Proses pengembangan CPG

Posted By frf on Minggu, 26 Februari 2017 | 02.28.00

Proses pengembangan CPG
Sutherland dkk. (2001a) menyatakan bahwa CPG yang baik adalah CPG yang berbasis bukti, yaitu yang didasarkan atas review sistematis (meta analisis). Darling (2002) menyatakan bahwa CPG yang baik adalah yang membuat perawatan klinis menjadi lebih konsisten, sehingga outcome klinis lebih bisa diprediksi, dan lebih murah (cost effective). Namun van der Sanden dkk. (2004) menyatakan hal itu adalah belum cukup. Untuk memungkinkan pengembangan CPG yang baik dan bermanfaat, dan untuk meminimalkan hambatan dalam pelaksanaan secara praktis, maka CPG juga harus didukung oleh organisasi profesi yang terpercaya, serta didiseminasi secara sistematis dalam suatu format yang mudah difahami dan dilaksanakan oleh para klinisi.

Menurut Dutchak (2004), format suatu CPG yang lengkap adalah mencakup:
a. Aspek pelayanan yang akan dicakup.
b. Latar belakang epidemiologi.
c. Populasi yang akan dicakup.
d. Institusi pelayanan kesehatan yang dicakup.
e. Prosedur diagnostik, perawatan, dan intervensi yang akan dimasukkan atau dikeluarkan.

Namun menurut Miller dan Kearney (2004) tidak ada keseragaman format penyajian CPG. Ada CPG yang menyajikan format lengkap seperti yang disebutkan di atas, ada yang berupa lembar rangkuman, atau berupa lembar pengingat (reminder sheet) dalam catatan pasien. Kombinasi teks dengan algoritma dan daftar pilihan juga sering digunakan. Yang penting adalah, teknik penyajian CPG harus disesuaikan dengan populasi sasaran, tujuan penggunaan, dan topik CPG. Jika dimungkinkan, sebaiknya CPG disertai dengan alasan yang mencakup bukti-bukti yang digunakan, dan bagaimana bukti-bukti tersebut disintesis. 

Proses pengembangan CPG bukanlah merupakan proses yang mudah, mengingat adanya beberapa hambatan yang bisa terjadi. Hambatan-hambatan tersebut adalah (Broughton dan Rathbone, 2003):
  1. CPG tidak disusun oleh suatu tim yang multidisipliner, yakni mereka yang mewakili pihak-pihak yang akan menggunakannya. Jadi, dalam hal ini, CPG tersebut menjadi ‘tidak bertuan’.
  2. Rekomendasi di dalam CPG yang tidak berdasarkan bukti, akan menghasilkan praktik yang kurang optimal, tidak efektif, dan membahayakan pasien.
  3. Sering terjadi, rekomendasi yang diberikan dalam CPG didasarkan atas interpretasi terhadap bukti ilmiah yang kurang tepat, dan menyesatkan.
  4. Tim pengembangan CPG sering kurang memiliki cukup waktu, sumber daya, dan kemampuan untuk mengumpulkan dan meneliti bukti-bukti ilmiah secara detail.
  5. Keputusan yang dibuat oleh tim pengembangan CPG mungkin merupakan pilihan yang salah bagi pasien secara individual.
  6. Jika tim pengembangan CPG tidak benar-benar multidisiplin dan mewakili (representatif), rekomendasi yang disusun akan sangat dipengaruhi oleh pendapat, pengalaman klinis, dan komposisi anggota tim.
  7. Kebutuhan pasien mungkin bukan merupakan satu-satunya prioritas dalam menyusun rekomendasi. Kepentingan para dokter, para manajer risiko, dan bahkan para politisipun bisa terlibat. 
  8. CPG yang saling bertentangan dari profesi yang berbeda akan membingungkan dan membuat frustrasi para praktisi.
  9. CPG yang tidak fleksibel dapat membahayakan pasien dalam arti tidak memberikan keleluasaan bagi para klinisi untuk merancang pelayanan kepada kebutuhan pasien secara individual dan juga keadaan-keadaan yang sifatnya personal.
Untuk menghindari hambatan-hambatan tersebut, salah satu upayanya adalah membentuk tim yang benar-benar mewakili para stakeholders. Menurut Sutherland dkk. (2001a), stakeholders dalam penyusunan CPG adalah:
  • Otoritas pembuat regulasi di bidang kedokteran gigi. Badan ini memiliki mandat untuk melindungi masyarakat dan untuk menjamin kualitas pelayanan yang tinggi, tetapi juga dapat dirasakan sebagai ancaman bagi para dokter gigi
  • Asosiasi dokter gigi. Badan ini mendapat mandat untuk mewakili dan mendukung anggota-anggota mereka, tidak hanya dalam memberikan pelayanan yang berkualitas, tetapi juga dalam mencapai hasil praktik yang secara ekonomi dapat terus bertahan hidup.
  • Insitusi pendidikan kedokteran gigi. Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) bertanggung jawab untuk mendidik dokter gigi masa depan dan juga memproduksi banyak penelitian di bidang kedokteran gigi. Tetapi masukan dari FKG dapat dirasakan terlalu akademis, dan tidak cocok dengan kebutuhan dokter gigi praktek.
  • Dokter gigi spesialis. Dokter gigi spesialis adalah mereka yang membawa pengetahuan keahlian ke dalam proses. Kehadiran dokter gigi spesialis ini bisa dirasakan oleh dokter gigi umum akan bersikap bias, karena ada kecenderungan bahwa mereka akan melayani para dokter spesialis sendiri. 
  • Dokter gigi umum. Oleh dokter gigi spesialis, dokter gigi umum sering dianggap tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk memberikan saran kepada pasien. Dokter umum juga sering dianggap sebagai fihak yang seharusnya merujuk pasien kepada spesialis, tetapi tidak merujuk. 
  • Pasien, adalah mereka yang pada akhirnya akan mendapat keuntungan dari pengembangan CPG.
Jika para stakeholder yang terdiri dari wakil-wakil profesi multidisipliner terwakili di dalam kelompok pengembang CPG, maka menurut Dutchak (2004) akan diperoleh jaminan bahwa:
  • Evaluasi dan interpretasi terhadap bukti-bukti yang spesifik dan spesialistik dapat dilakukan secara tepat.
  • Relevansi CPG bagi realitas praktik klinik sehari-hari tinggi.
  • Ada rasa memiliki dan kerjasama dari semua stakeholder.
  • Pandangan dan pilihan pasien juga didengar.
CPG akan efektif dan menghasilkan outcome yang diinginkan jika CPG tersebut valid. Grimshaw and Russel (1993) cit. Rycroft-Malone (2001) menyatakan validitas suatu CPG sebagai:

