Sejarah Lahir dan Perkembangan Sosiologi
Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang berhubungan dengan sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu. Para ahli filsafat Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 sudah menekankan peranan akal budi yang potensial dalam memahami perilaku manusia dan dalam memberikan landasan untuk hukum-hukum dan organisasi negara (Becker: 1932; Berlin: 1956; Capaldi: 1967). Pemikiran mereka lebih ditekankan pada dobrakan utama terhadap pemikiran abad pertengahan yang bergaya skolastik atau dogmatis, di mana perilaku manusia dan organisasi masyarakat itu sudah dijelaskan dalam hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama (Johnson, 1986: 14).
Sejarawan dan filsuf sosial Islam Tunisia Ibnu Khaldun (1332-1406), sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakatmasyarakat halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras (Chambliss, 1954: 285-312). Karya Khaldun tersebut ditungkan dalam bukunya yang berjudul al-Muqaddimah tentang sejarah dunia dan sosial-budaya yang dipandang sebagai karya besar di bidang tersebut (Sharqawi, 1986: 144). Dari kajiannya tentang watak masyarakat manusia, Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota dan masing-masing kehidupan ini mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut pengamatannya politik tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas.
Lebih jauh lagi ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam slogan, pakaian, kendaraan, dan tradisinya. Selain itu salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang menggemari kemewahan, kesenangan, kedamaian. Dan apabila hal-hal ini semuanya mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk dalam masa senja. Dengan demikian kebudayaan itu adalaah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja (Al-Muqaddimah, 1284 H: 168).
Lebih jauh lagi ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam slogan, pakaian, kendaraan, dan tradisinya. Selain itu salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang menggemari kemewahan, kesenangan, kedamaian. Dan apabila hal-hal ini semuanya mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk dalam masa senja. Dengan demikian kebudayaan itu adalaah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja (Al-Muqaddimah, 1284 H: 168).
Pendapat Khaldun tentang watak-watak masyarakat manusia ini dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat fase, yaitu: fase primitif atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Khaldun sering disebut dengan fase; pembangun, pemberi gambar gembira, penurut, dan penghancur (Al-Muqqaddimah, 1284 H: 137; Sharqawi, 1986: 145).
Jadi, peradaban-peradaban ditakdirkan tidak untuk bertahan lama dan tumbuh tanpa batas, tetapi untuk lebih menjadi mudah ditaklukkan oleh orang nomaden yang kuat, keras, dan keberaniannya diperkuat oleh rasa solidaritas yang tinggi. Namun kemudian, penakluk-penakluk ini-pun meniru gaya hidup yang kebudayaan yang halus yang mereka taklukkan. Dan siklus terus terulang lagi. Model masyarakat yang Khaldun gambarkan mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di jazirah Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu deskripsi historis mengenai masyarakat-masyarakat Arab, tetapi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamikadinamika masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan. Semangat atau sikap ilmiahnya dalam menganalisis sosial-budaya pada umumnya mendekati bentukbentuk penelitian ilmiah modern, dan isinya secara substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial modern. Namun demikian karya Khaldun sudah banyak diabaikan oleh para ahli teori sosial di Eropa dan Amerika, mungkin antara lain karena dunia Arab saat itu mulai mundur, sedangkan Eropa dan Amerika semakin mendominasi (Johnson, 1986: 15).
Keadaan semacam ini tidak sekedar melanda dalam sosiologi, sebab sampai menjelang pertengahan abad ke 19, hampir semua ilmu pengetahuan yang dikenal sekarang ini, pernah menjadi bagian dari filsafat dunia Barat yang berperan sebagai induk dari ilmu pengetahuan atau “Mater Scientiarum” ataupun menurut Francis Bacon sebagai the great mother of the sciences (Rosenberg, 1955: 29). Pada waktu itu filsafat mencakup segala usahausaha pemikiran mengenai masyarakat. Lama kelamaan, dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban manusia, pelbagai ilmu pengetahuan, yang semula tergabung dalam filsafat memisahkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu tentang bintang-bintang), dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang ifilsafat yang terawal memisahkan diri, yang kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi, dan geologi. Pada
abad 19 kemudian muncul dua ilmu pengetahuan baru, yakni psikologi dan sosiologi. Begitu
juga Astronomi yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat yang bernama kosmologi,
sedangkan alamiah menjadi fisika, filsafat kejiwaan menjadi psikologi, dan filsafat sosial
menjadi sosiologi (Soekanto, 1986; 3).
