Strategi Memasuki Pasar Internasional
Faktor
dan kondisi yang berbeda memengaruhi pemilihan strategi memasuki pasar
internasioanl. Ada empat aliran pemikiran (schools of thought) dominan
berkenaan dengan pemilihan strategi masuk, yaitu: (Chandra,
2004:152-154).
1.
Keterlibatan inkremental terhadap (Gradual Incremental involvement),
yang menghubungkan antara komitmen sumber daya di pasar sasaran dengan
risiko dalam pasar bersangkutan dan pengalaman internasional yang
dimiliki perusahaan. Oleh sebab itu, semakin besar risiko di pasar
sasaran , maka pilihan akan jatuh pada strategi masuk yang lebih kecil
komitmen sumber dayanya. Selain itu semakin besar pengalaman organisasi,
maka semakin besar pula kemungkinan digunakannya strategi masuk yang
menuntut komitmen sumber daya besar.
2.
Analisis biaya transaksi (Transaction Cost Analysis) memandang
keputusan pemilihan strategi masuk sebagai suatu transaksi. Oleh sebab
itu, semua biaya berkaitan dengan aspek rantai nilai dari produksi
hingga konsumsi akan dipertimbangkan dengan cermat. Asumsi dasar dalam
aliran pemikiran ini adalah bahwa perusahaan akan melakukan sendiri
aktivitas-aktivitas yang mampu dilakukan dengan biya lebih rendah, namun
akan melakukan subkontrak kepada pihak eksternal apabila pihak tersebut
memiliki keunggulan biaya.
3.
Eclectic Theory (Location- Specific Factors atau Contingency Theory)
berpandangan bahwa faktor-faktor industri, perusahaan, dan negara
spesifik mempengaruhi keputusan pemlihan strategi masuk tergantung pada
posisi ownership advantage, internationalization advantage dan location
advantage.
4.
Agency Theory berpandangan bahwa principal (pendatang baru) sangat
termotivasi untuk mengumpulkan data mengenai para agennya di pasar
sasaran. Aliran ini menggunakan metafora kontrak untuk menggambarkan
hubungan di mana salah satu pihak mendelegasikan pekerjaan kepada pihak
lain.
Lotayif (2003), misalnya menggelompokan strategi masuk ke dalam empat kategori, yaitu ;
- Wholly-owned and full controlled entry modes, contohnya kantor cabang (branches & subsidiaries), kantor perwakilan (representative office) dan kantor agen.
- Shared-owend and shared controllrd entry modes, berupa joint venture, partially mergers dan partially acquisitions.
- Contractual entry modes, berupa lisensi, waralaba dan calculated alliance.
- Purely marketing-oriented entry modes, berupa ekspor langsung dan ekspor tidak langsung.
Keempat
kategori ini bisa ditelaah dan dibandingkan berdasarkan peluang dan
risiko yang ditawarkan masing-masing entry mode, kontiunitas peluang dan
risiko tersebut, sumber daya yang dibutuhkan dan waktu yang diperlukan.
Pertama, strategi masuk wholly-owned dan fully-controlled, terutama
kantor cabang, memiliki komitmen sumber daya yang paling besar di pasar
sasaran. Biasanya, entry mode ini digunakan oleh organisasi-organisasi
berorientasi global dan posisi kompetitif mereka di suatu negara
dipengaruhi secara signifikan oleh posisinya di negaralain. Selain itu,
risiko kegagalan bisis disebar ke kawasan geografis yang lebih luas.
Kedua, shared-controlled entry modes memiliki tingkat komitmen sumber
daya tertinggi kedua dan sekaligus juga tingkat risiko kedua, karena ada
mitra lokal dalam berbagi risiko. Entry mode ini banyak digunakan oleh
organisasi-organisasi yang belum atau kurang pengalaman dalam kancah
pemasaran global, sehingga berusaha mendapatkan pengalaman internasional
dengan jalan mengandalkan mitra lokal. Ketiga, contractual entry modes
memiliki tingkat resiko moderat, karena sistem operasi mitra lokal akan
tetap ada di bawah bimbingan mitra luar negeri (dalam kontrak lisensi
atau waralaba) atau akan tetap ada selama periode kontrak aliansi.
