PENGERTIAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAM

Posted By frf on Kamis, 12 Januari 2017 | 18.06.00

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAM
Korupsi menjadi suatu istilah yang sangat trend sekarang ini, dan beritanya tidak kalah heboh dan menarinya untuk disimak, tidak kalah dengan berita-berita infotaimen yang sedang mencuat sekarang ini.
Korupsi dari dulu sudah ada dan sampai sekarang juga tetap ada. Walaupun perbuatannya sangat menakutkan, tetapi banyak yang menyukai dan malah merindukan, entah gejala dan fenomena apa yang terjadi?
Korupsi merupakan suatu perbuatan yang sangat menakutkan bagi orang yang mendengarnya. Saking menakutkannya, di setiap periode pemerintahan selalu dicanangkan upaya penegakan hukum secara konsisten dalam pemberantasan korupsi, baik korupsi yang kecil maupun korupsi yang besar (di tubuh swasta maupun tubuh pemerintah). Termasuk pada periode pemerintahan SBY sekarang ini, dapat kita lihat berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat mengungkap perbuatan-perbuatan korupsi yang telah melanda Negara ini (upaya penanggulangan telah dilakukan sejak dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer Tahun 1957 sampai dengan sekarang).

Masalah korupsi ternyata tidak hanya menjadi persoalan Negara Indonesia saja, tetapi masalah korupsi ini telah menjadi masalah dunia, hal ini dapat kita lihat dari seriusnya PBB menangani persoalan ini yaitu dengan didirikannya suatu organ PBB yang bernama Centre for International Crime Prevention (CICP) yang berkedudukan di Wina. Pengertian korupsi apabila kita lihat dari sudut pandang ruang lingkupnya, maka betul apa yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita[1] 

Korupsi diakui sebagai kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistematik dan meluas, dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkramkan seluruh tatanan social dan pemerintahan.

Selain itu juga telah secara luas mendefinisikan korupsi sebagai misusse of (public) power for privat gain. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap (bribery), penggelapan (embezzlement) penipuan (farud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktifitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interests, insider trading), nepotisme, komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commission); dan kontribusi ulang secara illegal untuk partai politik.

Korupsi yang telah berkembang sekarang ini sudah sangat pesat, baik yang sekarang telah terungkap mapun diperkirakan masih banyak yang belum terungkap. Dapat kita lihat dari berita-berita baik berita media cetak maupun berita media elektronik, ataupun kabar yang berkembang di masyarakat tentang bagaimana hebatnya korupsi yang melanda negeri ini, baik korupsi di tingkat bawah sampai korupsi di tingkat atas. Korupsi ternyata bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata, melainkan sudah menjadi persoalan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia, sehingga akibat dampak dari pelanggaran tersebut menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat secara luas, karena sebagian terbesar masyarakat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dari persoalan di atas, maka dapat kita lihat bahwa korupsi dapat dianggap sebagai perbuatan pelanggaran hak asasi manusia.

Korupsi dan Hak Asasi Manusia
Di dalam pendahuluan telah disinggung bagaimana persoalan korupsi dapat menjadi persoalan yang sangat luas, yaitu tidak hanya menjadi persoalan hukum tetapi juga telah menjadi persoalan ekonomi dan sosial bangsa, sehingga apabila itu dibiarkan dapat mengakibatkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia.

Apabila kita menilik dari semangat Deklarasi PBB tentang human right, maka di sana telah diakomodir tentang hak asasi manusia yang sangat penting, yaitu bahwa hak asasi manusia adalah[2] “Semua hak yang dibutuhkan setiap orang sebagai manusia. Secara garis besar maka hak asasi manusia dibagi atas dua rumpun, yaitu hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kedua penggolongan ini memiliki kedudukan yang sangat penting, karena sangat dibutuhkan oleh manusia”.

Apabila persoalan korupsi sekarang merupakan persoalan pelanggaran HAM, maka perlakuan terhadap perbuatan ini juga harus sama dengan perlakuan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya, walaupun perbuatannya secara langsung tidak sama dengan perbuatan pelanggaran HAM yang ada, yaitu seperti genosida, atau seperti pembunuhan masal. Tetapi dampak atau akibat dari perbuatan korupsi secara tidak langsung dan secara terus menerus (sistemik) dapat membunuh manusia, sehingga pelaku korupsi dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan luar biasa atau yang sering disebut dengan istilah pelaku Extra Ordinary Crimes.

