MODAL SOSIAL DAN KEBIJAKAN PUBLIK
A. Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.
Banyak sekali definisi mengenai kebijakan publik. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’. Seperti kata Bridgman dan Davis (2004:3), seringkali, kebijakan publik tidak lebih dari pengertian mengenai whatever government choose to do or not to do.
Kadang-kadang, kebijakan publik menunjuk pada istilah atau konsep untuk menjelaskan pilihan-pilihan tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-bidang tertentu dalam sektor-sektor fasilitas umum, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan atau kesejahteraan. Urusan-urusan yang menyangkut kelistrikan, air, jalan raya, sekolah, rumah-sakit, perumahan rakyat, lembaga-lembaga rehabilitasi sosial adalah beberapa contoh yang termasuk dalam bidang kebijakan publik. Sebagai contoh, kebijakan sosial secara ringkas dapat diartikan sebagai salah satu bentuk kebijakan publik yang mengatur urusan kesejahteraan. Kebijakan sosial secara khusus sejatinya adalah kebijakan kesejahteraan.
Konsep kesejahteraan menunjuk pada proses mensejahterakan manusia atau aktivitas untuk mencapai kondisi sejahtera. Di sini, istilah ‘kesejahteraan’ tidak perlu pakai kata ‘sosial’ lagi, karena sudah jelas menunjuk pada sektor atau bidang pembangunan sosial. Sektor ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’ juga tidak pakai embel-embel ‘sosial’ atau ‘manusia’. Selain di Indonesia kata sosial memiliki terlalu banyak arti dan karenanya sering disalahfahami, di negara lain istilah yang banyak digunakan untuk menjelaskan ‘bidang sosial’ secara spesifik ini adalah welfare (kesejahteraan) yang umumnya menerangkan berbagai sistem pelayanan sosial dan skema jaminan sosial bagi kelompok yang tidak beruntung. Oleh karena itu, istilah ‘pembangunan kesejahteraan sosial’ sesungguhnya cukup disebut ‘pembangunan kesejahteraan’. Implikasinya, Departemen Sosial juga lebih tepat jika diberi nama Departemen Kesejahteraan. Sedangkan Menko Kesejahteraan Rakyat lebih tepat diubah menjadi Menko Sosial karena mencakup bidang-bidang pembangunan sosial yang luas dan menjadi payung Departemen Kesejahteraan, Pendidikan, Kesehatan dan seterusnya.
Beragam pengertian mengenai kebijakan publik ini tidak bisa dihindarkan, karena kata ‘kebijakan’ (policy) merupakan penjelasan ringkas yang berupaya untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai dari pembuatan keputusan-keputusan, penerapan, dan evaluasinya. Telah banyak upaya untuk mendefinisikan kebijakan publik secara tegas dan jelas, namun pengertiannya tetap saja menyentuh wilayah-wilayah yang seringkali tumpang-tindih, ambigu, dan luas. Beberapa kalangan mendifinisikan kebijakan publik hanya sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Sebagian lagi, mengartikan kebijakan publik sebagai pedoman, acuan, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.
Setiap perundang-undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan. Hogwood dan Gunn (1990) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak berarti bahwa makna ‘kebijakan’ hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi-organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Sosial (Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluaga, dll) dan lembaga-lembaga voluntir lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula.
Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena tidak dapat memakai sumberdaya publik atau memiliki legalitas hukum sebagaimana lembaga pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat dan berhak menggunakan uang dari pajak tersebut untuk mendanai kegiatan pembangunan. Hal yang sama tidak dapat dilakukan oleh organisasi non-pemerintah, Karang Taruna atau kelompok-kelompok arisan.
Mengacu pada Hogwood dan Gunn, Bridgman dan Davis (2004) menyatakan bahwa kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai.
- Proposal tertentuyang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.
- Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah.
- Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.
- Keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.
- Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti Y.
- Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.
B. Dimensi Kebijakan Publik
Bridgeman dan Davis (2004: 4-7) menerangkan bahwasanya kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yakni sebagai pilihan tindakan yang legal atau sah secara hukum (authoritative choice), sebagai hipotesis (hypothesis), dan sebagai tujuan (objective).
Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal Pilihan tindakan dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif karena dibuat oleh orang yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan. Keputusan-keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan progam tertentu.
Meskipun demikian, keputusan-keputusan legal belum tentu dapat direalisasikan seluruhnya. Selalu saja ada ruang atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara apa yang sudah direncanakan dengan apa yang dapat dilaksanakan. Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu. Setiap pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan warisan kebiasaan-kebiasaan pemerintahan terdahulu. Rutinitas birokrasi yang diterima biasanya merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah diterbukti efektif jika diterapkan. Dalam kontkes ini, adalah penting mengembangkan proses kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil baik.
Kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses yang kompleks. Gagasan dapat datang dari berbagai sumber, seperti kepentingan para politisi, lembaga-lembaga pemerintah, interpretasi para birokrat, serta intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media dan warga negara. Inti dari dunia politik adalah lembaga eksekutif, yakni kelompok menteri yang meduduki posisi puncak dan memiliki kewenangan pemerintahan atas nama parlemen. Para menteri tidak saja memahami nuansa politik pekerjaannya, melainkan pula menghargai bahwa dirinya dan para pemain lain dalam pemerintahan memerlukan arahan-arahan kebijakan. Kekuasaan diwujudkan melalui kemampuan melahirkan keputusan-keputusan yang dinyatakan secara jelas dan terarah. Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintahan membuat ciri khas kewenangannya. Karena dari kompleksitas dunia politik harus dibuat pilihan-pilihan tindakan yang sah atau legal untuk mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan kemudian dapat di lihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik. Hal berarti bahwa kebijakan publik adalah:
- Intensional atau memiliki tujuan. Kebijakan publik berarti pencapaian tujuan pemerintah melalui penerapan sumber-sumber publik.
- Menyangkut pembuatan keputusan-keputusan dan pengujian konsekuensi-konsekuensinya.
- Terstruktur dengan para pemain dan langkah-langkahnya yang jelas dan terukur.
- Bersifat politis yang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas program lembaga eksekutif.
- Kebijakan publik sebagai hipotesis.
Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu atau disinsentif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan (proyeksi) mengenai keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi. Misalnya, jika pemerintah menaikan harga BBM, maka akan banyak orang mengurangi biaya perjalananya, akibatnya tempat-tempat pariwisata akan semakin jarang dikunjungi dan para pemilik hoter serta pedaganag disekitar lokasi wisata mengalami kerugian. Atau, jika BBM dinaikkan akan banyak perusahaan menaikan harga produksinya yang akan mengakibatkan harga barang-barang meningkat dan masyarakat kelas bawah semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun demikian, kebijakan bukanlah laboratorium tempat ujicoba. Biasanya sulit untuk mengevaluasi asumsi-asmsi perilaku sebelum sebuah kebijakan benar-benar dilaksanakan. Pemerintah mungkin memperkirakan bahwa sebuah paket pengurangan pajak akan mendapa respon positif dari rakyat. Tetapi, hingga pemerintah mengumumkan pengurangan itu dan mengukur dampaknya, para menteri harus selalu waspada karena akibat yang ditimbulkan kebijakan tersebut belum tentu sesuai dengan perkiraan sebelumnya.
Kebijakan biasanya diciptakan dalam situasi ketidakpastian dan diuji oleh lingkungan dimana ia diterapkan. Para pembuat kebijakan belajar dengan menemukan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam membuat asumsi-asumsi dan model-model kebijakan. Sebuah proses kebijakan yang baik biasanya merumuskan asumsi-asumsinya secara jelas sehingga para pelaksana kebijakan memahami teori dan model kebijakan yang mendukung keputusan-keputusan dan rekomendasi-rekomendasi di dalamnya.
Memahami kebijakan sebagai hipotesis memerlukan kalkulasi-kalkulasi ekonomi dan sosial dari para penasihat dan pembuat kebijakan. Memandang kebijakan sebagai sebagai hipotesis juga menekankan pentingnya pelajaran dan temuan-temuan dari hasil implementasi dan evaluasi. Pembuatan kebijakan yang baik didasari kemampuan dalam memahami pelajaran-pelajaran dari pengalaman-pengalaman kebijakan dan menerapkan pelajaran itu dalam langkah perumusan kebijakan berikutnya.
Karena banyaknya pemain dan kepentingan dalam perumusan sebuah kebijakan, mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan dengan perbaikan kebijakan berikutnya tidak selalu mudah dilakukan. Temuan-temuan di lapangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan perlu dicatat dan didokumentasikan secara baik dalam sebuah naskah kebijakan (policy paper) sehingga dapat diperlajari dan disebarluaskan. Seorang analis kebijakan dari Amerika, Aaron Wildavsky menyatakan bahwa ‘kita berharap bahwa hipotesis baru dapat dikembangkan menjadi teori yang mampu menjelaskan realitas lebih baik’ (Bridgman dan Davis 2004). Teori-teori yang baik yang dukung oleh hasil-hasil evaluasi, merupakan dasar guna memperbaiki kebijakan-kebijakan publik.