Dibandingkan wholly-owned dan share-owned entry modes, kemungkinan
kontiunitas peluang dalam contractual entry modes lebih kecil karena
kontrak waralaba dan lisensi dibatasi periode waktu tertentu, sesuai
dengan kesepakatan masing-masing pihak. Dalam kasus aliansi, kontraknya
akan berlangsung terus berlangsung selama masing-masing pihak merasa
mash diuntungkan. Sumber daya yang dibutuhkan untuk lisensi waralaba
relatif kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali, karena pihak
franchisee atau lisensi yang menyediakannya, sementara franchisor atau
lisensi mendapat royalty. Waktu yang dibutuhkan juga kecil, karena semua
tipe contractual entry modes bertujuan mengembangkan pijakan kokoh di
pasar luar negeri tanpa modal besar (Cateora, 1993). Keempat, kategori
marketing-oriented entry modes memiliki resiko terkecil. Sumber daya dan
waktu yang dibutuhkan untuk merealisasikannya juga kecil. Sementara
itu, strategi masuk juga bisa dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama
(Bradley, 1995), yaitu; ekspor, kontraktual dan wholly-owned
subsidiaries. Ekspor masih dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi
ekspor tidak langsung, ekspor bersama dan ekspor langsung.
Strategi
masuk kontraktual terdiri atas lisensi-waralaba, contract manufacturing
dan usaha patungan, sedangkan wholly-owned subsidiaries meliputi
akuisisi dan greenfield.
A. Ekspor
Ekspor
merupakan strategi yang paling sering dijumpai dalam memasuki pasar
internasional, terutama untuk strategi masuk pertama kali. Tak jarang
motivasi ekspor karena permintaan tak terduga, misalnya ada pesanan dari
pembeli tertentu di luar negeri atau ada pelanggan domestik berekspansi
ke pasar internasional dan memesan produk untuk keperluan operasi
internasionalnya. Permintaan-permintaan semacam ini mendorong perusahaan
untuk mempertimbangkan pasar internasional dan menelaah potensi
pertumbuhannya.
Namun
tak jarang dijumpai pula perusahaan yang secara agresif melakukan
ekspor sebagai strategi masuk awalan untuk kemudian dikembangkan menjadi
operasi bisnis berbasis di luar negeri. Dalam berbagai kasus di mana
terdapat skala ekonomis substansial atau hanya ada sedikit pembeli di
seluruh dunia (misalnya , pasar pesawat luar angkasa), maka produksi
lebih baik dikonsentrasikan di satu atau hanya beberapa lokasi untuk
kemudian diekspor ke pasar lainnya. Contohnya, Boeing mengkonsentrasikan
produksinya di pusat di Seattle, Washington.
Ekspor
dapat diorganisasikan berdasarkan berbagi cara, tergantung jumlah dan
tipe perantaranya. Seperti halnya dalam perdagangan grosir, agen
ekspor-impor bervariasi menurut rangkaian fungsi yang dijalankan.
Beberapa di antaranya (seperti perusahaan manajemen ekspor) merupakan
full-service wholesalers yang melaksanakan semua fungsi berkaitan dengan
ekspor. Sementara yang lain sangat terspesialisasi dan hanya menangani
beberapa aspek, seperti pengiriman, penagihan, atau mengurus
administrasi produk dari pabean.
Dalam
pengembangan saluran ekspor, perusahaan harus memutuskan fungsifungsi
mana saja yang akan menjadi tanggung jawab agen eksternal dan mana yang
ditangani sendiri. Secara garis besar ada tiga tipe saluran ekspor,
yaitu; ekspor tidak langsung (indirect export), ekspor bersama
(cocoperative/shared export) dan ekspor langsung (direct export). Ekspor
tidak langsung melibatkan agen ekspor, biasanya perusahaan manajemen
ekspor. Saluran ekspor bersama mencakup kesepakatan kolaboratif dengan
perusahaan lain berkenaan dengan kinerja fungsi ekspor. Dalam ekspor
langsung, perusahaan menangai fungsi ekspor secara internal melalui
organisasi penjualan yang berlokasi di pasar domestic atau pasar luar
negeri. Keunggulan dan kelemah ekspor dikupas dalam tabel.
Tabel Perbedaan Metode Ekspor
1. Ekspor Tidak Langsung
Dalam
tipe ini, perusahaan memanfaatkan jasa agen ekspor atau trading
companies, atau bisa pula menjual kepada kantor penjualan organisasi
asing (luar negeri) yang berlokasi di pasar domestic perusahaan yang
bersangkutan. Tanggung jawab yang menyangkut fungsi ekspor (seperti
identifikasi pembeli potensial dan distributor potensial di negara lain ;
pengaturan pengiriman barang, asuransi, dan pembiayaan; dan penyediaan
dokumentasi untuk memenuhi persyaratan pabean) diserahkan kepada
organisasi eksternal. Dalam hal organisasi/agen ekspor memiliki hak
milik atas produk yang dijual, perusahaan tidak menanggung resiko
berkaitan dengan penjualan ekspor. Semuanya menjadi tanggung jawab dan
risiko agen ekspor tersebut.