Dengan demikian maka lahirlah sosiologi, yang dalam pertumbuhannya dapat
dipisahkan dari ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti; ekonomi, sejarah, politik, dan lain
sebagainya. Lahirnya sosiologi sebagai ilmu sosial tidak lepas peranannya dari seorang tokoh
brilyan tetapi kesepian.
Buku tersebut merupakan ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis tentang filsafat positif, yang semua ini terwujud dalam tahap akhir perkembangan (Johnson, 1986; 84-85). Singkatnya dalam hukum itu menyatakan bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, terbagi dalam tiga stadia, yaitu: (1) tahap teologis, ditandai oleh kekuatan zat adikodrati Yang Maha Kuasa; (2) tahap metafisik, ditandai oleh kekuatan pikiran dan ide-ide abstrak yang absolut; dan (3) tahap positif yang ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positivistik untuk kemajuan dan keteraturan hidup manusia, di mana sosiologi akan menjadi “pendeta agama baru” (Lauer, 2001: 73-74).
Sosiologi yang lahir tahun 1839, berasal dari kata Latin “socius” yang berarti “kawan”, dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dengan demikian sosiologi berarti berbicra mengenai masyarakat. Bagi Comte maka sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Tokoh lainnya ahli kemasyarakatan dari Inggeris yaitu Herbert Spencer (1820-1830), merupakan tokoh yang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkrit yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology. Ia mengemukakan bahwa kunci memahami gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum evolusi universal (Spencer, 1967).
Gejala fisik, biologis, dan sosial itu semuanya tunduk pada hukum dasar tersebut. Kemudian prinsip-prinsip evoulusi tersebut juga diperluas dari tingkat gilogis ke sosial sehingga semboyan survival aof the fittest dalam Darwinisme Sosial itu-pun sebenarnya dari Spencer Emile Durkheim (1858-1917) yang diakui sebagai “bapak sosilogi” dalam pengembangan disiplin sosiologi sebagai disiplin akademik, mengikuti tradisi positivistic Prancis dan mengemukakan dalil keberadaan fakta sosial yang spesifik, yang telah ditinggalkan oleh bentuk studi lainnya, khususnya psikologi yang merupakan pesaing dari sosiologi yang paling nyata dalam tugas menjelaskan keteraturan di dalam tindakan manusia yang dapat diamati.
Apa yang membedakan fakta sosial itu dapat dibedakan dengan gejala individual ? Bagi Durkheim, fakta sosial itu memiliki karaktersitik yang berbeda dengan gejala individual, yakni: Pertama, fakta sosial itu bersifat eksternal terhadap individu, yang merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan keberadaannya di luar kesadaran individu. Kedua, fakta sosial itu “memaksa” kepada individu, walaupun tidak dalam pengertian kepada hal-hal negatif. Melalui fakta sosial individu tersebut dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi dalam lingkungan sosialnya. Ketiga, fakta sosial itu bersifat universal, oleh karenanya tersebar secara luas dalam arti milik bersama, bukan sifat individu perorangan ataupun hasil penjumlahan individual, tetapi kolektif. Dalam buku yang lain, Division of Labour in Society, Durkheim memusatkan konsep “solidaritas sosial” sebagai sebuah karya yang membawahi semua karya utamanya. Singkatnya, ”solidaritas sosial” menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral serta kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Dalam hal ini Durkheim menganalisis pengaruh atau fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. Dalam arti bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas sosial mekanik ke solidaritas sosial organik (Durkheim, 1964a: 79). Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective consciousness/conscience) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Sedangkan dalam solidaritas organik, terdapat saling ketergantungan yang tinggi dan hal itu muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar sehingga terbentuk spesialisasispesialisasi dalam pembagian pekerjaan.
