. Nasoetion. 1985. Konsepsi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah disajikan pada Lokakarya Program Studi Pengelolaan DAS pada FPS IPB, 14 Januari 1985. 
  • Dent, J.B. dan J.R. Anderson. 1971. Systems Analysis in Agricultural Management. John Wiley & Sons Australasia PTY LTD,. Sydney. 
  • Eriyatno. 1990. Permodelan Sistem. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 15 halaman. Eriyatno. 1990a. Sistem Penunjang Keputusan. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 23 hal 
  • FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32/I/ILRI Publ. No. 22. FAO, Rome. 
  • Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extensions. D.C. Health and Company, Lexington, Mass. 
Blog, Updated at: 17.43.00

0 komentar:

Posting Komentar