Membangun Minat dan Kemampuan Membaca
Minat baca modal besar membangun kemampuan membaca. Minat baca tinggi umumnya frekuensi membacanya pun sangat tinggi dan waktu yang dipergunakannya sangat tinggi pula. Seseorang yang mempunyai minat baca tinggi, akan melakukan banyak kegiatan membaca, dan secara bertahap meningkatkan kemampuan membaca seseorang. Orang yang mempunyai minat baca yang baik umumnya melahap aneka bacaan atau bacaannya sangat variatif. Ajip Rosidi (1987) menjelaskan bahwa minat baca bukanlah sesuatu yang tumbuh secara otomatis. Melainkan, minat baca ditanamkan, ditumbuhkan serta dipupuk dan dibina sejak anak-anak masih dini. Dalam membangun minat baca diperlukan bantuan serta partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat mulai lingkungan sekolah (guru), lingkungan masyarakat, pemerintah, dan paling utama adalah dukungan dari pihak keluarga. Berdasarkan hasil penelitian Thorndike ( 1987) yang dilakukan di lima belas negara termasuk di dalamnya negara-negara berkembang, pengaruh keluarga sangat tinggi kontribusinya dalam mempengaruhi terbentuknya minat serta kemahiran membaca pada anak-anak. Bahkan, Thorndike menyatakan bahwa tidak terdapat indikasi bahwa anak-anak yang memiliki minat serta kemahiran membaca unggul sebagai akibat langsung (pengaruh) dari pengajaran membaca yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Bahwa anak harus didekatkan pada buku sejak masih kecil untuk membentuk menjadi manusia berwatak, arif berwawasan dan berinteligensia tinggi di kemudian hari merupakan langkah strategis. Minat dan kecintaan seorang anak untuk gemar membaca ditanamkan dan dimulai oleh ibu dan bapak. Ibu dan bapak dapat memberi contoh kepada anak-anaknya. Bagi ibu dan bapak yang gemar membaca; dan dapat menunjukkan pada anak bahwa buku adalah sebuah objek yang dapat dinikmati, memberi kesenangan dan informasi berguna, akan memberi inspirasi pada anak untuk menirunya.
Menurut DN. Norton (1989), seorang pakar membaca dari Universitas Texas mengatakan sesungguhnya merupakan sebuah persepsi yang salah jika banyak orang tua yang mengatakan bahwa anak-anak itu tidak memiliki kesenangan membaca buku. Menurut kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan, pada dasarnya semua anak senang melakukan kegiatan membaca dengan syarat pihak orang tua mau menyediakan buku-buku bacaan yang memang cocok dengan kondisi mereka, baik dari segi isi maupun bahasanya. Menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anak, dengan cara menyediakan bacaan yang disukai, pasti anak-anak dengan penuh suka cita akan melakukannya. Meskipun, mengupayakan agar anak-anak gemar dan mahir membaca, memang bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan murah, karena faktor-faktor yang turut mempengaruhi minat serta kemahiran membaca pada diri seseorang itu tidaklah tunggal, tetapi cukup kompleks, dan juga kemampuan membaca bukanlah kemampuan bawaan (innate), melainkan sesuatu yang harus diupayakan oleh semua pihak dengan penciptaan kondisi yang kondusif.
Dalam rangka membangun kemampuan membaca, Yap (1978) menegaskan bahwa kemampuan membaca seseorang ditentukan oleh kualitas membacanya; dan kemampuan membaca seseorang sangat ditentukan oleh lamanya seseorang melakukan aktivitas membaca. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Yap melaporkan hasil penelitiannya, bahwa 65% ditentukan oleh banyaknya waktu yang digunakan untuk membaca, 25% oleh faktor IQ, dan 10% oleh faktor-faktor lain berupa lingkungan sosial, emosional, lingkungan fisik dan sejenisnya. Dengan demikian, menurut Yap jika berniat untuk meningkatkan kualitas kemampuan membaca seseorang, perbanyaklah melakukan aktivitas membaca. Dengan demikian, Yap termasuk seorang pakar membaca beraliran behavioristik, suatu aliran yang menyatakan bahwa pemerolehan kemampuan membaca seseorang itu sebagian besar dipengaruhi oleh frekuensi (keseringan) waktu yang digunakan oleh seseorang untuk membaca.
