Teori Internet Marketing

Posted By frf on Sabtu, 05 November 2016 | 06.14.00

Internet Marketing 
Pemasaran Internet (e-marketing) atau bisa disebut juga online marketing adalah segala usaha pemasaran suatu produk atau jasa melalui atau menggunakan media Internet atau jaringan web (World Wide Web). Web (World Wide Web) merupakan suatu layanan penyajian informasi di internet dengan menggunakan HTML (Hyper Text Markup Language). Definisi teknis dari world wide web adalah semua sumber daya dan semua pengguna di intenet yang menggunakan HTTP (Hypertext Transfer Protocol), sedangkan definisi web yang lebih luas dikemukakan oleh World Wide Web Consortium (W3C ) yaitu keseluruhan dari informasi yang dapat diakses dijaringan, perwujudan dari ilmu pengetahuan manusia. Kata e dalam e-marketing berarti elektronik (electronik) yang artinya kegiatan pemasaran yang dilaksanakan secara elektronik lewat Internet atau jaringan cyber (dunia maya). Dengan munculnya teknologi Internet dalam beberapa tahun ini, banyak istilah baru yang menggunakan awalan e-xxx, seperti halnya: e-mail, e-business, e-gov, e-society, dll.(www.wikipedia.com).

Elemen Internet Marketing (7 I’s) 
Spalter (1996), telah mengembangkan 7 elemen dasar (7 I’s) dari Internet Marketing (Online Marketing), yaitu : (1) Interconnection. Merujuk pada perkembangan jaringan distribusi baru untuk barang, jasa dan informasi melalui berbagai macam media digital yang ada sekarang. Kemampuan untuk berhubungan dengan pelanggan dalam jumlah yang banyak dengan jangkauan yang luas secara langsung sekaligus, atau bisa disebut asynchronously, merupakan perubahan sentral yang dibutuhkan dalam sudut pandang pemasaran ketika bergerak menuju online marketing, (2) Interface. Sangat penting bagi online marketer untuk membuat website yang user-friendly. Interface adalah poin pertama dari kontak antara perusahaan dan pelanggan, oleh karena itu sebaiknya didesain lebih fungsional dan menarik jika perusahaan tidak ingin pelanggan hanya sekedar mengakses situs tersebut. Dalam skala global, perusahaan harus memastikan situsnya dapat diakses dan didesain untuk dapat menyesuaikan lintas budaya dan bahasa yang berbeda ,(Interactivity. Kemampuan bagi konsumen melakukan dialog dengan perusahaan yang tidak terbatas waktu dan tempat. Interaktivitas antar individu konsumen dalam sebuah forum diskusi, chat-list, dan komunitas cyber adalah fitur inti dari internet yang tidak terdapat dalam media lain seperti TV dan radio, (3) Involvement, para pemasar dituntut untuk dapat menciptakan atmosfir online yang kondusif untuk mendorong perluasan dan kunjungan ulang dari konsumen. Memberikan beberapa keuntungan bagi konsumen, baik melalui informasi, edukasi maupun entertainment adalah kunci untuk menjaga keterlibatan konsumen, (4) Information, informasi produk yang tersedia luas dalam internet membawa kebalikan dari strategi database marketing yang dilakukan perusahaan, ketika konsumen mengalami database consuming. Maksudnya adalah, konsumen dapat menggunakan database teknologi informasi untuk menarget produk dengan cara yang sama yang dilakukan pemasar untuk menarget pelanggannya. (5) Individualism, adalah kemampuan dan kemauan para pemasar untuk memberikan produk atau pengalaman yang terkustomisasi tergantung dari kombinasi teknologi, riset pemasaran yang efektif dan karakteristik dari produk, (6) Integrity, privasi, keamanan dan kenyamanan dari aktivitas online marketing harus dipastikan. Integritas dari website akan mempengaruhi kesuksesan dan reputasi perusahaan baik di dunia nyata maupun internet. 