Ekspor
tidak langsung cocok untuk perusahaan yang tujuan ekspansi
internasionalnya terbatas. Apabila penjualan internasional hanya
dipandang sebagi cara menyerap surplus produksi, sangatlah tepat bila
perusahaan menggunakan agen ekspor. Strategi ini juga cocok untuk
perusahaan yang sumber dayanya terbatas untuk keperluan ekspansi
internasional, namun berminat untuk memasuki pasar internasional secara
gradual dan menguji pasar sebelum memutuskan untuk mencurahkan
perhatian, usaha dan sumber daya secara besar-besaran.
Meskipun
demikian, harus disadari bahwa penggunaan agen ekspor juga mengandung
beberapa risiko. Kendali atas cara memasarkan produk di negara lain
sangat terbatas atau bahkan tidak ada. Produk bahkan mungkin dijual
lewat saluran distribusi yang tidak tepat dengan layanan atau dukungan
penjualan yang buruk, promosi yang tidak memadai serta underpriced atau
malah sebaliknya overpriced. Hal ini bisa merusak reputasi atau citra
produk di negara lain. Terbatasnya usaha yang dicurahkan untuk
mengembangkan pasar bisa mengakibatkan opportunity losspotensial.
Sementara
itu, bagi perusahaan yang ingin memasuki pasar internasional secara
bertahap, strategi ekspor tidak langsung gagal memberikan kontak yang
memadai dengan pasar luar negeri. Akibatnya, perusahaan harus mendapat
informasi terbatas mengenai potensi pasar luar negeri sekaligus juga
masukan terbatas untuk penyusunan rencana ekspansi internasional.
Perusahaan bisa mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi agen
penjualan potensial atau distributor potensial bagi produknya dan
memfasilitasi transisi menuju pembentukan saluran distribusi ekspornya
sendiri. Dengan demikian, ekspor tidak langsung harus digunakan
secara cermat dan penuh peritungan, terutama oleh perusahaan yang
merencanakan untuk mengembangkan pasar internasional.
2. Ekspor Bersama
Bagi
perusahaan yang ingin melakukan pengendalian dalam batas tertentu atas
penjualan internasionalnya, namun kekurangan sumber daya atau volume
penjualan untuk membentuk organisasi penjualan ekspor sendiri, maka
ekspor bersama bisa menjadi alternatif menarik. Dalam hal ini,
perusahaan menjalin kesepakatan kolaboratif dengan perusahaan lain untuk
bekerja sama dalam riset, promosi, pengiriman, distribusi atau
aktivitas lainnya menyambut keperluan ekspor. Bentuk ekspor semacam ini
banyak dijumpai dalam pemasaran komoditas (seperti beras, woodchips dan
buah-buahan).
Bentuk
lain dari kesepakatan ekspor bersama adalah piggybacking, di mana
sebuah perusahaan memasarkan produk atau jasanya melalui organisasi
distribusi perusahaan lain di pasar luar negeri tertentu. Biasanya,
produk yang dijual oleh kedua perusahaan tersebut harus kompatibel dan
tidak saling bersaing, sehingga produk piggybacking company melengkapi
lini produk perusahaan distributor. Kerapkali ide kesepakatan ini
memberikan manfaat bersama bagi kedua belah pihak (mutually beneficial).
Contohnya, pada mulanya Minolta menjual mesin fotokopi berharga murah
di Amerika melalui organisasi penjualan peralatan kantor IBM. Kerja sama
ini memberikan cakupan distribusi yang lebih luas dan kemampuan layanan
yang lebih efektif bagi Minolta. Bagi IBM, mesin fotokopi berharga
murah bermanfaat dalam melengkapi lini mesin fotokopi IBM yng berharga
mahal.
Usaha
ekspor bersama bisa diwujudkan dengan beraneka ragam cara. Tergantung
pada persyaratan kesepakatan yang disetujui, ekspor bersama bisa
memiliki keunggulan dan kelemahan sebagaimana yang berlaku pada ekspor
langsung maupun tidak langsung. Dalam banyak kasus, strategi ini
membutuhkan biaya investasi yang lebih rendah dan usaha penjualan yang
lebih baik dibandingkan ekspor tidak langsung. Namun, tingkat
pengendaliannya bisa bervariasi.
3. Ekspor Langsung
Jika
volume penjualan cukup besar dan perusahaan ingin mencurahkan berbagai
usaha guna mengembangkan pasar internasional, maka pembentukan
organisasi penjualan ekspor sendiri merupakan alternatif yang disukai.
