Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
Dari segi teoretis, masalah hubungan hukum nasional dengan hukum internasional sangat tergantung pada dari mana kita memandang persoalan itu, atau sangat tergantung dari sudut pandang pembahas (Kusumaatmadja, 1982). Dalam teori ada dua pandangan tentang hukuminternasional, yaitu pandangan voluntarisme dan obyektivis. Voluntarisme mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara.
Sedangkan pandangan obyektivis menganggap ada dan berlakunya hukum internasonal ini lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda tersebut akan membawa akibat yang berbeda, pandangan pertama mengakibatkan adanya hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan obyektif menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum.
Menurut pandangan pertama di atas, bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku di dalam lingkungan hukum nasional. Kusumaatmadja menyimpulkan, bahwa apabila kita menghendaki adanya masyarakat internasional yang aman dan sejahtera, maka kita harus mengakui adanya hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional. Konsekuensinya adalah hukum nasional mau tidak mau harus tunduk pada hukum internasional. Dengan demikian berlakunya hukum internasional tergantung pada kemauan negara.
Dalam hubungan antaranegara secara empirik, apabila ada perkembangan hukum baru, negaranegara diharapkan melakukan ratifikasi hukum baru tersebut ke dalam hukum nasionalnya masingmasing. Demikian sebaliknya, hukum internasional dalam pelaksanaannya bersifat komplementer, artinya untuk menangani masalah tertentu mengutamakan berlakunya hukum nasional.
Apabila dalam kasus tertentu hukum internasional tidak mengatur, maka hukum internasional mempersilahkan menyelesaiakan menurut hukum nasional masing-masing. Pada umumnya setiap hukum nasional mengandung dimensi hubungan hukum internasional, demikian juga hukum internasional memberi peluang berlakunya hukum nasional. Secara praktis dalam hubungan antarbangsa, para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian internasional, pada umumnya setiap perjanjian memuat klausul terutama tentang hukum mana yang digunakan, bila terjadi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban dalam perjanjian internasional itu. Dalam hal ini nampak ada hubungan yang sangat erat antara hukum nasional dengan hukum internasional.
2. Ruang Lingkup Hukum Internasional
Secara garis besar, hukum internasional dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Perdata Internasional dan Hukum Publik Internasional.
Hukum Perdata Internasional, merupakan asas, kaidah, aturan hukum yang mengatur hubungan antarnegara, badan-badan internasional dan bangsa dalam bidang perdata, khususnya perdagangan. Secara lebih gamblang van Brakel (Sunaryati Hartono, 1976), mengatakan: “Internationaal Privaatrecht is nationaal recht voor internationaal rechtsverhoudingen geschreven” (Hukum Perdata Internasional adalah hukum nasional yang didakan untuk hubungan-hubungan internasional). Juga Gou Giok
Siong (1961) mengatakan, bahwa Hukum Perdata Internasional bukanlah hukum internasional, tetapi hukum nasional. Jadi Hukum Perdata Internasional bukan sumber hukumnya internasional, tetapi materinya yaitu hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa yang merupakan obyeknyalah yang internasional. Bahkan ada pandangan yang agak berlainan, misalnya, Niboyet (Sunaryati Hartono, 1976) menganggap bahwa Hukum Perdata Internasional termasuk hukum publik. Selain ini ada pula yang berpendapat bahwa
Hukum Perdata Internasional bukan hukum perdata, karena ini terdiri-dari kaedah-kaedah penunjuk, jadi tidak memuat kaedah-kaedah hukum materiil. Terhadap pandangan ini, Schnitzer mengemukakan, bahwa kini makin lama makin banyak terdapat kaedah tersendiri yang mengatur hubungan-hubungan internasional secara materiil dan khusus, secara berbeda dengan hukum perdata intern, dan tidak hanya menunjuk kepada kaeda salah satu sistem hukum yang ada. Hal ini terutama terdapat di bidang hukum perjanjian internasional seperti hukum perdagangan internasional, pengangkutan internasional, devisa dan sebagainya. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum perdata internasional timbul karena adanya unsur asing dalam suatu peristiwa hukum perdata.
Karena adanya unsur asing itu, maka timbul pertanyaan: kaedah hukum mana yang harus berlaku? Bagaimana perkembangan Hukum Perdata Internasional Indonesia sekarang? Hukum Perdata Internasional Indonesia sudah mulai berkembang, sebagai akibat bertambah rumitnya pergaulan (terutama hubungan perdagangan) antara orang Indonesia dengan orang asing, khususnya setelah terbuka kembali kemungkinan orang asing menanamkan modalnya di Indonesia.
Hukum Publik Internasional, merupakan asas, kaidah, aturan hukum yang mengatur hubungan antarnegara, badan-badan internasional dan bangsa (gejala perkembangan hukum internasional sedang berproses terus, misalnya hukum diplomatik, hukum laut, hukum ruang angkasa, hukum humaniter, dan hukum hak azasi manusia). Hukum Pidana Internasional sebagai bagian dari Hukum Publik Internasional perkembangannya sangat pesat, dengan komitmen negara-negara yang menjadi anggota PBB untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak azasi manusia.
Setelah Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman dan sekutunya, pihak negaranegara yang menang mengeluarkan piagam tentang peradilan penjahat perang dan kemanusiaan, yang dikenal dengan Charter of the international Military Tribunal tahun 1945, sebagai landasan untuk mendirikan Peradilan Militer Internasional (International Milaitary Tribunal). Setelah Perang Dunia II cukup banyak Peradilan Militer Internasional yang dibentuk untuk mengadili para penjahat perang, antara lain:
International Military Nuremberg, tahun 1945, International Military Tribunal for the far East (IMTFE) Tokyo 1946, International Tribunal for the prosecution of persons responsible for serious violations of International Humanitarian Law Commited in the Territory of the former Yugoslavia since 1991 (ICTY), International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) sesuai dengan Resolusi DK PBB No. 955 tahun 1994.
Dalam hal terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Timor Timur, berdasarkan Report of the Commission of Inquiry dalam UN Doc.5/2000/59 direkomendasikan pembentukan “International Human Right Tribunal” ad hoc, untuk mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan di Timor Timur.
0 komentar:
Posting Komentar