TERMINOLOGI BIROKRASI

Posted By frf on Selasa, 08 November 2016 | 15.54.00

TERMINOLOGI BIROKRASI 
Dari berbagai pengertian birokrasi, kesemuanya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: pertama, birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau rationality) seperti terkandung dalam pengertian Hegelian Bureaucracy dan Weberian Bureaucracy; Kedua, birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (bureau pathology) seperti terkandung dalam pengertian Marxian Bureaucracy; dan ketiga, birokrasi dalam pengertian netral (value free), artinya tidak terkait dengan pengertian baik atau buruk. 

Birokrasi dalam pengertian bureau rationality terungkap dari pemikiran Max Weber tentang konsep tipe ideal birokrasi. Namun kritikan terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana pengaruh politik terhadap birokrasi, kurang dikenal dalam konsep birokrasi Weberian. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara rasional dijalankan. Menurut Weber, tipe ideal birokrasi sebagaimana dirangkum oleh Martin Albrow memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) Adanya suatu struktur hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi, (2) Adanya serangkaian posisi-posisi jabatan, yang masing-masing memiliki tugas dan tanggungjawab yang tegas, (3) Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggotanya, (4) Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang di dasarkan pada kualifikasi dan penampilan (Santoso, 1997:18). 

Penekanan Weber terhadap rasionalitas sebenarnya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kehidupan Max Weber pada saat itu. Rasionalitas yang dicerminkan dengan susunan hierarki adalah khusus merupakan kebutuhan yang amat mendesak saat itu. Dengan demikian ukuran rasionalitas amat berbeda dengan kriteria organisasi zaman sekarang ini yang kondisinya tidak sama dengan zaman Max Weber. 

David Beetham (1975), seperti dikutip Thoha (2003), menyatakan bahwa Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya. Tiga elemen itu antara lain: pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis (technical instrument). Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat (inherent tendency) pada penerapan fungsi sebagai instrumen teknis tersebut. Ketiga, pengembangan dari sikap ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok masyarakat yang partikular. Dengan demikian birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari klas sosial yang partikular tersebut (Thoha, 2003:19). 

Elemen kedua dan ketiga dari birokrasi Weberian di atas, mengandung pandangan Weber terhadap peranan politik dalam birokrasi. Ada faktor politik yang bisa mempengaruhi proses tipe ideal birokrasi. Kehidupan birokrasi tampaknya sudah diperhitungkan tidak mungkin dipisahkan dari politik. Pandangan itu, selama ini kurang diperhitungkan oleh para pakar administrasi publik yang lebih banyak memberikan perhatian kepada elemen pertama. Keadaan seperti ini dalam beberapa hal bisa mendistorsi teori birokrasi Weberian. 

Birokrasi Weberian selama ini banyak diartikan sebagai fungsi sebuah biro. Suatu biro merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Ia merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. Seorang pejabat birokrat tidak seyogyanya menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi poliitik dan menjadi wewenang pejabat politik yang menjadi masternya. Dengan demikian setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan penggerak sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi. Dalam kaitan ini maka setiap pejabat pemerintah tidak mempunyai tanggungjawab publik kecuali pada bidang tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggungjawab sebagai mesin itu dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan (Thoha, 2003:20-21). 

Pemikiran seperti ini menjadikan birokrasi pemerintah bertindak sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu. Negara bisa mewujudkan tujuan-tujuannya melalui mesin birokrasi yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Aspek netralitas dari fungsi birokrasi pemerintah dalam pemikiran Weber dikenal sebagai konsep konservatif dari para pemikir di zamannya. Weber hanya ingin lebih meletakkan birokrasi itu sebagai sebuah mesin ketimbang dilihat sebagai suatu organisme yang mempunyai kontribusi terhadap kebulatan organik sebuah negara (Thoha, 2003:21). 

