Makalah Globalisasi dan Pembangunan

Posted By frf on Jumat, 14 Oktober 2016 | 15.15.00

Globalisasi dan Ketergantungan
Pendahuluan
Pembangunan yang berlangsung selama lebih dari setengan abad, sejak sesudah Perang Dunia II, telah mampu meningkatkan pendapatan rata-rata yang cukup tinggi pada hampir semua negara di dunia. Keadaan ini berlangsung sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang sangat menakjubkan selama masa itu. Kemajuan teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk melipat gandakan kecepatan gerak, melakukan rangkaian pekerjaan yang jauh lebih banyak secara simultan dan mengendalikan kegiatan tanpa kehadiran manusia secara langsung, baik dalam jarak dekat maupun dari jarak jauh. 

Sebagai akibat dari teknologi itu, manusia telah mampu menempuh jarak yang amat jauh dalam waktu yang amat cepat. Bersamaan dengan itu, dalam bidang komunikasi, hubungan menjadi sangat instan. Dengan teknologi yang ada pada saat ini, orang telah mampu mengakses informasi dari sudut dunia manapun dalam waktu hanya sekejap. Sesuatu yang sulit dibayangkan lima puluh tahun yang lalu. Hubungan antar manusia dari belahan bumi yang berbeda dengan mudah dapat berlangsung seperti diantara dua orang yang sedang bertatapan muka. Peralatanpun menjadi makin sederhana, sehingga secara mobil orang dapat berkomunikasi pada setiap saat dan dimana saja mereka berada. Sebab itu tingkat produksi rata-rata dunia meningkat cukup tinggi. 

Dengan kemajuan itu manusia telah mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan dalam jumlah yang jauh lebih banyak dengan berbagai variasi dan kualitas yang jauh lebih tinggi. Dengan demikian manusia seolah berada dalam satu dunia lain yang lain dari dunia masa lampau. Singkatnya, apa yang dapat dicapai dengan kemajuan teknologi pada saat ini, tidak pernah terbayangkan lima puluh tahun yang lalu. Ironisnya, kemajuan teknologi yang dahsyat itu belum mampu menghilangkan kemiskinan, memperbaiki nasib dan meningkatkan tingkat hidup dari bermiliar-miliar kaum dhu’afa yang tersebar diseluruh dunia. 

Kemajuan teknologi dan kenikmatan hidup yang dicapai itu sayangnya hanya tersedia untuk sekelompok orang yang terbatas dalam kawasan tertentu atau di negara-negara tertentu saja, yang tak mungkin terjangkau oleh mereka yang hidup menderita dan tidur malam dengan perut setengah kosong dari negara-negara berkembang. Dengan kemajuan teknologi yang ada, sekelompok negara-negara maju menguasai hampir seluruh sumber daya yang ada “di bumi, air dan yang terkandung didalamnya” untuk kepentingan sekelompok kecil manusia saja, sambil meninggalkan limbah yang seringkali mencelakakan hidup orang-orang miskin yang ada disekitarnya. 

Bersamaan dengan tingginya tingkat produksi dan pertumbuhan ekonomi rata-rata dunia pada saat ini, 1,2 miliar ummat manusia hidup dengan pendapatan kurang dari $ 1 sehari (1993 PPP US $), dan pada tahun 1998 terdapat 2,8 miliar manusia hidup dibawah $ 2 sehari. Dalam bidang kesehatan, kemajuan teknologi telah mampu melakukan pembuahan buatan dan bayi tabung, serta teknologi cloning. Tetapi, 968 juta ummat manusia masih hidup tanpa akses terhadap sumber air, 2,4 miliar manusia tak ada akses terhadap sanitasi kesehatan yang paling dasar sekalipun. 34 juta hidup dengan mengidap HIV/AID, 11 juta balita mati setiap tahun karena berbagai sebab yang sesungguhnya dapat dicegah. (UNDP, Human Development Report 2001: 9; Stiglitz, 2002: 253).