Keunggulan Internet bagi Perusahaan 
Keunggulan yang didapat perusahaan yang menggunakan media internet menurut Susan & Stephen Dann (2001 : 57), antara lain : (1) Cost Cutting, banyak perusahaan menggunakan internet sebagai metode untuk mengurangi biaya. Untuk menurunkan biaya cetak dan promosional, dan mengurangi biaya untuk ekspansi ke pasar baru yang lebih luas. Mass Customization dari website yang ditunjang oleh sistem database otomatis dapat mereduksi banyak biaya per tiap pelanggan. (2) Efficiency, akses terhadap database ilmu pengetahuan yang sangat banyak, dan kemudahan untuk mencari informasi secara online dapat meningkatkan efektivitas dari pencarian informasi bagi konsumen. Internet memberikan kemudahan akses dalam jangkauan yang luas dari berbagai macam sumber informasi. (3) Open Acces, internet mengubah dinamika pasar yang sekarang tidak perlu lagi untuk bersandar pada jaringan distribusi yang kompleks untuk membawa produk ke pasar. Hal ini memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan kecil untuk lebih terbuka ke pasar yang lebih luas. (4) Promotional, internet menawarkan peluang untuk menunjukkan promosi, sejarah, detail produk dan informasi perusahaan yang mungkin tidak terdapat pada media tradisional. Misalnya sejarah perusahaan, yang menceritakan perkembangan perusahaan, dan filantrofi atau kedermawanan perusahaan dapat manambah nilai kepribadian dan image perusahaan. 

Electronic Retailing 
E-tailer, berasal dari kata Electronic dan Retailer adalah retailer atau pengecer yang secara khusus menggunakan Internet sebagai media bagi konsumennya untuk belanja produk maupun jasa yang ditawarkan. Electronic retailing untuk konsumen (B2C, Business to Customer) pertama kali dikembangkan dalam skala besar pada tahun 1908-an. Area ini berkembang secara pesat dengan kesadaran para perusahaan retail yang menyadari pentingnya penjualan produk mereka melalui jalur distribusi baru ini (Elektronik). Electronic Delivery Systems tidak membutuhkan interaksi manusia secara langsung, dan jalur distribusi ini mempunyai banyak keunggulan. Secara mendasar, kualitas dapat dijamin, biaya lebih rendah, terdapat kenyamanan bagi konsumen dalam mengakses, dan jangkauan distribusi yang lebih luas daripada jaringan retail normal. (Cox & William, 2003 : 354 ). 

Terdapat tiga jenis e-tailer, yaitu virtual, two-channel dan multi-channel : (1) Virtual retailers ,perusahaan retail ini tidak mempunyai toko atau wujud yang nyata di jalan, mall atau lokasi lainnya. Mereka hanya bertransaksi melalui internet atau televisi saja. Sehingga perusahaan harus menemukan cara untuk menarik konsumen dan melayani kebutuhannya yang berbeda-beda. Contoh : Amazon.com, e-bay, dan lastminute.com. (2) Two-channel retailers : Mereka adalah retailer yang memiliki toko fisik yang telah mengembangkan kemampuan electronic-retailing-nya terhadap aspek kecil maupun besar dalam aktivitas-aktivitasnya. (3) Interactive Systems retailers : Perusahaan retail ini adalah para retailer yang telah berdiri dan melayani kebutuhan konsumen melalui berbagai macam cara, termasuk toko, order telepon, internet katalog dan TV. Contohnya Carrefour dan Wallmart. 

Bentuk Online Retailing 
Berbagai macam bentuk Online Retailing (Susan & Stephen Dann, 2001 : 61): (1)Cybermalls. Gabungan dari berbagai macam produk dan jasa yang berkumpul dalam satu situs dan menciptakan sebuah lingkungan online shopping yang serupa dengan yang ada di dunia nyata. Contoh : www.cybermall.com. (2) Shopping Portals. Situs retail ini berfungsi sebagai broker atau perantara dari barang dan jasa dimana para konsumen mencari di dalam situs broker tersebut dan kemudian situs tersebut menyediakan beberapa daftar dari suppliers yang sesuai. Situs ini tidak menjual apapun, tapi hanya sebagai mperantara antara pembeli dan suppliers. contoh : shopbot.au.com (situs penyedia daftar supplier komputer beserta produknya di Australia). (3) Online Department stores. Beberapa perusahaan retail besar di dunia telah membuka cabang kantor online untuk mencegah kehilangan penjualan dari kompetitor online. Contoh : www.toysrus.com. (4) Auction houses. Rumah lelang online menawarkan pengguna internet untuk membeli dan menjual barang-barang bekas di pasar internasional yang luas. Contoh : www.ebay.com. (5) Virtual Catalogues Sites. Situs katalog adalah toko online yang spesifik yang didirikan untuk kategori produk tertentu melalui sistem katalog yang kompleks dan interaktif. Contoh : www.amazon.com. (6) Digital Corner Stores : Niche marketing. Digital corner stores mengisi banyak pasar niche yang telah ada untuk melayani kebutuhan dan keinginan yang spesifik dari sub populasi internet. Toko digital dapat menyediakan informasi secara mendetil dari produk satu toko melalui internet seperti www.linuxmall.com. (7) Online Factory Direct. Para pebelanja online akan mendapat keuntungan dari penjualan produk secara langsung oleh wholesaler. Umumnya penjualan secara langsung ini terdapat pada industri komputer. Contoh : www.dell.com

