Definisi Komunikasi Organisasi Pace dan Faules

Posted By frf on Sabtu, 18 Februari 2017 | 16.21.00

A. Landasan Konseptual
1 Komunikasi Organisasi
Definisi komunikasi organisasi Pace dan Faules dalam (Rohim, 2009:110) mengemukakan definisi komunikasi organisasi dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, perspektif tradisional (fungsional dan objektif), mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Kedua, perspektif interpretif (subjektif) memaknai komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Atau menurut perspektif ini adalah “perilaku pengorganisasian” yang terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu berinteraksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi. Jadi, dalam pengertian ini komunikasi organisasi dapat dimaknai dari dua perspektif yang berbeda. Sebagai penafsiran pesan di antara unit-unit dan sebagai proses penciptaan makna atas interaksi.

Komunikasi organisasi menurut Deddy Mulyana, merupakan komunikasi terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan juga informal, dan berlangsung dalam jaringan yang lebih besar daripada komunikasi kelompok. Oleh karena itu, organisasi dapat diartikan sebagai kelompok dari kelompok-kelompok. Komunikasi organisasi sering melibatkan komunikasi diadik, komunikasi antarpribadi. Komunikasi formal adalah komunikasi menurut struktur organisasi yakni komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, dan komunikasi horisontal, sedangkan komunikasi informal tidak bergantung pada struktur organisasi, seperti komunikasi antarsejawat, juga termasuk selentingan dan gosip (Mulyana, 2007 : 83).

1.1 Konsep Komunikasi Organisasi
Goldhaber dalam (Romli, 2014:13) mengatakan bahwa “organizational communications is the process of creating and exchanging messages within a network of interdependent relationship to cope with environmental uncertainty”. Jadi, berdasarkan definisi tersebut komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan dan diberi batasan sebagai arus pesan yang sifat hubungannya saling bergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau selalu berubah-ubah.

Ronald Adler dan George pada understanding human communication dalam (Rohim, 2009:111) menguraikan masing-masing fungsi dari dua arus komunikasi dalam organisasi. Pertama adalah downward communication. Komunikasi ini berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tatanan manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah diantaranya pemberian atau penyampaian intruksi kerja, penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu untuk dilaksanakan, penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku dan pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.

Sedangkan upward communication terjadi ketika bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah penyampaian informasi tentang pekerjaan ataupun tugas yang sudah dilaksanakan, penyampaian informasi tentang persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahan, penyampaian saran-saran perbaikan dari bawahan, penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya sendiri maupun pekerjaanya.

Arus komunikasi berikutnya adalah horizontal communication. Tindak komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang sama. Fungsi arus komunikasi horisontal diantaranya untuk memperbaiki koordinasi tugas, sebagai upaya pemecahan masalah, saling berbagi informasi, sebagai upaya memecahkan konflik, dan membina hubungan melalui kegiatan bersama.

1.2 Arah Aliran Informasi Organisasi
Arah Aliran Informasi dalam Organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Pace dan Faules (2010 : 184) sebagai berikut:
1. Komunikasi ke Bawah
Komunikasi ke bawah dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Katz dan Kahn dalam ( Pace dan Faules, 2010:185) mengemukakan ada lima jenis informasi yang biasanya dikomunikasikan dari atasan kepada bawahan:
(1) Informasi mengenai bagaimana melakukan pekerjaan, (2) Informasi mengenai dasar pemikiran untuk melakukan pekerjaan, (3) informasi mengenai kebijakan dan praktik-praktik organisasi (4) informasi mengenai kinerja pegawai dan (5) informasi untuk mengembangkan rasa memiliki tugas (sense of mission).