Penanganan terhadap pelaku kejahatan yang luar biasa harus dilakukan dengan sangat luar biasa, yaitu perangkat undang-undangnya harus dapat memadai (dapat menjangkau segala perbuatan korupsi dalam berbagai jenis dan berbagai tingkatan), perangkat pelaksana undang-undangnya juga harus orang-orang yang terpilih, yaitu orang-orang yang sangat professional dalam bidang itu dan beresih dari korupsi, termasuk budaya hukumnya (kesadaran hukum masyarakat) harus dapat mendukung terlaksananya persoalan tersebut.

Indonesia sekarang ini sedang berusaha melaksanakan itu, hal itu dapat dibuktikan dengan terus dilakukannya amandemen terhadap pertauran perundang-undangan yang mengatur masalah korupsi, yaitu dari mulai perubahan terhadap Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1975 oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat AD No. PRT/PEPERPU/03/1958, selanjutnya diubah dengan UU No. 24/Prp/1960, selanjutnya diubah dengan UU No. 3 Tahun 1971, selanjutnya pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, maka Undang-undang No. 3 Tahun 1971 diubah dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagai penyempurnaan dari undang-undang di atas, maka dilengkapi dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001.

Di dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 terdapat 4 (empat) pembaruan mendasar, yaitu:[3]
  1. Tindak pidana korupsi telah dirumuskan secara formal, yaitu meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap dituntut dan diajukan ke siding pengadilan dan dapat dipidana (diberi sanksi pidana);
  2. dianutnya sistem pembuktian terbalik murni yang mewajibkan kepada terdakwa di muka siding pengadilan untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil korupsi. Jika ia dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil korupsi, dan hakim yakin atas bukti-bukti yang diajukannya, maka terdakwa dibebaskan. Sebaliknya jika ia tidak dapat membuktikannya dan hakim yakin bahwa terdakwa bersalah atas perbuatannya, maka ia dijatuhi pidana yang bervariasi,paling singkat 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun, dan paling lama antara 10 tahun atau 15 tahun atau pembuktian menurut KUHP yang selama ini dianut dalam proses peradilan pidana kurang lebih 20 tahun yang lalu; 
  3. Pemberian uang di atas jumlah tertentu (Rp. 10.000.000,-) harus dianggap suap, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam kaitan ini maka perbuatan suap sudah merupakan delik formil.
  4. Penyitaan atas harta kekayaan terdakwa dapat dilaksanakan baik sebelum maupun sesudah dijatuhkannya putusan pengadilan dan tidak dibatasi oleh masa daluwarsa.
Selanjutnya di tingkat perangkat pelaksana undang-undang, maka sekarang telah dibentuk suatu lembaga penyidik tindak pidana korupsi, yang memiliki wewenang sebagai petugas penyidik dan penuntut pelaku tindak pidana yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan yang terakhir yang harus diperhatikan adalah budaya hukum, hal ini sangat penting dikarenakan bahwa penanggulangan korupsi tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dan kesadaran hukum masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Sudarto,bahwa:[4] 

Suatu clean government dimana tidak terdapat atau setidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bias diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu hukum pidana dengan sanksi yang tajam. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya. 

Penutup
Korupsi sudah menjadi bagian dari persoalan negara Indonesia, dan tidak hanya tugas pemerintah untuk memberantasnya, tetapi tugas kita semua, karena perbuatan korupsi sudah melanggar hak asasi kita sebagai manusia.

Daftar Pustaka;
  1. Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta Rineka Cipta, 1991
  2. Bardawi Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.
  3. ----------------------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998.
  4. Romli Atmasasmita, Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Makalah Kuliah Umum Semester Genap 2003/2004 Fakultas Hukum Unpas, Bandung, 2004.
  5. ----------------------------, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional Jilid ke 2, Jakarta, IKAPI, 2004.
*) Sekretaris Program Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpas

[1] Romli Atmasasmita, Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Makalah Kuliah Umum Semester Genap 2003/2004 Fakultas Hukum Unpas, Bandung, 2004, hlm. 1
[2] Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Jawa Barat, Hak Asasi manusia (Seri Bacaan Hak Asasi Manusia), Bandung, 2003, tanpa halaman.
[3] Romli Atmasasmita, Op. Cit. hlm. 5.
[4] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 87.
Blog, Updated at: 18.06.00

0 komentar:

Posting Komentar