1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan quality of care
Gembrowski dkk. (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan quality of care di pelayanan kesehatan primer. Variabel pengaruh dalam penelitiannya tersebut meliputi: karakteristik pasien (termasuk umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan), karakteristik dokter (meliputi jenis kelamin, lama bekerja, beban kerja, dan ras), karakteristik tempat praktik (type praktik, jumlah dokter, kemudahan merujuk pasien ke pelayanan spesialistik). Variabel terpengaruh dalam penelitian ini adalah: kepuasan kerja dokter dan quality of care yang dipersepsikan oleh pasien (dengan enam skala : jelek, cukup, bagus, sangat bagus, exellent, dan luar biasa). Disimpulkan dalam penelitian ini bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dokter dengan quality of care yang dipersepsi oleh pasien
Akan tetapi, Zuckerman dkk. (2004) mendapatkan hasil penelitian yang berbeda, pada saat melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan preventif. Dari hasil penelitian yang disajikan, tidak terdapat hubungan antara karakteristik demografi pasien dengan kualitas perawatan preventif.
Dari penelitian Gembrowski dkk (2004) tersebut di atas terlihat bahwa hubungan antara karakteristik pasien dan karakteristik dokter dengan quality of care dimediasi oleh faktor kepuasan kerja dokter. Sebelumnya, Gembrowski dkk. (2003) menyatakan bahwa insentif finansial berhubungan dengan kepuasan kerja dokter. Bovier dan Perneger (003) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja dokter adalah: adanya hubungan profesional, kesempatan untuk mengikuti studi lanjutan, suasana tempat kerja, beban kerja, waktu yang tersedia untuk keluarga, penghasilan, dan prestise; sedangkan faktor umur dan jenis kelamin dokter tidak berhubungan dengan kepuasan kerja.
West (2001) yang mereview 34 artikel sejenis, telah menyimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor organisasi dan manajemen dengan quality of care di rumah sakit. Bahwa faktor organisasi berpengaruh terhadap quality of care didukung oleh Pellegrini dkk. (2003). Dalam penelitiannya, Pellegrini dkk. (2003) membandingkan outcome klinis pada perawatan hipertensi pada pasien dengan diabetes type 2 antara mereka yang datang ke klinik diabetes dan ke dokter umum. Disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor struktural dan organisasi dengan quality of care yang diukur dengan outcome klinis
Lieu dkk. (2004) meneliti pasien anak penderita asma yang dilindungi oleh asuransi Medicaid. Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti ini kemudian menyusun suatu kerangka konsep yang di antaranya menghubungkan antara jenis organisasi pelayanan kesehatan, kebijakan yang dibuat oleh unit pelayanan kesehatan, dan karakteristik pasien berhubungan dengan outcome klinis penderita asma. Furr dkk. (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa quality of care dipengaruhi oleh peranan perawat dalam asuhan keperawatan. Dikatakan oleh peneliti ini bahwa quality of care dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan perawat, waktu yang cukup, dan memprioritaskan penyakit yang diderita oleh pasien. Kesimpulan ini dikuatkan oleh hasil penelitian Hall dan Doran (2004), yang menyatakan bahwa nurse staffing model dan care delivery model berpengaruh terhadap quality of care.
Dalam kerangka konsep yang diproposisikan oleh Lieu dkk. (2004), faktor demografi pasien merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap quality of care. Hal ini didukung oleh Heaman dkk. (2005) dan Sutton dan McLean (2006) yang berdasarkan penelitiannya juga menyimpulkan bahwa karakteristik demografi pasien berhubungan dengan quality of care
Teori tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan quality of care juga diajukan oleh Berwick (2002). Peneliti ini mengajukan teori tentang model peningkatan quality of care. Pemikirannya ini didasarkan atas fakta bahwa di Amerika Serikat, terdapat jurang (chasm) antara kualitas pelayanan kesehatan yang diterima dengan yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diajukanlah suatu teori perubahan sistem. Dalam teori yang dikenal dengan The Chain of Effect ini, diproposisikan bahwa dalam upaya peningkatan mutu perawatan kesehatan, terdapat empat tingkat faktor yang memengaruhinya. Keempat tingkat tersebut adalah : patient and the community (Level A), microsystem (Level B), organizational context (Level C), dan environmental context (Level D).