C. Kebijakan Publik Sebagai Tujuan
Kebijakan adalah a means to an end, alat untuk mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untu mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah. Proses kebijakan harus mampu membantu para pembuat kebijakan merumuskan tujuan-tujuannya. Sebuah kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkan masalah baru. Misalnya, sebuah kebijakan yang tidak memiliki tujuan jelas, program-program akan diterapkan secara berbeda-beda, strategi pencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya para analis akan menyatakan bahwa pemerintah telah kehilangan arah. Karenanya, sebuah kebijakan yang baik akan menghindari jebakan ini dengan jalan merumuskan secara ekplisit:
- Pernyataan resmi mengenai pilihan-pilihan tindakan yang akan dilakukan.
- Model sebab dan akibat yang mendasari kebijakan.
- Hasil-hasil yang akan dicapai dan kurun waktu tertentu.
Proses perumusan kebijakan yang effektif memperhatikan keselarasan antara usulan kebijakan dengan agenda dan strategi besar (grand design) pemerintah. Melalui konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan menkankan konsistensi sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan dengan agenda dan program pemerintah yang sedang dilaksanakan.
Kebijakan publik dibuat oleh banyak orang dalam suatu rantai pilihan-pilihan yang meliputi analisis, implementasi, evaluasi dan rekonsiderasi (pertimbangan kembali). Koordinasi ini hanya dimungkinkan jika tujuan-tujuan kebijakan dinyatakan secara jelas dan terukur. Manakala tujuan-tujuan kebijakan tidak jelas atau berlawanan satu sama lain, kebijakan hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berhasil. Penetapan tujuan merupakan langkah utama dalam sebuah proses lingkaran pembuatan kebijakan.
Penerapan tujuan juga merupakan kegiatan yang paling penting karena hanya tujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada pilihan-pilihan publik. Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan seringkali kehilangan arah dalam menetapkan tujuan-tujuan kebijakan. Solusi kerapkali dipandang lebih penting daripada masalah. Padahal yang terjadi seringkal sebaliknya dimana sebuah solusi yang baik akan gagal jika diterapkan pada masalah yang salah (Suharto, 2005a). Di sini, identifikasi masalah dan kebutuhan (needs assessment) menjadi sangat penting. Kebijakan yang baik dirumuskan berdasarkan masalah dan kebutuhan masyarakat.
Aktivitas kebijakan sangat cepat bergerak. Setelah keputusan dibuat, kegiatan-kegiatan untuk menerapkan keputusan tersebut harus segera dipersiapkan. Waktu dan kewenangan yang tersedia guna mendukung arah yang dipilih umumnya sangat terbatas dan karenanya menuntut penyesuaian. Pilihan-pilihan kebijakan yang telah dipilih tidak menutup kemungkinan menjadi sedikit berbeda dengan pilihan-pilihan sebelumnya. Tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapka juga biasanya sedikit melenceng dikarenakan adanya akibat-akibat yang terjadi diluar perkiraan.
Akibat sampingan (side effects) atau yang dikenal dengan istilah externalities atau spillovers ini hanya bisa diketahui setelah kebijakan diterapkan. Selain mempengaruhi pencapaian tujuan kebijakan, externalities tentu saja ‘mengganggu’ hasil-hasil kebijakan yang telah ditetapkan danbahkan tidak jarang menciptakan masalah-masalah baru yang lebih kompleks. Sebuah skema pemberian lisensi pada kegiatan tertentu, seperti pembentukan skema asuransi sosial atau pemberian kredit mikro bagi rakyat miskin, biasanya mengancam elit tertentu atau kelompok status quo yang kemungkinan terganggu oleh kebijakan baru. Secara politis mereka berupaya menghambat atau merubah kebijakan baru itu yang dipandang menguntngkan atau minimal tidak mengganggu kepentingan mereka.
Agar kebijakan tetap terfokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, pembuatan kebijakan harus dilandasi oleh lingkaran tahapan kebijakan yang meliputi perencanaan dan evaluasi. Dalam proses ini, para pembuat kebijakan biasanya dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan seperti:
- Apa maksud atau fungsi sebuah kebijakan?
- Bagaimana kebijakan itu akan mempengaruhi agenda pemerintah secara keseluruhan, departemen-departemen pemerintahan, kelompok-kelompok klien, kelompok-kelompok kepentingan, dan masyarakat banyak?
- Apa dan bahaimana hubungan antara alat-alat impelementasi dengan tujuan-tujuan kebijakan?
- Apakah ada alat atau mekanisme implementasi yang lebih sederhana?
