Fungis pers di Indonesia

Posted By frf on Kamis, 27 Oktober 2016 | 04.33.00

Fungis pers di Indonesia 
Menurut UU No. 4o tahun 1999 tentang pers, disebutkan dalam pasal 3 fungsi pers adalah sebagai berikut: 

  1. Sebagai media informasi karena pers member dan menyediakan informasi tentang pristiwa yang terjadi pada masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena butuh informasi. 
  2. Fungsi pendidikan karena pers itu sebagai sarana pendidikan massa (massa Education), pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bisa bertambah pengetahuan dan wawasannya.
  3. Sebagai hiburan karena pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Seperti cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok atau karikatur.
  4. Fungsi Kontrol Sosial, terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsure-unsur sebagai berikut: 

  • Social particiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan.
  • Socila responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat
  • Socila support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah.
  • Sial Control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerinta
5. Fungsi ekonomi yaitu pers adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat memanfaatkan keadaan disekitarnya sebagi nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri. 

B. Peranan pers di Indonesia 
Menurut pasal 6 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, perana pers adal;ah sebagai berikut :

  • Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
  • Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menhormati kebhinekaan.
  • Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
  • Melakukan pengawasan,kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
  • Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial . Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah.

Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers.

Bab IV Pers Yang Bebas dan Bertanggung Jawan Sesuai Kode Etik Jurnalistik 
A. Bentuk-bentuk kode etik 
Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik, wartawan penyiar tunduk pada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selama abad ke-19, semakin banyak surat kabar dan majalah yang menyuarakan reformasi politik dan sosial sebagai metode menarik pembaca. Para wartawan terus bekerja sebagai penjaga mayarakat. Para wartawan yang meliputi perang Vietnam (1959 - 1975) yakin bahwa para pejabat pemerintah tidak memberitahukan kebenaran tentang keterlibatan Amerika Serikat disana. Mereka jadi sangat berpengaruh dalam memutar opini public dari mendukung menjadi penantang perang tersebut.

Adapun bentuk-bentuk kode etik dalam pers adalah sebagai berikut: 
Menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar 
Menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi 
Menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu menliti kebenaran informasi serta tidak melakukan flagiat 
Tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan asusila 
Tidak menerima uang suap dan tidak menyalahgunakan profesi 
Memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan 

B. Kode etik peliputan pemilu 
Indoensia belum ada kode etik peliputan pemilu yang disepakati bersama, sehingga setiap menjelang pemilu sejumlah organisasi wartawan sibuk membuat rumusan kode etik. Dalam Lokakarya peliputan pemilu 2004 yang diadakan lembaga pers Dr. Soetomo di Cianjur 21-25 April 2003 muncul kode etik berikut : 
Pola dan tujuan pemberitaan pemilu hendaknya direncang untuk membantu masyarakat 
Media agar membentuk tim peliputan pemilu sedini mungkin 
Media pers mendorong partai-partai politik menggunakan media massa dalam strategi kampanye 

C. Pers yang bebas dan bertanggung jawab 
Selama ini banyak orang (terutama kaum awam) yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.”Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat.

Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS. Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).

Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya.

Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, akal sehat.
Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.

Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.

Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.

Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).

Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking news sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature.

Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya aib yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (”pers kuning”) atau pers yang sensasional.
Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang pasti bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan media. 

Bab V Menentukan Sikap Terhadap Upaya Pemerintah Dalam Mengendalikan Kebebasan Pers 
A. Pemerintah sebagai sumber berita 
Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati umumnya menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit memasukkan hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Dasar hukum dari Undang-Undang Dasar 1945 yang digunakan untuk undangundang tentang Pers, dapat dilihat dari konsiderans Undang-undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1967. Disebutkan, mengingat: "Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945".

B. Pengendalian pers oleh pemerintah 
Upaya pemerintah dalam mengendalikan kebebasan pers di Indonesia adalah dengan cara:

  • Mewujudkan pers Pancasila 
  • Adanya berbagai ketentuan tentang berkomunikasi, memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat dimuka umum. 
C. Sikap terhadap kebebasan pers 
Keberadaan pers di Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya persIndonesia harus menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan tuntutan normatif pihak lain. Berkaitan dengan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada dasarnya bersifat politis, yaitu birokrasi kekuasaan negara yang menggariskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.