 Bersamaan dengan itu, perkembangan teknologi juga telah mendekatkan hubungan antar negara, yang pada gilirannya telah mengakibatkan ketergantungan negara-negara miskin pada sebagian negara-negara kaya. Baik dalam konsumsi, investasi maupun dalam berbagai kebijakan publik. Pertanyaannya, mengapa dengan kemajuan teknologi yang tinggi itu manusia masih tetap belum mampu mengatasi derita dari sejumlah besar kaum dhu’afa tersebut? Dan mengapa dengan kemajuan itu, ketergantungan negara-negara miskin pada beberapa negara kaya menjadi makin intensif, sekalipun secara formal mereka sudah menyatakan diri sebagai negara merdeka yang berdaulat? Sementara ketergantungan dan ketimpangan hidup itu makin melebar, pengertian tentang makna dan tujuan pembangunan yang sesungguhnya masih merupakan perdebatan dan pembahasan yang belum tuntas. 

Makna dan Tujuan Pembangunan
Selama masa yang panjang itu, pengertian tentang pembangunan berkembang sesuai dengan perkembangan pemahaman orang tentang tujuan pembangunan. Secara umum pembangunan dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik di masa depan daripada kondisi yang ada pada waktu sekarang (walal akhiratu khairul laka minal ula, QS, 93 : 4). Ini mengandung pengertian bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi yang dinamis. Dalam masyarakat yang dinamis, kondisi masa depan itu berada dalam proses perubahan dan perkembangan sepanjang waktu (dynamic change). Proses perubahan itu menggambarkan rangkaian perubahan yang bergerak kearah kondisi yang lebih baik. Perubahan itu tidak boleh hanya berlangsung dalam wawasan yang sempit, yang hanya terjadi pada sebagian anggota masyarakat saja, sementara sebagian besar lain tetap tidak berubah. Perubahan itu bersifat menyeluruh (the whole society), yang berlangsung secara bertahap dari satu kondisi kekondisi yang lain. 

Sehubungan dengan hal di atas, ada dua hal yang berhubungan dengan proses pembangunan tersebut. Pertama, bahwa pembangunan itu berorientasi ke masa depan (future oriented). Artinya kondisi yang lebih baik itu ada di masa yang akan datang, yang harus dicapai melalui serangkaian upaya atau strategi. Kedua, pencapaian tersebut tidak seketika dapat terwujud. Ada jangka waktu yang perlu ditempuh dan memerlukan kesabaran atau upaya yang bersifat terus menerus. Dengan kata lain, pembangunan tidak dapat dilakukan hanya dalam sekejap dan dengan sekali pukul, sekali jadi. Tetapi meemerlukan kerja keras yang berkesinambungan. Dan itu tidak berlangsung secara sporadis, melainkan melalui perubahan yang direncanakan dan dilakukan secara bersahaja. Sebab itu dapat dipahami bila tujuan pembangunan itu menjadi cita-cita bersama yang diinginkan (preferable) oleh seluruh anggota masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan baru, pembangunan tidak lagi dapat dilihat hanya terbatas dalam bidang ekonomi, tetapi telah meliputi berbagai bidang kehidupan. Maka itu makna pembangunan juga menjadi lebih luas. Karena itu indikator yang dipakai untuk mengukur perkembangan pembangunan juga menjadi lebih luas dari sekedar indikator-indikator ekonomi saja. Dalam bidang kebijakan publik, kriteria yang dipakai dalam proses perumusan strategi/kebijakan pembangunan juga berubah. Artinya kriteria yang dipakai tidak lagi sekedar kriteria ekonomi seperti tingkat pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan konsumsi, investasi, tingkat pertumbuhan dan jumlah ekspor atau impor dan sebagainya. Tetapi juga mencakup tingkat kesehatan masyarakat, harapan hidup, tingkat pendidikan masyarakat, ketergantungan politik dan ekonomi keluar negeri, kemampuan kemandirian sebuah daerah otonom dan lain-lain. 