Berdasarkan empat tingkat dalam konsep peningkatan quality of care, maka diperlukan empat tingkat perubahan pula, yakni: (1) Level A memperjelas tujuan nasional dalam hal peningkatan quality of care. (2) Level B adalah merubah perawatan itu sendiri. (3). Level C, adalah merubah organisasi yang memberikan pelayanan, dan (4) Level D merubah lingkungan yang akan berpengaruh terhadap perilaku oraganisasi (pemberi pelayanan) dan perilaku profesional (para klinisi).
Hal yang menarik adalah bahwa Level B (sistem mikro) adalah unit kerja kecil yang memberikan perawatan kepada pasien. Berwick (2002) menyatakan bahwa perubahan dalam Level B didasarkan atas tiga kerangka kerja (frameworks) atau prinsip, yakni : 1. berbasis pengetahuan, 2. berpusat pada pasien, dan 3. berorientasi pada sistem. Kerangka kerja ini memberikan sepuluh aturan baru yang sederhana (simple rules) dalam perawatan kesehatan. Sepuluh aturan baru ini merubah aturan lama yang sudah tidak sesuai lagi.
Aturan kelima dari sepuluh aturan tersebut adalah bahwa pengambilan keputusan didasarkan atas bukti, menggantikan aturan sebelumnya yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan klinis didasarkan atas pendidikan (kedokteran) dan pengalaman klinis. Di dalam aturan yang baru ini, tercermin pengertian bahwa pasien haruslah menerima pelayanan yang didasarkan pada bukti-bukti pengetahuan ilmiah yang terbaik yang tersedia. Oleh karenanya, pelayanan haruslah tidak bervariasi secara tidak logis dari klinisi yang satu ke klinisi lainnya, atau dari satu tempat praktik ke tempat praktik lainnya.
2. Efektifitas CPG dalam meningkatkan quality of care
Hu dkk. (2006) dalam penelitiannya mengkaji implementasi CPG dalam penghentian kebiasaan merokok, yang dilakukan oleh para dokter gigi terhadap para pasien mereka. Seperti dilaporkan oleh Hu dkk. (2006), pada tahun 2003, Asosiasi Dokter Gigi Amerika (American Dental Association – ADA), memberlakukan suatu CPG bagi para dokter gigi untuk memberikan konseling berhenti merokok kepada pasien-pasiennya, yang tercantum dalam The ADA Guide to Dental Therapeutics. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para dokter yang mempunyai pemahaman tinggi terhadap CPG tersebut cenderung lebih patuh untuk melaksanakan CPG tersebut, dibandingkan dengan para dokter gigi yang tidak memahami CPG tersebut. Jadi faktor pengetahuan dan pemahaman tentang CPG dan tentang teknik konseling berperanan dalam kepatuhan melaksanakan CPG. Dalam hal hambatan yang dihadapi oleh para dokter gigi dalam melaksanakan CPG ini adalah: kurangnya pengetahuan, kurangnya ketrampilan (skills), kepercayaaan diri untuk membantu papsien berhenti merokok, tidak adanya financial reward, keterbatasan waktu, dan resistensi pasien.
Penelitian tentang pengembangan dan implementasi CPG juga dilakukan oleh Massie dkk. (2003). Dalam penelitiannya, Massie dkk. (2003) melakukan pengembangan dan menguji efektifitas CPG dalam tata laksana asthma pada anak (usia 2-18 tahun) di sebuah rumah sakit pendidikan terhadap outcome klinis. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa implementasi CPG meningkatkan perencanaan penatalaksanaan asma, tetapi tidak meningkatkan frekuensi kunjungan ulang, tidak menurunkan morbiditas, dan tidak meningkatkan quality of life.