Tuntutan normatif ini terjadi dalam sistem berdasarkan korporatisme negara yang menjadikan setiap institusi kemasyarakatan tidak memiliki otonomi. Institusi pers, sebagaimana institusi sosial lainnya seperti asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari birokrasi negara. 

Dalam negara korporatis, keberhasilan pemerintah dilihat seberapa luas institusi sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi kemsyarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institusi ekonomi, terutama dalam era global sekarang. Institusi ekonomi yang memiliki jari-ngan global pada dasarnya tidak terikat kepada satu negara, karenanya kekuasaan birokrasi negara tertentu, sulit untuk mengkooptasinya.

Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi politik dan ekonomi. Sebagai institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Untuk mewujudkan fungsi dan peranannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari ijin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen. 

Sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peranannya sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri, yaitu informasi sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak dari azas komodifikasi pers.

Di antara kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagaimana institusi budaya lainnya, seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat, membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat moral, sangat berbeda kekuatannya dibanding dengan fungsi imperatif politis dan ekonomis yang bersifat struktural. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak memenuhi tuntutan moral, berbeda dengan tekanan imperatif politik (ijin terbit dicabut, wartawan dikenai haatzaai artikelen), atau tekanan ekonomi (koran tidak laku). Demikianlah, dalam melihat peranan pers Pancasiladalam pengembangan demokrasi agaknya lebih tepat menumpukan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh institusi pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bisa dilihat dari inter-relasi pers dengan institusi lain, sebab format institusi pers pada dasarnya dibangun oleh faktorfaktor imperatif dari institusi lain.

Bab VI Dampak Menyalahgunakan Kebebasan Media Massa 
Awal abad ke-19 di tandai dengan terbitan media yang semakin menjauh ide wal pers, yaitu kebebasan berpendapat. Pada saat itu mulai berkembang fenomena yellow journalism (jurnalisme kuning), istilas yellow journalism semula di tunjukan bagi pertempuran headline antara dua koran besar di kota new york yang dimiliki oleh joseph pulitaer dan william randolp hearst.

Menurut straubhaar, ciri khusus jurnalisme kuning adalah bentuk pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan memuat judul utama yang menarik perhatian publik tanpa mengindahkan ketepatan isi berita. Tujuan utamanya adalah meningkatkan sirkulasi penjualan. Contoh dari jurnalisme kuning adalah peristiwa meledaknya kapal perang amerika serikat bernama maine yang menewaskan ratusan awak kapalnya. Maine meledak di pelabuhan di havana, cuba, penyebab ledakan tidak di ketahui persis namun media yang di kendalikan oleh hears dan pulizer melaporkan bahwa spanyol berada di balik ledakan itu, belakangan para ahli sejarah berpendapat bahwa ledakan tersebut murni kecelakaan.

Jurnalisme kuning tidak dapat bertahan lama, kesadaran jurnalisme sebagai profesi kemudian muncul kembali. Sebagai contoh, surat kabar generasi pertama di amerika serikat awalnya bersifat partisan. Surat kabar dengan mudah menyerang politisi dan presiden. Tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Akan tetapi, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.

Akan tetapi, tidak selamanya fungsi kebebasan pers memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi. Seringkali fungsi kebebasan dari pers justru meresahkan masyarakat. Sebagai ilustrasi adalah kasus pemuatan karikatur Nabi muhamad di surat kabar jyllands-posten pada edisi 30 september 2005 di denmark.

Dampak negatif lainnya dalam kebebasan pers.adalah merebaknya fenomena pornografi di masyarakt indonesia. Hal tersebut di tandai dengan maraknya tabloid-tabloid dan tayangan televisi yang mengangkat seks sebagai tema utama. Bahkan, tabloid-tabloid tersebut dapat kita temukan di jual bebas di pinggir jalan.

