Supremasi Konstitusi Dan Negara Hukum
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno sejalan dengan perkembangan pemahaman konstitusi itu sendiri. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best)
guna mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh
hukum. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan
dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat”antara
lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan
lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum
dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.
Prinsip-prinsip
negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin
kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan
prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi
inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah
pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat
dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi
Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan
adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum,
yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam
pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi
konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku
pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.
Dengan
demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan
tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan
yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus
didasarkan atas aturan atau rules and procedures.
Namun
demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan
dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin
peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan,
sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan
ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan
penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan
beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan
bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan
prinsi negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan
manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum
yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah
negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi
konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum,
sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud
perjanjian sosial tertinggi.
Mahkamah Konstitusi
Agar
konstitusi benar-benar menjadi hukum tertinggi, maka
ketentuan-ketentuan dasar konstitusional yang menjadi materi muatannya
harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan di bawah
konstitusi. Peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat oleh
legislatif maupun peraturan pelaksana yang dibuat oleh eksekutif tidak
boleh bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.
Salah satu upaya tersebut adalah membentuk peradilan konstitusi seperti yang secara teoretis dikemukakan oleh Hans Kelsen. Kelsen
menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi
dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan
legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu
konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ
ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat
diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah
konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung seperti di Amerika Serikat.
Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara
keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat
diaplikasikan oleh organ lain.
George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut
diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal
di Amerika. Pada 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan
menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik
berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di
atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada
tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah
Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan
antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.
Walaupun demikian, keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang
ada di setiap negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat.
Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi MK seperti judicial review dalam
rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti
formil ataupun dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung
dengan kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court).
Akan
tetapi, di beberapa negara lainnya, terutama di lingkungan
negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi
demokrasi, pembentukan MK itu dapat dinilai cukup populer. Negara-negara
seperti ini dapat disebut sebagai contoh, Afrika Selatan, Korea
Selatan, Thailand, Lithuania, Ceko, dan sebagainya memandang perlu
untuk membentuk MK. Tentu tidak semua negara jenis ini membentuknya.
Republik Filipina yang baru mengalami perubahan menjadi demokrasi, tidak
memiliki MK yang tersendiri. Di samping itu, ada pula negara lain
seperti Jerman yang memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri.
Pemikiran mengenai pentingnya suatu pengadilan konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan.
Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad
Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi
kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh
Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun
pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham
trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum
banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul
kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah
menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara
dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi
konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan
sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya
lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara
yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling
mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul
desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu
ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang
(UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan
pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah
tersendiri di luar Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat
respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang
diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam,
cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi
kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945
yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9
November 2001. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia
menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada
abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi
adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang
mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji undang-undang terhadap UUD; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai “judicial review”. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “constitutional review”
atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi,
konsep “constitutional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem “constitutional review”itu tercakup dua tugas pokok, yaitu:
1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interpaly” antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.
2. Untuk
melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan
oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang
dijamin dalam konstitusi.
Sedangkan
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya
penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi
berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah
Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara
dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat
politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi
lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi
yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan
kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya
demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga
telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic politics”.
Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum,
dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum
yang demokratis (democratische reshtsstaat).
Fungsi Mahkamah Konstitusi
Secara
keseluruhan, lima kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
terkait erat dengan persoalan konstitusional, yaitu pelaksanaan
ketentuan dasar UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wewenang memutus pengujian konstitusionalitas undang-undang menjamin
bahwa undang-undang yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara benar-benar merupakan pelaksanaan dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, menjamin mekanisme
ketatanegaraan yang dijalankan oleh setiap lembaga negara dan hubungan
antarlembaga negara dilaksanakan sesuai ketentuan UUD 1945.
Wewenang
selanjutnya adalah memutus pembubaran partai politik. Partai politik
adalah salah satu bentuk pelaksanaan kebebasan berserikat yang tidak
dapat dilepaskan dari jaminan kebebasan hati nurani dan kebebasan
menyampaikan pendapat. Kebebasan-kebebasan tersebut menjadi prasyarat
tegaknya demokrasi. Oleh karena itu partai politik memiliki peran
penting dalam negara demokrasi karena partai politiklah yang pada
prinsipnya akan membentuk pemerintahan. Maka keberadaan partai politik
harus dijamin dan tidak dapat dibubarkan oleh kekuasaan pemerintah. Jika
pemerintah, yang pada prinsipnya dibentuk oleh suatu partai politik,
memiliki wewenang membubarkan partai politik lain, dapat terjadi
penyalahgunaan untuk membubarkan partai politik saingannya. Dengan
demikian wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai
politik adalah untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan mekanisme
ketatanegaraan sesuai UUD 1945.
Salah
satu proses demokrasi yang utama adalah penyelenggaraan pemilihan umum.