Dilihat pada perubahan orientasi ini, selama beberapa decade terakhir terdapat tiga kecenderungan pengertian yang dipakai dalam mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Ketiga pengertian tersebut menggambarkan pemahaman orang tentang pembangunan. Pengertian itu pada waktu yang lalu sering disebutkan sebagai Trilogi Pembangunan yang tercermin dalam prioritas Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di Indonesia. Yang pertama pengertian berdasarkan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita. Jumlah total produksi nasional (GNP atau GDP) dibagi dengan jumlah penduduk. Ukuran ini menjadi satu-satunya ukuran yang sangat dominan sampai pada awal tahun 70-an. Tetapi karena berbagai kelemahan yang ada, pengertian ini mendapat kritik dari banyak pihak. (Mahbub ‘ul Haq, 1976, H.B.Chenery, 1979, Everett E. Hagen, 1980, E. Wayne Nafziger, 1990, J.G.Williamson, 1991).

Diantara beberapa kelemahan yang dikritik para ahli itu adalah, pertama, perhitungan pendapatan nasional hanya dilakukan berdasarkan nilai pasar. Akibatnya, komponen-komponen pendapatan atau beberapa kegiatan produktif yang tidak dapat diukur dengan harga pasar, terabaikan. Pekerjaan ibu rumah tangga misalnya, tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan naasional, sementara kegiatan pembantu, termasuk dalam perhitungan tersebut. Kedua, perhitungan pendapatan per kapita pada umumnya didasarkan pada nilai mata uang dolar (US $). Padahal daya beli dalam negeri sesuatu mata uang seringkali tidak sama dengan nilai tukar mata uang yang bersangkutan terhadap dolar. Ketiga, pengertian berdasarkan pendapatan per kapita mengabaikan unsur keadilan masyarakat dan pemerataan. Pendapatan per kapita sebagai hasil-bagi dari total pendapatan terhadap jumlah penduduk boleh jadi meningkat karena peningkatan total pendapatan yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk. Padahal peningkatan total pendapatan itu boleh jadi hanya berasal dari pendapatan sekelompok kecil anggota masyarakat. Akibatnya, pembangunan dianggap telah berlangsung secara meyakinkan, sementara sebagain besar penduduk lain, tidak mengalami perubahan. Dampak dari pengertian yang demikian terlihat pada pemihakan berbagai kebijakan publik pada kepentingan golongan yang berpendapatan tinggi. 

Karena itu, pada bagian akhir tahun 1970-an, timbul kecenderungan untuk menggantikan atau melengkapi pengertian berdasarkan ukuran pendapatan per kapita dengan pemerataan pendapatan diantara penduduk. Pembangunan dianggap berhasil, kalau sebagian besar penduduk dapat menikmati hasil dari pembangunan itu. Jadi, disamping pertumbuhan, diperlukan adanya pemerataan pendapatan antar kelompok atau golongan dalam masyarakat. Perhitungan yang demikian antara lain ditunjukkan dengan ketimpangan ekstrim, ketimpangan sedang dan ketimpangan moderat. Sejak masa itu, pemerataan (equality) menjadi pertimbangan penting dalam proses perumusan kebijakan publik. Tetapi kemudian, pengertian tersebut juga tidak sepenuhnya diterima para ilmuan. Persolannya terletak pada pertimbangan keadilan dalam berusaha. Pengertian ini dianggap masih kurang tepat, karena pemerataan hanya berdasarkan hasil dari pembangunan, bukan pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini, ada dua pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemerataan hasil mungkin terjadi hanya karena sebagian kecil anggota masyarakat bekerja dengan sungguh-sungguh dalam pembangunan, sedangkan sebagian besar lainnya tidak bekerja apa-apa dan tidak ikut mengahasilkan sesuatu, tetapi ikut menikmati hasil-hasil pembangunan. Kedua, proses pembangunan hanya berlangsung dalam lingkungan yang terbatas dan berada dalam kekuasaan atau dominasi sebagian kecil penduduk. Dengan kata lain, terdapat ketergantungan dari sebagian besar penduduk berpendapatan rendah pada sebagian kecil dari mereka yang berpendapatan tinggi. Kelemahan ini terjadi karena strategi produksi tidak disusun senyawa dengan strategi distribusi (Mahbub ‘ul Haq, 1976: 32 – 34) 