Van der Sanden dkk. (2005) melakukan penelitian untuk melihat efektifitas implementasi CPG dalam tata laksana gigi molar tiga rahang bawah impacted yang asimptomatik. Penelitian ini menggunakan rancangan cluster randomized controlled trial. Perlakuan yang diberikan kepada kelompok kontrol adalah suatu intervensi yang multifaset. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi CPG meningkatkan pengetahuan para dokter gigi, akan tetapi tidak meningkatkan keterampilan dalam pengambilan keputusan klinis.
Bahrami dkk. (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas dan efektifitas biaya (cost-effectiveness) dari beberapa metode implementasi CPG tentang tata laksana gigi molar tiga impacted. Tiga metode implementasi CPG digunakan dalam penelitian ini yakni: audit and feedback (A and F), computer aided learning (CAL), dan kombinasi dari A and F dan CAL, dibandingkan dengan kelompok pembanding yang tanpa perlakuan. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa baik A and F, CAL, dan kombinasinya tidak efektif untuk meningkatkan kepatuhan para dokter gigi terhadap SIGN guidelines dalam manajemen gigi molar ketiga impaksi.
Prior dkk. (2008) melakukan sintesis terhadap 33 systematic review yang dipublikasi antara 1987-2007, yang mengkaji efektifitas strategi implementasi CPG dalam hal peningkatan proses klinis dan efektifitas biaya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan guidelines meliputi: rekomendasi, protokol, algoritma klinis, atau statement yang berbasis bukti lainnya yang serupa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi implementasi CPG yang efektif adalah yang menggabungkan beberapa metode (multifacet), yang berupa edukasi interaktif, dan clinical reminder systems. Di lain pihak, edukasi didaktik, dan diseminasi yang pasif (seperti mem-post CPG di dalam website, atau sekedar memberikan CPG kepada para klinisi dalam bentuk cetakan) ternyata tidak efektif dalam implementasi CPG. Strategi implementasi CPG ini merupakan isu yang penting, karena jika suatu CPG tidak berhasil meningkatkan quality of care, mungkin lebih disebabkan oleh strategi implementasinya, dan bukan karena efektifitas dari CPG-nya sendiri.
Cranney dkk. (2001) melakukan penelitian untuk mengetahui hambatan untuk mematuhi CPG oleh para dokter umum dalam manajemen hipertensi pada pasien usia lanjut. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, yang melibatkan sebanyak 34 dokter umum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penanganan hipertensi, beberapa faktor telah diidentifikasi menjadi hambatan untuk mematuhi CPG. Faktor-faktor tersebut adalah: keraguan terhadap aplikabilitas dari data hasil penelitian terhadap pasien tertentu, rendahnya kepatuhan terhadap protokol perawatan, perilaku yang mendiskriminasi terhadap pasien dalam usia tertentu (ageist attitude), pengaruh keterbatasan waktu dan pertimbangan finansial yang menyebabkan implementasi CPG sebagai prioritas yang rendah, ketiadaan dukungan sistem komputer yang efektif, dan ketiadaan pembimbing (mentor) bagi dokter yang lebih muda. Berkaitan dengan metode edukasi dalam implementasi CPG, Cranney dkk. (2001) memberikan rekomendasi untuk digunakannya metode yang multifaset (gabungan dari beberapa metode sekaligus) yang terbukti efektif untuk meningkatkan kepatuhan para dokter untuk melaksanakan dan mematuhi CPG.
Bonetti dkk. (2006) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel psikhologis yang berhubungan dengan perilaku untuk melaksanakan praktik yang berbasis bukti (evidence based practice). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel-variabel intensi rencana aksi (action planning), planned behavior, dan persepsi risiko berhubungan dengan jumlah foto radiograf yang diambil pada setiap perawatan dengan nilai prediksi sebesar 16%. Di lain pihak, variabel-variabel kebiasaan (habit), persepsi risiko (risk perception), kemujaraban diri (self-efficacy), outcome expectancies, dan control of caries, berhubungan dengan variabel keinginan untuk mengambil foto radiograf, dengan nilai prediksi sebesar 53%. Berdasarkan hasil penelitian ini, Bonetti dkk. (2006) mengambil kesimpulan bahwa perilaku dokter gigi dalam pengambilan foto radiograf dapat ditingkatkan melalui intervensi yang berupa pemberian statemen persuasif melalui surat atau dalam suatu kursus pengembangan profesional.