Karaktersitik dalam munculnya solidaritas organic tersebut ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restrictive) daripada bersifar represif.(Jonson, 1986: 183-184). .Pada saat yang hampir sama, Max Weber (1864-1920) tokoh pendiri akademik lainnya yang terinpirasi oleh tradisi Geisteswissenchaven dan Kulturlehre dari Jerman, berusaha membentuk disiplin baru. Sosiologi dibedakan oleh pendekatan dan pandaangan interpretatifnya daripada oleh pernyataan bahwa seperangkat “fakta” terpisah merupakan wilayah eksklusif untuk studinya. Bagi Weber, sosiologi dibedakan oleh usahanya untuk verstehen (memahami) tingkah laku manusia. Untuk fokus kajiannya itu ia berbeda dengan Durkheim yang menekankan fakta sosial tersebut. Bagi Weber kenyataan sosial itu sebagai sesuatu yang didasarkan motivasi individu dan tindakan sosial yang berarti. Dalam arti bahwa tinjauan Weber tersebut berhubungan dengan posisi nominalis, yang berpendirian bahwa hanya individu-lah yang riil secara obyektif, sebaliknya masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu.
Tetapi analisis substantif Weber tidak mencerminkan suatu posisi yang individualistik dengan ekstrimnya. Dia juga mengikuti pentingnya dinamika-dinamika kecenderungan sejarah yang besar pengaruhnya terhadap individu, walaupun posisinya dapat dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan individualisme-metodologis. Artinya data ilmiah bagi ilmu sosial akhirnya berhubungan dengan tindakan-tindakan individu yang bersifat subyektif yang berhungan dengan pelbagai “kategori interaksi manusia”. Alasan mengapa dia menekankan pada kajian idividu yang serba subyektif ?. Karena di masa hidupnya ia sangat menekankan idealisme dan historisme.
Dunia ilmu budaya tidaklah bisa dipandang sebagai sesuatu yang sesuai dengan yang dimengerti menurut hukum-hukum ilmu alam saja, yang menyatakan hubungan itu bersifat kausal. Sebaliknya dunia budaya harus dilihatnya sebagai dunia kebebasan dalam hubungannya dengan pengalaman dan pemahaman internal di mana arti-arti subyektif itu dapat ditangkap. Sebab pengetahuan yang obyektif melulu mengenai tipe yang dicari dalam ilmu-ilmu alam tidaklah memadai. Pandangan semacam ini dikembangkan oleh gurun Weber, yakni seorang sejarawan Jerman bernama Wilhelm Dilthey (1883-1911) yang menekankan tradisi idealis dan ilmu hudayanya yang menekankan verstehen (pemahaman subyektif) bertentangan dengan paradigma positivisme dari Prancis atau Durkheim tersebut (Bauman, 2002: 1025)..
Buku tersebut merupakan ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis tentang filsafat positif, yang semua ini terwujud dalam tahap akhir perkembangan (Johnson, 1986; 84-85). Singkatnya dalam hukum itu menyatakan bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, terbagi dalam tiga stadia, yaitu: (1) tahap teologis, ditandai oleh kekuatan zat adikodrati Yang Maha Kuasa; (2) tahap metafisik, ditandai oleh kekuatan pikiran dan ide-ide abstrak yang absolut; dan (3) tahap positif yang ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positivistik untuk kemajuan dan keteraturan hidup manusia, di mana sosiologi akan menjadi “pendeta agama baru” (Lauer, 2001: 73-74).
Sosiologi yang lahir tahun 1839, berasal dari kata Latin “socius” yang berarti “kawan”, dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dengan demikian sosiologi berarti berbicra mengenai masyarakat. Bagi Comte maka sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Tokoh lainnya ahli kemasyarakatan dari Inggeris yaitu Herbert Spencer (1820-1830), merupakan tokoh yang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkrit yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology. Ia mengemukakan bahwa kunci memahami gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum evolusi universal (Spencer, 1967).
Gejala fisik, biologis, dan sosial itu semuanya tunduk pada hukum dasar tersebut. Kemudian prinsip-prinsip evoulusi tersebut juga diperluas dari tingkat gilogis ke sosial sehingga semboyan survival aof the fittest dalam Darwinisme Sosial itu-pun sebenarnya dari Spencer Emile Durkheim (1858-1917) yang diakui sebagai “bapak sosilogi” dalam pengembangan disiplin sosiologi sebagai disiplin akademik, mengikuti tradisi positivistic Prancis dan mengemukakan dalil keberadaan fakta sosial yang spesifik, yang telah ditinggalkan oleh bentuk studi lainnya, khususnya psikologi yang merupakan pesaing dari sosiologi yang paling nyata dalam tugas menjelaskan keteraturan di dalam tindakan manusia yang dapat diamati.