- Bagaimana kebijakan ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang lainnya?
- Dapatkan kebijakan yang baru itu menghasilkan perbedaan seperti yang diharapkan?
Dalam sebuah lingkaran perumusan kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang legal dibuat berdasarkan hipotesis yang rasional guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang ditetapkan. Rumusan sederhana ini menunjukan hubungan antara ketiga dimensi kebijakan di atas. Artinya, kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal, sebagai hipotesis dan sebagai tujuan merupakan tiga serangkai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Ketiganya merupakan prasyarat sekaligus tantangan bagi kebijakan publik yang efektif.
D. Mengembangan Modal Sosial Melalui Kebijakan Publik
Dalam konteks kebijakan publik, modal sosial pada intinya menunjuk pada political will dan penciptaan jaringan-jaringan, kepercayaan, nilai-nilai bersama, norma-norma, dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi manusia di dalam sebuah masyarakat.
Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial dalam sebuah komunitas. Modal sosial pada umumnya akan tumbuh dan berkembang bukan saja karena adanya kesamaan tujuan dan kepentingan, melainkan pula karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi, terjalinnya relasi yang berkelanjutan, serta terpeliharanya komunikasi dan dialog yang efektif. Gambar 1 menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat mempengaruhi lingkaran modal sosial yang pada glilirannya menjadi pendorong keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan sosial dan pembangunan kesejahteraan.
Beberapa strategi kebijakan publik yang dapat dirancang guna mempengaruhi tumbuh-kembangnya modal sosial adalah sebagai berikut;
1. Memperkuat kepercayaan sosial (social trust) melalui:
- Model integrasi dan relasi di dalam dan di luar lembaga-lembaga pemerintahan;
- Proses-proses yang mampu mengatasi konflik dan pertentangan berdasarkan prinsip ‘win-winpolicy’;
- Desentralisasi dalam pengambilan keputusan.
2. Menumbuh-kembangkan nilai-nilai bersama, melalui:
Kurikulum pendidikan;
- Hukum dan kebijakan keteraturan;
- Perasaan bersama mengenai identitas dan kepribadian sebagai satu negara-bangsa;
- Peraturan yang mempromosikan nilai-nilai sosial positif, seperti hak azasi manusia, hak-hak .publik;
- Kepastian standar.
3. Mengembangkan kohesifitas dan altruisme, melalui:
- Pengurangan pajak bagi perorangan atau perusahaan yang melakukan kegiatan sosial atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan (corporate social responsibility);
- Registrasidanpengorganisasiankegiatan-kegiatan kedermawanan sosial.
4. Memperluas partisipasi lokal, melalui:
- Pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan;
- Dukungan bagi program pengembangan masyarakat (community development) guna meningkatkan kapasitas masyarakat dan kepemimpinan lokal;
- Inisiatif-inisiatif yang memperkuat keluarga.
5. Menciptakan jaringan dan kolaborasi, melalui:
- Kolaborasi diantara lembaga pemerintah dan antara lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta lembaga usaha;
- Dukungan terhadap organisasi-organisasi sukarela untuk membangun jaringan dan aliansi.
6. Meningkatkan keterlibatan masyarakat warga dalam proses tata pemerintahan yang baik (good governance), melalui:
- Kampanye agar orang terlibat dalam proses pemilihan pemerintah pusat dan daerah secara demokratis;
- Konsultasi dan advokasi kebijakan bagi warga masyarakat;
- Pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan penganalisisan implementasinya;
- Promosi dan sosialisasi konsep mengenai masyarakat warga yang aktif;
- Penyediaan sarana informasi pemerintah yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
E. Manfaat
Apa manfaat yang dapat diperoleh melalui penerapan strategi kebijakan publik yang difokuskan pada pengembangan modal sosial ?
- Meningkatnya partisipasi di dalam masyarakat sehingga terdapat kesempatan yang lebih luas dan kemampuan yang lebih baik dalam mencapai tujuan bersama.
- Meningkatnya partisipasi dalam proses-proses demokrasi sehingga pemerintah pusat dan lokal lebih akuntabel dan terbuka dalam mendengarkan beragam suara dan aspirasi masyarakat.
- Menguatnya aksi bersama yang merefleksikan perasaan tanggungjawab bersama
- Tumbuhnya dukungan bagi, dan kepercayaan diri pada, individu dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya.
- Menguatnya perasaan memiliki, identitas dan kebanggaan bersama sebagai satu warga masyarakat.
- Menurunnya tingkat kejahatan, korupsi dan alienasi karena meningkatnya keterbukaan, kontrol sosial, kerjasama dan harmoni.