Berbicara mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap CPG dan perilaku klinisi, Fort dan Voltero (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja klinis para perawat dan bidan dalam pelayanan antenatal, postpartum, dan pelayanan neonatal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja klinis yang mencakup pelayanan antenatal dan pelayanan postpartum dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: pengetahuan praktis dan ketrampilan mengenai penggunaan instrumen pemeriksaan, pemberian penghargaan atas hasil kinerja, dan mendapatkan umpan balik terhadap kinerja mereka.
Hambatan dalam perubahan perilaku para dokter ini menjadi perhatian dari Cabana dkk. (1999). Peneliti ini melakukan penelitian untuk mengetahui hambatan bagi para dokter untuk mematuhi CPG. Dalam penelitian ini, Cabana dkk. (1999) melakukan systematic review terhadap penelitian-penelitian yang meneliti hambatan kepatuhan terhadap CPG
Sejumlah 76 artikel (dari 5658 artikel yang teridentifikasi pada awal seleksi) dipilih untuk diidentifikasi hambatan yang dihasilkan oleh masing-masing penelitian. Faktor-faktor penghambat terhadap kepatuhan yang teridentifikasi di dalam review tersebut kemudian disusun secara sistematis dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep tersebut mendasarkan proses adopsi CPG yang baru melalui proses yang secara teoritis mempunyai urutan: pengetahuan, sikap, dan perilaku. Hambatan-hambatan tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yang masing-masing mengarah kepada tiga simpul urutan proses perubahan perilaku, yakni pengetahuan, sikap, dan perilaku, seperti yang disajikan di dalam Gambar 5 di atas.
Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa efektifitas suatu CPG akan sangat tergantung dari kepatuhan (adherence) para klinisi dalam melaksanakan rekomendasi dalam CPG. Oleh karenanya, pengukuran quality of care sebagai output dari implementasi CPG adalah suatu proses untuk mengukur kepatuhan klinisi dalam proses perawatan klinis, seperti yang digambarkan oleh Long (2001):
“The integrity of any guidelines is drawn from its capacity to reflect what many providers did with many clients” (Long, 2001).
Kesimpulan berikutnya adalah bahwa kepatuhan dokter terhadap CPG dalam memberikan pelayanan kepada pasien dipengaruhi oleh metode intervensi (implementasi)nya. Metode intervensi multifacet (metode yang mengkombinasikan lebih dari satu pendekatan) lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan. Kesimpulan lainnya adalah bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Faktor-faktor tersebut sebagian bersifat mendukung, seperti: faktor finansial, komitmen, pengetahuan yang tinggi, dan sebagian lainnya merupakan penghambat, misalnya: CPG yang tidak mudah diakses, kesadaran yang rendah, kurangnya motivasi, ketidakyakinan diri (lack of self efficacy), dan beberapa faktor yang berkaitan dengan pasien.
3. Odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
a. Definisi, epidemiologi, dan jenis-jenis impaksi gigi molar ketiga.
Gigi impaksi didefinisikan sebagai gigi yang tidak berhasil bererupsi untuk mencapai posisi fungsional yang seharusnya, dalam lengkung gigi, dalam waktu tertentu (Obimakinde, 2009). The Faculty of Dentistry The Royal College of Dental Surgeon of England (1997) mendefinisikan gigi impaksi bahwa impaksi terjadi jika ada hambatan dalam erupsi sebuah gigi secara paripurna ke dalam posisi fungsional yang normal yang terhambat oleh gigi lainnya, atau kurangnya tempat dalam lengkung rahang, atau tertutup oleh gigi lainnya, atau disebabkan oleh pertumbuhannya yang abnormal. Lebih jauh The Faculty of Dentistry The Royal College of Dental Surgeon of England (1997) menyatakan bahwa gigi impaksi dapat berupa gigi impaksi total (completely impacted), erupsi sebagian (partially erupted), atau ankilosis. Dikatakan impaksi total, jika suatu gigi tertutup oleh jaringan lunak dan sebagian atau seluruhnya tertutup oleh tulang alveolus. Sebuah gigi dikatakan sebagai erupsi sebagian, jika gigi tersebut tidak berhasil erupsi ke dalam posisi fungsional yang normal.