Kemudian, sejak awal tahun 1980-an timbul pengertian yang melihat pembangunan sebagai pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Artinya, pembangunan baru dianggap sukses kalau terjadi pemerataan kegiatan pembangunan diantara berbagai golongan dalam masyarakat dan terdapat pemerataan hasil-hasil dari kegiatan itu. Pemerataan disini bukan terjadi karena pembagian pendapatan dari hasil usaha orang lain, tetapi sebagai hasil usahanya sendiri. Dengan kata lain terdapat partisipasi aktif dari sebagian besar anggota masyarakat dalam pembangunan. Yang dimaksudkan dengan partisipasi aktif disini adalah bahwa keterlibatan mereka dalam pembangunan bukan karena ada desakan atau tekanan dari luar, tetapi sebagai pilihan berdasarkan kemauan sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pengertian kemauan menyangkut azas demokrasi, sebagai hak dari setiap warga negara. Sebagai warga negara, disamping mempunyai hak, dia juga mempunyai tanggungjawab yang harus dipikulnya. Sementara kemampuan menyangkut keperluan adanya pendidikan dan pengembangan ketrampilan. Ini berkaitan dengan kewajiban pemerintah untuk pemberdayaan dan pengembangan kemampuan sumberdaya manusia. Singkatnya, pembangunan baru dianggap berhasil kalau secara terus menerus terdapat pemberdayaan dan pengembangan kemampuan rakyat untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya. 

Globalisasi
Perkembangan teknologi seperti telah dikemukakan terdahulu membawa dunia berada dalam era baru, era informasi. Dalam era ini terjadi interelasi dalam hampir seluruh bidang kehidupan. Tidak hanya dalam masing-masing bidang, tetapi juga antara satu bidang dengan bidang lain. Bidang bisnis terkait erat dengan bidang keuangan, bidang produksi dengan bidang konsumsi, bidang pemerintahan dengan kehidupan rakyat. Dalam era ini, segala sesuatu menjadi terbuka karena informasi melintas melampaui tembok-tembok pengamanan dan batas-batas negara. Pemerintah tidak dapat lagi menutup diri, mengambil sesuatu keputusan atau membuat sesuatu kebijakan terlepas dari rakyat. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan paradigma atau cara berpikir dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai kemakmuran seseorang atau suatu masyarakat, misalnya, tidak lagi diukur berdasarkan jumlah kekayaan (property) seperti halnya pada era pertanian, atau pada ukuran pemilikan modal (the accumulation of capital) pada era industri. Tetapi itu diukur pada penguasaan dan kemampuan memanfaatkan informasi. Singkatnya, informasi telah menggantikan kedudukan kekayaan dan modal dalam kehidupan bermasyarakat. Keadaan ini selanjutnya menjadi landasan dan memberi dukungan pada munculnya dan berkembangnya kegiatan ekonomi dan bisnis yang berskala internasional. Perdagangan meluas membawa keterkaitan antara produksi dan konsumsi secara internasional. Ini ditopang oleh puluhan dan bahkan ratusan perusahaan-perusahaan transnasional yang menguasai sumberdaya dan pasar diseluruh dunia. Pada saat ini, di Asia Tenggara saja terdapat tidak kurang dari 130 perusahaan transnasional milik Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain bergerak dalam bidang-bidang elektronik, pembuatan mobil, metal, telekomunikasi dan petrokimia. 

Proses integrasi antar negara dan antar masyarakat di seluruh dunia ini, yang disebut globalisasi, membawa berbagai dampak. Baik yang positif maupun yang negatif. Dampak positif timbul sebagai manfaat dari perkembangan potensi akal manusia (improvement of human potential) untuk mampu menguasai lingkungan. Dengan itu, alam yang diciptakan Allah untuk kepentingan manusia, sampai batas tertentu, dimanfaatkan secara optimal. Tetapi kemampuan memanfaatkan itu seringkali tidak disertai oleh batasan-batasan keimanan, yang pada gilirannya telah merusakkan alam dan kehidupan sesama manusia. Manusia yang diberi kesempatan untuk menikmati alam sebagai karunia, karena keserakahannya, telah menciptakan sebab dari timbulnya bencana yang menimpa manusia itu sendiri. Sayangnya, karena kebodohannya, bencana itu menimpa mereka yang tidak berdaya ketimbang mereka yang menciptakan kerusakan. 