Organisasi ini bisa berlokasi di pasar domestik maupun di pasar luar
negeri. Dalam hal ini, organisasi ekspor mengambil alih tanggung jawab
atas semua fungsi ekspor, mulai identifikasi pasar potensial dan segmen
sasaran, mengatur dokumentasi ekspor dan pengiriman produk, hingga
penyusunan rencana pemasaran (termasuk penetapan harga, promosi dan
distribusi di pasar internasional).
Meskipun
ekspor langsung membutuhkan biaya lebih mahal dan komitmen lebih besar
untuk pengembangan pasar ekspor, strategi ini bisa menghasilkan usaha
promosi dan penjualan yang lebih efektif dan juga memungkinkan
perusahaan untuk mempertahankan kendali yang lebih besar atas
kondisi-kondisi menyangkut penjualan produk di pasr internasional.
Strategi ini juga isa memberikan kontak yang lebih baik dengan
pihak-pihak terkait, seperti pasr dan distributor setempat. Selain itu,
ekspor langsung juga memberikan umpan balik yang dibutuhkan untuk
mengidentifikasi peluang baru dan tren pasar; memantau kinerja dan
gerakan pesang; dan menyesuaikan rencana dan strategi.
Bagi
sekelompok perusahaan, ekspor merupakan langkah pertama atau langkah
lanjutan dalam tahapan ekspansi pasr internasionalnya. Di lain pihak,
bagi kelompok lainnya, ekspor tetap menjadi mode operasi dominant dalam
pasar internasional. Kadangkala perusahaan berskala kecil dan menengah
yang melayani segmen ceruk terspesialisasi dalam pasar global memilih
untuk tetap menjadi eksportir.
B. Sistem Kontraktual
Bila
ukuran pasar, biaya pengiriman, hambatan tarif dan faktor-faktor
lainnya menyiratkan pentingnya mendirikan fasilitas produksi yang dekat
dengan pelanggan luar negeri, padahal perusahaan enggan terlibat operasi
semacam itu, ada sejumlah alternatif yang bisa dipilih. Misalnya,
contract manufacturing memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan dan
mengendalikan pemasaran, distribusi dan pelayanan produknya di pasar
internasional, sembari mengalihkan tanggung jawab produksi kepada
perusahaan lokal. Di lain pihak, lisensi memungkinkan perusahaan untuk
meraih manfaat dari inovasi teknologi, merek, nama korporat atau aset
properti lainnya di pasar internasional, tanpa harus terlibat langsung
dalam operasi produksi atau pemasaran di luar negeri. Demikian pula
halnya dalam industri jasa.
Pengembangan
bisnis waralaba dengan wirausaha lokal memungkinkan pihakfranchisor
berekspansi secara internasional dengan memanfaatkan talenta
kewirausahaan dan sumber modal lokal. Alternatif lainnya adalah
membentuk usaha patungan dengan perusahaan atau organisasi lain guna
menjalankan aktivitas pemanukfaturan atau pemasaran international. Ada
beberapa jenis sistem kontrak yaitu contract manufacturing, lisensi,
warlaba (Chandra, 2004:161-165).
1. Contract Manufacturing
Dalam
sistem contract manufacturing (CM), proses produksi dikontrakkan pada
pemanufaktur lokal, namun pemasaran tetap dikendalikan perusahaan.
Strategi ini cocok digunakan untuk negara-negara yang ukuran pasarnya
tidak memadai bila didirikan fasilitas manufaktur di sana atau untuk
negara-negara yang hambatan tarifnya tinggi.
Alasan
CM diantaranya adalah untuk menekankan biaya manufaktur dan menghindari
tarif atas impor. Selain itu, bisa pula CM dikarenakan manajemen
kekurangan sumber daya atau tidak tersedia menginvestasikan modal dalam
fasilitas manufaktur.
Strategi
CM juga menawarkan fleksibilitas cukup besar. Tergantung pada jangka
waktu kontraknya, jika perusahaan merasa tidak puas dengan kualitas
produk atau keandalan pengiriman produk , maka perusahaan bersangkutan
bisa beralih ke manufaktur lainnya. Selain itu, jika manajemen
memutuskan untuk keluar dari pasar, tidak akan ada kerugian besar yang
ditimbulkan dari melepas fasilitas produksi yang sudah ada. Di lain
pihak, strategi CM juga mengandung beberapa resiko. Diantaranya:
tuntutan akan pengendalian kualitas produk guna memenuhi standar
perusahaan; masalah ketepatan waktu dan keandalan pengiriman produk;
jaminan atau garansi produk; atau masalah pemenuhan peasanan tambahan.
Lebih lanjut, pemanufaktur mungkin tidak seefisien contracting firm,
gagal mencapai kapasitas produk optimal, atau berusaha mengeksploitasi
kesepakatan yang sudah dibuat (misalnya dengan jalan ‘mencuri’ teknologi
dan kemudian memproduksi sendiri serta bersaing dengan contracting firm
bersangkutan). Oleh sebab itu, negosiasi kontrak menjadi faktor paling
krusial yang menentukan keberhasilan dan kelangsungan CM.