SIGN (1999) mendefinisikan gigi impaksi sebagai sebuah gigi yang erupsinya ke dalam posisi fungsional yang normalnya terhambat baik oleh kurangnya tempat, tertutup oleh gigi lainnya, atau oleh arah pertumbuhannya yang abnormal. SIGN (1999) juga membedakan antara gigi impaksi dengan gigi yang tidak erupsi (unerupted tooth) dan gigi yang erupsi sebagian (partially erupted). Yang dimaksud dengan unerupted tooth adalah gigi yang terbenam di dalam tulang rahang, yang seluruhnya tertutup oleh jaringan lunak, dan sebagian atau seluruhnya tertutup oleh tulang. Gigi yang erupsi sebagian, maksudnya adalah gigi yang tidak berhasil erupsi secara sempurna ke dalam posisi normal, yang berarti bahwa gigi tersebut sebagian sudah terlihat atau sebagian sudah berada di rongga mulut. Menurut SIGN (1999) selanjutnya, gigi yang tidak erupsi dan gigi yang erupsi sebagian bisa impaksi atau tidak impaksi.
Gigi molar ketiga merupakan satu-satunya jenis gigi yang seluruh pertumbuhannya terjadi setelah kelahiran dan satu-satunya gigi yang masih terus mengalami proses pertumbuhan bahkan pada saat seseorang sudah berusia 18 tahun seiring dengan bertambahnya usia, dan belum tentu selesai sempurna pada usia 22 tahun (Silvestri dan Singh, 2003; Lopez dkk., 2013). Oleh karenanya, gigi molar ketiga menjadi gigi yang paling sering mengalami impaksi dibandingkan dengan jenis gigi lainnya. Dilaporkan bahwa prevalensi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi adalah antara 9,5% - 50%, karena diperkirakan, sekitar 65% populasi manusia di dunia mempunyai sedikitnya satu gigi molar ketiga impaksi pada usia 20 tahun (Silvestri dan Singh, 2003). Gigi molar ketiga rahang bawah merupakan gigi yang paling sering mengalami impaksi, diikuti dengan gigi molar ketiga rahang atas, gigi taring rahang atas, dan gigi taring rahang bawah (Obimakinde, 2009).
Untuk menentukan posisi dan kedalaman impaksi khususnya gigi molar ketiga rahang bawah, telah disusun klasifikasi impaksi yang telah digunakan secara luas, yakni adalah kategori impaksi menurut posisi gigi yang dikembangkan oleh Winter (Bui dkk., 2003; Blondeau dan Daniel, 2007) dan klasifikasi impaksi menurut kedalamannya, dikembangkan oleh Pell dan Gregory (Peterson, 2002; Bui dkk., 2003; Blondeau dan Daniel, 2007). Winter (Bui dkk., 2003; Blondeau dan Daniel, 2007) mengklasifikasi gigi impaksi menjadi: posisi gigi impaksi vertikal, horizontal, mesioangular, dan distoangular. Di lain pihak Pell dan Gregory (Peterson, 2002; Bui dkk., 2003; Blondeau dan Daniel, 2007) mengklasifikasi gigi impaksi yang meliputi kategori I, II, dan III, serta kategori A, B, dan C. Kategori gigi impaksi I adalah jika mahkota gigi seluruhnya tidak berada di dalam ramus mandibula (yang berarti berada di luar ramus mandibula). Termasuk dalam kategori II adalah jika kurang dari setengah mahkota gigi berada di dalam ramus mandibula. Kategori III adalah jika lebih dari setengah mahkota gigi berada di dalam ramus mandibula.
