B. PENDIDIKAN
1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI
Sasaran pernbangunan pendidikan dalam Repelita VI sesuai petunjuk GBHN 1993 adalah mantapnya penataan pendidikan nasional untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertagwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, dengan mengutamakan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar serta perluasan pendidikan keahlian dan kejuruan.
Secara lebih rinci sasaran Repelita VI adalah terwujudnya keterkaitan dan kesepadanan yang lebih baik antara pendidikan dan dunia kerja; meningkatnya pernerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang ditunjukkan oleh angka partisipasi kasar (APK) pada akhir Repelita VI sekitar 115 persen untuk SD terrnasuk M1, sekitar 66 persen untuk SLTP termasuk madrasah tsanawiyah (MTs), sekitar 41 persen untuk SLTA termasuk madrasah aliyah (MA), dan sekitar 13 persen untuk PT termasuk perguruan tinggi agama (PTA); meningkatnya jumlah guru SD yang berkualifikasi D2, guru SLTP yang berkualifikasi D3 dan guru SLTA yang berkualifikasi S1 dan menurunnya angka buta aksara penduduk usia 10 tahun ke atas menjadi sekitar 10 persen.
Untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan pendidikan dalam Repelita VI tersebut, ditempuh berbagai kebijaksanaan, antara lain melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun; membina pendidikan menengah umum, pendidikan menengah kejuruan, pendidikan tinggi dan pendidikan luar sekolah; membina guru dan tenaga kependidikan lainnya; mengembangkan kurikulum dan buku; melengkapi sarana dan prasarana pendidikan; meningkatkan peran serta masyarakat termasuk dunia usaha dalam penyelenggaraan pendidikan; serta meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas pendidikan.
Berdasarkan pada sasaran dan kebijaksanaan pembangunan pendidikan nasional tersebut, dalam Repelita VI dilaksanakan berbagai program pokok yang meliputi : (1) pembinaan pendidikan dasar, (2) pembinaan pendidikan menengah, (3) pembinaan pendidikan tinggi, (4) pendidikan luar sekolah, (5) pendidikan kedinasan, dan (6) pembinaan tenaga kependidikan. Programprogram tersebut didukung oleh 6 program penunjang, dua diantaranya dilaporkan dalam bab ini adalah program penelitian dan pengembangan pendidikan, dan program pengembangan informasi pendidikan. Sedangkan program lainnya dilaporkan pada sektor-sektor yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan sampai dengan Tahun Keempat Repelita VI
Pembangunan pendidikan diselenggarakan melalui berbagai program pokok dan program penunjang, yang pokok-pokok pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a. Program Pokok
1) Program Pembinaan Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar sebagai jenjang awal dari pendidikan di sekolah ditujukan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Menurut UUSPN, pendidikan dasar meliputi pendidikan selama 6 (enam) tahun pada sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI) dan selama 3 (tiga) tahun pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) atau madrasah tsanawiyah (MTs). Dalam Repelita VI program ini meliputi pembinaan pendidikan prasekolah, pembinaan sekolah dasar, pembinaan sekolah lanjutan tingkat pertama, dan pembinaan sekolah luar biasa.
a) Pembinaan Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah bertuj uan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Pendidikan prasekolah diselenggarakan antara lain melalui Taman Kanak- kanak (TK), kelompok bermain dan penitipan anak. Taman Kanakkanak merupakan bentuk satuan pendidikan prasekolah pada jalur sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Walaupun pendidikan prasekolah tidak merupakan prasyarat untuk memasuki pendidikan dasar, namun pendidikan prasekolah diharapkan dapat menjadi landasan bagi anak didik untuk melanjutkan ke sekolah dasar sehingga keberhasilan pendidikan pada jenjang sekolah dasar dapat lebih terjamin.
Dalam penyelenggaraan pendidikan TK, kesempatan yang seluas-luasnya dibuka bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan TK disertai dengan bimbingan dan pembinaan. Prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam pembinaan pendidikan prasekolah tercermin dari meningkatnya jumlah TK yang dikelola oleh masyarakat. Jumlah TK Swasta sampai dengan tahun 1997/98 telah mencapai sekitar 41 ribu sekolah, sementara jumlah TK Negeri hanya 131 buah.