2. Komunikasi ke atas
Komunikasi ke atas dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (Pace dan Faules, 2010:189). Pentingnya komunikasi ke atas sebagaimana diungkapkan karena beberapa alasan:
  1. Sharma dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan aliran informasi ke atas memberi informasi berharga untuk pembuatan keputusan oleh mereka yang mengarahkan organisasi dan mengawasi kegiatan orang-orang lainnya.
  2. Planty dan Machaver dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan komunikasi ke atas memberitahukan kepada penyelia kapan bawahan mereka siap menerima informasi dari mereka dan seberapa baik bawahan menerima apa yang dikatakan kepada mereka.
  3. Conboy dalam (Pace dan Faules, 2010:190), mengemukakan komunikasi ke atas memungkinkan- bahkan mendorong omelan dan keluh kesah ke permukaan sehingga penyelia tahu apa yang mengganggu mereka yang paling dekat dengan operasi-operasi sebenarnya.
  4. Planty dan Machaver dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan komunikasi ke atas menumbuhkan apresiasi dan loyalitas ke pada organisasi dengan memberi kesempatan kepada pegawai untuk mengajukan pertanyaan dan menyumbang gagasan serta saran-saran mengenai operasi organisasi. 
  5. Planty dan Machaver dalam (Pace dan Faules, 2010:190), mengemukakan komunikasi ke atas mengizinkan penyelia untuk menentukan apakah bawahan memahami apa yang diharapkan dari aliran informasi ke bawah.
  6. Harriman dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan komunikasi ke atas membantu pegawai mengatasi masalah pekerjaan mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dengan pekerjaan mereka dan dengan organisasi tersebut.
3. Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu-individu yang ditempatkan pada tingkat otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama (Pace dan Faules, 2010:190). Tujuan Komunikasi Horizontal diantaranya untuk mengkoordinasikan penugasan kerja.


Para anggota saling bertemu untuk mengkoordinasikan pembagian tugas, untuk berbagi informasi mengenai rencana dan kegiatan. Bila gagasan dari beberapa orang menjanjikan hasil yang lebih baik daripada gagasan satu orang, komunikasi horisontal menjadi amat penting. Selain itu untuk memecahkan masalah, untuk memperoleh pemahaman bersama.

Kemudian untuk mendamaikan, berunding dan menengahi perbedaan dimana individu-individu sering mengembangkan pilihan dan prioritas yang akhirnya menimbulkan ketidaksepakatan. Maka, komunikasi horisontal di antara para pegawai merupakan hal pokok dalam mendamaikan perbedaan. Serta untuk menumbuhkan dukungan antarpersonal dimana komunikasi horizontal bertujuan untuk memperkuat ikatan dan hubungan antarpersonal, membina hubungan antar pegawai dan menciptakan unit kerja yang padu (Pace dan Faules, 2010 : 196).

Metode Komunikasi Horizontal
Komunikasi horisontal paling sering terjadi dalam rapat komisi, interaksi pribadi, selama waktu istirahat, obrolan di telepon, memo, dan catatan, kegiatan sosial dan lingkaran kualitas. Lingkaran kualitas adalah sebuah kelompok pekerja sukarela yang berbagi wilayah tanggung jawab. Para anggota kelompok mengadakan pertemuan setiap minggu untuk berdiskusi, menganalis, dan mengemukakan gagasan untuk menyempurnakan pekerjaan mereka. Hambatan-hambatan pada komunikasi horisontal banyak persamaannya dengan hambatan yang mempengaruhi komunikasi ke atas dan komunikasi ke bawah. Ketiadaan kepercayaan di antara rekan-rekan kerja, perhatian yang tinggi pada mobilitas ke atas, dan persaingan dalam sumber daya dapat mengganggu komunikasi pegawai yang sama tingkatnya dalam organisasi dengan sesamanya (Pace dan Faules, 2010:197).

1.3 Komunikasi Kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama (adanya saling ketergantungan), mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka bagian dari kelompok tersebut, meskipun misalnya adalah keluarga, tetangga, kawan-kawan terdekat, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dengan demikian, komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil, jadi bersifat tatap muka. Umpan balik dari seorang peserta dalam komunikasi kelompok masih bisa diidentifikasi dan ditanggapi langsung oleh peserta lainnya (Mulyana, 2007:82).

Komunikasi kelompok adalah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka di mana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lain. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan pula komunikasi antarpribadi. (Rohim, 2009:87) . Little John dalam (Mulyana, 2007:82) menyatakan bahwa komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan juga komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.

1.4 Komunikasi Informal
Informasi informal atau personal muncul dari interaksi di antara orang-orang, informasi ini tampaknya mengalir dengan arah yang tidak dapat diduga, dan jaringannya digolongkan sebagai selentingan (grapvine) (Pace dan Faules 2010:199). Komunikasi informal, bagaimanapun juga, adalah bagian penting dari aliran komunikasi organisasi, bentuk-bentuk komunikasi ini timbul dengan berbagai maksud yang meliputi: pemuasan kebutuhan-kebutuhan manusiawi, seperti kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh yang monoton atau membosankan, pemenuhan keinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, serta pelayanan sebagai sumber informasi hubungan pekerjaan yang tidak disediakan saluran-saluran komunikasi formal.


