SUMBERDAYA LAHAN DAN PENGELOLAANNYA

Posted By frf on Jumat, 04 November 2016 | 17.40.00

SUMBERDAYA LAHAN DAN PENGELOLAANNYA
Konsepsi Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi, terutama di wilayah pertanian lahan kering yang kondisinya sangat beragam. Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i) teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii) ekonomis menguntungkan, (iii) sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.

Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degrad­asi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pede­saan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-spesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. 

Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebija­kan-kebijakan lokal ini adalah (1) tersedianya Data-base Management System tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumber­daya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga­kerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah. 

Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu (1) program ini harus merupakan bagian integral dari program pem bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi, (2) program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan petani, (3) asistensi teknis melalui program jangka panjang, (4) suatu aktivitas konservais dan pengelolaan lahan harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek, dan (5) degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya. 

Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting adalah (1) para perencana program harus men­guasai pengetahuan tentang "sistem pertanian berkelanjutan" dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan, (2) para pelaksana program harus mampu "berkomunikasi dengan petani" dalam rangka untuk mengakomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani; (3) para perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa proses peruba­han berlangsung secara lambat dan lama, sehingga diperlukan "komitmen jangka panjang"; (4) para perencana harus mampu mengidentifikasikan "kebutuhan petani dan alternatif solusinya" yang terkait langsung dengan problem pengelolaan lahan, dan (5) para perencana harus menge­tahui "sebab-sebab terjadinya permasalahan" pengelolaan lahan dan menelusurinya.

Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebutuhan petani merupakan kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian. Empat sasaran prioritas yang harus diikuti dalam merancang program usahata­ni konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra "cash resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah pegunun­gan, tiga faktor dominan yang sangat berpengaruh, yaitu (1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan, (2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan (3) strategi dan kebija­kan pembangunan yang dikhususkan bagi daerah pegunungan. Dalam kai­tannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di daerah pegu­nungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu (1) aksesibilitas, (2) fragilitas, (3) marjinalitas, (4) heterogeni­tas dan diversitas, (5) suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah meka­nisme adaptasi manusia.

Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. 

 Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mem­pengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan la­han kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) (Sys, 1985). Persesuaian syarat agroeko­logis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbul­kan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973; Soemarno, 1992). Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut bisa bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedi­mentasi di berbagai fasilitas perairan ( Soemarno, 1991c). 

Beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi kendala atau penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3) sumberdaya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut adalah proses geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai keunggulan komparatif bagi pengembangan berba­gai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi seperti ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah untuk "menggarap" lahan secara lebih intensif. 

Pada akhirnya hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya "kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas penggu­naan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi petani di daerah pegunungan untuk berjuang memper­tahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani menge­lola sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan; (2) petani menghindari resiko kegagalan dan bencana melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya, dan (3) teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena keterbatasan penguasaan pengeta­huan, teknologi dan kapital.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan untuk peng­gunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi per­encanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, se­dangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebalik­nya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum meli­batkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperi­mental di lapangan yang sangat ter­gantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak.

Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, tekno­logi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-ba­han kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasa­nya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990). Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempu­nyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. 

Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendung­an, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbul­kannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sa­ngat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kon­disi seperti ini di-perlukan campur tangan kebijakan pemerintah. 

 Davies dan Kamien (1972) mengemukakan bebera­pa macam campur tangan pemerintah untuk mengendali­kan efek eksternalitas, yaitu (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan de­gradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988; Soemarno, 1991b).

Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi menjadi faktor pemba­tas yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor le­reng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini maka tin­dakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi la­han. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanam­an tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. 

Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpul­kan bahwa upaya pengelolaan lahan kering dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi tanah dan air secara me­madai. Beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering secara lokal. Tam­paknya para peneliti ini menghada­pi kesulitan dalam menyusun polatanam yang tepat karena keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian juga in­formasi tentang kesesuaiannya.

2.2. Konsepsi Sistem Pertanian BerkelanjutanSistem pertanian berkelanjutan sangat kompleks, dan aksi-aksi manipulatif yang berhubungan dengan sistem ini harus melibatkan perspektif konsumen, totalitas sistem pangan mulai dari produksi hingga konsumsi, implikasi sosial, dan peranan tenagakerja pedesaan dalam pertanian. Dankelman dan Davidson (1988) mengemukakan beberapa persyaratan dasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu: (1). Akses yang merata bagi seluruh petani atas lahan yang subur, fasilitas kredit, serta informasi pertanian; (2). Pemeliharaan dan dukungan terhadap aktivitas pertani­an yang dilakukan oleh petani; (3). Pengembangan metode-metode kultivasi, pengolahan bahan pangan, dan penyimpanan bahan pangan yang mampu menyerap tenagakerja wanita; (4). Diversifikasi spesies yang cukup tinggi guna mempertahankan fleksibilitas pola pertanaman; (5). Konservasi tanah-tanah subur dan produktif dengan jalan mendaur-ulangkan bahan organik; (6). Penggunaan air dan bahan bakar secara tepat. Persyaratan ini masih belum disepakati secara umum, terutama mengenai kebutuhan input bagi usaha on-farm dan off-farm. Sifat yang rumit dari sistem pertanian yang berkelanjutan mengharuskan pengkajian secara lebih mendalam tentang sistem usahatani. Parr (1990) mengu­sulkan bahwa sasaran akhir dari petani dalam pertanian yang berkelanjutan adalah (i) memelihara dan memperbaiki sumberdaya alam dasar, (ii) melindungi lingkungan, (iii) menjamin profitabilitas, (iv) konservasi energi, (v) mening­katkan pproduktivitas, (vi) memperbaiki kualitas pangan dan keamanan pangan, (vii) menciptakan infrastruktur sosial-ekonomi yang viabel bagi usahatani dan komunitas pedesaan.