- Meningkatnya hubungan dan jaringan antara sektor pemerintah, swasta, lembaga sukarela dan keluarga.
- Terjadinya tukar-menukar gagasan dan nilai diantara keragaman dan pluralitas warga masyarakat.
- Rendahnya biaya-biaya transaksi karena adanya koordinasi dan kerjasama yang erat dan memudahkan penyelesaian konflik.
- Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam merespon guncangan yang datang tiba-tiba karenan adanya jaringan kerjasama yang erat di antara seluruh komponen masyarakat warga.
- Menguatnya kemampuan dan akses masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada di sekitar mereka.
DAFTAR PUSTAKA;
- Blakelley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development” dalam David Robinson (ed), Social Capital dan Policy Development, Wellington: The Institute of Policy Studies, halaman 80-100.
- Bridgman, Peter dan Glyn Davis (2004), The Australian Policy Handbook, Crows Nest: Allen and Unwin Cox, E (1995), Background Material and Boyer Lecture (http://www.leta.edu.au/coxp.htm).
- Fukuyama, Francis (1995), Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, New York: the Free Press Onyx, J (1996), “The Measure of Social Capital”, paper presented to Australian and New Zealand Third Sector Research Conference on Social Cohesion, Justice and Citizenship: The Role of Voluntary Sector, Victoria University, Wellington.
- Putnam, RD (1993), “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life, dalam The American Prospect, Vol.13, halaman 35-42.
- Putnam, RD (1995), “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, dalam Journal of Democracy, Vol.6, No.1, halaman 65-78.
- Spellerberg, Anne (1997), “Towards a Framework for the Measurement of Social Capital” dalam David Robinson (ed), Social Capital dan Policy Development, Wellington: The Institute of Policy Studies, halaman 42-52.
- Suharto, Edi (2005a), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta.
- Suharto, Edi (2005b), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama.
- Suharto, Edi (2006), “Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam Pusaran Desentralisasi dan Good Governance”, makalah yang disampaikan pada Semiloka Kompetensi Sumberdaya Manusia Kesejahteraan Sosial di Era Desentralisasi dan Good Governance, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), Banjarmasin 21 Maret 200
- Adler, P., Kwon S. 2000. Social Capital: the good, the bad and the ugly. In E. Lesser (Ed). Knowledge and Social Capital: Foundations and Applications. Butterworth-Heinemmann.
- Bourdieu, P. 1986. The Form of Capital. In J. Richardson (Ed). Handbook of Theory and Research for Sociology of Education. New York: Greenwood Press.
- Burt. R.S. 1992. Excerpt from The Sosial Structure of Competition, in Structure Holes: The Social Structure of Competition. Cambridge, MA and London: Harvard University.
- In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
- Cohen, S., Prusak L. 2001. In Good Company: How Social Capital Makes Organization Work. London: Harvard Business Pres.
- Coleman, J., 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge Mass: Harvard University Press.
- --------------. 1999. Social Capital in the Creation of Human Capital. Cambridge Mass: Harvard University Press.
- Cox, Eva. 1995. A Truly Civil Society. Sydney:ABC Boook.
- Dasgupta, P., Ismail S. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: World Bank.
- ---------------., 1999. Economic Progress and the Idea of Social Capital. Washngton DC: Word Bank, 325-424. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
- Fukuyama, F. 1992. The End of History and The Last Man. New York: Free Press
- ---------------. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: Free Press.
- ---------------. 1995. Social Capital and The Global Economy. Foreign Affairs, 74(5), 89-103. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
- --------------. 2000. Social Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working Paper, WP/00/74, 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
- Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press.
- Muller. 1992. Adam Smith and His Time and Ours, Fukyama. 2002. Trust Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran Terjemahan Ruslani. Yogjakarta: CV. Qalam. .
- Partha D., Ismail S. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank.
- Putnam, R.D. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. American Prospect, 13, Spring, 35- 42. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
- --------------. 1993. Making Democracy Work: Civil Tradition in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press.
- --------------, Leonardi R., Raffaella Y. N. 1993. Social Capital and Institutional Success. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
- Sarageldin, I., Cristiaan G. 1997. Defining Social Capital: a integrating view. Dasgupta, P.,
- Ismail S. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: World Ban
- Solow, R. M. 1999. Notes Social Capital and Economic Performance. In Partha D., Ismail S., 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank.
- Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework. Theory and Society, 27 (1),151-208. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
- ----------------, D. Narayan. 2000. Social Capital: Implication for Development Theory, Research, and Policy. World Bank Research Observer, 15(2), August, 225-49. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
0 komentar:
Posting Komentar