Tipe komunikasi informal yang paling terkenal adalah “grapevine” yang cenderung dianggap merusak atau merugikan, karena tidak jarang terjadi penyebaran informasi yang tidak tepat atau menyimpang. Di sisi lain, komunikasi grapevine mrmpunyai peranan fungsional sebagai alat komunikasi tambahan bagi organisasi. Komunikasi grapevine lebih cepat, lebih akurat dan efektif dalam menyalurkan informasi. Manajer harus menyadari bahwa komunikasi informal dan grapevine tidak dapat dihilangkan. Bahkan sebaliknya manajer perlu memahami dan menggunakan grapevine sebagai pelengkap komunikasi formal (Romli, 2014:192-193).

B. Teori Sistem ( Teori Komunikasi Organisasi)
Scott dalam (Pace dan Faules) menyatakan bahwa “satu-satunya cara yang bermakna untuk mempelajari organisasi adalah sebagai suatu sistem” (Pace dan Faules, 2010: 63). Ia mengemukakan bahwa bagian-bagian penting organisasi sebagai sistem adalah individu dan kepribadian setiap orang dalam organisasi; struktur formal, pola interaksi, pola status dan peranan yang menimbulkan pengharapan-pengharapan dan lingkungan fisik pekerjaan. Jadi, dalam penelitian ini, gaya kepemimpinan yang termasuk dalam sebuah peranan yang menimbulkan pengharapan-pengharapan dan merupakan bagian penting dalam organisasi.

Proses penghubung utama dalam bagian-bagian tersebut adalah komunikasi. Konsep sistem berfokus pada bagian-bagian dan dinamika hubungan yang menumbuhkan kesatuan atau keseluruhan. Setiap pembahasan mengenai sistem menyangkut interdependensi.

Interdependensi menunjukan bahwa terdapat kesalingbergantungan di antara komponen-komponen suatu sistem. Suatu perubahan dalam suatu komponen membawa perubahan pada setiap komponen lainnya. Pemahaman atas konsep interdependensi ini merupakan bagian integral dari pendefinisian sistem dan teori sistem (Pace dan Faules, 2010: 63). Penggunaan teori sistem dalam penelitian ini didasarkan pada adanya kesalingtergantungan antara pimpinan dan bawahan dan bawahan kepada pemimpin dalam divisi Humas dalam hal penyelesain tugas, kerja sama dan sebagainya.

1 Teori Sistem Sosial Katz dan Kahn
Katz dan Kahn dalam (Pace dan Faules, 2010 : 66) menyatakan bahwa “Hubungan-hubungan antara orang-orang, bukan orang-orang itu sendiri, memungkinkan suatu organisasi bertahan jauh lebih lama daripada orang-orang biologis yang menduduki jabatan-jabatan dalam organisasi”. Maksud dari pernyataan ini adalah hubungan di antara orang-orang dalam suatu organisasi penting dibandingkan dengan hubungan yang berdasarkan jabatan-jabatan atau hubungan secara prosedur formal. Katz dan kahn menerangkan bahwa kebanyakan interaksi dengan orang lain merupakan tindakan komunikatif. Mereka menyatakan bahwa adalah mungkin untuk menggolongkan bentuk-bentuk interaksi sosial seperti “Penggunaan kerja sama, pengaruh, penularan sosial atau peniruan, dan kepemimpinan ke dalam konsep komunikasi” (Pace dan Faules, 2010; 66).

Jadi, pada pandangan ini komunikasi dianggap sebagai proses penghubung utama dalam organisasi. Dan dinyatakan bahwa salah satu bentuk interaksi sosial yaitu kepemimpinan. Dalam penelitian mengenai aliran informasi vertikal dan horizontal dalam divisi humas ini, tentunya komunikasi merupakan proses penghubung yang juga penting dan di dukung oleh salah satu bentuk interaksi sosial yaitu kepemimpinan.