Banyaknya tabloid semacam ini terjadi sejak tahun 1998, yaitu semenjak dihapuskannya surat izin usaha penerbit an (SIUPP). Penerbit yang memproduksi tabloid-tabloid ini dapat bertahan karena pada kenyataannya tabloid ini banyak di beli oleh masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah berencana memberlakukan undang-undang antipornografi dan pornoaksi. Saat ini, RUU tersebut sedang di bahas di DPR. Akan tetapi, RUU antipornografi ini mengalami polemik dalam masyarakat barkaitan dengan beberapa pasal yang terkandung dalam RUU itu.

Bab VII Menulis Suatu Berita Aktual Untuk Dipubllikasikan 
Berdasarkan masalahnya, berita ada beberapa macam yaitu:

  1. Berita acara adalah catatan laporan yang dibuat polisi mengenai terjadinya peristiwa
  2. Berita criminal adalah berita atau laporan mengenai kejahatan
  3. Berita ekonomi adalah berita yang membahas tentang ekonomi 
  4. Berita politik adalah berita yang melaporkan pristiwa/ kegiatan politik
  5. Berita Negara adalah berita resmi Negara yang biasanya dikeluarkan pemerintah dan berisi pengumuman yang ditunjukkan kepada warga Negara berkenaan dengan kebijakan atau perundangan. 
  6. Berita olahraga adalah berita tentang olah raga.
  7. Berita singkat adalah berita singkat yang sedang terjadi (Breaking News).
A. Ciri-ciri berita 
Ciri-ciri berita adalah sebagai berikut:

  1. Kejadian Fakta (Fact)
  2. Kejadian baru saja terjadi (Time)
  3. Kejadian luar biasa (Amazing)
  4. Kejadian penting dan terkenal (Important)
  5. Kejadian skandal atau persengketaan
  6. Kejadian dalam dilingkungan sendiri (Nearness)
  7. Kejadian sesuai minat konsument berita (Human Interest)
Menurut Marvein Mancher, tulisan yang baik memiliki ciri-ciri

  • Akurat artinya kata dan kalmiat yang digunakan harus sesuai dengan situasi.
  • Jelas artinya kalimat yang ditulis tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.
  • Meyakinkan artinya apa yang ditulis dapat dipercaya kebenarannya
  • Wajar artinya gaya penulisan yang wajar, lancer, logis dan masuk akal
Berita merupakan salah-satu daripada cara penulisan naratif. Oleh karena itu, cirri-ciri penulisan naratif juga terdapat dalam penulisan berita, yaitu: 

  • Lengkap dan memperlihatkan kesatuan, hal ini berarti penulisan itu mestilah mempunyai permulaan, pertengahan dan penutup. 
  • Memperlihatkan pertautan, yaitu dipersembahkan secara sistematik dari segi sudut pandang , suasana, latar dan masa. 
  • Mempunyai penekanan, yaitu memperlihatkan jalan cerita yang mengandung bagian-bagian yang mendatar dan memuncak. 
  • Mempunyai nada dan gaya yang baik, yaitu memperlihatkna pemilihan kata(diksi) yang harmoni atau sejajar dengan peristiwa atau kejadian yang diceritakan.
B. Sumber tempat mencari berita 
Untuk mendapatkan sebuah berita, biasanya kita akan mencari berita tersebut kesumbernya. Adapun sebagian sumber yang dimaksud adalah sebagai berikut: 

  • Kantor Polisi 
  • Kantor pemerintahan 
  • Rumah Sakit 
  • Kantor pengadilan 
  • Humas kantor atau perusahaan 
  • Tokoh masyarakat 
  • Olahragawan atau artis 
  • Sekolah 
  • Sumber lain yagn sedang diminati pembaca 
C. Menyusun atau menulis berita 
Yang perlu diingat adalah syarat menuis berita, yaitu harus berdasarkan fakta, objektif, berimbang, elngkap, akurat dan jelas. Dalam penulisan berita dibutuhkan standar rumus penulisan yaitu sebagai berikut :
       5 W + 1 H 