Consumer Innovativeness 
Rogers (1995) mendefinisikan Innovativeness sebagai ‘the degree to which an individual or other unit of adoption is relatively earlier in adopting new ideas than other members of a system’, yaitu tingkatan seseorang atau unit lain dari proses adopsi yang secara relatif menjadi pendahulu dalam mengadopsi ide-ide baru daripada anggota lainnya dalam sistem tersebut. Diberi istilah adopsi karena produk yang diakuisisi atau digunakan oleh konsumen merupakan produk yang benar-benar baru yang belum pernah mereka pakai sebelumnya. Beberapa literatur lain menjelaskan Consumer Innovativeness sebagai hasrat atau niat untuk mencari kemunculan produk baru atau hal-hal baru dari produk (Hirschman, 1980). Innovativeness termasuk sebuah ciri kepribadian (personality trait) dan merupakan tingkatan bagaimana seorang individu mau menerima ide-ide baru dan membuat keputusan inovatif yang independen terhadap pengalaman komunikasi dengan orang lain. 

Menurut Goldsmith and Hofacker (1991), Consumer Innovativeness adalah perilaku innovativeness yang mencakup kecenderungan untuk mendapatkan informasi terbaru atau adopsi produk baru oleh konsumen terhadap kelas produk (kategori tertentu), atau domain yang spesifik. Perilaku Consumer Innovativeness cenderung berada pada kategori produk yang spesifik (misalnya seperti kategori produk fashion, handphone, dan lain-lain). Oleh karena itu bisa disebut juga Domain-specific Innovativeness yaitu Consumer Innovativeness yang berdasarkan kelas produk atau ketegori produk tertentu (Goldsmith and Hofacker, 1991). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki Consumer Innovativeness sebagai pertanda awal yang menyebabkan adoption atau pengadopsian produk baru oleh konsumen. Penelitian yang dilakukan Chau dan Hui (1998) menemukan bahwa konsumen dengan inovasi tinggi mampu mengenal lebih dulu keberadaan produk windows 95 daripada konsumen lain. Foxall and Haskins (1986), dalam penelitiannya pada produk makanan juga menemukan bahwa innovativeness mempunyai validitas yang tinggi untuk memprediksi perilaku adopsi. Penelitian lain dilakukan oleh Citrin (2000), pada penelitian ini diuji bagaimana consumer innovativeness yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk mengadopsi online shopping. 

Konsumen dengan tingkat innovativeness yang tinggi bisa disebut sebagai innovators atau early adopters, yaitu mereka yang menjadi pelopor dalam mengadopsi produk baru atau ide-ide baru. Consumer Innovativeness menjadi sangat penting dalam area pemasaran dan riset konsumen karena pentingnya peran seorang innovators dalam kesuksesan suatu produk baru (Foxall & Bhate, 1993). Innovators atau early adopters dapat membantu kesuksesan penetrasi dan penyebaran dari suatu produk baru, karena kecepatan mereka dalam menyerap informasi dan mengadopsi produk-produk baru akan dapat memberikan persuasi (baik secara oral maupun memberi contoh) pada laters adopters atau konsumen pada umumnya, di dalam pasar Business to Consumers (B2C) maupun Business to Business (B2B), (Clark & Goldsmith, 2006). 