Mekanisme ini menentukan pengisian jabatan-jabatan penting dalam
lembaga negara, yaitu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Presiden
dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Agar
hasil pemilu benar-benar mencerminkan pilihan rakyat sebagai pemilik
kedaulatan pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Salah satu wujud prinsip tersebut adalah
penyelenggaraan pemilu tidak diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi
oleh komisi tersendiri yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Selain itu, jika terjadi perselisihan hasil pemilu antara peserta dan
penyelenggara pemilu, harus diputus melalui mekanisme peradilan agar
benar-benar obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah,
peserta, maupun penyelenggara pemilu. Di sinilah pentingnya wewenang
Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil pemilu untuk menjamin
hasil pemilu benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat.
Wewenang
terakhir Mahkamah Konstitusi adalah memberi putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar. Wewenang ini di satu sisi merupakan jaminan
terhadap sistem presidensiil yang dianut UUD 1945 yang mana menghendaki
masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fix term)
dan tidak mudah dijatuhkan semata-mata karena alasan politik. Di sisi
lain, wewenang ini merupakan pelaksanaan prinsip persamaan dihadapan
hukum (equality before the law),
termasuk terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat dijatuhkan karena melakukan pelanggaran hukum
tertentu, tindak pidana berat lainnya, serta perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
setelah dibuktikan di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kelima wewenang yang dimiliki tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) hal itu sesuai dengan dasar keberadaan untuk menjaga pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penafsir konstitusiyang bersifat final (the final interpreter of the constitution).
Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi aturan
dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan
terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga
memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).
Produk
hukum di bawah UUD 1945 yang menjabarkan aturan dasar konstitusional
adalah undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Secara
hirarkis, produk hukum di bawah undang-undang merupakan dasar hukum bagi
aturan yang lebih rendah serta menjadi legitimasi hukum bagi tindakan
yang akan dilakukan oleh para penyelenggara negara. Untuk menjamin
konstitusionalitas pelaksanaan, baik dalam bentuk aturan hukum maupun
tindakan penyelenggara negara berdasarkan ketentuan undang-undang, dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang salah satunya memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Undang-undang
sebenarnya adalah juga merupakan bentuk penafsiran terhadap ketentuan
dalam konstitusi oleh pembentuk undang-undang. Namun demikian,
penafsiran tersebut dapat saja terjadi kekeliruan dan dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 oleh warga negara, lembaga negara lain,
badan hukum tertentu, atau kesatuan masyarakat hukum adat, karena
melanggar hak dan atau kewenangan konstitusional mereka. Terhadap
perbedaan penafsiran tersebut, Mahkamah Konstitusi-lah memberikan
putusan akhir dalam perkara pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Fungsi inilah yang disebut sebagai the final interpreter of the constitution.
Sebagai
bentuk kesepakatan bersama seluruh rakyat,UUD 1945 tidak hanya
melindungi kepentingan dan hak-hak mayoritas, tetapi juga melindungi
kepentingan dan hak-hak kelompok minoritas. Inilah salah satu prinsip
demokrasi modern yang menyeimbangkan antara pemerintahan mayoritas (majority rule)
dengan perlindungan kelompok minoritas. Demokrasi akan terperosok
menjadi tirani jika semata-mata berdasarkan pada prinsip mayoritas.
Di
sisi lain, undang-undang dapat dilihat sebagai produk dari proses
politik yang lebih ditentukan oleh suara mayoritas. Hal itu dapat
dilihat dari lembaga pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden
yang menduduki jabatan tersebut berdasarkan perolehan suara dalam
pemilihan umum. Dalam proses pembuatan undang-undang juga sangat
dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat paling kuat. Oleh karena itu,
proses pembuatan dan hasil akhirnya memiliki potensi mengesampingkan
atau bahkan melanggar hak konstitusional kelompok minoritas. Apabila hal
itu terjadi, demokrasi telah terancam dan dapat tergelincir menjadi
tirani mayoritas. Di sinilah Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai
penjaga demokrasi dengan cara melindungi hak kaum minoritas (the guardian of democracy by protecting minority rights) sekaligus menjaga pelaksanaan UUD 1945 sebagai kesepakatan seluruh rakyat, bukan hanya kelompok mayoritas.
Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of the human rights) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the constitutional citizen’s rights).
Salah satu hasil perubahan UUD 1945 yang paling banyak ketentuannya
adalah terkait dengan hak asasi yang karenanya menjadi hak
konstitusional. Hak tersebut meliputi kelompok-kelompok hak yang biasa
disebut sebagai hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak
budaya, bahkan hak individu maupun hak kolektif masyarakat. Adanya
jaminan hak asasi dalam konstitusi menjadikan negara memiliki kewajiban
konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak
tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat
dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar
oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan suatu undang-undang telah
melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat dipastikan
tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional
warga negara. Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus
mencegah agar tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan
yang melanggar hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi juga
berwenang memutus perkara pembubaran partai politik yang dimaksudkan
agar pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang membubarkan partai
politik yang melanggar hak berserikat yang terkait erat dengan hak atas kebebasan nurani dan kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945.
0 komentar:
Posting Komentar