  • Where : Unsur tempat 
  • When : Unsur waktu 
  • Who : Siapa yang terlibat 
  • Why : Mengapa peristiwa itu terjadi 
  • What : Unsur peristiwa atau sendiri 
  • How : Bagaimana proses kejadiannya 
D. Teknik mencari berita
Metode atau cara-cara mencari berita antara lain sebagai berikut:

  1. System Beat yaitu seorang waratawan mencari berita baik sekedar untuk informasi atau sebagai fakta. 
  2. System meneruskan (Follow UP) yaitu menyelidiki kembali berita sebelumnya untuk mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya.
  3. System penugasan (Assigment) yaitu teknik mencari berita yang dianggap penting.
  4. System wawancara (Interview) 
  5. System menulis sendiri (Inventing) yaitu teknik mencari berita dengan mencatat informasi yang didapatkan dan resikonya akan ditanggung sendiri.
Bab VIII Manfaat Media Massa Sesuai Fungsinya 
Wawasan pengetahuan dan konsep-konsep pembelajaran dalam segala macam hal dapat kita peroleh dari media massa. Seiring dengan banyaknya media yang bermunculan mulai dari radio, majalah, televisi, tabloid, tivi kabel,buku, spanduk, billboard, poster dll.

Semuanya memberikan sebuah masukkan pengetahuan baru baik itu negative maupun positif. Namun tujuannya tetap sama yaitu sebagai media pembelajaran dan pendidikan yang cukup mudah untuk diakses.
Unsur-unsur penting dari media adalah : 

  • Orang 
  • Bahan/material 
  • Alat 
  • Teknik 
  • Lingkungan 
Fungsi berbagai media diluar sekolah bagi para pelajar tentunya sebagai bahan tambahan pengetahuan yang tidak mereka dapat di sekolah. Oleh sebab itu guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai media yang cukup, meliputi hal-hal di bawah ini: 

  • Media merupakan alat komunikasi untuk mendapatkan proses belajar yang lebih efektif 
  • Fungsi media untuk lebih mencapai tujuan dengan tepat 
  • Seluk beluk proses pendidikan 
  • Hubungan antara metode pembelajaran dan pendidikan 
  • Nilai dan manfaat yang didapat dari pengajaran 
  • Pemilihan dan penggunaan media yang sesuai 
  • Inovasi dalam media pendidikan 
Yang harus dilakukan agar media bisa bekerja sesuai dengan fungsinya dan mengarah pada tujuan tepat yang telah ditetapkan, yaitu :

  1. Proses pemilihan dan penyaringan media yang baik bagi para murid sekolah. Jangan sampai mereka menyerap semua pesan dari media yang ada karena tidak semua pesan itu positif bagi mereka
  2. Proses pendekatan dan konsultasi agar murid mau bertanya dan tidak malu untuk meminta penjelasan pada gurunya
  3. Kerjasama yang baik antara murid dan guru untuk melakukan seleksi media terpercaya
  4. Pembahasan yang tepat terhadap isi pesan dalam media tertentu supaya semua murid tidak salah mengerti apa sebenarnya inti dan makna dibalik pesan tersebut.
  5. Pengarahan pada orangtua di rumah mengenai pesan yang tertera di media supaya anak yang membacanya akan mengerti bahwa pesan itu sesuai untuknya atau tidak.
Semoga dengan adanya kerjasama dan sinkronisasi antara semua unsur media, akan terjalin sebuah kesepahaman dan pembelajaran yang mengarah pada tujuan baik.

A. Surat / Kabar dan majalah
Secara khusus fungsi dari masing-masing media massa mempunyai karakteristik yang kecenderungannya yang berbeda. Fungsi utama dari surat kabar adalah menyiarkan informasi. Masyarakat berlangganan atau membeli surat kabar / majalah karena memerukan informasi mengenai berbagai peristiwa.