Upaya peningkatan mutu pendidikan pada TK dalam Repelita VI dilakukan melalui penyelenggaraan penataran guru, kepala sekolah, dan pengawas TK dalam bidang metodologi mengajar dan manajemen TK, pembinaan kurikulum, dan bantuan pengadaan buku perpustakaan, peralatan pendidikan serta pelaksanaan lomba kreativitas guru dan murid. Di samping itu untuk meningkatkan mutu pendidikan prasekolah dibangun TK Pembina yang berfungsi sebagai TK percontohan di berbagai propinsi serta dimaksudkan pula sebagai tempat pendidikan dan pelatihan bagi para guru dan pengelola TK. Jumlah TK Pembina sampai dengan tahun 1997/98 adalah 115 buah.
b) Pembinaan Sekolah Dasar
Pendidikan sekolah dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke SLTP.
Perluasan kesempatan belajar di sekolah dasar termasuk madrasah ibtidaiyah (SD-MI) dilaksanakan terutama melalui Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar (Inpres SD) yang diselenggarakan sejak tahun 1973, yang kemudian didukung oleh Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Enam Tahun yang dilancarkan sejak tahun 1984. Program Inpres SD dan Program Wajib Belajar Enam Tahun telah mencapai hasil yang cukup memuaskan. Hal ini ditandai dengan tercapainya angka partisipasi murni pada jenjang SD dan MI sebesar 94,8 persen dan angka partisipasi kasar sebesar 113,6 persen pada tahun 1997/98.
Melalui Program Inpres SD selama Repelita VI telah ditingkatkan penyediaan berbagai fasilitas, yaitu unit gedung baru (UGB), tarnbahan ruang kelas (TRK), rumah dinas guru, rumah dinas kepala sekolah, dan rumah penjaga sekolah serta asrama murid; alat peraga, buku pelajaran pokok dan buku bacaan; serta ditingkatkan pula penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan (BOP) (Tabel XVIII-2). Dalam kurun waktu tersebut, pembangunan UGB mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini sesuai dengan menurunnya jumlah penduduk usia 7-12 tahun sebagai hasil dari program keluarga berencana, yang menyebabkan menurunnya jumlah murid di sekolah dasar. Oleh karena itu pembangunan UGB hanya diprioritaskan pada daerah permukiman baru, daerah transmigrasi dan daerah terpencil. Pada tahun 1997/98 pembangunan UGB mengalami peningkatan dengan adanya pembangunan gedung MI sebanyak 104 UGB. Selama ini MI yang tersedia belum seluruhnya dapat menampung murid yang ada sehingga murid harus belajar secara bergantian yaitu kelas pagi dan kelas siang (double shift). Secara kumulatif dalam lima tahun terakhir ini telah dibangun sebanyak 2.761 UGB yang terdiri dari 699 UGB pada tahun 1993/94 dan 2.062 UGB selama 4 tahun Repelita VI. Pembangunan TRK dalam kurun waktu yang sama juga meningkat. Pembangunan TRK ditujukan untuk meningkatkan daya tampung bagi sekolah-sekolah yang berada di daerah padat penduduk. TRK digunakan juga untuk melengkapi fasilitas SD Inti yaitu untuk ruang perpustakaan, ruang KKG (Kelompok Kerja Guru), atau ruang serba guna SD Inti merupakan SD percontohan yang berfungsi melayani SD-SD di sekitarnya. Secara kumulatif dalam periode tersebut telah dibangun sebanyak 12.176 TRK, terdiri dari 1.600 TRK pada tahun 1993/94 dan 10.576 TRK selama 4 tahun Repelita VI (Tabel XVIII-2).
Untuk memperbaiki sekolah-sekolah yang rusak, kepada daerah disediakan bantuan rehabilitasi SD/MI. Sejak tahun 1994195 (tahun pertama Repelita VI) bantuan rehabilitasi SD/MI yang pada tahun sebelumnya menjadi, komponen kegiatan dalam Inpres SD dialihkan melalui Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat 11 (Inpres Dati 11). Kebijaksanaan ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan peran Dati 11 terhadap keberadaan SD di wilayahnya. Di samping itu diharapkan agar rehabilitasi SD/MI dapat dilaksanakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna karena Pemda Dati 11 dapat lebih leluasa dalam menentukan lokasi secara lebih tepat.
Pada tahun 1998/99 sebagai tahun terakhir Repelita VI program Inpres SD dilanjutkan dengan pembangunan 343 gedung baru SD dan MI terutama di daerah transmigrasi dan permukiman baru; pembangunan 850 rumah kepala sekolah, rumah penjaga sekolah, rumah guru dan asrama murid; pembangunan tambahan ruang kelas sebanyak 3.033 ruang; pemberian bantuan biaya operasional dan perawatan dan pembinaan olahraga dan pramuka bagi sekitar 171.300 SD/MI; pengadaan 27 juta buku pelajaran pokok dan 13,5 juta buku bacaan; penataran dan penyetaraan guru SD dan MI setara D2 bagi 255 ribu orang; serta pengadaan 23 ribu set alat peraga pendidikan.