Kontribusi penting sumberdaya manusia dalam pertanian berkelanjutan tampak dari defi­nisi yang dikemukakan oleh CGIAR (Consultative Group on International Agricul­tural Research), bahwa "sistem pertanian yang berkelanjutan melibatkan keber­hasilan pengelolaan sumberdaya bagi pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia yang senantiasa berubah sambil memelihara atau memperbaiki sumberdaya alam dasar dan menghindari degradasi lingkungan". Berdasarkan hal-hal di atas, Harwood (1990) mengemukakan definisi kerja tentang pertanian yang berkelanjutan sebagai "suatu pertanian yang dapat berevolusi secara indefinit ke arah utilitas manusia yang semakin besar, efisiensi penggunaan sumberdaya yang semakin baik, dan keseimbangan dengan lingkungan yang nyaman baik bagi kehidupan manusia maupun bagi spesies lain­nya". Definisi kerja ini masih sangat umum, untuk lebih mema hami proses-proses yang terlibat didalamnya maka perlu diterjemahkan ke dalam substansi-substansi yang sesuai dengan kondisi dan tatanan yang berlaku di masing-masing negara. Sebagai konsepsi yang dinamis, pertanian yang berkelanjutan melibatkan inter­aksi-interaksi yang kompleks faktor-faktor biologis, fisik, dan sosial-ekono­mis serta memerlukan pende katan yang komprehensif untuk memperbaiki sistem yang ada dan mengembang kan sistem baru yang lebih berkelanjutan.

Beberapa pertimbangan biologis yang penting adalah: (1). Konservasi sumberdaya genetik; (2). Hasil per unit area per unit waktu harus meningkat; (3). Pengendalian hama jangka panjang harus dikembangkan melalui pengelolaan hama terpadu; (4). Sistem produksi yang seimbang yang mmelibatkan tana­man dan ternak; (5). Perbaikan metode pengendalian hama dan penyakit ternak. Beberapa faktor fisik yang sangat penting ialah: (1). Tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sistem pertanian; sehingga kehilangan material tanah karena erosi dan kemunduran kesu buran tanah akibat kehilangan hara harus diken­dalikan.; (2). Sistem pertanian merupakan pengguna air; pemanfaatan secara tidak efisien cadangan air bumi dan eksploit­asi akuifer akan dapat berakibat fatal; (3). Pengelolaan tanah dan air yang tidak memadai di lahan pertanian tadah hujan dapat memacu degradasi lahan; (4). Penggunaan bahan agrokimia yang tidak tepat dapat mengakibatkan akumulasi bahan-bahan toksik dalam air dan tanah; (5). Perubahan atmosferik akibat ulah manusia dapat berdampak buruk terhadap sistem produksi pertanian; (6). Konsumsi energi oleh sistem produksi pertanian dengan hasil-tinggi harus lebih dicermati. Kendala sosial-ekonomi dan tatanan legal yang juga mempe ngaruhi stategi jangka panjang yang berkelanjutan adalah: (1). Infrastruktur yang lemah sehingga sangat membatasi di namika transportasi dan komunikasi; (2). Program finansial dan administratif seringkali bias ke arah daerah urban; (3). Sistem penguasaan lahan (land tenure)

DAFTAR PUSTAKA
  • Arsyad, S. , A. Priyanto, dan L.I. Nasoetion. 1985. Konsepsi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah disajikan pada Lokakarya Program Studi Pengelolaan DAS pada FPS IPB, 14 Januari 1985. 
  • Dent, J.B. dan J.R. Anderson. 1971. Systems Analysis in Agricultural Management. John Wiley & Sons Australasia PTY LTD,. Sydney. 
  • Eriyatno. 1990. Permodelan Sistem. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 15 halaman. 
  • Eriyatno. 1990a. Sistem Penunjang Keputusan. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 23 hal 
  • FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32/I/ILRI Publ. No. 22. FAO, Rome. 
  • Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extensions. D.C. Health and Company, Lexington, Mass. 
Blog, Updated at: 17.40.00

0 komentar:

Posting Komentar