Quek dkk. (2003) dalam penelitiannya terhadap 1000 radiograf orthopantomogram (OPG) dari pasien usia 20-40 tahun menunjukkan bahwa sebesar 68,8% OPG menunjukkan terjadinya gigi molar ketiga impaksi. Persentase terjadinya impaksi lebih banyak terjadi rahang bawah (94,9%) dibandingkan dengan di rahang atas (28,4%). Dilihat dari jenis kelamin pasien, wanita lebih sering menderita gigi molar ketiga impaksi (56%) daripada laki-laki (44%). Dilihat dari posisi impaksinya, diperoleh fakta bahwa sebagian besar adalah mesioangular, dan dari seluruh gigi impaksi, 80% di antaranya terbenam sebagian. Obimakinde (2009) menyatakan bahwa prevalensi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi adalah sebesar 9,5-50%. Impaksi pada jenis gigi ini lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Di Saudi Arabia, Hasan (2010) melaporkan bahwa prevalensi gigi molar ketiga impaksi adalah 40,62%, dengan prevalensi pada laki-laki sebesar 41,42% dan pada perempuan sebesar 39,76%.
b. CPG odontektomi gigi molar ketiga impaksi.
Terdapat 2 CPG dalam tindakan odontektomi gigi molar ketiga impaksi yang sampai saat ini digunakan secara luas, yakni yang dikembangkan oleh NICE tahun 2000, dan yang dikembangkan oleh SIGN tahun 1999 (Friedman dan Presson, 2010). Kedua CPG tersebut adalah CPG yang evidence based. Dibandingkan dengan guidelines yang dikembangkan oleh NICE (2000), guidelines yang dikembangkan SIGN (1999) lebih komprehensif dan lebih terinci.
Pada tahun 2010 terjadi suatu pertentangan pendapat tentang perlunya dilakukan tindakan odontektomi pada gigi molar ketiga impaksi yang tidak menunjukkan gejala patologis. Diskusi tersebut terjadi antara Dodson (2010) dan Friedman dan Presson (2010). Dalam komunikasi antara ilmuwan di Amerika Serikat yang dimuat di dalam jurnal Dental Abstract tersebut, kedua fihak menggunakan SIGN guidelines sebagai referensi untuk menjustifikasi pendapat masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya sampai saat itu, SIGN guidelines digunakan secara meluas.
c. Frekuensi dan jenis-jenis komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
Bui dkk (2003) menyebutkan bahwa insidensi terjadinya komplikasi pascaodontektomi adalah berkisar antara 2,6-30,9%. Blondeau dan Daniel (2007) melaporkan bahwa insidensi kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga, khususnya alveolitis, adalah berkisar antara 0,5-68,4% (meskipun sebagian besar peneliti mengatakan antara 5-10%), komplikasi infeksi antara 1,5-5,8%, dan komplikasi parestesia sekitar 0,4-8,4%. Dwipayanti dkk. (2009) dalam penelitiannya di salah satu rumah sakit gigi dan mulut di Indonesia melaporkan bahwa insidensi terjadinya komplikasi edema adalah yang tertinggi, yakni 58,73%, diikuti oleh trismus sebesar 47,62% dan yang ketiga adalah paresetesi. Komplikasi yang terjadi pada satu hari pascaodontektomi adalah sebesar 68,25%. Menurut jenis kelaminnya, komplikasi pada pasien perempuan adalah 47,62%, sedangkan pada laki-laki yang sebesar 20,62%. Komplikasi pada hari keempat pascaodontektomi jauh lebih rendah daripada satu hari pascaodontektomi, yakni sebesar 36,51%.
Susarla dkk. (2003) menyatakan bahwa pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi, kejadian komplikasi perdarahan ringan, edema, trismus, dan nyeri hampir selalu terjadi. Komplikasi yang sering terjadi adalah dry socket, infeksi, perdarahan pascaoperasi, dan keterlambatan penyembuhan. Dry socket merupakan komplikasi yang paling sering terjadi, dengan insidensi sekitar 1-30%. Komplikasi yang jarang terjadi adalah fraktur, kerusakan pada gigi disebelahnya, dan komunikasi oro-antral. Komplikasi kerusakan serabut syaraf termasuk dalam kategori komplikasi yang serius, khususnya yang terjadi pada syaraf alveolaris inferior dan syaraf lingualis sebagai komplikasi dari odontekktomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
Bui dkk. (2003) menyatakan bahwa komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni komplikasi operatif dan komplikasi inflamasi. Komplikasi operatif meliputi: perdarahan, luka pada serabut syaraf, perforasi sinus (komunikasi oro-antral), sisa akar tertinggal di dalam alveolus, fraktur tulang alveolus, fraktur tulang mandibula, dan fraktur tulang tuberosity. Komplikaksi inflamasi meliputi: alveolitis (dry socket), keterlambatan penyembuhan, komunikasi oro-antral persisten, infeksi pascaoperasi, hematoma, bony spicule, osteomielitis, rasa sakit dan edema.