Motivasi membaca juga merupakan modal penting dalam menumbuhkan kemampuan membaca. Motivasi membaca adalah pendorong, penggerak dan pemberi semangat untuk terciptanya kegiatan membaca seseorang melalui bahasa sebagai lambang-lambang tertulis. Dengan jalan melihat, memahami dan melisankan dalam hati melalui suatu bacaan yang dilihat untuk menangkap makna kata dan kumpulan kata yang tersirat dan tersurat guna memperoleh pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikap. Motivasi membaca merupakan hasrat untuk membaca dari seorang individu. Seseorang dapat membaca secara lebih efisien apabila ia berusaha untuk membaca maksimal, artinya seseorang memotivasi dirinya sendiri untuk membaca. Pada individu yang membaca, terjadilah suatu keadaan peningkatan kesiap-siagaan, ketajaman perhatian, dan ketegangan otot (Holida dan Sulistianingsih,1998) .
Motivasi membaca dapat datang dari dalam diri seseorang; dan motivasi yang timbul dalam diri seorang individu lebih stabil dan mantap apabila dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari pengaruh lingkungan. Dengan berubahnya lingkungan yang menimbulkan motivasi ini, maka motivasi membaca juga akan mengalami perubahan. Motivasi dalam diri seorang individu untuk membaca dapat dibangkitkan, ditingkatkan, dan dipelihara oleh kondisi-kondisi luar. Sikap, pribadi, dan kepemimpinan guru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap motivasi siswanya. Kepribadian guru yang menyenangkan, sikap terbuka dalam menerapkan pelajaran, dan menunjukkan perhatian yang wajar kepada siswa cenderung dapat menimbulkan dan memupuk motivasi untuk belajar secara efisien. Cara-cara memberikan pelajaran yang dilakukan oleh guru juga cukup kuat pengaruhnya terhadap motivasi membaca siswa.
Guru merupakan motivatori siswa agar aktif membaca, terlibat, dan berperan serta dalam setiap pelaksanaan proses belajar-mengajar membaca di kelas. Karena itu, guru perlu memikirkan sebaik-baiknya usaha-usaha yang patut dilakukan untuk membangkitkan motivasi membaca siswa agar kegiatan belajarnya aktif mengalami. Perencanaan pengajaran, pengorganisasian kelas, penataan ruang, evaluasi, dan sebagainya juga menentukan motivasi di dalam proses belajar-mengajar, dan dapat membangun gairah dalam membaca siswa.
Guru bahasa dapat mengembangkan, meningkatkan dan memotivasi keterampilan-keterampilan siswa yang di butuhkan dalam membaca. Guru dituntut memperluas pengalaman pelajar sehingga dapat memahami keadaan dan seluk–beluk kebudayaan; mengajarkan bunyi-bunyi (bahasa) dan makna-makna kata-kata baru; mengajarkan hubungan bunyi bahasa dan lambang simbol; membantu para pelajar memahami struktur-struktur (termasuk struktur kalimat yang biasanya tidak begitu mudah bagi pelajar bahasa);mengajarkan ketrampilan-ketrampilan pemahaman (comprehension skills) kepada para pelajar; dan membantu para pelajar untuk meningkatkan kecepatan dalam membaca.
Untuk menjaga agar motivasi atau dorongan membaca selalu besar, maka pengajaran yang dilakukan oleh guru berjalan dalam dua arus yang sejajar: Pertama:guru membantu para pelajar membaca bahan-bahan yang menarik serta bermanfaat secepat mungkin; Kedua, guru secara sistematis mengajarkan korespondensi atau hubungan-hubungan bunyi dan lambang yang diperlukan oleh para pelajar untuk memahami serta mendorong mereka membaca sendiri. Agar seimbang dan tidak berat sebelah, maka hendaknya lebih banyak waktu dipergunakan untuk membaca secara aktual bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat kematangan para pelajar (Finocchiaro and Bonomo dalam Tarigan,1990).