Hawes dalam (Pace dan Faules, 2010: 67) mengatakan bahwa “Suatu kolektivitas sosial adalah perilaku komunikatif yang terpolakan, perilaku komunikatif tidak terjadi dalam suatu jaringan hubungan tetapi merupakan jaringan itu sendiri”. Maksud pernyataan ini adalah perilaku komunikatif berupa komunikasi adalah organisasi itu sendiri. Daniel Katz bersama-sama dengan Herbert A. Simon, Robert L. Kahn dan James G.Miller merupakan figur utama dalam aliran perilaku organisasi dengan pendekatan sistem.

Pendekatan sistem khususnya memusatkan perhatian pada sistem terbuka (Open Sistem). Katz dan Khan dalam (Romli, 2014:51-52) memaparkan bahwa suatu sistem terbuka memiliki batas-batas yang fleksibel yang memungkinkan komunikasi mengalir dengan mudah ke dalam dan keluar organisasi. Dalam pendekatan ini, komunikasi ditempatkan sebagai sesuatu yang penting. Komunikasi dalam organisasi menghubungkan beberapa subsistem. Ditemukannya peran penting komunikasi membawa dukungan yang tinggi pada penampahan informasi sebagai jalan keluar untuk banyak masalah organisasi. Komunikasi yang makin meningkat dan makin baik, merupakan slogannya (Romli, 2014:51-52).

Penelitian ini menggunakan teori sistem sosial katz dan kahn karena dalam teori ini disebutkan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial seperti “Penggunaan kerja sama, pengaruh, penularan sosial atau peniruan, dan kepemimpinan ke dalam konsep komunikasi” (Pace dan Faules, 2010; 66). Terdapat kepemimpinan sebagai salah satu bentuk interaksi sosial dalam konsep komunikasi. Selain itu teori sistem yang memusatkan perhatian pada sistem terbuka dengan slogan “komunikasi makin meningkat dan makin baik” sesuai dengan peran pemimpin dalam pendistribusian pesan kepada bawahan guna mendukung aliran informasi vertikal dan horisontal.

C. Public Relations
Definisi public relations menurut (British) Institute of Public Relations “PR adalah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik (goodwill) dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya” (Jefkins, 2004:9). Menurut Jefkins “PR adalah semua bentuk komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun keluar, antara suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian” (Frank Jefkins, 2004:10). Oxley dalam (Iriantara, 2004:17) mengemukakan tujuan kegiatan PR adalah “mengikhtiarkan dan memelihara saling pengertian antara organisasi dan publiknya”. Dimana menurut Lesly dalam ( Iriantara, 2004:17), tujuan PR salah satunya adalah good will karyawan atau organisasi.

1 Khalayak Public Relations
“Khalayak (Public) adalah kelompok atau orang-orang yang berkomunikasi dengan suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal” (Jefkins, 2004:81).

Dalam penelitian ini, akan berfokus pada khalayak utama yaitu manajemen atau pimpinan dan bawahan atau anggota suatu divisi perusahaan/organisasi. Berdasarkan adanya dua jenis publik bagi suatu badan atau perusahaan maka tujuan Public Relations pun diarahkan melalui dua macam tugas, yaitu dikenal dengan sebutan Public Relations Internal dan Public Relations Eksternal. Pada penelitian ini, akan berfokus pada Public Relations Internal. PR Internal penting untuk memastikan komunikasi antara pimpinan atau atasan dengan bawahan terjalin dengan akrab dan tidak kaku serta meyakini rasa tanggung jawab akan kewajibannya terhadap perusahaan.

2 Internal Public Relations 
J Jefkins (2004 : 195) mengemukakan tingkat efektivitas PR internal sangat dipengaruhi oleh hal pokok yaitu keterbukaan pihak manajemen serta kesadaran dan pengakuan pihak manajemen akan nilai dan arti penting komunikasi dengan para pegawai (Jefkins, 2004 : 195). PR harus menyadari bahwa sikap, sifat, tingkah laku dan perbuatan pimpinan dan bawahan dapat mempengaruhi nama baik instansi atau perusahaan di mana mereka bekerja. Dengan kesadaran tersebut diharapkan muncul kegairahan kerja dari para pegawainya. Keadaan demikian dapat diciptakan apabila perusahaan memperhatikan kepentingan pegawainya baik secara ekonomi, sosial maupun secara psikologis (Suhandang, 2004:73-74). Keserasian hubungan di antara para anggota dalam divisi, baik vertikal maupun horizontal diharapkan akan memperkuat tim kerja dalam perusahaan. Adapun yang dapat dilakukan PR Internal perusahaan untuk menciptakan keadaan tersebut salah satunya dengan penghargaan terhadap para pegawai yang menunjukkan prestasi, baik dalam kerja sehari-hari maupun dalam kegiatan lainnya yang menguntungkan perusahaan, seyogianya diberikan hadiah-hadiah atau penghargaan-penghargaan.