Konsep Weber tentang tipe ideal birokrasi dapat ditelusuri akarnya pada pandangan filsafat Hegel yang memandang negara sebagai suatu elemen netral yang seolah-olah terpisah dari kehidupan masing-masing individu warga masyarakat. Menurut Hegel, kalau warga sebuah negara dibiarkan mengatur dirinya sendiri, maka akan terjadi kekacauan karena masing-masing warga akan memperjuangkan kepentingan subyektifnya melawan kepentingan subyektif warga lainnya. Ini adalah tesis dan antitesis yang sintesisnya ditemui dalam perwujudan lembaga negara. Negara bagi Hegel merupakan penjelmaan kepentingan umum masyarakat. Kepentingan umum ini sebenarnya merupakan kepentingan warga juga, bukan sesuatu yang asing di luar individu tiap-tiap warga negara. Dengan mengikuti kepentingan umum, warga sebenarnya juga sedang membela kepentingan sendiri. Jadi kalau seorang warga patuh pada negara, orang ini sebenarnya melawan kepentingan personalnya yang subyektif. Karena itu bagi Hegel, negara merupakan “penjelmaan dari kebebasan rasional yang menyatakan dan mengenali dirinya dalam bentuk yang kongkrit dan obyektif”. Dengan demikian negara merupakan sebuah lembaga yang mengatasi dan lebih sempurna dari masyarakat. Kesempurnaan dan kekuatannya terletak di dalam kesatuan dari tujuannya yang universal dengan kepentingan khusus dari masing-masing warga, di dalam kenyataan bahwa para warga punya kewajiban-kewajiban terhadap negara dengan hak-hak yang mereka peroleh sebagai warga dari negara tersebut (Santoso, 1997:15). 

Dari uraian di atas, nampak bahwa Hegel beranggapan negara secara apriori melayani kepentingan umum, karena ia merupakan sintesis dari pertentangan-pertentangan individu yang subyektif dan tidak rasional. Dalam kenyataannya kebijaksanaan-kebijaksanaan negara seringkali hanya menguntungkan sekelompok orang dalam masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya struktur yang menjembatani antara The State yang merefleksikan kepentingan umum, dan civil society yang terdiri dari pelbagai kepentingan khusus dalam masyarakat. Inilah inti konsep Hegelian Bureaucracy, yaitu melihat birokrasi sebagai institusi yang menjembatani antara “negara” yang memanifestasikan kepentingan umum dan “civil society” yang memanifestasikan kepentingan khusus dalam masyarakat (Santoso, 1997:15-16). 

Pendapat Hegel dibantah oleh Karl Marx. Marx berpendapat bahwa negara hanyalah alat dari kelas yang berkuasa yakni kelas bangsawan di negara feodal dan kelas kapitalis di negara kapitalis. Marx melontarkan kritik terhadap pemikiran Hegel yang dianggap abstrak, yang hanya bermain dengan logika dan kemudian mau memaksakan kesimpulan-kesimpulan logika abstrak itu ke dalam kenyataan empiris. Menurut Marx, Hegel melakukan kesalahan metodologis. Seharusnya ide diperoleh dan diangkat dari kenyataan empiris, bukan sebaliknya. Karena itu, Hegel bukan melahirkan sebuah analisa tentang lembaga-lembaga tersebut. Bagi Marx, birokrasi adalah alat kelas yang berkuasa, yaitu kaum borjuis dan kapitalis untuk mengeksploitir kelas proletar. Birokrasi adalah parasit yang eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan dipergunakan untuk menghisap kelas proletar tadi. Karena eksistensi birokrasi terkait dengan “kelas”, maka setelah terjadi revolusi sosial yang memporak-porandakan kelas-kelas sosial dan terciptanya classes society bersamaan dengan itu akan lenyaplah birokrasi (Santoso, 1997:16). 

Pandangan Marx tentang birokrasi ini melahirkan model birokrasi Marxian yang memandang birokrasi sebagai bureau pathology. Birokrasi dalam pengertian bureau pathology selalu dikaitkan dengan kelambanan kerja dan prosedur yang berbelit-belit. Seringkali birokrasi dianggap sebagai organisasi yang kejam yang mempunyai peraturan yang aneh-aneh, dan sewenang-wenang dan menindas. Laski mencatat, bahwa birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana kekuasaan ada pada pejabat-pejabat negara yang “diselenggarakan sedemikian rupa sehingga merugikan atau membahayakan warga negara. Sementara itu Robert Michels melihat birokrasi sebagai suatu struktur yang mesti mengambil bentuk oligarki. Oleh karenanya, pandangan ini sering disebut sebagai the Iron Law of Oligarkhi. Pengertian lainnya tentang birokrasi juga dicatat oleh Crocier dalam penelitiannya tentang birokrasi di Perancis, sebagai ‘..organisasi birokratik…adalah suatu organisasi yang tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan-kesalahan (Santoso, 1997:18-19). 

