Perngertian Pengawasan dan Peradilan Administrasi

Posted By frf on Sabtu, 25 Februari 2017 | 23.26.00

Pengawasan dan Peradilan Administrasi
PENGERTIAN PENGAWASAN
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai:

“pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.”
atau;
“suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.”

Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai 
“proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.” 

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).

Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
  • mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
  • menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
  • mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.
Pada dasarnya ada beberapa jenis pengawasan yang dapat dilakukan, yaitu:
a. pengawasan intern dan pengawasan ekstern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap departemen dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri. 

Sejak 1988-1998, pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin dan Wasbang).[1] Selain itu juga terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan pelaksana teknis operasional pengawasan, dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 31 tahun 1983. 
b. pengawasan preventif dan represif;
c. pengawasan aktif dan pasif;
d. pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).

Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya “korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri.” Dengan dijalankannya pengawasan tersebut diharapkan pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran negara dapat berjalan sebagaimana direncanakan.

Dalam aspek pengawasan keuangan negara, DPR mempunyai kepentingan kuat untuk melakukan pengawasan terhadapnya. Hal demikian disebabkan “uang yang digunakan membiayai kegiatan-kegiatan negara adalah diperoleh dari rakyat.” Penjelasan UUD 1945 menegaskan: 

“Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Persetujuan DPR terhadap anggaran negara yang diajukan pemerintah sebenarnya mempunyai makna pengawasan pula. Hal demikian disebabkan persetujuan yang diberikan DPR bukan berarti membebaskan pemerintah melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan anggaran negara. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara sebenarnya diarahkan kemudian pada upaya, “menindaklanjuti hasil pengawasan, sehingga ada sanksi hukum.”

Sementara itu, pembagian macam pengawasan terbagi atas dasar pengawasan intern yang berarti “ Sementara itu, pengawasan eksternal dimaksudkan sebagai “pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.”[2] Pengawasan dalam bentuk ini dilakukan oleh suatu badan yang ditetapkan oleh pasal 23 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan,“Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Adanya lembaga ini dimaksudkan agar pengawasan terhadap keuangan negara dapat berjalan secara obyektif dan konsekuen, tanpa adanya pengaruh dari manapun. Dalam menjalankan fungsinya, BPK dapat menjalin kerja sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah dengan maksud agar terwujud suatu “penilaian yang obyektif, sehingga hasil pemeriksaannya dapat diterima oleh semua pihak.”[3] Konsekuensinya, dapat BPK memberikan menguji hasil pemeriksaan yang dilakukan aparat pengawasan intern pemerintah, untuk kemudian disampaikan kepada DPR. Adapun maksud pemeriksaan diserahkan kepada DPR disebabkan DPR yang memberikan delegasi kepada pemerintah untuk menjalankan undang-undang APBN. Dengan demikian, tepat sekiranya pengawasan yang dilaksanakan oleh BPK merupakan, “pengawasan ekstern, sehingga faktor obyektivitasnya yang merupakan salah satu norma dari pemeriksaan dapat terjamin.”[4]

Sementara itu, pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai, “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.”[5] Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal

Di sisi lain, pengawasan represif adalah “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan.”[6] Pengawasan keuangan model ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan.

Selain itu, pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk “pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan.”[7] Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan pengawasan melalui “penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran.”[8] Di sisi lain, pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan hak itu terbukti kebenarannya.” Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang serendah mungkin.”[9]

Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawas intern organisasi yang diawasi di mana tugasnya adalah membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi serta membantu menyusun laporan pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengawasan ini lazimnya dilakukan instansi pemerintahan dengan membentuk suatu organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara. Konsep pengawasan ini dibutuhkan dengan maksud agar penyimpangan pelaksanaan anggaran lebih cepat diatasi oleh unit intern yang dekat dengan organisasi tersebut.

Di dalam organisasi pemerintahan negara, Presiden yang dibentuk kabinet menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Salah satu pelaksanaan pemerintahan tersebut adalah melaksanakan UU APBN, yang secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen Keuangan. Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang dilakukan pemerintah, dibentuk suatu badan yang khusus melakukan pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1984 tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, di dalam pemerintahan juga dibentuk berbagai aparat pengawasan fungsional pemerintah, baik di pusat seperti inspektorat jenderal pembangunan, inspektorat jenderal departemen/unit pengawasan lembaga. Juga, pengawasan fungsional pemerintahan di tingkat daerah seperti inspektorat wilayah daerah tingkat I dan tingkat II.[10]

Banyaknya lembaga pengawasan dalam struktur kelembagaan pemerintahan sebenarnya tidak mengandung efektivitas dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian disebabkan kemungkinan terjadinya tumpah tindih sangat besar yang akibat adanya, “…dalam suatu waktu yang bersamaan atau dalam jangka waktu yang dekat, dua aparat pengawasan fungsional atau lebih melakukan pemeriksaan terhadap suatu instansi/proyek tertentu dengan sasaran yang sama…”[11]

Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika terdapat pengelompokan atas dasar kewenangan unit pengawas intern yang ada. Sebab, sesuai dengan struktur pengawasan yang dianut dalam ICW 1925, di mana pelaksanaan APBN didasarkan atas administratief beheer dan comptabel beheer, maka pengawas intern akan membagi atas salah satu di antaranya atau kedua-duanya. Dengan tugas pemeriksaan yang dibedakan tersebut sebenarnya akan terdeskripsikan suatu pola pengawasan berjenjang. Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan di mana, “…aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya atau lebih makro wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah. Dengan perkataan lain, sasaran pengawasan antar-aparat pengawasan berbeda satu sama lain, tergantung mana yang lebih ekstern dan mana yang lebih intern.”[12]

Selama ini, penjenjangan pengawasan keuangan negara tampaknya belum dapat diwujudkan secara optimal disebabkan “tidak adanya kebijaksanaan pengawasan secara nasional dan tidak adanya alat yang dapat dipakai untuk melakukan koordinasi pelaksanaan pengawasan.”[13] Akan tetapi, kemudian pemerintah mengambil langkah yang sedikit maju dengan menugaskan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) untuk melakukan koordinasi pengawasan pembangunan (wasbang). Selain itu, Presiden memberikan tugas kepada Wakil Presiden untuk melakukan pengawasan pembangunan, yang salah satu bagian di antaranya adalah mengenai pengawasan keuangan negara.

