Bentuk-bentuk kode etik
Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik, wartawan penyiar tunduk pada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selama abad ke-19, semakin banyak surat kabar dan majalah yang menyuarakan reformasi politik dan sosial sebagai metode menarik pembaca. Para wartawan terus bekerja sebagai penjaga mayarakat. Para wartawan yang meliputi perang Vietnam (1959 - 1975) yakin bahwa para pejabat pemerintah tidak memberitahukan kebenaran tentang keterlibatan Amerika Serikat disana. Mereka jadi sangat berpengaruh dalam memutar opini public dari mendukung menjadi penantang perang tersebut.
Adapun bentuk-bentuk kode etik dalam pers adalah sebagai berikut:
Menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
Menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi
Menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu menliti kebenaran informasi serta tidak melakukan flagiat
Tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan asusila
Tidak menerima uang suap dan tidak menyalahgunakan profesi
Memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan
Kode etik peliputan pemilu
Indoensia belum ada kode etik peliputan pemilu yang disepakati bersama, sehingga setiap menjelang pemilu sejumlah organisasi wartawan sibuk membuat rumusan kode etik. Dalam Lokakarya peliputan pemilu 2004 yang diadakan lembaga pers Dr. Soetomo di Cianjur 21-25 April 2003 muncul kode etik berikut :
Pola dan tujuan pemberitaan pemilu hendaknya direncang untuk membantu masyarakat
Media agar membentuk tim peliputan pemilu sedini mungkin
Media pers mendorong partai-partai politik menggunakan media massa dalam strategi kampanye
C. Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Selama ini banyak orang (terutama kaum awam) yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.”Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat.
Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS. Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).
Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya.
Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, akal sehat.
Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.
Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.
Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.
Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).
Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking news sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature.
Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya aib yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (”pers kuning”) atau pers yang sensasional.
Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang pasti bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan media.
Pemerintah sebagai sumber berita
Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati umumnya menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit memasukkan hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Dasar hukum dari Undang-Undang Dasar 1945 yang digunakan untuk undangundang tentang Pers, dapat dilihat dari konsiderans Undang-undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1967. Disebutkan, mengingat: "Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945".
SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=4430241481426687251;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=2;src=link
SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=4430241481426687251;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=2;src=link
0 komentar:
Posting Komentar