Berbagai upaya pembangunan tersebut telah menghasilkan peningkatan angka partisipasi pendidikan (Tabel XVII-1). Pada tahun 1997/98 angka partisipasi murni (APM) atau rasio jumlah murid SD/MI berusia 7-12 tahun terhadap jumlah penduduk kelompok usia 7-12 tahun mencapai 94,8 persen. APM SD/MI yang telah dicapai tersebut telah melampaui sasaran tahun keempat Repelita VI sebesar 94 persen dan bahkan telah mencapai sasaran akhir Repelita VI yang juga sebesar 94 persen. Jika dibandingkan dengan APM lima tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1992/93 yang mencapai 91,5 persen, maka APM tahun 1997/98 mengalami peningkatan sebesar 3,3 persen. Sementara itu angka partisipasi kasar (APK) atau rasio jumlah murid SD-MI terhadap jumlah penduduk kelompok usia 7-12 tahun pada tahun 1997/98 meningkat pula menjadi 113,6 persen dari 107,4 persen pada tahun 1992/93, atau mengalami peningkatan sebesar 6,2 persen dalam kurun waktu lima tahun. APK SD/MI tahun 1997/98 dapat dikatakan telah mencapai sasaran tahun keempat Repelita VI yaitu sebesar 113,9 persen.
Meskipun angka partisipasi dan daya tampung selalu meningkat, masih ada sekitar 5,2 persen anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah. Hal ini disebabkan terutama oleh rendahnya kemampuan ekonomi keluarga dan sulitnya menjangkau sekolah karena tinggal di daerah terpencil dan kebiasaan berpindah-pindah. Guna meningkatkan pelayanan pendidikan bagi masyarakat suku terasing, penduduk yang berpindah-pindah dan penduduk yang tinggal di daerah-daerah berpendudukjarang,sejak tahun 1995/96 dikembangkan SD satu guru. SD satu guru adalah SD yang memiliki murid sangat sedikit sehingga pada tahap awal hanya dibutuhkan satu guru. Guru tersebut diseleksi secara ketat dan dipersiapkan secara khusus sebelum ditugaskan. Sampai dengan tahun 1997/98 sudah dikembangkan sebanyak 13 SD satu guru di 13 propinsi yaitu di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Irian Jaya.
Guna memberi perhatian pada anak penyandang cacat fisik atau mental yang berusia 7-12 tahun yang belum dapat mengikuti pendidikan di sekolah dilaksanakan program guru kunjung. Program ini yang dirintis sejak awal Repelita V terus dilanjutkan terutama bagi anak-anak di daerah terpencil. Bagi siswa yang berprestasi dan berasal dari keluarga tidak mampu diberikan beasiswa. Pada Repelita VI pemberian beasiswa terus ditingkatkan. Pada awal Repelita VI beasiswa diberikan pada sekitar 30 ribu siswa, dan pada tahun keempat (1997/98) beasiswa diberikan pada hampir 47 ribu siswa. Program bantuan seperti pemberian beasiswa ini telah pula menggugah masyarakat untuk membantu, misalnya melalui Yayasan Supersemar, juga melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA). Lembaga ini juga telah menyalurkan bantuan ke seluruh propinsi berupa pakaian seragam yang terdiri dari pakaian sekolah, pakaian pramuka dan pakaian olahraga, serta peralatan sekolah.