Hal demikian dapat merangsang para pegawai lainnya (rekan sekerja) untuk berusaha meniru akan berbuat seperti pegawai yang terbaik itu (Suhandang, 2004:73-74). Suhandang (2004:191) menyatakan Public Relations harus berusaha menciptakan iklim pergaulan kerja yang di dalamnya terdapat : pergaulan yang luwes dan tidak kaku di antara mereka, penyampaian informasi yang jelas dan tepat, kesadaran bahwa semua tugas sama pentingnya, saling percaya satu sama lain. Adapun komunikasi ke atas sering mengalami hambatan antara lain karena adanya perbedaan kedudukan/pangkat, pendidikan. Merupakan kewajiban Public Relations untuk menembus hambatan-hambatan itu. Sebab, kurangnya komunikasi dari bawah ke atas dapat mengakibatkan pimpinan akan kehilangan partisipasi bawahan, ide bawahan yang bermanfaat tak dapat dikembangkan, pimpinan akan buta terhadap permasalahan dan pendapat bawahan, serta kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk menilai dan menentukan suatu keputusan atau peraturan. Sebaliknya, komunikasi yang diadakan pimpinan berpengaruh besar kepada para karyawannya. Keharmonisan dari komunikasi dapat diusahakan PR melalu cara yang formal dan informal seperti rapat-rapat, diskusi, pertandingan-pertandingan, darmawisata, dan sebagainya (Suhandang, 2004:191). Keberhasilan departemen PR akan didasarkan pada kerja sama tim yang dibentuk dan proses-proses yang diletakkan untuk memastikan adanya tujuan, motivasi dan organisasi (Beard, 2004:100).

3. Hubungan Public Relations dengan Human Relations
Di dalam suatu perusahaan relasi humanis penting artinya untuk menumbuhkan suatu group feeling di kalangan para pegawainya, dari tingkat bawah sampai pada tingkat pimpinan. Dengan perasaan segolongan, atau group loyalty, maka semua pegawai dari perusahaan itu akan selalu menjaga, memelihara, dan memupuk nama baik perusahaannya. Suasana demikian akan tercapai bila ada hubungan internal yang harmonis di antara mereka, dengan kata lain, muncul hubungan yang manusiawi atau relasi antar menusia di antara mereka, atau adanya hubungan kemanusiaan yang didasari oleh: Harga menghargai satu sama lain, pergaulan yang tidak kaku, pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan , kecakapan dan kemampuan masing-masing serta jaminan kesejahteraan yang wajar (Suhandang, 2004 : 186-187).

Mengenai relasi manusiawi dalam suatu lingkungan pekerjaan, Keith Davis melalui Human Relations at Work dalam (Suhandang, 2004 : 187) menyatakan bahwa “from the view point of a manager who has responsibility for leading a group, human relations is the interactions of people into a work situation that motivates them to work together productively, cooperatively, and with economic, psychological, and social satisfactions”.

Dari pengertian tersebut maka ditinjau dari sudut pimpinan yang bertanggung jawab dalam hal memimpin kelompoknya, human relations merupakan interaksi antara orang-orang ke dalam suatu kerja yang mendorong mereka untuk bekerja secara produktif, kooperatif, sehingga memperoleh kepuasan secara ekonomi, psikologi, dan sosial.

D. Kepemimpinan
Beberapa definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli :
Stephen P. Robbins dalam (Fahmi, 2012 : 15) mengatakan, kepemimpinan adalah “kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan”.

Ricky W. Griffin dalam (IFahmi, 2012 : 15) mengatakan, pemimpin adalah “Individu yang mampu mempengaruhi perilaku orang lain tanpa harus mengandalkan kekerasan, pemimpin adalah individu yang diterima orang lain sebagai pemimpin”. 