Di samping mengandung pengertian bureau-rationality dan bureau pathology seperti diuraikan di atas, birokrasi juga dapat diartikan dalam pengertian value-free, yaitu dalam pengertian yang terbatas dan tidak terkait dalam pengertian baik dan buruk. Pengertian yang terbatas ini sejalan dengan istilah governmental bureaucracy seperti dipakai oleh Almond dan Powel (dalam Santoso, 1997:19), yaitu: The governmental bureaucracy is a group of formally organized offices and duties, linked in a complex grading subordinates to the formal role-makers (Birokrasi pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal (role makers). 

Sedangkan Lance Castles (dalam Santoso, 1997:20) dalam suatu uraiannya tentang pengertian birokrasi di Indonesia mengemukakan sebagai berikut: Bureaucracy I mean the salaried people who are charged with the function of government. The army offocers, the military bureaucracy, are of course included (Birokrasi saya maksudkan sebagai orang-orang yang bergaji yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintah. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah para pejabat tentara dan birokrasi militer). The bureaucracy of which I am speaking does not always conform to Weber’s notion of rational bureaucracy (Birokrasi yang saya maksudkan tidak selalu sesuai dengan gagasan Weber tentang birokrasi rasional). 

Sementara La Palombara (dalam Santoso, 1997:20) memberikan pengertian birokrasi dalam arti “birokrat”, ialah: The bureaucrats of major interest to us are generally those who occupy managerial roles, who are in some, directives capacity either in central agencies or in the field, who are generally described in the language of public administration as ‘middle’ or ‘top’ management ( Birokrat yang paling penting bagi kita adalah mereka yang pada umumnya menduduki peran manajerial, yang mempunyai kapasitas memerintah baik di badan-badan sentral maupun di lapangan, yang pada umumnya digambarkan dalam bahasa administrasi negara sebagai manajemen “menengah” atau :”atas”). 

Birokrasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah keseluruhan organisasi pemerintah, yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga-lembaga non departemen, baik di pusat maupun di daerah, seperti di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, maupun desa atau kelurahan. Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasarinya, birokrasi pemerintah sekurang-kurangnya dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (a) Birokrasi Pemerintah Umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai daerah, ialah propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Tugas-tugas tersebut lebih bersifat “mengatur”, atau regulative-function. (b) Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function. (c) Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah service (pelayanan) langsung kepada masyarakat (Santoso, 1997:21). 

GOVERNMENT DAN GOVERNANCE 
Pemerintah atau government pada dasarnya merupakan suatu struktur lembaga formal yang menyelenggarakan tugas keseharian negara. Dalam Black’s Law dictionary, yang disusun Henry Campbell Balck, Government didefinisikan antara lain sebagai “…an organization through which a body of people exercise political authority: the machinery by which sovereign power is exercised…”. Pertengahan tahun 1980-an telah berkembang konsep governance yang dirumuskan oleh World Bank sebagai “….the manner in which power is exercised in the management of country’s economic and social resource for development…” (dalam Harkrisnowo, 2003). United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997). 

Ada beberapa dimensi penting yang sejauh ini mencirikan apa yang disebut dengan governance. Pertama, dari dimensi kelembagaan, governance adalah sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku (multistakeholder), baik dari pemerintah maupun dari luar pemerintah. Perbedaannya dengan administrasi publik yang konvensional adalah dalam hal struktur. Administrasi publik yang konvensional cenderung mengembangkan struktur kelembagaan yang formal, memiliki hirarkhi yang ketat, dan prosedur yang rigid. Sedangkan governance cenderung mengembangkan struktur kelembagaan yang longgar dan lentur, informal, dan dapat bersifat sementara. Pola hubungan dalam governance, bahkan bisa saja berupa mekanisme, prosedur, dan jaringan. Dengan demikian governance bisa menjadi lebih responsif terhadap dinamika politik dan ekonomi yang berkembang dalam masyarakat (Dwiyanto, 2003:21-22). 