Fungsi lain media yaitu fungsi mempengaruhi, membimbing dan mengeritik serta mediator misalnya : 
Menjadi mediator antara pengusaha dan pemerintah daerah atau pengusaha dengan masyarakat 
Menyebarlukasna informasi dan komunikasi sehingga makin banyak dan semakin luas jumlah orang indonesia yang biasa mengenal peluang ekonomi serta memanfaatkannya 
Berusaha mempengaruhi tercapainya keserasian kepentingan anttara kepentingan individu pengusaha, pemerintah dan kepentingan umum 
Kontrol sosial, peristiwa busung lapar (gizi buruk) yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. 

Surat / kabar
Dari empat fungsi media massa (informasi, edukasi, hiburan dan persuasive), fungsi yang paling menonjol pada surat kabar adalah informasi. Hal ini sesuai dengan tujuan utama khalayak membaca surat kabar, yaitu keingintahuan akan setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Fungsi hiburan dapat ditemukan pada rubric artikel ringan, feature, komik atau kartun seta cerita bersambung. Fungsi mendidik dan mempengaruhi akan ditemukan pada artikel ilmiah, tajuk rencana atau editorial dan rubric opini. Fungsi pers bertambah, yiatu sebgai alat kontrol sosial yang konstruktif.

Untuk dapat memanfaatkan media massa secara maksimal dan tercapainya tujuan komunikasi, maka seorang komunikator harus memahami kelebihan dan kekurangan media tersebut. Karakteristik surat kabar sebagai media massa mencakup: publisitas, periodisitas, universalitas, aktualitas dan terdokumentasikan.

Majalah
Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi kedalam lima kategori utama, yakni:

  1. General consumer magazine (majalah konsumen umum)
  2. Business publication (majalah bisnis)
  3. Literacy reviews and academic journal (kritik sastra dan majalah ilmiah)
  4. Newsletter (majalah khusus terbita berkala)
  5. Public Relations Magazines (Majalah Humas).
Tipe majalah ditentukan oleh sasaran khalayak yang dituju, artinya redaksi sudah menentukan siapa yang akan menjadi pembacanya. Kategori majalah pada masa Orde baru; majalah berita, keluarga, wanita, pria, remaja wanita, remaja pria, anak-anak, ilmiah popular, umum, hukum, pertanian, humor, olahraga, daerah.

Fungsi majalah mengacu pada sasaran khalayak yang spesifik.

Majalah media yang paling simple organisasinya, relative lebih mudah mengelolanya, serta tidak membutuhkan modal yang banyak. Majalah tetap dibedakan dengan surat kabar karena majalah memiliki karakteristik tersendiri : Penyajian lebih dalam, Nilai aktualitas Lebih lama, Gambar/Foto lebih banyak, Cover/sampul sebagai daya tarik.

B. Film, radio dan TV
Fungsi utama dari film, radio dan TV adalah menghibur. Masyarakat melihat film, membeli TV, dan radio adalah untuk mencari hiburan. Dengan demikian keempat media massa itu saling mengisi dan melengkapi, sebab masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. 

Hampir semua program acara televisi nasional memasukkan unsur pembinaan akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur meskipun porsinya tidak terlalu banyak. Adanya dialog interaksi masyarakat dapat menyampaikan masukan, kritik dan saran antara pemerintah dan warga negara memerlukan komunikasi dan media yang dapat menghubungkan keduanya. Apalagi saat ini perkembangan pers di Indonesia sudah maju dengan pesat. Dengan adanya berita melalui koran, tabloid, majalah, radio, televisi, dan internet, masyarakat dapat dengan cepat mengetahui suatu kebijakan pemerintah. Penyajian berita atau kejadian melalui pers dapat diketahui masyarakat dengan cepat, akurat, dan efektif. 

Film
Gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa. Film lebih dulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton televisi menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an. Film adalah industri bisnis yang diproduksi secara kreatif dan memuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika.

Khalayak menonton film terutama untuk hiburan. Akan tetapi dalam film terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.

Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis

Bagi seorang komunikator adalah penting untuk mengetahui jenis-jenis film agar dapat memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karakteristiknya. Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun

Radio
Radio adalah media elektronik tertua dan sangat luwes. Radio telah beradaptasi dengan perubahan dunia, dengan mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan melengkapi dengan media lainnya.