Bersamaan dengan adanya dampak negatif sebagai akibat dari keserakahan yang disertai dengan kemampuan tersebut, telah menimbulkan pula ketergantungan negara-negara berkembang pada negara-negara maju. Negara-negara berkembang yang pada umumnya merupakan negara-negara bekas jajahan, sekalipun sudah memperoleh kemerdekaan setelah Perang Dunia II, namun belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada negara-negara bekas penjajah. Keadaan ini tidak saja disebabkan karena mereka tidak mampu untuk berdiri sendiri, tetapi juga karena doktrin yang diterima membenarkan ketergantungan itu. Sebab itu, dalam perkembangan dunia sekarang, ketergantungan itu meluas, tidak saja pada negara-negara bekas penjajah, tetapi juga pada negara-negara kuat lainnya. Karena ketergantungan itu lebih berdasar pada keyakinan dan pemahaman yang dianggap keliru, maka para penganjur teori dependency dan ilmuan strukturalis, antara lain seperti Prof. Dr. Mubiyarto, Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Prof. Dr. Sritua Arief di Indonesia dan Fernando H. Cardoso, Samir Amin, David Gould di belahan dunia lain menganjurkan adanya rekonstruksi terhadap pemikiran dan pengajaran pembangunan dan ilmu ekonomi di Perguruan-Perguruan Tinggi dari terori yang hanya berorientasai pada teori Neo-Klasik kepada pemikiran dan ajaran yang lebih realistis. Globalisasi yang dilandasi oleh teori kebebasan pasar dari Neo Klasik itu menjadi tidak realistis terhadap kondisi negara-negara berkembang. Keadaan ini diperparah lagi karena sikap munafik dan perlakuan yang tidak fair dari negara-negara maju dalam menerapkan konsep pembangunan yang digagasinya sendiri terhadap negara-negara berkembang. 

Konsep pembangunan berdasarkan pasar bebas menjadi strategi global melalui sebuah konsensus antara IMF, World Bank dan US Treasury, yang disebut sebagai “Washington Consensus” pada tahun 1980. Konsep yang disepakati itu disebut mereka sebagai strategi yang “tepat” untuk negara-negara berkembang. Strategi tersebut menurut Stiglitz lebih berorientasi pada permasalahan yang dihadapi negara-negara Amerika Latin yang kehilangan kontrol terahadap Anggaran Belanja Negara dan inflasi. yang cukup tinggi pada waktu itu. Konsep itu melalui IMF hendak dipaksakan bagi semua negara, sekalipun kondisi makro dan mikro dari negara-negara-negara tersebut tidak sama. Sebab itu menurut Stiglitz, konsep IMF itu lebih banyak membawa bencana ketimbang manfaat bagi negara-negara berkembang. Konsep persaingan bebas yang tidak seimbang antara kekuatan raksasa dari negara-negara maju dengan negara-negara berkembang yang miskin dan masih lemah benar-benar tidak masuk akal. Di samping itu terdapat sikap hipokrit dari negara-negara maju. Di satu pihak menganjurkan liberalisasi pasar dengan penghapusan proteksi dan subsidi pada negara-negara berkembang, dilain pihak, pada saat yang sama memperlakukan proteksi dan subsidi terhadap hasil-hasil pertanian dari negaranya sendiri. Sebab itu tidak heran kalau konsep globalisasi yang demikian mendapat kritik tajam diseluruh dunia (Stigliz, 2002: 3-22; dan p. 23 – 52).