2. Lisensi
Lisensi
merupakan pilihan yang tepat apabila perusahaan memiliki hak cipta
tertentu, seperti teknologi proses atau produk yang telah dipatenkan,
merek dagang atau nama merek, yang bisa dimanfaatkan dalam skala
internasional tanpa harus mencurahkan banyak sumber daya untuk operasi
internasional. Dalam kesepakatan lisensi, perusahaan memberikan hak
untuk memanfaatkan teknologi, merek dagang atau nama merek yang
dipatenkan kepada licensee dengan mendapatkan pembayaran royalti.
Umumnya tersebut ditentukan berdasarka persentase dari penjualan sesuai
kesepakatan.
Lisensi
memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan manfaat dari penjualan
internasional dengan memanfaatkan proprietary assets yang dimiliki
dengan komitmen sumber daya dan risiko minimal. Namun, kesepakatan
semacam ini hanya memberikan hasil (returns) terbatas. Selain itu,
pengembangan pasar juga terbatas jika licensee tidak mencurahkan
perhatian yang memadai atau tidak memiliki sumber daya untuk
mengembangkan pasar secara optimal.
Lisensi
juga bisa menghambat strategi masuk pasar tahap selanjutnya yang
direncanakan oleh licensor. Meskipun perusahaan membatasi jangka waktu
kesepakatan lisensi, sangatlah sukar memasuki pasar jika kontrak
berakhir. Mantan licensee bisa menjadi pesaing potensial. Lagipula,
perusahaan masih harus memulai lagi pengumpulan informasi mengenai
pasar, menjalin kontak dan membangun saluran distribusi. Selain itu,
dalam beberapa kasus licensee berhenti membayar royalti dan perusahan
sulit melacak penjualan yang royaltinya masih harus dibayar.
Sekalipun
mendatangkan uang dalam jumlah besar, tindakan seperti itu juga
beresiko, terutama bila merek dagangnya digunakan untuk produk-produk
yang tidak memenuhi standar kualitas atau reliabilitas atau jika
strategi pemasarannya tidak tepat. Itu bisa merusak reputasi dan nilai
merek dagang bersangkutan.
Konsekuensinya,
seperti halnya contract manufacturing, licensor harus selalu memantau
aktivitas licensee dan melakukan pengendalian kualitas dan keuangan
secara ketat guna menjamin bahwa licensee memenuhi standar yang telah
disepakati bersama.
3. Waralaba (Franchising)
Waralaba
merupakan bentuk lisensi dalam industri jasa seperti restoran siap
saji, ritel, persewaan mobil, hotel dan agen pencari kerja. Franchisee
untuk melakukan bisnis atas nama franchisor dengan cara-cara yang
ditetapkan dengan imbalan royalty, biasanya dalam bentuk fee atau
persentase dari penjualan. Contoh perusahaan yang melakukan ekspansi
internasional dengan strategi waralaba antara lain McDonald’s, Dunkin
Donuts, Kentucky Fried Chicken, Domino’s Pizza, Hillton Hotels, Body
Shop dan Manpoer.
Seperti
halnya lisensi, kontrak waralaba memungkinkan perusahaan berekspansi
secara internasional tanpa melakukan investasi modal substansial. Hal
ini sangat bermanfaat dalam industri jasa, di mana biasanya biaya
membeli atau menyewa tempat operasi secara global kerapkali menjadi
hambatan utama.
Waralaba
juga sangat tepat digunakan bilamana kontak dengan pelanggan dan
efisiensi operasi bisnis merupakan faktor utama kesukseskan bisnis.
Franchisor bisa memanfaatkan talenta kewirausahaan lokal, keterampilan
personil lokal, jalinan relasi dengan pelanggan lokal dan menyesuaikan
diri dengan kekhasan lingkungan operasi lokal. Selain itu, franchisee
juga cenderung lebih termotivasi karena ia adalah pemilik yang
mengoperasikan bisnisnya sendiri sehari-hari, kontribusi secara langsung
dan signifikan pada pencapai laba dan memiliki otonomi manajemen cukup
besar.
Di
lain pihak, franchisor tetap harus memantau aktivitas operasi setiap
franchisee di berbagai belahan dunia dan menetapkan standar kinerja
serta mekanisme pengendalian yang ketat dalam rangka mewujudkan
keseragaman produk dan layanandi seluruh dunia. Bila tidak, nilai
waralaba dan namanya akan hilang.