Fahmi (2012:16) mengemukakan “pemimpin dan kepemimpinan dilihat sebagai suatu kesatuan. Seorang pemimpin harus mempunyai jiwa kepemimpinan” (Fahmi, 2012:16).

Lindgren dalam (Suhandang, 2004: 200) mengemukakan pemimpin yang efektif adalah “ leadership which helps the members of a group or organization to meet their individual needs and to achieve the purpose that brought them together”. 

Berdasarkan pengertian Lidgren di atas, disebutkan bahwa kepemimpinan yang membantu anggota kelompok untu mencapai kebutuhan pribadi dan meraih tujuan kelompok secara bersama-sama. Hersey dan Blanchard dalam (Romli, 2014: 107-108) memformulasikan tugas pimpinan yang perlu dijalankan adalah telling, selling, participating dan delegating. 

Pertama, telling. Pemimpin perlu mendifinisikan secara mudah dan menjelaskan peran atau tugas yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas kepada bawahan. Dengan demikian karyawan tidak menemukan kebingungan dan salah arah dalam menyelesaikan aktifitas organisasi.

Kedua, selling. Pemimpin disini perlu memberikan petunjuk yang jelas bagaimana organisasi harus dijalankan serta memberikan dukungan yang dapat memacu produktifitas. Ketiga, participating. Dalam kegiatan organisasi antara pimpinan dan bawahan harus terjalin kerjasama baik. Keduanya berbagi informasi, pandangan, pengalaman untuk memutuskan langkah terbaik yang dapat ditempuh dalam rangka meraih kualitas yang prima. 

Keempat, delegating. Dalam prinsip ini pemimpin harus seminimal mungkin mengambil peran dalam pengambilan keputusan teknis. Dalam memutuskan operasioanl yang perlu dilakukan maka pimpinan perlu memberikan arahan dan dukungan secara personal kepada bawahan untuk dapat memutuskannya (Romli, 2014:107-108).

1 Gaya Kepemimpinan
Gaya merupakan sikap, gerakan, tingkah laku sikap yang elok, gerak gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Sedangkan gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang (Rivai dan Mulyadi, 2012 : 42).

Kepemimpinan yang baik adalah keinginan untuk mendengar, dan kepemimpinan yang baik (good leadership) adalah kunci keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi. Kepemimpinan yang baik juga memberi kebebasan pada orang untuk mengemukakan pendapat, tidak melihat jabatan atau posisi orang tersebut (Mulyana, 2004: 186).

E. Teori Empat-Sistem
Likert dalam (Pace dan Faules, 2010: 287-288) mengungkapkan salah satu teori gaya kepemimpinan yang dikemukakan Likert (1967). Terdapat empat gaya atau sistem manajerial. Likert membagi gaya manajerial tersebut sebagai berikut :
1) Penguasa mutlak
Gaya ini berdasarkan pada asumsi Teori X McGregor. Manajer atau pemimpin memberi bimbingan sepenuhnya dan pengawasan ketat pada pegawai dengan anggapan bahwa cara yang terbaik untuk memotivasi pegawai adalah dengan memberi rasa takut, ancaman dan hukuman. Interaksi atasan-bawahan amat sedikit; semua keputusan berasal dari atas dan komunikasi ke bawah semata-mata berisi instruksi dan perintah.

2) Penguasa semi-mutlak
Gaya ini pada dasarnya bersifat otoritarian, tetapi mendorong komunikasi ke atas untuk ikut berpendapat maupun mengemukakan keluhan bawahan; namun interaksi di antara tingkatan-tingkatan dalam organisasi dilakukan melalui jalur resmi. Komunikasi yang terjadi jarang bersifat bebas dan terus terang.

3) Penasihat
Gaya ini melibatkan interaksi yang cukup sering pada tingkat pribadi sampai tingkat moderat, antara atasan dan bawahan dalam organisasi. Informasi berjalan baik ke atas maupun ke bawah, tetapi dengan sedikit penekanan pada gagasan-gagasan yang berasal dari atas. Manajer menaruh kepercayaan besar, meskipun tidak mutlak dan keyakinan kepada bawahan.