Dimensi kedua dari governance adalah nilai yang menjadi dasar dalam penggunaan kekuasaan. Dalam administrasi publik yang tradisional, efisiensi dan efektifitas menjadi nilai utama yang ingin diwujudkan. Efisiensi diperlakukan sebagai panglima dan karena itu menempati posisi yang sentral dalam administrasi publik. Gerakan administrasi negara baru (new public administration) pada tahun 1970-an telah mengkritisi hal ini dengan menawarkan nilai baru seperti keadilan sosial, kebebasan, dan kemanusiaan. Dalam governance, penggunaan kekuasaan harus didasarkan pada nilai yang jauh lebih kompleks dari efisiensi dan efektivitas atau bahkan nilai-nilai yang dulu ditawarkan oleh gerakan administrasi negara baru. Efisiensi dan efektivitas, keadilan sosial, dan demokrasi hanyalah sebagian dari nilai-nilai yang biasanya digunakan untuk menilai suatu praktik governance yang baik. Mengenai nilai yang sebaiknya digunakan sebagai dasar dalam penggunaan kekuasaan, tentu jawabannya bisa berbeda antar ruang dan waktu. Setiap bangsa tentu memiliki sejarah dan pengalaman pemerintahan yang berbeda dan menghasilkan tradisi dan nilai yang berbeda yang diakui kemanfaatannya oleh bangsa itu (Dwiyanto, 2003: 22). 

Dimensi ketiga dari governance adalah dimensi proses yang mencoba menjelaskan bagaimana berbagai unsur dan lembaga memberikan respon terhadap berbagai masalah publik yang muncul di lingkungannya. Frederickson (1997) mengatakan “governance of high complexity, both in making and implementing policy”. Ia mengatakan bahwa dalam governance terkandung semua stakeholder dari kebijakan publik yang dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, baik lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Ilmuwan-ilmuwan administrasi publik lainnya, seperti Garvey (1993), Behn (1991), dan Dilulio (1994), juga menjelaskan proses governance sebagai proses kebijakan untuk merspon masalah-masalah publik yang melibatkan banyak pelaku, pemerintah dan non pemerintah. Dalam konteks ini, governance dipahami sebagai sebuah proses di mana para pemimpin dan inovator kebijakan dari berbagai lembaga yang ada di dalam dan di luar pemerintahan mengembangkan jaringan untuk mengelola proses kebijakan publik (Dwiyanto, 2003:23-24). 

Good governance dikonsepsikan Meier (1991) sebagai cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggungjawab kepada publik (dalam Mas’oed, 1994:59). Good governance juga dikonsepsikan Khan (1996) sebagai sebuah kerangka institusional yang menyeluruh, yang di dalamnya masyarakat diizinkan untuk berinteraksi dan bertransaksi secara bebas pada semua tingkatan untuk menyalurkan aspirasi politik, ekonomi, dan aspirasi sosial mereka (dalam Moeljarto, 2000:2). Konsep ini menghendaki kesejajaran hubungan antara institusi negara, pasar, dan masyarakat, sehingga perlu ada sebuah redefinisi peran dan hubungan di antara ketiga institusi tersebut di atas yang pada akhirnya diharapkan akan memunculkan hubungan yang harmonis di antara ketiganya. Hubungan yang harmonis ini diharapkan akan menghasilkan pemerintah yang bersih dan responsif, maraknya masyarakat sipil, dan kehidupan bisnis yang bertanggungjawab (Achwan, 2000:39). 

Misi utama good governance adalah merubah wilayah politik dari arena penegasan identitas kelompok menjadi arena demokrasi. Suatu arena yang ditandai oleh semaraknya kehidupan berbagai perkumpulan atau organisasi sukarela yang menghormati prinsip universalisme dan mencintai penyelesaian konflik secara damai (Achwan,2000:39). Konsekuensinya perlu dilakukan dilakukannya pembagian kekuasaan dari pemerintah kepada lembaga-lembaga lain (pasar dan masyarakat), sehingga pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang menjalankan fungsi governing. Dalam konsep ini pemerintah hanya menjadi salah satu aktor yang diharuskan bekerjasama dengan aktor-aktor non pemerintah. Sehingga wilayah politik tidak hanya dikuasai oleh satu kelompok dan menjadi arena penegasan identitas kelompok tertentu yang berkuasa dalam pemerintahan, tetapi menjadi sebuah wilayah yang demokratis. 