Berikut ini beberapa kategori tingkatan konsumen dari yang paling inovatif hingga yang non-inovatif menurut Rogers (1983) : (1) Innovators : Venturesome (Try anything once) Innovators adalah orang-orang yang pertama yang mencoba sebuah inovasi. Mereka adalah orang yang suka berpetualang, umumnya mempunyai sumber daya finansial yang cukup kuat, berani mengambil resiko dan mempunyai kemampuan untuk mengerti dan menggunakan pengetahuan teknologi yang kompleks. Mereka adalah para risk takers yang membutuhkan tantangan, petualangan dan pengalaman yang baru. (2) Early adopters : Respectable. Early adopters adalah umunya adalah seorang figur sosial yang mencari cara untuk mempertahankan reputasi dan posisi sosialnya dengan mencoba penggunaan inovasi tapi secara lebih selektif, tidak secara acak seperti innovators, mereka menilai dulu sebelum mencoba suatu ide. (3) Early Majority : Deliberate. Early Majority adalah orang-orang pada umumnya yang mulai mengadopsi inovasi ketika mereka benar-benar merasa membutuhkan dan telah mulai digunakan oleh sebagian orang. Mereka mengadopsi ide baru pada waktu rata-rata dan tidak terlalu tergesa-gesa dengan inovasi tersebut. Early Majority adalah awal dari kedewasaan sebuah pasar. Ketika sebuah inovasi telah bertemu dengan early majority maka persaingan akan semakin bertambah, dan diperlukan beberapa inovasi kecil bagi produk untuk memberikan diferensiasi. (4) Late Majority : Sceptical. Late Majority mulai mengadopsi ketika sebagian besar orang sudah mengadopsi ide baru tersebut terlebih dahulu. Karakteristik yang paling dominan umumnya adalah sikap skeptis dan tidak suka terhadap teknologi. Mengadopsi inovasi cenderung dilakukan karena kebutuhan ekonomi atau karena tekanan dari lingkungannya. (5) Laggards : Traditional. Laggards adalah mereka yang paling mengabaikan dan sering mengkritik di antara sebuah kelompok dalam literatur inovasi. Mereka bersikap stereotype, sangat konservatif, berorientasi masa lalu, dan cenderung mempunyai pandangan negatif terhadap hal-hal baru. Para pemasar harus menyadari ada beberapa alasan penting yang menyebabkan beberapa orang memilih untuk tidak menggunakan inovasi, muali dari alasan budaya hingga religius. Para Laggards menjadi tolak ukur dimana jika mereka pada akhirnya menggunakan inovasi, berarti seluruh populasi pasar bisa dipastikan telah mengasumsi inovasi tersebut, sehingga sudah tidak bisa dikatakan lagi sebuah inovasi. 

Hubungan antara Internet Usage, Consumer Innovativeness dan Use of the Internet of Shopping

Internet Usage dan Use of the Internet of Shopping 
Taylor (1977), menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara penggunaan dari suatu kelas produk dan adopsi dari produk lain yang masih berhubungan atau satu kategori (significant, positive relationship between usage of a product class and time of adoption of related products). Hal ini adalah sebuah hal yang logis karena pengguna suatu produk yang intens memberikan kemampuan dan pengetahuan yang banyak akan produk tersebut sehingga memudahkan dan bahkan mendorong konsumen untuk mengenal dan menerima inovasi dari kategori produk tersebut. Sama juga halnya dengan internet, intensitas penggunaan internet oleh konsumen akan membawa kecenderungan bagi konsumen untuk mengadopsi online shopping, dimana online shopping adalah sebuah inovasi dari internet yang awalnya hanya merupakan jaringan informasi yang digunakan untuk aktivitas-aktivitas seperti browsing, chatting, dan email (Citrin et al, 2000). 