Dalam upaya mengurangi angka putus sekolah dan angka tinggal kelas sebagai salah satu akibat dari rendahnya mutu gizi dan kesehatan anak, dikembangkan program makanan tambahan untuk anak sekolah (PMT-AS). Program ini dinamakan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah atau disingkat PMT-AS dan telah diujicobakan sebelumnya oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1996/97 program ini dicanangkan sebagai program nasional yang terpadu dan lintas sektor dengan sumber pendanaan melalui Inpres Sarana Kesehatan dan ditujukan bagi siswa SD dan MI Negeri dan Swasta yang berlokasi di desa tertinggal (IDT). Pada tahun 1996/97 program PMT-AS baru menjangkau 21 propinsi di luar pulau Jawa dan Bali yang mencakup lebih dari 2,3 juta murid di 18.518 SD/MI, tersebar di 14.445 desa tertinggal di 175 kabupaten. Mulai tahun 1997/98 dengan dukungan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1997 tanggal 15 Januari 1997 program ini diperluas ke seluruh SD dan MI negeri maupun swasta di desa IDT di seluruh Indonesia yaitu di 297 kabupaten, 26.421 desa/kelurahan IDT serta menjangkau lebih 7,2 juta murid di 49.539 SD/MI. Sesuai dengan hasil ujicoba sebelumnya, PMT-AS diberikan paling sedikit tiga hari dalam seminggu selama 9 bulan waktu belajar efektif atau selama 108 hari. Makanan tambahan yang disiapkan sekurangkurangnya mengandung 300 kalori dan 5 gram protein. Agar konsumsi makanan tambahan tersebut menjadi efektif, setiap anak juga diberi obat cacing setiap 6 bulan sekali atau dua kali setahun. Program ini dimaksudkan juga sebagai upaya meningkatkan gizi dan kesehatan anak sekolah. Salah satu prinsip dari PMT-AS adalah bahwa bahan makanan yang menjadi unsur pokok makanan tambahan harus diperoleh dari hasil pertanian desa setempat atau desa sekitar. Dengan demikian program ini juga merupakan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan ekonomi desa. Pada tahu 1998/99 progam ini akan dilanjutkan dengan sasaran yang sama yaitu seluruh SD dan MI di desa-desa tertinggal di seluruh Indonesia dengan menekankan kegiatan pada peningkatan cakupan dan mutu penyelenggaraannya, karena didukung oleh data dan sistem informasi yang lebih baik.
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dasar, melalui program Inpres SD antara lain dilakukan penambahan jumlah dan jenis buku pelajaran dan buku bacaan, serta pengadaan alat peraga untuk berbagai mata pelajaran (Tabel XVTII-2). Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini telah dilakukan pengadaan buku pelajaran pokok sebanyak 214,5 juta eksemplar, yaitu 14,9 juta eksemplar pada tahun 1993/94 dan 199,6 juta eksemplar selama Repelita VI. Upaya ini dilakukan untuk mempercepat penyediaan buku pelajaran anak sekolah dasar sehingga memenuhi kebutuhan satu paket (7 buah buku) untuk satu anak. Sasaran paket buku pelajaran untuk semua murid sekolah telah dicapai pada tahun 1997/98, namun karena berbagai hal terutama masalah lokasi sekolah dan keadaan geografis maka di beberapa lokasi masih terdapat kekurangan buku pelajaran. Pada tahun 1998/99 pengadaan buku pelajaran akan dilanjutkan yaitu guna mengganti buku-buku yang telah digunakan selama tiga tahun atau lebih dan melengkapi sekolah-sekolah yang masih kekurangan. Dalam rangka meningkatkan minat baca di tingkat sekolah dasar dalam kurun waktu yang sama diadakan buku bacaan untuk perpustakaan sekolah sebanyak 95,7 juta eksemplar, yaitu 22,2 juta eksemplar pada tahun 1993/94 dan 73,5 juta eksemplar selama 4 tahun Repelita VI, yang didistribusikan ke seluruh sekolah dasar termasuk madrasah ibtidaiyah. Pada tahun 1997/98 telah dilakukan pengadaan peralatan perpustakaan sekolah melalui komponen bantuan operasional dan perawatan.
Untuk meningkatkan pendidikan jasmani (olahraga) dan kepramukaan di sekolah dasar, melalui program Inpres SD, sejak tahun 1995/96 telah diberikan bantuan olahraga dan pramuka bagi seluruh SD Negeri, SD Swasta dan MTs Swasta. Di samping itu dalam rangka meningkatkan mutu SD dilakukan berbagai kegiatan antara lain pembinaan kemampuan profesionalisme guru melalui penyelenggaraan kelompok kerja guru (KKG).
Mutu guru SD ditingkatkan melalui berbagai penataran dan penyetaraan Diploma II (D2), sesuai dengan ketetapan bahwa pendidikan D2 adalah syarat minimal untuk guru SD-MI. Program penyetaraan D2 mulai dilaksanakan pada tahun 1990/91. Sampai dengan tahun 1997198 guru SD (guru kelas dan guru pendidikan jasmani dan kesehatan) yang mengikuti pendidikan D2 adalah sekitar 400 ribu orang, baik melalui bantuan pemerintah (APBN) maupun secara swadana. Peserta penyetaraan D2 ini juga termasuk guru pendidikan agama SD/MI dari semua agama, dan mulai tahun 1997/98 kesempatan juga diberikan kepada guru kelas MI. Pada tahun 1998/99 melalui APBN direncanakan akan diterima sekitar 36 ribu orang peserta baru. Dengan demikian masih ada sekitar 260 ribu guru SD/MI yang belum mengikuti penyetaraan D2.