Penetapan
dan pemberlakuan standar jauh lebih sukar dan krusial bagi seorang
franchisor dibandingkan licensor, karena waralaba menjual cara berbisnis
yang sifatnya ‘intangible’ dan tidak berwujud produk fisik.
C. Usaha Patungan (Joint Venture)
Salah
satu cara yang juga efektif untuk membatasi ekspor modal dalam pasar
global adalah membangung usaha patungan, terutama dengan mitra bisnis
lokal. Usaha patungan bisa bermacam-macam bentuknya, tergantung tujuan
perusahaan, persyaratan modal usaha bersangkutan dan peraturan
pemerintah menyangkut kepemilikan asing. Selain itu, motivasinya pun
bisa beraneka ragam diantaranya: untuk mendapatkan akses pasar;
memperluas rentang produk; membentuk atau mempengaruhi struktur pasar;
mencapai tingkat kecepatan (dalam hal inovasi dan memasuki pasar) yang
lebih besar; meningkatkan efisiensi; dan atau meningkatkan kompetensi
dan sumber daya organisasi.
Apabila
tujuan usaha patungan adalah melaksanakan proyek
pembanguna infrastruktur pokok atau pertanian (seperti proyek waduk atau
irigasi, penambangan batu bara dan lain-lain), biasanya dibentuk
konsorsium yang melibatkan banyak mitra bisnis asing. Bank maupun
lembaga keuangan lainnya berperan sebagai peyandang dana, sementara
pihak-pihak lain menyumbang keahlian teknologis. Biasanya proyek semacam
ini dilakukan di negara berkembang dan melibatkan institusi
pemerintah yang melakukan fungsi kontrol atas pelaksanaan proyek
tersebut.
Bentuk
usaha patungan lainnya adalah kerja sama antara dua perusahaan swasta.
Misalnya, sebuah perusahaan membuka usaha patungan dengan
perusahaan lokal di negara lain. Kerapkali perusahaan asing memberikan
konstibusi berupa keahlian produksi dan teknologi, serta kadangkala nama
merek dan reputasi perusahaan, sedangkan mitra lokalnya menyediakan
akses ke jaringan distribusi dan pengetahuan serta pemahaman atas
lingkungan pasar setempat.
Strategi
usaha patungan memberikan sejumlah keuntungan sebagai cara memasuki
pasar luar negeri. Meskipun menuntut komitmen sumber daya pasar
luar negeri, usaha patungan bisa memberikan potensi laba dan kendali
yang lebih besar atas manajemen produksi dan pemasaran di pasar
bersangkutan. Risiko modal ditanggung bersama dengan mitra lokal. Selain
itu, mitra lokal berperan besar dalam hal pemahaman atas kondisi pasar
lokal dan juga memiliki kontak dengan distribusi lokal dan institusi
kunci lainnya di negaranya. Perusahaan bisa mendapatakan pengetahuan dan
umpan balik mengenai kondisi pasar; kebutuhan dan respon pelanggan;
para pesaing utama dan kemungkinan reaksi mereka dan secara
bertahap mendapatkan pengalaman beroperasi dalam pasar bersangkutan.
Selain
itu, usaha patungan juga sangat bermanfaat untuk memasuki pasar
yang sistem perekonomiannya berbeda, seperti RRC dan negara-negara
pecahan Uni Soviet. Di RRC, misalnya, pemerintah setempat mendorong
usaha patungan dalam rangka alih teknologi dan keahlian manajerial
kepada perusahaan lokal. Namun, banyak juga perusahaan yang mengalami
kesulitan dan masalah dalam menjalin usaha patungan di berbagai negara.
Sekalipun dalam jangka pendek, usaha patungan dengan mitra lokal
memberikan keunggulan berupa informasi, kontak dan keahlian pemasaran
lokal. Biasanya dalam jangka panjang dijumpai banyak masalah.
Bahkan Douglas &Craig (1995) mengestimasi bahwa antara 50 samapai 70
persen usaha patungan mengalami kegagalan.
Beberapa
masalah dalam usaha pantungan diantaranya: masalah
komunikasi, perbedaan budaya perusahaan, perbedaan gaya manajemen,
repatriasi laba, perbedaan kepentingan dan tujuan, ketidakpuasan atas
kinerja mitra bisnis, lunturnya rasa saling percaya dan komitmen bersama
dan sebagainya.
Seiring
dengan semakin banyaknya perusahaan yang terlibat dalam
pemasaran gobal, usaha patungan tradisional (melibatkan perusahaan asing
dan mitra bisnis lokal) berkembang pesat dan memunculkan pula aliansi
strategik (Strategic Alliance) yang lebih kompleks. Aliansi kerapkali
melibatkan banyak mitra bisnis dan kadangkala berfokus pada tahap
tertentu dalam rantai nilai, seperti riset dan pengembangan produksi
atau distribusi. Aliansi strategik bisa dikelompokkan berdasarkan lima
tipe yaitu pengembangan teknologi; operasi dan logistik; pemasaran,
penjualan dan layanan; negara tunggal dan banyak negara.