Dalam hal pengawasan intern keuangan negara, kedudukan BPKP cukup potensial untuk menjalankan tugas mempersiapkan perumusan kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu juga menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan. Guna mendukung tugas BPKP tersebut, BPKP dapat melakukan pemeriksaan setempat, meminta keterangan mengenai tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan BPKP atau aparat pengawas lainnya. Juga meminta keterangan pada semua pejabat yang terkait erat dengan obyek pemeriksaan. Hasil pemeriksaan BPKP kemudian disampaikan langsung kepada menteri atau pejabat instansi yang diawasi.

Apabila ditelaah secara mendalam eksistensi pengawasan intern keuangan negara sebenarnya ditujukan pada upaya membantu presiden dalam bidang pemeriksaan dan pengendalian lingkup pemerintahan negara. Sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan, presiden tidak dapat senantiasa melakukan pengawasan. Oleh sebab itu, presiden meminta bantuan aparatur pemerintahan juga untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan. Dengan statusnya sebagai aparatur pemerintahan, yang juga aparat pengawas intern, pihaknya “tidak boleh mengeluarkan pernyataan pendapat yang dapat dijadikan dasar bagi masyarakat umum dalam mengambil suatu keputusan.”[14]

Sementara itu, berbeda dengan BPK yang menyerahkan hasil laporan pengawasannya kepada DPR, aparat pemeriksa intern pemerintahan tidak dapat menyampaikan laporan hasil pemeriksanaannya langsung kepada DPR, tetapi jika DPR berkeinginan atas hasil pemeriksaan BPKP, pemerintahlah yang menyampaikannya kepada DPR.[15] Hal demikian dimaksudkan agar dapat dibedakan posisi pemeriksaan BPK dan BPKP agar tidak terjadi kesalahkaprahan dalam proses penilaian kinerja pelaksanaan APBN oleh DPR.

D.2 Pemeriksaan Ekstern
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian tidak mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara obyektif aktivitas pemerintah.

Dalam menjalankan tugas pengawasan keuangan negara, beberapa pandangan dikemukakan bahwa BPK tidak selayaknya melakukan kontrol atas semua bentuk keuangan negara, termasuk di dalamnya kekayaan negara. Akan lebih bermakna jika BPK melakukan fungsi pengawasan keuangan yang bersifat “makro strategis” yang mempunyai dampak sosial ekonomis yang luas.”[16] Konsekuensinya, BPK tidak perlu bersusah payah melakukan pengawasan keuangan negara dengan rentang yang tidak terbatas. Akan tetapi, cukup pada pengujian atas hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan aparat intern pengawas pemerintah dan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN.

Hasil pemeriksaan BPK yang ‘diberitahukan’ kepada DPR, sebenarnya mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian istilahnya. Dengan demikian, perlu ada perubahan kata ‘diberitahukan’ menjadi ‘dilaporkan’ kepada DPR.[17] Hal demikian juga akan membawa dampak psikologis kepada DPR untuk segera menindaklanjuti temuan pemeriksaan dan pengawasan BPK, sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan tindak lanjut ini dilakukan secepat mungkin untuk menyelesaikan masalah dan mencegah penyimpangan yang akan merugikan posisi keuangan negara. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi terjadinya penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum.

CATATAN KAKI;
[1]Koordinasi pengawasan pada Kabinet Pembangunan VII (Maret-Mei 1998) dan kabinet Reformasi Pembangunan (Mei 1998-Oktober 1999), diserahkan kepada Menteri koordinator yang khusus menangani pengawasan pembangunan dan aparatur negara, yaitu Menko Wasbang dan PAN.
[2]Sumosudirjo, Op.cit., hal. 216.
[3]Sekretariat Jenderal BPK, Op.cit., hal. 88.
[4]Sumosudirjo, Op.cit., hal. 218.
[5]Ibid., hal. 216.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Mengenai penyebutan tingkat I dan tingkat II sejalan dengan dibentuknya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah tersebut dihapuskan. Dengan demikian, nama inspektorat wilayah daerah tingkat I dan tingkat II menjadi inspektorat daerah propinsi dan inspektorat daerah kabupaten/kotamadya.
[11]Gandhi, Op.cit., hal. 46. Lebih lanjut disampaikan bahwa tumpang tindih dalam pelaksanaan pengawasan pada dasarnya merupakan pemborosan, baik ditinjau dari sudut pengawas maupun dari sudut yang diperiksa. Bahkan terdapat kemungkinan, adanya instansi yang tidak diperiksa.
[12]Dani Sudarsono, “Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan,” (makalah yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta 7 Juni 2000), hal. 2.
[13]Gandhi, Op.cit., hal. 49.
[14]Gandhi (2), “Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara,” (Makalah yang disampaikan dalam lokakarya “Reformasi Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, Jakarta, 17 Mei 2000), hal. 4.
[15]Ibid., hal. 5.
[16]Atmadja (6), Op.cit., hal. 263.
[17]Ibid.
Blog, Updated at: 23.26.00

0 komentar:

Posting Komentar