Untuk menumbuhkembangkan wawasan iptek sejak dini, dilakukan penyempurnaan kurikulum dan metode belajar mengajar dan mengembangkannya sesuai dengan perkembangan jiwa dan daya nalar anak. Proporsi mata pelajaran matematika dan IPA dalam kurikulum sekolah dasar diperbesar, serta wawasan iptek diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Pengembangan wawasan iptek ini diimbangi dengan pembekalan keimanan dan ketaqwaan (imtaq) dan wawasan kebangsaan sehingga diharapkan dapat membentuk perkembangan pribadi yang utuh, selaras dan seimbang.
c) Pembinaan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di SD, yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara, serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan menengah. Pembinaan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dalam Repelita VI lebih ditekankan pada upaya perluasan kesempatan memperoleh pendidikan dan peningkatan mutu sebagai bagian dari program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Dalam rangka Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, daya tampung SLTP terus ditingkatkan. Dalam lima tahun terakhir ini telah dilaksanakan pembangunan gedung baru sebanyak 1.860 unit gedung baru (UGB) yaitu sebanyak 205 unit dibangun pada tahun 1993/94 dan 1.655 unit selama 4 tahun Repelita VI. Selain itu dilakukan pula pembangunan 25.357 ribu ruang kelas baru (RKB), yaitu 1.878 ruang pada tahun 1993/94 dan 23.479 ruang selama 4 tahun Repelita VI. Pada tahun 1997/98 pembangunan lebih diarahkan pada penambahan RKB untuk menambah daya tampung dari sekolah-sekolah yang calon muridnya meningkat. Jumlah tersebut belum termasuk pembangunan gedung baru dan tambahan ruang kelas pada MTs dan pada SLTP swasta. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, dalam kurun waktu yang sama telah pula dibangun 502 ruang
Iaboratorium IPA, yaitu 184 ruang pada tahun 1993/94 dan 318 ruang selama 4 tahun Repelita VI, serta 1.569 ruang perpustakaan, yang dibangun sebanyak 902 ruang pada tahun 1993/94 dan sebanyak 667 ruang selama 4 tahun Repelita VI (Tabel XVIII-2).
Penambahan berbagai fasilitas tersebut telah berhasil meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pada tingkat SLTP (tidak termasuk MTs) yaitu rasio antara jumlah murid SLTP dengan jumlah penduduk kelompok usia 13-15 tahun dari 43,4 persen pada tahun 1993/94 menjadi 58,7 persen pada tahun 1997/98. atau mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen (Tabel XVIII-3). Apabila murid MTs diperhitungkan, maka APK pada tahun 1997/98 adalah sebesar 72,5 persen atau 19,8 persen lebih tinggi dibandingkan APK tahun 1993/94 sebesar 52,7 persen. Dengan demikian APK SLTP-MTs yang dicapai pada 1997/98. telah melampaui sasaran tahun keempat Repelita VI yaitu sebesar 62,9 persen dan bahkan melampaui sasaran akhir Repelita VI sebesar 66,2 persen. Sementara itu jumlah lulusan SD-MI yang melanjutkan ke SLTP pada tahun 1997/98 adalah sekitar 2.774,7 ribu orang atau 68,8 persen dari jumlah seluruh lulusan SD-MI. Angka melanjutkan ini meningkat sebesar 12,7 persen bila dibandingkan dengan tahun 1993194 yaitu sebesar 56,1 persen. Dengan meningkatnya angka melanjutkan ini, jumlah murid SLTP meningkat pula dari 5.746,3 ribu orang pada tahun 1993/94 menjadi 7.879,5 ribu orang pada tahun 1997/98.