Menurut berbagai data estimasi, jumlah aliansi strategik diperkirakan
tumbuh dengan kecepatan 20 sampai 30 persen sejak pertengahan dekade
1980-an.
Tabel Tipe-tipe aliansi strategic
D. Investasi Langsung (Wholly-Owned Subsidiaries)
Berbagai
masalah dan kesulitan dalam mengelola usaha patungan dan
tipe-tipe kesepakatan kontraktual lainnya mendorong perusahaan untuk
melakukan investasi langsung, sejauh ini diperbolehkan dan perusahaan
memiliki sumber daya untuk merealisasikannya. Selain memberikan kendali
penuh atas produksi dan pemasaran, operasi cabang juga mengeliminasi
kemungkinan konflik kepentingan dan masalahmasalah manajemen yang muncul
dalam contract manufacturing, lisensi atau usaha patungan. Semua laba
yang diperoleh dari wholly-owned subsidiaries menjadi milik perusahaan
sepenuhnya. Selain itu, perusahaan bisa mencurahkan usaha maksimum untuk
mengembangkan pasar sesuai dengan arah yang diinginkan,
mempromosikan merek-merek internasional atau mengembangkan produk baru
yang memanfaatkan keterampilan dan/atau sumber daya perusahaan dari
negara tujuan pemasaran lainnya.
Perusahaan
memiliki dua pilihan dalam pengembangan operasi cabang,
yaitu mengakuisisi perusahaan yang sudah ada atau membangun sendiri
operasinya dari awal (Greenfield plant). Kedua alternatif ini memiliki
keunggulan dan kelemahannya masing-masing (Chandra, 2004:169).
Tabel Kenggulan dan Kelemahan Wholly-owned Subsidiaries
1. Akuisisi
Strategi
akuisisi memberikan sejumlah keuntungan, di antaranya memungkinkan
entri yang cepat, akses kesaluran distribusi, basis pelanggan sudah ada
dan dalam beberapa kasus merek atau reputasi perusahan sudah mapan.
Dalam beberapa kasus manajemen yang sudah ada masih dipertahankan,
sehingga bisa dijadikan semacam ‘jembatan’ untuk memasuki pasar dan
memungkinkan perusahaan untuk memperoleh pengalaman dalam beroperasi di
lingkungan pasar lokal. Ini khususnya sangat penting bagi perusahaan
yang keahlian manajemen internasionalnya relatif terbatas atau kurang
‘familiar’ dengan pasar lokal.
Akuisisi
juga merupakan pilihan tepat bilamana industri yang dimasuki
sudah sangat kompetitif dan hanya tersedia sedikit ruang bagi’pemain
baru’. Situasi lain yang juga cocok adalah jika hambatan masuknya
relatif besar. Contohnya, Electrolux masuk ke pasar Amerika dengan jalan
mengakuisisi sebuah perusahaan vacuum cleaner Amerika dan kemudian
White-Westinghouse, dengan merek-merek seperti Frigidaire dan
Kelvinator. Dengan cara itu Electrolux bisa mendapatkan akses cepat pada
pasar dan jaringan distributor Amerika.
Meskipun
demikian, tak jarang terdapat pula berbagai masalah strategi akuisisi,
misalnya soal memodernisasi pabrik, peralatan dan pasokan energi
yang sudah ketinggalan jaman, tantangan perubahan sikap dan cara kerja
karyawan, perubahan pola pikir dan budaya perusahaan lama dan lain-lain.
2. Greenfield
Greenfield
adalah strategi perusahaan memulai operasi baru dari awal. Strategi ini
dipilih karena beberapa alasan: (1) jika logistik produksi merupakan
faktor kunci sukses dalam industri; (2) tidak ada target akuisisi yang
memenuhi kriteria perusahaan; (3) target akuisisi yang terlalu mahal.
Perusahaan-perusahaan mobil Jepang, misalnya, masuk ke pasar Eropa
dengan memdirikan greenfield plants, terutama di Inggris.
Perusahaan-perusahaan tersebut membangun pabrik perakitan baru yang
memungkinkan mereka memanfaatkan teknologi produksi terbaru
sembari menyeleksi lokasi yang paling menguntungkan dalam hal biaya
tenaga kerja, harga tanah, pajak dan transportasi.
