Teori-teori Sosiologi

Posted By frf on Minggu, 30 Oktober 2016 | 10.51.00

Teori-teori Sosiologi 
Dalam kebanyakan ilmu pengetahuan yang lebih tua, seperti ilmu-ilmu phisik dan kimia, kebanyakan dari bidang ilmu pengetahuan tersebut diterangkan oleh sejumlah Grand Theory yang sangat komplementer dan saling berhubungan yang diterima oleh semua spesialis dalam disiplin itu. Grand Theory adalah seluruh abstrak dan termasuk teori yang menjelaskan kebanyakan dari fakta dalam suatu disiplin dan menempatkan kebanyakan dari prinsip dan peraturan umum ke dalam suatu sistem terpadu. Contoh grand theory yang populer adalah teori tindakan sosial dan teori sistem sosial. 

1. Teori Tindakan Sosial dan Sistem Sosial dari Parsons 
Teori ‘tindakan sosial’ Parsons, sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sosiolog sebelumnya seperti; Alfred Marshall, Vilfredo Pareto, Emile Durkheim, dan Max Weber, yang dituangkan dalam karyanya “The Stucture of Social Action”.(1937). Inti argumennya adalah bahwa: “keempat tokoh teoretisi tersebut akhirnya sampai pada suatu titik temu dengan elemen-elemen dasar untuk suatu teori tindakan sosial yang bersifat voluntaristik, walaupun mereka berbeda dalam titik tolaknya”. Kemudian dalam analisisnya Parsons menggunakan kerangka alat-tujuan (means-ends framework), yang intinya: 
  • tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau memiliki suatu tujuan; 
  • tindakan terjadi dalam suatu situasi, di mana beberapa elemennya sudah pasti, sedangan elemen-elemen 50 lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai alat untuk menmcapai tujuan tersebut; 
  • secara normative tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. 
Dalam arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu tindakan adalah; tujuan, alat, kondisi dan norma (Johnson, 1986, 106). Antara alat dan kondisi itu berbeda dalam hal di mana orang yang bertindak itu mampu menggunakan alat dalam usahanya mencapai tujuan; sedangkan kondisi merupakan aspek situasi yang dapat dikontrol oleh yang bertindak tersebut. Sedangkan untuk teori sistem sosial, Parsons melihatnya bahwa kenyataan sosial dari suatu perspektif yang sangat luas, yang tidak terbatas pada tingkat struktur sosial saja. Berulang kali ia menunjuk pendekatannya sebagai suatu teori mengenai tindakan yang bersifat umum sebagaimana ia ungkapkan ide-idenya tersebut dalam karyanya Toward A General Theory of Action (1951a) bersama Edward A. Shils, dan The Social System (1951b) . 

Sistem sosial hanyalah sasalh satu dari sistem-sistem yang termasuk dalam perspektif keseluruhan; sistem kepribadian dan sistem budaya merupakan sistem-sistem yang secara analitis dapat dibedakan, juga termasuk di dalamnya. Seperti hanlnya dengan organisme perilaku. Dalam analisisnya lebih lanjut, sistem-sistem sosial terbentuk dari tindakantindakan sosial individu. Dalam teori sistem sosial tersebut Parsons dan rekan-rekanya mengembangkan kerangka A-G-I-L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latent Pattern Maintenance) (Johnson, 1986: 129-131), sebagai empat persayarat-persyaratan fungsional dalam semua sistem soail dikembangkan. 

Adaptation, memunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya baik itu yang bersifat ‘transformasi aktif dari situasi’ yang pada umumnya segi-segi situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan ‘inflexible’ suatu kondisi yang tidak dapat ataupun sukar diubah. Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu selalu diarahkan pada tujuannya terutama pada tujuan bersama para anggota dalam sustu sistem sosial. Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam suatu sistem sosial. 