Pitekova dkk. (2010) menyatakan bahwa komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi yang paling sering terjadi adalah: dry socket, infeksi, perdarahan, gangguan inervasi, radix in antro Highmori, fraktur mandibula, dan fraktur tuberis maksila. Dinyatakan oleh Pitekova dkk. (2010) bahwa insidensi komplikasi bervariasi menurut umur. Pada usia di bawah atau sama dengan tiga puluh tahun, insidensinya sebesar 11,8%, sedangkan pada usia lebih dari tiga puluh tahun, insidensinya adalah 21,5%. Hal ini disebabkan oleh karena struktur tulang yang lebih elastis pada pasien yang lebih muda. Dilihat dari jenis komplikasinya, dikatakan bahwa insidensi komplikasi dry socket adalah sebesar 3%, infeksi sebesar 2,6%, dan perdarahan sebesar 1,5%.
d. Faktor risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
Bui dkk. (2003) menyatakan bahwa faktor risiko kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yakni: demografi, kesehatan umum dan gigi, anatomi gigi, dan tindakan operasinya. Blondeau dan Daniel (2007) menyatakan bahwa faktor risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi adalah: umur, kesehatan pasien, derajat impaksi, ketrampilan dokter spesialis bedah mulut, teknik operasi, kebiasaan merokok, dan penggunaan kontrasepsi oral. Di antara faktor-faktor tersebut, faktor umur, kesehatan pasien dan derajat impaksi adalah yang paling dominan terhadap terjadinya komplikasi. Disebutkan pula oleh Blondeau dan Daniel (2007) bahwa wanita lebih berisiko untuk mengalami komplikasi daripada laki-laki, dengan OR sebesar 4,97. Dilihat dari faktor risiko posisi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi, posisi distoangular dan mesioangular lebih meningkatkan risiko terjadinya komplikasi.
Bahwa ketrampilan dokter merupakan faktor risiko kejadian komplikasi pasca odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi, telah dikonfirmasi oleh Evans dkk. (2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketrampilan dokter dengan kejadian komplikasi yang dipersepsikan oleh penderita. Pitekova dkk. (2010) melaporkan bahwa usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, dan rahang bawah merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi. Peneliti ini juga menyatakan bahwa faktor risiko terjadinya komplikasi dry socket adalah: irigasi pasca operasi yang terlalu banyak, kebiasaan merokok, waktu operasi yang lebih lama, dan kandungan bahan vasokonstriktif dalam obat anestesi lokal. Hubungan antara konsumsi obat kontrasepsi oral dengan terjadinya dry socket belum terbukti, tetapi bila dibandingkan pada laki-laki, efek penggunaan obat kontrasepsi pada perempuan meningkatkan terjadinya dry socket sebesar empat kali.
Bello dkk. (2011) membagi faktor risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi menjadi tiga kelompok, yakni faktor pasien, faktor yang berhubungan dengan gigi, dan faktor operasi. Yang termasuk ke dalam faktor pasien adalah: umur, jenis kelamin, etnis, kebiasaan merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan higiene mulut. Faktor yang berhubungan dengan gigi meliputi: adanya infeksi, jenis impaksi, kedalaman impaksi, kedekatan akar gigi impaksi dengan syaraf alveolaris inferior, kepadatan tulang di sekitar gigi impaksi, dan adanya kondisi patologis seperti kista atau neoplasma. Faktor risiko operasi mencakup: penggunaan obat-obatan, jenis dan luasnya insisi, teknik penutupan luka operasi, pengalaman dan ketrampilan dokter spesialis bedah mulut, dan lamanya operasi.