“CPG are valid if, when followed, they lead to the health gains and costs predicted for them”.
Validitas suatu CPG merupakan salah satu ciri CPG yang baik. Rycroft-Malone (2001) menyatakan bahwa suatu CPG dikatakan valid secara saintifik jika CPG tersebut: (1) dikembangkan dari suatu systematic review atau lebih baik lagi, meta-analysis, (2) melibatkan sedikit pengguna CPG, tetapi dalam disiplin keilmuan yang lebih banyak, dan (3) memastikan adanya hubungan eksplisit antara rekomendasi dengan bukti-bukti ilmiah.

Ciri-ciri suatu CPG yang baik menurut Broughton dan Rathbone (2003) adalah sebagai berikut: 
  1. Valid, yakni CPG akan menuntun ke tujuan yang diinginkan.
  2. Reproducible, yakni jika dua kelompok menyusun guidelines yang sama, dan menggunakan evidence yang sama, akan diperoleh CPG yang sama.
  3. Cost-effective, artinya CPG tersebut mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak perlu.
  4. Representative/multidiciplinary, yakni penyusunan CPG melibatkan tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok profesi dan kepentingan-kepentingan mereka.
  5. Clinically applicable, yakni populasi pasien yang terdampak oleh CPG harus teridentifikasi dengan jelas.
  6. Flexible, yakni CPG harus disusun dengan mengidentifikasi harapan-harapan yang berkaitan dengan rekomendasi dan keinginan pasien.
  7. Clear, yakni menggunakan bahasa yang jelas yang tidak ambigu, yang difahami baik oleh klinisi maupun pasien.
  8. Reviewable, yakni harus dijelaskan kapan dilakukan review dan bagaimana prosesnya.
  9. Amenable to clinical audit, yakni CPG harus bisa diterjemahkan menjadi kriteria audit yang eksplisit.
Selain memiliki ciri-ciri yang baik, suatu CPG juga harus efektif. Suatu CPG dikatakan efektif jika CPG tersebut mencapai indikator-indikator yang meliputi: (1) tercegahnya terjadinya komplikasi, dengan menjamin bahwa pasien akan terbebas dari luka, infeksi, atau komplikasi lainnya, (2) terjadi peningkatan outcome klinis, (3) terjadi peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakit dan perawatannya, seperti proses penyakit, obat-obatan, sikap hidup sehat, kepatuhan terhadap instruksi dari klinisi dalam proses perawatan, (4) terjadinya peningkatan outcome kesehatan fungsional dari pasien yang meliputi fungsi fisik, sosial, peran, kognitif, mental, pengawasan/pembatasan diri, perawatan diri, mobilitas, dan kualitas hidup (quality of life), (5) terjadi peningkatan kepuasan pasien dan peningkatan persepsi pasien terhadap perawatan klinis yang diberikan, dan (6) digunakannya secara terus menerus CPG tersebut (Editorial, 2004).