Use of the Internet of Shopping 
Meskipun semakin banyak pengguna internet pada masa sekarang ini, belum tentu semuanya telah menggunakan internet sebagai media untuk berbelanja. Relatif sedikit konsumen yang menggunakan media ini sebagai alat komersial (Schiesel, 1997). Pengunaan internet secara umum oleh konsumen (browsing, chatting, email, dll) dapat membawa kepada penggunaan komersial (pembelian online), terutama bagi konsumen-konsumen yang inovatif (Hirschman ,1980). Tingkat innovativeness konsumen memfasilitasi mereka untuk menggunakan Internet dengan inovasi yang baru (online shopping) untuk memenuhi kebutuhannya. Consumer Innovativeness dapat menjadi moderasi yang memperkuat hubungan antara penggunaan internet dengan online shopping yang dilakukan konsumen (Citrin et al, 2000).
    DAPTAR PUSTAKA;
  • Assael, H. (1998), Consumer Behavior and Market Action, 6th edition, South-Western College Publishing.
  • Berman, B and Evans, J. (2007), “Retail management a strategic approach”, ninth Edition.
  • Chau, P.Y.K. and Hui, K.L. (1998), “Identifying early adopters of new IT products: a case of Windows 95”, Information and Management, Vol. 33 No. 5, pp. 225-30.
  • Citrin, A.V., Sprott, D.E., Silverman, S.N. and Stem, D.E. (2000), “Adoption of internet shopping: the role of consumer innovativeness”, journal of Industrial Management & Data Systems, Vol. 100 No. 7, pp. 294-300
  • Clark, R. A., & Goldsmith, R. E. (2006), “Global Innovativeness and Consumer Susceptibility to Interpersonal Influence”, Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 14 No. 4, pp. 275-285.
  • Cox, B. G., & Koelter. W., (2004), Internet Marketing, Pearson Education.
  • Dann, S., & Dann S. (2001), Internet Marketing, John Wiley & Sons, Australia.
  • Flynn LR and Goldsmith, R.E. (1993b), “A Validation of the Goldsmith and Hofacker Innovativeness Scales”, Educational and Psychology Measurement, Vol 53 No 4, pp 1005–1116.
  • Foxall, G. R. & Bhate, S. (1993), Cognitive style and useinnovativeness for applications software in home computing: implications for new product strategy”, Technovation, vol. 13 no. 5, pp. 311-23.
  • Foxall, G. R., & James, V. K. (2003), “The behavioral ecology of brand choice: How and what do consumers maximize?”, Psychology & Marketing, 20(9), 811–836.
  • Foxall, G.R. and Haskins, C.G. (1986), “Cognitive style and consumer innovativeness: an empirical test of Kirton’s adaption-innovation theory in the context of food purchasing”, European Journal of Marketing, Vol. 20 Nos 3-4, pp. 63-80.
  • Gilbert, David. (2003), Retail Marketing Management, 2nd edition, New Jersey, Prentice Hall.
  • Goldsmith, R.E. and Hofacker, C.F. (1991), “Measuring consumer innovativeness”, Journal of Academy of Marketing Science, Vol. 19 No. 3, pp. 209-21. 
  • Hanson, W. (2000), Principles of Internet Marketing, Thomson Learning.
  • Hirschman, E.C. (1980), “Innovativeness, novelty seeking, and consumer creativity”, Journal of Consumer Research, Vol. 7 No. 3, pp. 283-95.
  • Joseph, B., Vyas, S.J. (1984), “Concurrent validity of a measure of innovative cognitive style”, Academy of Marketing Science. Journal, 1/2; ABI/INFORM Global pg. 159.
  • Kotler, Philip. (1994), Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, And Control, 8th Edition, Prentice Hall.
  • -----------------. (2003), Marketing Management, 11th Edition, New Jersey, Prentice Hall.
  • -----------------. (2005). Manajemen Pemasaran, Edisi kesebelas, Jilid satu, Yogyakarta, PT Index Kelompok Gramedia.
  • Leavitt, C. and Walton, J. (1975), “Development of a scale for innovativeness”, Advances in Consumer Research, Vol. 2 No. 1, pp. 545-55. 
  • Lewis, H. G., & Lewis, R. D. (1997), Selling on the Net: The complete guide, Chicago, IL: NTC Business Books.
  • Midgley, D.F. & Dowling, G.R. (1978). “Innovativeness: the concept and its measurement”, Journal of Consumer Research, 4, 229–242.
  • Midgley, D.F. and Dowling, G.R. (1993), “A longitudinal study of product form innovation: the interaction between predispositions and social messages”, Journal of Consumer Research, Vol. 19 No. 4, pp. 611-25.
  • Peterson R.A., Balasubramanian S., Bronnenberg B.J. (1997), “Exploring the implications of the Internet for consumer marketing”, Academy of Marketing Science. Journal, 4; ABI/INFORM Global pg. 329.
  • Peter JP and JC Olson, 2002. “Consumer Behavior and Marketing Strategy”, 6th ed., McGraw-Hill/Irwin.
  • Rogers, E.M. (1995) Diffusion of Innovations, 4th edn. The Free Press, New York.
  • Rogers, E.M. (1983), Diffusion of Innovations, The Free Press, New York.
  • Schiffman,. L. G., & Kanuk., L. L. (2007), Consumer Behavior, Pearson International Edition.Bandung.
  • Taylor, J. W. (1997), “Striking Characteristic Of Innovators”, Journal of Marketing Research, Vol 14, pp. 104-7.
  • Vaughn R. (1980), “How Advertising Works: A Planning Model”, Journal of Advertising Research, 20 (October), pp 27–33.
Blog, Updated at: 06.14.00

0 komentar:

Posting Komentar