Sedangkan Latent Pattern Maintenance, menunjukkan pada berhentinya interaksi, baik itu karena letih ataupun jenuh, serta tunduk pada sistem sosial di mana dia berada. Keempat persyaratan fungsional tersebut dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan yang juga terlibat dalam saling tukar lingkungannya. Lingkungan sistem sosial itu terdiri atas; lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme perilaku. Pendekatan fungsionalisme structural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut:
  1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. 
  2. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bgianbagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal-balik. 
  3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis: menanggapi perubahanperubahan yang dating dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal. 
  4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpanganpenyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu. 
  5. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dsn yidsk secara revolusioner. Perubahan-perubahan yang terjadi secara secara drastic 51 pada umumnya hanya mengenai bentuknya luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
Namun untuk sosiologi, tidak sepenuhnya berlaku grand theory seperti itu, sebab belakangan ini juga banyak terjadi perubahan-perubahan. Walaupun mulanya ketika bidang sosiologi muncul, suatu pencarian untuk penjelasan tingkah laku manusia yang tunggal dan sesuatu teori penekanannya yang non-empirik mendominasi bidang tersebut. Awal kehadiran para ahli sosiologi, seperti Auguste Comte dan para pengikutnya, pada umumnya mereka adalah orang-orang di belakang meja (“sarjana salon”) di mana mereka sebagai sosiolog tidak melalakukan riset empiris. Sebaliknya, dalam sejarah ringkas sosiologi di samping mempunyai ahli grand theory, juga memiliki peneliti-peneliti yang bersifat empiris ternama khusunya pada generasi kedua.. Seperti sarjana sosiologi George Homans, Paul F. Lazarsfeld, dan Robert K. Merton adalah kedua-duanya ahli teori dan penganut aliran empirisme. Pada saat sekarang ini semakin banyak ahli teori sosiologi yang melakukan penelitian empiris. Begitu juga tidak menutup kemungkinan para ahli sosiologi akan mungkin bisa merumuskan perpaduan grand theory dan empirisme sekali waktu di masa mendatang. 

3. Teori Evolusi Sosial Spencer 
Dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology (1876-1896) Spencer, seorang sosiolog Inggeris yang banyak menggunakan bahan etnogafi secara luas dan sistematis mengemukakan teorinya sebagai berikut: 
  • Masyarakat yang merupakan suatu organisme, berevolusi menurut pertumbuhan manusia, seperti tubuh yang hidup, masyarakat bermula seperti kuman, berasal dari massa yang dalam segala hal dapat dibandingkan dengan massa itu sebagian di antaranya akhirnya dapat didekati. (Spencer dalam Lauer, 2003: 80). 
  • Suku primitif berkembang melalui peningkatan jumlah anggotanya, perkembangan itu mencapai suatu titik di mana suatu suku terpisah menjadi beberapa suku yang secara bertahap timbul beberapa perbedaan satu sama lain. Perkembangan ini bisa terjadi seperti pengulangan maupun terbentuk dalam proses yang lebih luas dalam penyatuan beberapa suku. Penyatuan ini terjadi tanpa melenyapkan pembagian yang sebelumnya disebabkan oleh pemisahan 
  • Pertmbuhan masyarakat tidak sekedar menyebabkan perbanyakan dan penyatuan kelompok, tetapi juga meningkatkan kepadatan penduduk atau meningkatkan solidaritas, bahkan memejukan massa yang lebih akrab. 
  • Dalam tahapan masyarakat yang belum beradab (un-civilised) itu bersifat homogen, karena mereka terdiri dari kumpulan manusia yang memiliki kewenangan, kekuasaan, dan fungsi yang relatif sama, terkecuali masalah jenis kelamin. 
  • Suku nomaden memiliki ikatan, karena dipersatukan oleh oleh ketundukan kepada pemimpin suku. Ikatan ini mengikat hingga mencapai masyarakat beradab yang cukup diintegrasikan bersama ”selama 1000 tahun lebih”.
  • Jenis kelamin pria, diidentikkan dengan simbol-simbol yang menuntut kekuatan fisik seperti; keprajuritan, pemburu, nelayan, dan lain-lain. 
  • Kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi munculnya keluarga yang sifatnya tidak tetap atau nomaden. 
4. Teori Teknologi dan Ketinggalan Budaya (Cultural Lag) dari Ogburn 
William F. Ogburn yang mendapat pendidikan di Universitas Columbia dan menghabiskan sebagian besar hidup akademisnya di Iniversitas Chicago, sumbangannya yang apaling terkenal terhadap bidang sosiologi adalah konsepnya tentang ketinggalan budaya (cultural lag). Konsep ini mengacu kepada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola=pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behing) perubahanperubahan dalam kebudayaan materiil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditand
Blog, Updated at: 10.51.00

0 komentar:

Posting Komentar