Dalam meningkatkan kemampuan membaca dibutuhkan keteraturan, kedisiplinan, dan konsentrasi. Pokok pangkal pertama dari cara membaca yang baik ialah keteraturan. Hanya dengan membaca secara teratur seseorang akan memperoleh hasil yang baik. Kalau sifat keteraturan dalam membaca ini telah benar-benar dihayati sehingga menjadi kebiasaan seseorang dalam perbuatannya, maka sifat ini akan mempengaruhi pula jalan pikirannya. Asas keteraturan dalam membaca itu senantiasa menjelma dalam tindakan-tindakan pembelajar setiap harinya. Bahan-bahan belajar setiap hari dipelajari, dibaca sekurang-kurangnya sekali. Buku-buku pelajaran dipelajari secara tertentu setiap hari. Asas lain dalam cara membaca yang baik sebagai faktor keberhasilan membaca ialah disiplin. Dengan jalan berdisiplin untuk melaksanakan pedoman-pedoman yang baik di dalam usaha membaca, barulah seseorang mungkin mempunyai cara belajar yang baik. Berkonsentrasi dalam membaca juga menjadi faktor penting keberhasilan membaca (The Liang Gie, 1985).
Untuk menjadi seorang pembaca yang baik di samping menguasai metodenya, kebiasaan-kebiasaan yang baik dibutuhkan misalnya: membaca harus memiliki tujuan, bukan membaca asal membaca; ada rencana dan persiapan untuk membaca, menyiapkan alat tulis sewaktu membaca untuk memberi tanda-tanda atau catatan-catatan lain dari yang dibaca, cahaya penerangan datang dari arah belakang, buku dipegang oleh tangan dan tidak terletak mendatar di atas meja, jarak mata dengan buku kira-kira 25-30 cm. Membaca tidak dengan tidur; dan tiap membaca 1-2 jam istirahat 5-10 menit (Ahmadi, 1991).
Hal penting lain dalam meningkatkan motivasi membaca ke arah kemampuan membaca, adalah dengan menyediakan perpustakaan dan menciptakan suasana perpustakaan yang nyaman dan tenang yang mencirikan suatu ruangan untuk anak-anak dan remaja, baik itu pada perpustakaan umum maupun sekolah. Ruang yang bersih, terasa lega dan buku-buku disusun secara rapi dan teratur serta terawat bersih dengan sendirinya menjadi pembelajaran pada anak untuk mencintai dan menyukai memasuki suatu ruangan perpustakaan sebagai tempat menimba ilmu dan mencari inspirasi yang positif.
Hal ini menuntut aktifnya seorang pustakawan membuat program untuk menarik anak datang ke perpustakaan; sekaligus secara tak langsung memberitahukan pada masyarakat sekitar adanya perpustakaan di kawasan tempat mereka tinggal. Program yang bisa dilaksanakan, seperti menyelenggarakan kelas melukis: pameran lukisan dan lomba melukis, musik, tari, drama dan nyanyi; menyelenggarakan kelas pekerjaan tangan : membuat berbagai prakarya; kelas permainan : catur, kuis, congklak; permutaran film/video untuk anak dan remaja; membacakan cerita; membedah buku/berdiskusi setelah acara mendongeng; mengadakan kegiatan penelitian kecil-kecilan untuk meningkatkan rasa ingin tahu; mengundang penulis dan ilustrator untuk bertatap muka dengan anak-anak; menerbitkan majalah perpustakaan yang berisi hasil karya anak-anak yang menjadi anggota perpustakaan; mengundang ahli untuk berceramah pada anak-anak; dan mengadakan pameran buku ( Bunanta, 2004).