Keunggulan radio adalah berada dimana saja, di tempat itdur, di dapur, di dalam mobil, di kantor, di jalan, di pantai dan berbagai tempat lainnya.

Radio Siaran Sebagai The Fifth Estate. Surat kabar memperoleh julukan sebagai kekuatan keempat, maka radio siaran mendapat julukan kekuatan kelima atau the fifith estate. Karena radio siaran juga dapat melakukan fungsi kontrol sosial seperti surat kabar, disamping empat fungsi lain yakni memberi informasi, menghibur, mendidik dan melakukan persuasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan radio siaran adalah daya langsung, daya tembus dan daya tarik.

Pada Radio siaran terdapat cara tersendiri, yakni apa yang disebut radio siaran style atau gaya radio siaran. Gaya radio siaran ini disebabkan oleh sifat radio siaran yang mencakup : Imanjinatif, Auditori, Akrab, Gaya Percakapan.

Televisi(TV)
Dari semua media massa, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. Televisi dijejali hiburan, berita dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari.

Televisi mengalami perkembangan secara dramatis terutama melalui pertumbuhan televise kabel. Sistem penyampaian program lebih berkembang lagi, kini sedikitnya terdapat lima metode penyampaian program televise yang telah dikembangkan : Over the air reception of network and local station program, Cable, Digital Cable, Wireless Cable, Direct Broadcast satellite (DBS).

Dimulai pada tanggal 24 Agustus 1962, bertepatan dengan berlangsungnya pembukaan pesta olah raga Asean Games di Senayan. Selama tahun 1962-1963 TVRI berada di udara rata-rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaannya. Sejalan dengan kepentingan pemerintah dan keinginan rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah, pada tanggal 16 Agustus 1976 diresmikan penggunaan satelit Palapa A2, selanjutnya Palapa B, Palapa B-2, Palapa B2R dan Palapa B-4 yang diluncurkan tahun 1992. Televisi siaran dan radio siaran, serta media lainnya berperan saling mengisi. Televise siaran menggeser radio siaran mungkin dalam hal porsi iklan.

Memberikan informasi, menghibur dan memujuk. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi. Tujuan utama khalayak menonton televisi adalah untuk memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh informasi.

Ditinjau dari stimulasi alat indera, dalam radio siaran, surat kabar dan majalah hanya satu alat indera yang mendapat stimulus, yaitu : Audiovisual, Berpikir dalam Gambar, Pengoperasian lebih Kompleks

Pesan yang akan disampaikan melalui media televisi, memerlukan pertimbangan-pertimbangan lain agar pesan tersebut dapat diterima oleh khalayak sasaran. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan itu adalah pemirsa, waktu, durasi dan metode penyajian.

Bab IX Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi memiliki andil yang cukup besar. Segala kritik tentunya bisa dimuat dan dibaca oleh semua orang tanpa kecuali. Kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat yang telah diatur undang-undang tentunya akan menjadi suatu koreksi dalam kepemimpinan demokrasi. Tentu saja peranan pers dalam masyarakat demokrasi seperti inilah yang akan menjadi satu tombak raksasa yang bisa menghantam siapa saja atau sebaliknya. 

Media Ekspresi
Bila kita runtutkan bahwa pers memiliki undang-undang pers. Mayarakat juga memiliki undang-undang. Undang-undang yang ada dalam negara demokrasi akan mengembalikan fungsi pers dan masyarakat kepada sistem demokrasi yang dianut oleh negara. Tak berhenti sampai di situ, pers sebagai media ekspresi kekesalan sampai kepuasan sistem demokrasi yang tengah berjalan di negara sudah menjadi wajar dalam masyarakat demokrasi. 

Penyambung Suara
Sebagai penyambung suara, pers memegang senjata ampuh untuk mengunggulkan atau sebaliknya menjatuhkan seseorang. Seperti yang digembar-gemborkan dalam sistem demokrasi itu sendiri bahwa pemerintah yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan menjadi semakin baik ke depannya. 