Mengacu kepada pendapat Coston (1998:481), pemaknaan good governance (tata kepemerintahan yang baik) seperti di atas identik dengan democratic governance (tata kepemerintahan demokratis). Menurutnya tidak ada perbedaan antara good governance dengan democratic governance. Bahkan di antara keduanya dapat dipertukarkan. Tata kepemerintahan yang demokratis menurut gambaran Douglas Yates (dlm Thoha, 2000:10) mengandung asumsi-asumsi bahwa: (1) Terdapat banyak kelompok kepentingan yang beranekaragam, dan saling berkompetisi satu sama lainnya dalam proses politik. (2) Pemerintah seharusnya menawarkan kepada kelompok-kelompok kepentingan tersebut suatu akses dan sarana berpartisipasi. (3) Pemerintah seharusnya melakukan penyebaran pusat-pusat kekuasaan yang banyak untuk menjamin terselenggaranya desentralisasi baik vertikal maupun horizontal dan terselenggaranya proses check and balance. (4) Saling kompetisi di antara institusi pemerintah dan non pemerintah dapat menghasilkan proses bargaining dan kompromi yang sehat dan pada gilirannya nanti dapat membuahkan keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat. 

Pemerintahan yang demokratis menjalankan tata kepemerintahan secara terbuka terhadap kritik dan kontrol dari rakyatnya. Pemerintahan yang demokratis merupakan landasan terciptanya tata kepemerintahan yang baik (good governance). Tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni pemerintah (government), masyarakat (civil society), dan usahawan (business) sektor swasta (Taschereau dan Campos, 1997; UNDP, 1997). Paradigma good governance yang menekankan keseimbangan interaksi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (civil society), menurut UNDP (1997), ditandai oleh adanya karakteristik atau prinsip-prinsip: Partisipasi (Participation); Aturan Hukum (Rule of Law); Transparansi (Transparancy); Daya Tanggap (Responsiveness); Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation); Berkeadilan (Equity); Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency); Akuntabilitas (Accountability); Bervisi Strategis (Strategic Vision); dan Saling Keterkaitan (Interrelated). 

Oleh karena itu kesamaan derajat di antara komponen pemerintah, masyarakat, dan usahawan akan sangat berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Sebaliknya ketidakseimbangan konstelasi di antara ketiga komponen itu akan menghambat terciptanya tata kepemerintahan yang baik. Di dalam tatanan kepemerintahan yang baik ini, komponen masyarakat sipil (civil society) memang memperoleh peran yang utama. Namun jika peran masyarakat sipil terlalu kuat, pengalaman Indonesia di tahun 1950-an membuktikan bahwa hal itu ternyata menimbulkan situasi chaos dan anarkhi. Demikian pula sektor swasta turut berperan penting menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Namun jika peran sektor swasta melebihi dua komponen lainnya, keadaan seperti ini akan menciptakan corak sistem administrasi publik yang kolusif dan nepotis. Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah bila kekuasaan negara melebihi dua komponen tersebut. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul sistem administrasi publik yang sentralistik dan otokratis. 

BIROKRASI DAN GOOD GOVERNANCE 
Ada tiga aspek yang harus dipenuhi untuk mewujudkan good governance. Pertama, adanya kemampuan masyarakat untuk mengekspresikan pandangan mereka dan mengakses proses pengambilan keputusan secara bebas. Kedua, pemerintah harus mempunyai kapasitas untuk menterjemahkan pandangan masyarakat ke dalam sebuah rencana yang realistis dan mampu mengimplementasikannya secara efektif. Terakhir, harus ada kemampuan masyarakat dan lembaga-lembaga lain untuk membandingkan apa yang mereka kehendaki dengan apa yang telah direncanakan oleh pemerintah, dan untuk membandingkan apa yang telah direncanakan pemerintah dengan apa yang telah dilakukannya ( Tjokrowinoto, 2000:2). 

Kata kunci untuk mewujudkan good governance adalah transparansi dan akuntabilitas. Transparansi diperlukan agar aksi yang dilakukan oleh satu pihak dapat dikontrol oleh pihak lainnya, dan akuntabilitas merupakan konsekuensi yang harus ada agar transparansi tersebut menjadi bermakna. Di dalam pola hubungan yang transparan, masing-masing pihak dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan apa yang mereka perbuat kepada publik (Darwin, 2000:2). Dalam rangka itu, kewenangan haruslah terdistribusi dan ruang publik harus cukup tersedia bagi seluruh elemen masyarakat. Winarno (2000:4) seperti dikutip Muhadjir Darwin (2000:2) menyebut ruang publik sebagai suatu ruang di mana seluruh elemen masyarakat dapat terlibat dalam mendefinisikan masalah publik yang mereka hadapi, menemukan solusi terhadap masalah tersebut, bekerjasama untuk memecahkan masalah tersebut, dan melakukan proses kontrol terhadap penggunaan otoritas yang dimiliki masing-masing. 