Ketergantungan
Ketergantungan negara-negara berkembang pada negara-negara maju menjadi lebih intensif melalui proses globalisasi yang digagaskan negara-negara maju itu. Tetapi sebab dari ketergantungan tersebut secara inheren sebenarnya sudah terlebih dahulu ada. Ketergantungan itu dapat dijelaskan melalui dua pendekatan, pendekatan historis dan pendekatan struktural. Pandangan historis melihatnya pada perkembangan pembangunan sepanjang waktu yang terjadi di Amerika Latin dan Afrika. Seperti sudah disebutkan diatas, sekalipun negara-negara bekas jajahan telah menyatakan kemerdekaan, namun masih tetap menjadi satelit dari negara bekas penjajah. Proses pembangunan di negara-negara tersebut tidak berorientasi pada kepentingan rakyatnya, tetapi lebih cenderung menjadi pelayan bagi negara-negara induk bekas penjajah. Akibatnya, pembangunan menjadi tidak realistis terhadap lingkungan dan kondisi masyarakat yang ada. Sementara pendekatan structural menjelaskan ketergantunngan ini sebagai akibat dari ketidak-selarasan kepentingan atau living condition antar kelompok dan antar negara (Johan Galtung, dalam Siregar, 1991: 131; Cardoso et.al, 1979: xiv -xviii). Menurut pendekatan Struktural ini, dunia dapat dibagi atas dua bagian yang terdiri dari bangsa-bangsa atau negara-negara Pusat dan negara Pinggiran. Pada tiap negara, baik negara Pusat maupun negara Pinggiran ada kolompok masyarakat pusat dan kelompok masyarakat pinggiran. Dengan demikian di negara Pusat ada kelompok pusat-Pusat dan ada kelompok pinggiran-Pusat. Demikian juga pada negara Pinggiran, ada pusat-Pinggiran dan pinggiran-Pinggiran. 

Interaksi antara negara maju dengan negara miskin selanjutnya menjadi hubungan yang bersifat dominasi yang bersifat permanen oleh negara maju (negara Pusat) terhadap negara berkembang (negara Pinggiran), yang disebut sebagai imperialisme. Pengertian imperialisme disini tidak sama dengan penaklukan dengan kekuatan senjata atau penjajahan politik yang dapat hapus dengan adanya kmerdekaan suatu negara. Hal ini berlangsung secara permanen karena tiga kondisi:
  1. ada keselarasan hubungan antara kelompok masyarakat pusat dalam negara Pusat dengan kelompok masyarakat pusat dalam negara Pinggiran. 
  2. ketidak selarasan hubungan antara kelompok masyarakat pusat dengan kelompok masyarakat pinggiran di negara Pinggiran lebih besar daripada ketidak selarasan hubungan antara kelompok masyarakat pusat dengan kelompok masyarakat pinggiran di negara Pusat.
  3. tidak ada keselarasan hubungana antara kelompok masyarakat pinggiran dalam negara Pusat dengan kelompok masyarakat pinggiran dalam negara Pinggiran.. 
Dalam keadaan demikian dapat dimengerti kalau kelompok elit (kelompok masyarakat pusat) dinegara Pinggiran lebih cenderung membela kepentingan elit (kelompok masyarakat pusat) di negara maju ketimbang membela kepentingan masyarakat miskin (kelompok masyarakat pinggiran) dinegaranya sendiri. Sementara kelompok amsyarakat pinggiran di negara maju lebih cenderung membela kepentingan elit (kelompok masyarakat pusat) di negaranya sendiri ketimbang kepentingan sesama kelompok pinggiran dari negara pinggiran. Dengan demikian kelompok masyarakat miskin di negaara berkembang menjadi kelompok yang dipinggirkan atau dikorbankan.