Bagi lulusan SD-MI yang tidak dapat meneruskan pendidikan ke SLTP dan MTs reguler dikembangkan SLTP Terbuka terutama bagi anak-anak yang kurang mampu secara sosial-ekonomi dan mempunyai waktu yang terbatas untuk mengikuti pendidikan di SLTP reguler karena harus bekerja membantu orangtuanya. Tempat
belajar SLTP Terbuka disesuaikan dengan keadaan setempat seperti di pondok, balai pertemuan atau tempat kegiatan belajar (TKB). Setiap SLTP Terbuka menginduk kepada satu SLTP reguler. Murid SLTP Terbuka belajar secara mandiri dengan mempelajari materi yang disediakan dalam bentuk modul. Jumlah SLTP Terbuka terus meningkat sehingga sampai tahun 1997/98 sudah dikembangkan SLTP Terbuka di 1.417 Iokasi yang tersebar di 27 propinsi. Dengan jumlah TKB sebanyak 9.363 buah tersebut secara keseluruhan dapat ditampung hampir 121 ribu orang siswa. Bagi siswa SLTP yang berasal dari keluarga tidak mampu diberikan beasiswa dalam upaya memperluas kesempatan memperoleh pendidikan.
Guna menunjang peningkatan mutu pendidikan pada jenjang SLTP, penyediaan buku pelajaran pokok SLTP terus dilanjutkan agar setiap siswa dapat memperoleh buku pelajaran lengkap (rasio 1 : 1). Selama lima tahun sampai dengan tahun 1997/98 telah dilakukan pengadaan sebanyak 98 juta eksemplar, yaitu 10 juta eksemplar pada tahun 1993/94 dan 88 juta eksemplar selama 4 tahun Repelita VI, yang berarti telah memenuhi kebutuhan buku pelajaran. Namun demikian guna mengganti buku yang sudah digunakan selama tiga tahun atau lebih, pada tahun 1998/99 direncanakan pengadaan buku pelajaran sebanyak sekitar 25 juta eksemplar. Selain itu diadakan pula buku perpustakaan sebanyak 6,3 juta eksemplar.
Sejalan dengan peningkatan daya tampung SLTP mutu proses belajar mengajar juga mendapat perhatian. Untuk itu mutu guru ditingkatkan melalui berbagai jenis dan jenjang pelatihan dan penataran. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah penyetaraan guru setara Diploma-III (D3) bagi mereka yang belum mencapai jenjang tersebut. Sampai dengan tahun 1997/98 guru SLTP yang mengikuti pendidikan D3 adalah sebanyak 77,7 ribu orang. Pada tahun anggaran 1998/99 akan dilaksanakan penyetaraan guru setara D3 bagi 14.100 orang guru. Dari sekitar 434 ribu guru SLTP (negeri dan swasta) masih ada sekitar 185 ribu orang yang belum mengikuti penyetaraan D3 atau sekitar 42,7 persen.
Seperti pada tingkat sekolah dasar, untuk menumbuhkan dan mengembangkan wawasan iptek sejak dini, proporsi mata pelajaran matematika dan IPA dalam kurikulum SLTP telah ditingkatkan. Sehubungan dengan itu, wawasan iptek diupayakan diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran baik di dalam bahan ajar maupun oleh guru pada saat kegiatan belajar-mengajar. Untuk mengembangkan sifat kepemimpinan, kreativitas, dan bela negara, kegiatan ekstrakurikuler di SLTP ditingkatkan melalui berbagai kegiatan seperti organisasi pramuka, palang merah remaja (PMR), budaya, kesenian, olahraga, dan organisasi kesiswaan lainnya. Di samping itu dalarn rangka meningkatkan imtaq bagi siswa di sejumlah SLTP telah dilakukan pula pembinaan pesantren kilat untuk mengisi acara liburan di setiap catur wulan.
d) Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP) yang menyandang kelainan fisik dan atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi ataupun anggota masyarakat, dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan bekerja atau untuk mengikuti pendidikan selanjutnya.
Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan satuan pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan sekolah luar biasa sangat menonjol. Hal ini dapat dilihat dari jumlah sekolah luar biasa yang dikelola swasta. Dalam rangka peningkatan pelayanan pendidikan di SLB dikembangkan dan dibangun secara bertahap SLB pembina negeri. Sampai dengan tahun 1997/98 jumlah SLB sudah mencapai 1.154 sekolah, yang terdiri dari 30 SLB Pembina Negeri, 223 SDLB swasta, 165 SLB Terpadu dan 736 SLB Swasta. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada sekolah luar biasa telah diadakan 858 ribu buku perpustakaan, 21,1 ribu buku braille, 5 ribu talking book, serta 358,5 ribu alat peraga pendidikan. Sementara itu untuk menunjang komunikasi bagi penyandang tuna rungu penyempurnaan kamus bahasa isyarat terus ditingkatkan melalui penambahan kosa kata baru. Selain itu dilakukan pula penataran guru, bimbingan langsung ke sekolah, serta pelatihan bagi pengelola SLB
0 komentar:
Posting Komentar