Pendirian
pabrik baru juga memfasilitasi pengembangan sistem produksi
dan logistic yang terintegrasi secara global. Mesin-mesin bisa di
produksi di pabrik A, chasis di pabrik B, kemudian keduanya dikirim
untuk keperluan perakitan di pasar akhir. Kemampuan mengintegrasi
operasi antar negara dan menentukan arah ekspansi internasional di masa
depan seringkali menjadi motivasi utama untuk mendirikan operasi yang
dimiliki 100%, meskipun dibutuhkan waktu lebih lama dalam membangun
pabrik dibandingkan membelinya.
Whooly-owned
subsidiaries, baik akuisisi maupun greenfield membutuhkan komitmen dan
keterlibatan total dalam ekspansi internasional. Manajemen
tidak mengandalkan atau tergantung pada mitra lokal dan harus
mengembangkan keahliannya sendiri dalam menghadapi lingkungan pasar
lokal.
Seperti
halnya strategi-strategi lainnya, akuisisi dan greenfield
memiliki beberapa kelemahan, terutama dalam hal kebutuhan modal dan
sumber daya manajemen yang sangat besar. Satu sisi, komitmen kepemlikan
pada operasi internasional memberikan kendali yang besar, namun di sisi
lain menyebabkan risiko besar dan tingkat fleksibilitas yang rendah.
E. Pemasaran Melalui Internet
Perdagangan
melalui internet bisa dipandang sebagai salah satu metode memasuki
pasar luar negeri yang efektif. Saat ini sudah banyak perusahaan
yang memanfaatkan Internet untuk keperluan memasarkan produknya dalam
pasar global.
Perusahaan-perusahaan
mulai aktif merancang katalog internet yang ditujukan
pada negara-negara tertentu dalam situs Web yang multi-bahasa. Mereka
menjual dan memberikan layanan konsumen melalui web store atau virtual
store. Perusahaan dapat mendirikan toko virtual sendiri atau menggunakan
jasa distributor perantara (intermediary).
Beberapa
perusahaan yang berhasil menjual melalui internet yaitu Dell Computer
Corporation mulai menjual computer via internet pada tahun 1997
ke berbagai negara, seperti Malaysia, Australia, Hong Kong, Selandia
Baru, Singapura, Taiwan dan negara-negara Asia lainnya. Kini Dell juga
telah merancang khususnya melayani pasar Eropa. Amazon.com sangat
berhasil menjual buku dari berbagai penerbit untuk konsumen di seluruh
dunia. E-bay berhasil menjadi toko virtual yang mempertemukan penjual
dan pembeli berbagai produk dari seluruh dunia, melalui proses tawar
menawar virtual.
Ada
dua jenis metode pengelolaan toko virtual yaitu otomatis dan
manual. Dengan menggunakan metode otomatis, pengelola toko menggunakan
serangkaian sistem komputer untuk menfasilitasi penjualan. Intervensi
manusia dalam proses ini sangat sedikit. Sedangkan metode manual masih
membutuhkan intervensi manusia untuk merespon pesanan, berkomunikasi
dengan pelanggan dan memberikan layanan purna jual. Di Indonesia,
sebagian besar toko virtual menggunakan metode kedua.
Masing-masing
metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Metode pertama, memungkinkan
frekuensi transaksi yang sangat tinggi, transaksi sangat
cepat. Sedangkan metode kedua, memberikan nilai tambah interaksi manusia
tidak hilang sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen.
Ada
beberapa faktor kunci keberhasilan toko virtual. Pertama dan
utama adalah kepercayaan. Pengelola toko virtual harus dapat mengelola
kepercayaan konsumen. Hal ini dapat dibangun melalui jaringan
pertemanan/hubungan virtual, pernyataan atau pengakuan dari konsumen
sebelumnya, komunikasi yang intensif dengan konsumen, bukti fisik
keberadaan konsumen di dunia nyata. Kedua, sistem transaksi yang cepat
dan aman. Salah satu masalah yang dihadapi konsumen adalah keamanan
transaksi. Pengelola toko virtual harus dapat memastikan seluruh
informasi transaksi yang diberikan pelanggan tidak akan disalahgunakan
pihak lain. Ketiga, sistem pengiriman. Setelah terjadi transaksi, barang
akan dikirim kepada pelanggan melalui jasa pengiriman. Oleh karena
keterlibatan perusahaan pengiriman sangat penting karena merupakan
jaminan ketepatan janji pengelola toko virtual.
Strategi
ini sangat jitu digunakan untuk perusahaan yang tidak memiliki banyak
modal. Karena dalam banyak kasus keberhasilan bisnis melalui internet
bukanlah disebabkan oleh modal yang besar tapi kreativitas sehingga
konsumen tertarik memasuki toko virtual.
0 komentar:
Posting Komentar