Konsekuensi dari posisi dan hubungan yang demikian mengakibatkan adanya interaksi yang bersifat asimetris. Yakni proses interaksi yang makin melebarkan ketimpangan antara negara Pinggiran (negara berkembang) dengan negara Pusat (negara maju). Pengaruhnya terlihat pada berbagai keuntungan dan dominasi yang lebih besar bagi negara maju dalam bidang ekonomi, politis, dalam struktur hubungan internasional, militer, komunikasi, pendidikan, psikologis dan pengaruh sosial lainnya. (Johan Galtung, 1991: 136-143). Proses asimetris ini tidak dapat diralat sekedar dengan kebijakan moneter atau dengan menaikkan harga penjualan bahan mentah, karena hal itu tidak dapat menyumbang pada ketimpangan pengaruh antar aktor dan stakeholders dari proses tersebut. Sayangnya, seperti yang dikemukakan Prof. Dr. Sri-Edi Swasono (Sri-Edi Swasono, 2003: p. 16), studi ilmu ekonomi selama ini masih kurang menaruh perhatian terhadap struktur sosial dan proses interaksi yang demikian. Sebab itu diperlukan adanya pengkajian ulang terhadap studi ekonomi dan pembangunan untuk lebih menaruh perhatian pada kajian tentang struktur sosial dan politik serta pada perkembangan antar waktu dari pengaruh yang timbul dari hubungan tersebut. Kalau tidak, kjian itu akan menjadi tidak realistis terhadap lingkungan masyarakat yang ada.

Kesimpulan;
  1. Perkembangan teknologi telah dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai lingkungan, meningkatkan kecepatan gerak, mempermudah hubungan antar manusia dan meningkatakan jumlah dan jenis produksi yang jauh lebih banyak daripada yang dapat dilakukan lima puluh tahun yang lalu. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, bermiliar-miliar ummat manusia masih hidup pada tingkat kemiskinan yang amat parah diseluruh dunia. 
  2. Perkembangan teknologi itu juga telah menyebabkan terjadinya globalisasi atau proses integrasi antar negara dan antar masyarakat diseluruh dunia menjadi lebih intensif. Namun karena inisiatif dari interaksi tersebut datangnya dari negara-negara maju, proses itu lebih banyak mewakili aspirasi dan kepentingan negara-negara maju. Akibatnya, hubungan itu menjadi asimetris, sehingga lebih memperlebar kesenjangan dan ketergantungan negara-negara berkembang pada negara-negara maju... 
  3. Karena ketergantungan dan proses interaksi tersebut lebih banyak berakar pada kajian bidang-bidang ilmu lain diluar kajian ilmu ekonomi konvensional, studi pembangunan dan ilmu ekonomi di Indonesia masih kurang menaruh minat pada studi struktural dan akibat-akibat yang ditimbulkannya sepanjang waktu. Sebab itu sangat dianjurkan untuk segera melakukan kajian ulang dan restrukturisasi kurikulum dalam studi pembangunan dan ilmu ekonomi yang terlalu berorientasi pada teori Neo Clasik kepada kajian yang lebih realistis¡

Daftar Pustaka;
  • Arief, Sritua, Indonesia Tanah Air Beta, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001.
  • Cardoso, Fernando Henrique and Enzo faletto, dependency and development in Latin America, (translated), Berkeley, Los Angeles: University of California Press, 1979.
  • Legrain, Philippe, Open World: The truth about Globalisation, London: Abacus, 2003.
  • Mubyarto, membanguan Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE, 2000.
  • Ekonomi Pancasila, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM, 2002.
  • Daniel W. Bromley, Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.
  • Reynolds, Christopher, Global Logic, The Challenge of Globalization for Southeast Asian Business, Singapore and New York: Prentice Hall, 2002.
  • Siregar, Amir Effendi, (ed.) Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991
  • Stiglitz, Joseph, Globalization and Its Discontents, London: Allen Lane, Penguin Books, 2002.
  • Swasono, Sri-Edi, Ekspose Ekonomika: Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi, Jakarta: UI – Press, 2003.
  • *) Prof. Dr. Said Zainal Abidin adalah Guru Besar Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Lembaga Administrasi Negara (LAN). Tulisan ini disampaikan sebagai Pandangan Pakar dalam bedah buku “Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi” oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang diselenggarakan oleh STIA LAN pada tanggal 10 Desember 2003-red
Blog, Updated at: 15.15.00

0 komentar:

Posting Komentar