Pemimpin Tak Membaca= Kecelakaan Peradaban
Seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat (Leroy Eims). Seorang pemimpin sebagai penggerak utama perubahan dituntut lebih banyak pengetahuan daripada orang lain yang semestinya untuk diberi pengetahuan, lebih mahir dalam mengantisipasi apa yang akan terjadi; dan lebih paham menentukan strategi dalam mencari solusi permasalahan. Singkatnya, seorang pemimpin harus lebih banyak memiliki kecerdasan intelegensia, emosional, sosial dan spiritual daripada orang lain.
Perjuangan seorang pemimpin dalam mengawal perjalanan kehidupan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Hal ini menyiratkan pesan penting, bahwa membaca, diteruskan menulis dan mengembangkan dialog adalah kerja wacana; serta mencipta dan mencipta selalu memasyaratkan membaca. Kian banyak mencipta, kian banyak membaca; kian banyak bacaan, kian kaya hasil penciptaan ( Latif,2005). Dengan demikian, jelas, bahwa tanpa membaca bagi seorang pemimpin bersiaplah bukan sekedar akan gagal dalam memimpin, melainkan bersiaplah digilas deru kemajuan peradaban.
Melling dalam Rohman (2005) mengatakan, rakyat dapat mengukur seberapa jauh pemikiran universalnya dan seberapa jauh seseorang pemimpin memiliki kekuatan besar untuk menempa serta membentuk watak rakyatnya, dapat diukur dari karya instrumental yang dihasilkan bukan semata-mata merupakan objek perhatian esetika, melainkan pula semua yang penuh makna dengan seperangkat ide inovatif, nilai fondamental dan instrumental; dan emosi kepribadian yang berkarakter.
Suatu keprihatinan tampil kepermukaan, kini mulai langka menemukan kecerdasan pikiran sebagai figur utama kebijakan dan tindakan untuk menentukan bobot pemimipin. Kemunduran terbesar saat ini adalah pada kemunduran dalam menghargai pikiran. Padahal, untuk menjadi pemimpin, Plato memberikan syarat utama adalah kualitas pemimpin yang disandarkan pada nafs atau akal manusia dan tidak pada “jasad” manusia. Sebab, akal inilah yang nantinya menuntun pemimpin dalam empat kebajikan pokok sepanjang masa terus dibutuhkan rakyat, yakni memiliki pengendalian diri, keberanian disertai wawasan, kearifan, dan keadilan.
Di sinilah letak pentingnya pemimpin inspiratif. Posisinya sebagai inspirator “hanya” memberikan inspirasi rakyat sehingga mampu melaksanakan tugasnya kepemimpinannya sebagai juru penuntun membawa selamat dan produktif pada dahsyadnya kemajuan dan kompetesi masa depan. Selain itu, pemimpin inspiratif sangat dibutuhkan untuk mengembangkan budaya berpikir positif di tengah menguatnya buruk sangka. Menurut budayawan Nirwan A Ar-suka (2004), menuntut masyarakat agar mengembangkan budaya berfikir positif harus diimbangi dengan pemimpin itu sendiri, dengan memberikan teladan hidup yang baik kepada masyarakat sebagai sosok pemimpin. Pemimpin bertipe inspiratif dalam konteks masa depan sangat dibutuhkan, mengingat sekarang rakyat sudah jenuh dengan pemimpin yang lebih banyak aksi otoritarisme sebagai bungkus ketidakmampuan wawasan dan lemahnya kesadaran peradaban.
Bermula dari tanda, sejarah pemikiran dan peradaban tercipta. Lantas, tanda apakah yang diciptakan pada awal abad ini bagi seorang pemimpin? Ada tanda‑tanda bahwa pikiran yang terasah dengan membaca tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Banyak orang yang dipercaya menjadi memimpin berhenti membaca dan mencipta, dan lebih banyak memerintah dengan topeng kekuasaan karena kepintaran kembali dihinakan oleh simbul baru (kroni dan kemewahan sebagai refleksi kerakusan pemimpin).
SUMBER;
0 komentar:
Posting Komentar