Leung dan Cheung (2011) melakukan kajian literatur yang bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian gangguan sensori pada syaraf alveolaris inferior dan syaraf lingualis, sebagai komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Peneliti ini menyimpulkan bahwa faktor risiko kejadian gangguan sensori pada syaraf alveolaris inverior adalah: usia yang lebih tua, impaksi yang dalam, dan teknik operasi dengan mengunakan metode lingual split. Faktor risiko kejadian gangguan sensori pada serabut syaraf lingualis adalah: usia yang lebih tua, impaksi kearah distal, dan pembuatan flap di sisi lingual.
Osunde dkk. (2012) dalam penelitiannya membandingkan kejadian komplikasi inflamasi pascaodontektomi (nyeri, edema, dan trismus) antara operasi yang menggunakan jahitan dan tanpa jahitan luka operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan satu dan dua hari pascaoperasi, kelompok tanpa jahitan menunjukkan nyeri, edema, dan trismus yang lebih ringan daripada kelompok yang menggunakan jahitan.
Briguglio dkk. (2011) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh jenis flap dalam odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi dengan kejadian komplikasi. Komplikasi yang diteliti adalah komplikasi jangka panjang, yakni: pocket probing depth (PPD) dan clinical attachment level (CAL). Tiga jenis flap dibandingkan dalam penelitian ini, yakni: envelope flap, Laskin triangular flap, dan envelope flap modified by Laskin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Laskin triangular flap memberikan komplikasi yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua flap lainnya.
Pemberian profilaksis antibiotika merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi. Monaco dkk. (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas pemberian profilaksis antibiotika (2 g amoksisilin tablet satu jam sebelum operasi) untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi yang diamati adalah nyeri, edema, dan infeksi luka operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian profilaksis antibiotika mengurangi nyeri, mengurangi konsumsi obat analgetika, dan mencegah infeksi, tetapi tidak mengurangi kejadian edema.
Bergdahl dan Hedstrom (2004) dalam penelitiannya mendapatkan hasil yang sebaliknya. Peneliti ini memberikan metronidazole (Flagyl®) 1600 mg dosis tunggal pada kelompok perlakuan, yang dibandingkan dengan plasebo di kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian antimikrobial tidak efektif untuk mencegah terjadinya dry socket pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
Gordon (2007) dalam review terhadap artikel yang dilaporkan oleh Aoki dkk (2006), mengkaji pemberian dextromethorphan untuk mengurangi kejadian nyeri pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Disimpulkan, bahwa pemberian dextromethorphan dosis rendah (30 mg) 90 menit sebelum operasi, tidak mengurangi nyeri sampai pada hari ke-14.
Hasil yang berbeda telah dilaporkan oleh Beirne (2008) dalam reviewnya terhadap artikel yang ditulis oleh Halpern dan Dodson (2007). Dalam penelitian ini, telah dilakukan pemberian profilaksis antibiotika yakni penisilin dengan dosis 15.000 unit per kilogram berat badan, atau 600 mg klindamisin bagi mereka yang alergi terhadap penisilin, secara intravena, satu jam sebelum operasi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Disimpulkan bahwa profilaksis antibiotika mengurangi kejadian komplikasi infeksi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi
Santos dkk. (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas pemberian analgetik sebagai upaya preemtif untuk mencegah terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga, yakni nyeri, edema, dan trismus. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian 50 mg tramadol + 4 mg deksametason atau 50 mg tramadol + 50 mg sodium diklofenak satu jam sebelum odontektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kombinasi mengurangi nyeri dari jam ke-4 sampai jam ke-12 pasca odontektomi. Disimpulkan pula bahwa kelompok yang menerima kombinasi tramadol + deksametason menunjukkan komplikasi nyeri, trismus, edema, dan inflamasi yang lebih ringan daripada kelompok yang mendapatkan kombinasi tramadol + sodium diklofenak.
0 komentar:
Posting Komentar