Apa yang membedakan fakta sosial itu dapat dibedakan dengan gejala individual ? Bagi Durkheim, fakta sosial itu memiliki karaktersitik yang berbeda dengan gejala individual, yakni: Pertama, fakta sosial itu bersifat eksternal terhadap individu, yang merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan keberadaannya di luar kesadaran individu. Kedua, fakta sosial itu “memaksa” kepada individu, walaupun tidak dalam pengertian kepada hal-hal negatif. Melalui fakta sosial individu tersebut dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi dalam lingkungan sosialnya. Ketiga, fakta sosial itu bersifat universal, oleh karenanya tersebar secara luas dalam arti milik bersama, bukan sifat individu perorangan ataupun hasil penjumlahan individual, tetapi kolektif. Dalam buku yang lain, Division of Labour in Society, Durkheim memusatkan konsep “solidaritas sosial” sebagai sebuah karya yang membawahi semua karya utamanya. Singkatnya, ”solidaritas sosial” menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral serta kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Dalam hal ini Durkheim menganalisis pengaruh atau fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. Dalam arti bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas sosial mekanik ke solidaritas sosial organik (Durkheim, 1964a: 79). Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective consciousness/conscience) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Sedangkan dalam solidaritas organik, terdapat saling ketergantungan yang tinggi dan hal itu muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar sehingga terbentuk spesialisasispesialisasi dalam pembagian pekerjaan.
Karaktersitik dalam munculnya solidaritas organic tersebut ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restrictive) daripada bersifar represif.(Jonson, 1986: 183-184). .Pada saat yang hampir sama, Max Weber (1864-1920) tokoh pendiri akademik lainnya yang terinpirasi oleh tradisi Geisteswissenchaven dan Kulturlehre dari Jerman, berusaha membentuk disiplin baru. Sosiologi dibedakan oleh pendekatan dan pandaangan interpretatifnya daripada oleh pernyataan bahwa seperangkat “fakta” terpisah merupakan wilayah eksklusif untuk studinya. Bagi Weber, sosiologi dibedakan oleh usahanya untuk verstehen (memahami) tingkah laku manusia. Untuk fokus kajiannya itu ia berbeda dengan Durkheim yang menekankan fakta sosial tersebut. Bagi Weber kenyataan sosial itu sebagai sesuatu yang didasarkan motivasi individu dan tindakan sosial yang berarti. Dalam arti bahwa tinjauan Weber tersebut berhubungan dengan posisi nominalis, yang berpendirian bahwa hanya individu-lah yang riil secara obyektif, sebaliknya masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu.
Tetapi analisis substantif Weber tidak mencerminkan suatu posisi yang individualistik dengan ekstrimnya. Dia juga mengikuti pentingnya dinamika-dinamika kecenderungan sejarah yang besar pengaruhnya terhadap individu, walaupun posisinya dapat dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan individualisme-metodologis. Artinya data ilmiah bagi ilmu sosial akhirnya berhubungan dengan tindakan-tindakan individu yang bersifat subyektif yang berhungan dengan pelbagai “kategori interaksi manusia”. Alasan mengapa dia menekankan pada kajian idividu yang serba subyektif ?. Karena di masa hidupnya ia sangat menekankan idealisme dan historisme.
Dunia ilmu budaya tidaklah bisa dipandang sebagai sesuatu yang sesuai dengan yang dimengerti menurut hukum-hukum ilmu alam saja, yang menyatakan hubungan itu bersifat kausal. Sebaliknya dunia budaya harus dilihatnya sebagai dunia kebebasan dalam hubungannya dengan pengalaman dan pemahaman internal di mana arti-arti subyektif itu dapat ditangkap. Sebab pengetahuan yang obyektif melulu mengenai tipe yang dicari dalam ilmu-ilmu alam tidaklah memadai. Pandangan semacam ini dikembangkan oleh gurun Weber, yakni seorang sejarawan Jerman bernama Wilhelm Dilthey (1883-1911) yang menekankan tradisi idealis dan ilmu hudayanya yang menekankan verstehen (pemahaman subyektif) bertentangan dengan paradigma positivisme dari Prancis atau Durkheim tersebut (Bauman, 2002: 1025)..
0 komentar:
Posting Komentar