Maka agar dapat diselenggarakan tata kepemerintahan yang demokratis, Yates menyarankan pemerintah hendaknya melakukan hal-hal berikut: (1) Menciptakan pusat-pusat kekuasaan yang berlipat ganda dengan maksud agar konsentrasi kekuasaan bisa dikontrol (check and balance). (2) Mempermudah dan membantu kepada kelompok-kelompok kepentingan untuk bisa berpartisipasi dengan cara memberikan berbagai macam akses kepada pemerintah (terutama kepada kelompok minoritas). (3) Pemerintah hendaknya mempunyai kemauan dan elemen-elemen yang kuat untuk melakukan desentralisasi. (4) Ke dalam, pemerintah harus mempunyai semangat dan terbuka melakukan kompetisi. (5) Pemerintah harus terbuka dan partisipatif yang mampu menghasilkan proses bargaining yang luas dan sehat (dlm Thoha, 2000:11). 

Mengacu kepada definisi Meier (1991:299-300) tentang good governance, dapat disimpulkan bahwa posisi strategis birokrasi dalam mewujudkan good governance merupakan suatu conditio sine qua non bagi keberhasilan pembangunan. Strategisnya posisi birokrasi dibenarkan oleh Mas’oed, yang dalam pendapatnya menyebut tiga syarat bagi tercapainya good governance yaitu: adanya peningkatan partisipasi masyarakat, adanya peningkatan akuntabilitas birokrasi publik, dan dilakukannya pengurangan peran dan anggaran belanja militer (Mas’oed, 2000:278). Demikian pula Adil Khan (dalam Tjokrowinoto, 2000:2) dalam bagian lain tulisannya menyatakan adanya kepemimpinan politik yang imajinatif disertai oleh sebuah birokrasi yang akuntabel dan efisien menjadi kunci utama terwujudnya good governance. 

Birokrasi memang menempati posisi strategis karena birokrasi tak lain adalah wujud riil dari kehadiran negara yang dapat dirasakan oleh semua orang. Sebagai suatu organisasi, birokrasi pada hakikatnya tidak hidup dalam ruang hampa. Ia tak dapat melepaskan diri dari dinamika perubahan yang terjadi di lingkungannya. Perkembangan masyarakat yang demikian cepat didorong pertumbuhan ekonomi dan dukungan globalisasi teknologi informasi, telah membuat zaman bergerak dalam dinamika yang tak terduga. Perubahan-perubahan mendasar tersebut dengan sendirinya menuntut respon atau penyesuaian diri birokrasi. Fleksibilitas birokrasi pada akhirnya akan menentukan daya tahannya dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. 

Menyikapi tuntutan bagi terwujudnya good governance, birokrasi diharapkan untuk melakukan peran-peran sebagai berikut: pertama, birokrasi diharapkan mampu menjembatani hubungan antara negara (pemerintah) dan masyarakat sipil. Peran ini menuntut birokrasi untuk: (1) mampu menyerap tuntutan kebutuhan masyarakat, merumuskannya menjadi kebijakan publik, dan mengimplementasikannya dalam bentuk pelayanan publik yang seadil-adilnya; (2) memberdayakan masyarakat sipil melalui transformasi pola interaksi pemerintah-masyarakat dari pola yang selama ini didominasi pendekatan top down menjadi pola hubungan horizontal. Kedua, birokrasi diharapkan mampu menjembatani hubungan pasar (sektor swasta) dengan masyarakat. Peran ini menuntut birokrasi untuk mampu melindungi masyarakat dari kemungkinan praktek-praktek bisnis yang tak fair yang dilakukan sektor swasta. 

Ketiga, birokrasi diharapkan mampu menjembatani hubungan antara negara (pemerintah) dan pasar (sektor swasta). Peran ini menuntut birokrasi untuk mampu melakukan intervensi ke pasar dengan pertimbangan selektif agar pasar tetap berfungsi secara sehat dan menjamin perlakuan adil atas semua pelaku usaha. Menurut Tjokrowinoto (2001:10-13), kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan hal tersebut mencakup: (1) Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar. (2) Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan terobosan (breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif. (3) Mempunyai wawasan futuristik dan sistemik. (4) Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan meminimalkan resiko. (5) Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru. (6) Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mox yang mempunyai produktivitas tinggi. (7) Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi. 
Blog, Updated at: 15.54.00

0 komentar:

Posting Komentar