Agar bisa dihasilkan suatu CPG yang ideal, maka diperlukan suatu proses pengembangan yang sistematis dan komprehensif. Dutchak (2004) dan Editorial (2004) menggambarkan proses pengembangan suatu CPG dengan suatu urut-urutan kegiatan yang terdiri dari sepuluh langkah sebagai berikut:
  1. Memilih topik, yang didasarkan atas frekuensi dari suatu kondisi, besar dan kecilnya variasi dalam praktik klinis, outcome yang diinginkan, keinginan pasien, pertimbangan biaya, dan pertimbangan aspek-aspek yang lain seperti sosial dan hukum.
  2. Melakukan systematic literature review dengan menggunakan strategi penelusuran hasil-hasil penelitian, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Pemangku kepentingan kemudian melakukan penilaian terhadap hasil-hasil penelitian tersebut dalam aspek kekuatannya dan relevansinya dengan menggunakan suatu intrumen penilaian (assessment tool). Salah satu assessment tool yang bisa digunakan adalah Appraisal of Guidelines Research and Evaluation (AGREE).
  3. Menyusun daftar rekomendasi (guidelines) untuk di-review oleh panel ahli.
  4. Mengkategorikan masukan dari panel ahli.
  5. Mereview daftar guidelines dengan literatur-literatur terbaru oleh stakeholder eksternal.
  6. Melakukan revisi, sesuai dengan masukan dari stakeholder eksternal.
  7. Melakukan uji coba guidelines.
  8. Melakukan revisi lagi jika dibutuhkan, berdasarkan hasil uji coba.
  9. Melakukan peluncuran dan diseminasi guidelines.
  10. Melakukan evaluasi tentang bagaimana guidelines tersebut di didistribusikan dan bagaimana penggunannya.
Langkah pertama dan yang merupakan langkah terpenting dalam proses pengembangan CPG adalah pemilihan topik. Dalam proses pemilihan topik, van der Sanden dkk. (2002) melakukan penelitian yang membandingkan empat metode pemilihan topik untuk pengembangan CPG. Keempat metode tersebut adalah: survei pendapat dengan pengiriman kuesioner kepada para dokter gigi, analisis topik yang dibahas dalam diskusi kelompok dokter gigi (peer group), screening topik melalui literatur kedokteran gigi, dan menggunakan persamaan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode survei kepada para dokter gigi adalah metode terbaik dalam menentukan topik untuk pengembangan CPG.

Di lain pihak, Glenny dan Simpson (2004) menyebutkan bahwa pemilihan topik CPG harus menggunakan tiga kriteria. Kriteria pertama adalah prevalensi yang tinggi dari kondisi yang akan dibuat CPG-nya. Kriteria kedua adalah beban sakit dari kondisi yang akan dibuat CPG-nya. Kriteria ketiga adalah besar kecilnya variasi praktik dan biaya untuk menangani kondisi tersebut.

Berkaitan dengan pemilihan topik CPG ini, Sutherland dan Matthews (2004) menggunakan kriteria yang lebih luas, yakni:
  • Prevalensi dari kondisi klinis.
  • Beban sakit
  • Besarnya variasi dalam praktek klinis untuk menatalaksana kondisi.
  • Memiliki relevansi dengan pola praktek klinis lokal.
  • Kemungkinan untuk mempengaruhi perubahan dalam praktek klinis.
  • Ketersediaan bukti-bukti yang berkualitas tinggi untuk mendukung praktik klinis.
  • Biaya untuk menata laksana kondisi tersebut.
Dutchak (2004) menambahkan dua kriteria lain yang harus digunakan dalamn pemilihan topik CPG, yakni: (1) potensinya untuk meningkatkan taraf kesehatan, dan (2) harus sesuai dengan prioritas pemerintah, dalam hal ini kementerian kesehatan.

Dalam proses pengembangan CPG, kualitas CPG harus terjaga. Untuk menjamin kualitas CPG, dibentuklah suatu kelompok yang terdiri dari para peneliti dan pembuat kebijakan publik di bidang kesehatan yang disebut dengan AGREE Collaboration. Jadi AGREE Collaboration adalah kelompok yang berkepentingan dengan peningkatan kualitas dan efektifitas dari CPG (Glenny dan Simpson, 2004). Oleh AGREE Colaboration, kualitas CPG didefinisikan sebagai:
“confidence that the potential biases of guideline development have been addressed adequately and that the recommendations are both internally and externally valid,
Blog, Updated at: 02.28.00

0 komentar:

Posting Komentar