4) Pengajak Serta
Gaya ini amat sportif, dengan tujuan agar organisasi berjalan baik melalui partisipasi nyata pegawai. Informasi berjalan ke segala arah, dan pengendalian dijalankan di setiap tingkatan. Orang berkomunikasi dengan bebas, terbuka, dan berterus terang hampir tanpa rasa takut terhadap hukuman. Secara umum, sistem komunikasi formal dan informal identik, dan ini menjamin integrasi tujuan pribadi dan tujuan organisasi yang sebenarnya.

F. Teori Kepribadian Perilaku
Pada akhir tahun 1940-an, terdapat penelitian yang mulai mengeksplorasi pemikiran bahwa bagaimana perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan seseorang. Dan ditemukan sifat-sifat, dan pengaruhnya pada prestasi dan kepuasan dari pengikut-pengikutnya. Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Riset University Of Michigan, dengan sasaran: melokasikan karakteristik perilaku kepemimpinan yang dikaitkan dengan keefektifan kinerja. Melalui penelitian mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yang berbeda, disebut sebagai job-centered yang berorientasi pada pekerjaan dan employee-centered yang berorientasi pada karyawan.

Pemimpin yang job-centered merupakan pemimpin yang berorientasi pada tugas menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melakukan tugasnya dengan menggunakan prosedur yang telah ditentukan. Pemimpin ini mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan, dan hukuman untuk mempengaruhi sifat-sifat dan prestasi pengikutnya. Perhatian pada orang dilihat sebagai suatu hal yang mewah yang tidak dapat selalu dipenuhi pemimpin. Sedangkan pemimpin yang berpusat pada bawahan, merupakan pemimpin yang mendelegasikan pengambilan keputusan pada bawahan dan membantu pengikutnya dalam memuaskan kebutuhan dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang mendukung. Pemimpin yang berpusat pada karyawan mempunyai perhatian terhadap kemajuan, pertumbuhan dan prestasi pribadi pengikutnya. Tindakan-tindakan ini diasumsikan dapat memajukan pembentukan dan perkembangan kelompok (Rivai dan Mulyadi, 2012:8).

G. Teori Kontinum
Tannenbaum dan Schmidt (1957) dalam (Pace dan Faules, 2010:288-289) meneliti pengambilan keputusan sebagai konsep utama dalam kontinum perilaku kepemimpinan mereka. Mereka mengemukakan butir-butir perilaku pada suatu kontinum, dari kepemimpinan terpusat pada atasan, kepada kepemimpinan yang terpusat pada bawahan. Ketujuh butir ini menunjukkan sifat pemimpin mulai dari mereka yang mempertahankan tingkat pengendalian ketat sampai mereka yang melepaskan kendali kepada bawahan. Kontinum ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Manajer membuat keputusan dan mengumumkannya.
  2. Manajer membuat keputusan dan menawarkannya.
  3. Manajer mengemukakan keputusannya dan memberi kesempatan untuk mempertanyakannya.
  4. Manajer mengemukakan keputusan sementara, yang masih dapat diubah.
  5. Manajer menentukan beberapa batasan dan meminta bawahan untuk membuat keputusan.
  6. Manajer mengizinkan bawahan untuk membuat keputusan.
Kerangka Pemikiran
Pada kerangka pemikiran diatas, yang pertama melihat bagaimana gaya kepemimpinan kepala divisi humas Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan berdasarkan teori empat gaya kepemimpinan yang dikemukakan Likert, yakni gaya penguasa mutlak, semi mutlak, penasihat atau pengajak serta. Kemudian, bagaimana gaya kepemimpinan tersebut dapat mendukung aliran informasi vertikal dan horizontal, dilihat melalui empat pertanyaan penelitian. Gaya Kepemimpinan menunjukkan bagaimana aliran informasi secara horizontal meliputi fungsi komunikasi horizontal dan metode komunikasi horizontal. Kemudian gaya kepemimpinan menunjukkan aliran informasi vertikal diantaranya apa saja jenis informasi vertikal (informasi dari pimpinan kepada bawahan dan informasi dari bawahan kepada pimpinan) dan juga melihat bagaimana pimpinan mengendalikan, mengarahkan, mendorong, melibatkan serta memberi ganjaran kepada bawahannya untuk dapat mengidentifikasi gaya kepemimpinan kepala divisi humas Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
Blog, Updated at: 16.21.00

0 komentar:

Posting Komentar