Jika masyarakat yang semakin hari semakin pandai membaca situasi politik, tentu saja demokrasi akan luwes berjalan. Misalnya, seseorang yang ingin menyampaikan pendapat kepada pemerintah, cukup menulis saja di media pers untuk selanjutnya bisa diterjemahkan sebagai isu yang berkembang di masyarakat demokrasi. Tentu saja, pemerintah tak akan tinggal diam bila ada suatu gejolak di masyarakat.

Pengawalan Masyarakat Demokrasi
Pengawasan dari berbagai sektor tentu saja akan otomatis ada. Masyarakat demokrasilah yang melakukan fungsi pengawasan. Dibantu oleh pers yang ada, sangat memungkinkan bila sistem demokrasi akan menjadi utuh.

Pengawalan pers kepada hak bersuara masyarakat demokrasi menjadi suatu yang bisa membuat demokrasi hidup. Bukan hanya pemerintah saja yang bisa bersuara, namun pemerintahan yang berasal dari rakyat, tentu rakyatlah yang lebih bersuara atas penyelenggaraan negara. 

Penyambung Lidah Pemerintah
Bukan hanya masyarakat saja yang bisa bersuara, namun pemerintah dengan berbagai kebijakan dan rencana kebijakan membutuhkan pers sebagai media. Tak hanya sekadar tulisan dan pemberitaan, namun penciptaan suasana sangat dibutuhkan. Opini-opini mulai digelar oleh pers untuk menciptakan perbincangan seputar rencana kebijakan pemerintah misalnya. 

Jadi, dalam negara demokrasi, bukan hanya suara rakyat saja, namun pemerintah juga akan sangat membutuhkan pers. Bukan hanya sebagai media bacaan dan tontonan, namun lebih mengarah kepada fungsi masing-masing.

Fakta dan Opini Berbeda
Walaupun pers memiliki peraturan sebebas mungkin mengatur dan memuat berita, namun bukti otentik perlu dijaga. Setiap tuduhan tanpa adanya bukti bisa menyebabkan masyarakat tak bisa percaya lagi kepada media pers.

Pemojokan terhadap seseorang pemimpin misalnya. Jika tanpa dilandasi oleh suatu bukti yang kuat akan bisa menyebabkan suatu kekacauan sistem pemerintahan. Tak hanya pemimpin saja yang terkena imbas atas tuduhan yang diberikan. Ketidakpercayaan masyarakat demokrasi kepada pemimpin akibat dari ulah pers yang menuduh seenaknya tanpa bukti akan menyebabkan sistem pemerintahan kacau. 

Untuk itu perlu sekali adanya suatu pemilahan khusus oleh pers untuk membedakan fakta dan opini. Bukan menjadikan fakta sebagai opini dan sebaliknya, opini sebagai fakta.

Kesimpulan dan penutup 
Jadi untuk dapat memperlancar kegiatan pers, maka hendaknya seluruh anggota pers khususnya di Indonesia mengikuti dan menjalani tata-tertib yang berlaku, dengan begitu kergiatan yang akan diajlani bisa berjalan lancar.

Indonesia merupakan bekas Negara jajahan, termasuk juga didalam pers-nya. Ketika Indonesia telah merdeka, pers di Indonesia mulai bermunculan dan mulai berkembang. Begitu banyak perjuangan dan perngorbanan para pahlawan untuk memerdekakan Indonesia. Termasuk juga untuk memerdekakan pers Indonesia , tapi saat ini pers Indonesia sudah tidak mengingat akan susah payahnya para pejuang dahulu untuk merebut bendera kemerdekaan dari penjajah, pers yang kita lihat saat ini kebanyakan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Merka hanya mencari untungnya saja tanpa mempedulikan dampak negatifnya.

Untuk itu dalam mewujudkan pers yang baik dan bertanggun jawab, mestinya antara pemeriantah dan masyarakat terjalin hubungan kerja sama yang baik, agar tidak terjadi perselisihan yang nantinya akan merugikan bangsa itu sendiri.

SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=4430241481426687251;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=2;src=link
Blog, Updated at: 04.33.00

0 komentar:

Posting Komentar