Pengertian Pembuktian Secara Yuridis

Posted By frf on Jumat, 17 Februari 2017 | 13.31.00

A. PEMBUKTIAN
B. DISKRIPSI SINGKAT
Pembuktian secara yuridis berlainan dengan pembuktian dalam ilmu pengetahuan. Ada 2 hal yang membedakan menurut Sudikno Mertokusumo[1] Pertama, berdasarkan suatu axioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, dalam arti konvensionil, yang memberikan kepastian tetapi tidak mutlak, yaitu kepastian secara nisbi atau relatif, yang dikenal dengan dua tingkatan yaitu conviction intime (kepastian didasarkan atas perasaan belaka), dan conviction raisonne ( kepastian didasarkan atas pertimbangan akal). Pembuktian secara yuridis tidak bersifat mutlak, ada kemungkinan bukti surat, pengakuan, kesaksian itu tidak benar atau palsu atau sengaja dipalsukan. Sehingga membuka kesempatan kepada pihak lawan untuk membuktikan sebaliknya.

Lebih lanjut Drion[2] menegaskan bahwa pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian historis. Hal ini senada dengan pendapat Rachmi[3] yang mengatakan bahwa salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu peristiwa/hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. sehingga dapat disimpulkan bahwa pembuktian secara yuridis mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara de facto dan konkreto.

C. TUJUAN INSTUKSIONAL KHUSUS
  1. Mahasiswa dapat menjelaskan dengan benar konsep pembuktian dalam hukum acara perdata
  2. Mahasiswa dapat menjelaskan arti surat dan saksi sebagai alat bukti
  3. Mahasiswa dapat menjelaskan dengan benar arti persangkaan dan pengakuan sebagai alat bukti.
D. ISI POKOK BAHASAN
Terdapat perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata, selain perbedaan jenis alat bukti. Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di kenal dengan “sistem negatif” negatief wettelijk bewijsleer. Tujuan dari sistem ini adalah mencari kebenaran materiil. Sedangkan dalam sistem pembuktian dalam hukum acara perdata dikenal dengan “sistem positif”positief wettelijk bewijsleer. Tujuan dari sistem ini adalah mencari kebenaran formal.3.2 ASAS PEMBUKTIAN

Ada dua syarat menurut Munir Fuady[4] untuk dapat menjalankan sistem negatif, pertama, alat bukti yang cukup dan kedua, keyakinan hakim. Jadi tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman kepada seorang tersangka, dibutuhkan suatu keyakinan hakim. Hal ini selaras dengan pasal 183 menyatakan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Keyakinan yang dimaksud dalam hukum acara pidana tidak didapatkan dalam sistem hukum acara perdata. Peran hakim dalam hukum acara perdata adalah mencari kebenaran formal sehingga apabila alat bukti sudah mencukupi secara hukum, maka hakim harus mempercayai dan meyakininya.

1.3 Definisi
  1. Menurut Subekti[5] definisi Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
  2. 2. Yahya Harahap[6] memberikan pengertian Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya dikatakan sebagai alat yang akan membawa pihak-pihak yang berperkara itu kearah kewenangannya atau tidak.
  3. Menurut Abdulkadir Muhammad[7], Pembuktian adalah menyajikan fakta-fakta yang cukup menurut hukum untuk memberikan kepastian kepada Majelis Hakim mengenai terjadinya peristiwa atau hubungan
Dari berbagai definisi diatas, definisi pembuktian menurut penulis adalah tindakan Penggugat maupun Tergugat untuk meyakinkan/memberi keyakinan pada hakim akan kebenaran dalil-dalil/peristiwa yang diajukan di persidangan. Terdapat adagium : Ius Curia Novit : hakim dianggap tahu akan hukum. Artinya yang dibuktikan dalam persidangan adalah faktanya, haknya, bukan hukumnya.

Pengertian Alat Bukti dan Kekuatan Alat Bukti

Terkait pembuktian yang diajukan oleh penggugat maupun tergugat tidak semua hal harus dibuktikan, hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :
  1. Hal yang diakui, jawaban pada prinsipnya ada dua macam, yaitu mengetahui dan menolak.
  2. Hal yang tidak dibantah, diamnya seseorang dianggap menyetujui.
  3. Pengetahuan hakim, adalah apa yang dilihat oleh hakim di dalam persidangan.
  4. Peristiwa notoir, yaitu peristiwa yang telah diketahui oleh umum.
  5. Pengetahuan tentang pengalaman, yaitu kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum.
Penggugat harus membuktikan hal-hal yang dimuat dalam posita. Pasal 163 HIR merupakan pedoman bagi hakim untuk menyidangkan sengketa perdata. Kesempatan pertama untuk membuktikan adalah penggugat sampai tuntas, kemudian setelah itu hakim memberi kesempatan kepada tergugat.

3.3 BEBAN PEMBUKTIAN
Beban pembuktian adalah dibebankan kepada para pihak (Penggugat dan Tergugat) bukanlah kepada Hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti (bewijslast, burden of proof). Pembuktian Pasal 163 HIR, 283 R, Bg, 1865 BW. Dalam Pasal 163 HIR :

“Barangsiapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

Pasal ini sering diartikan oleh para ahli :“Siapa yang mendalilkan sesuatu ia harus membuktikan”.
Sehingga tugas hakim membagi beban pembuktian yang seadil-adilnya : dibebankan pada pihak yang paling sedikit memberatkan/paling memungkinkan untuk membuktikan. Sebagai ilustrasi kasus sebagaimana berikut:

Contoh (1). Sengketa antara A dan B, jual beli. A mengatakan telah membayar, sedangkan B mengatakan bahwa A belum membayar.B harus membuktikan bahwa telah melakukan penyerahan barang (factur), sedangkan A harus membuktikan bahwa A telah membayar (kuitansi).

Diunduh [8]
Contoh (2). Sengketa waris, Pewaris (P) meninggalkan ahli waris X dan Y. X sebagai Penggugat dan Y sebagai tergugat. X menggugat harta warisan kepada Y, Y menyatakan bahwa harta warisan telah dibagikan. X harus membuktikan bahwa X dan Y adalah ahli waris dari P. X harus membuktikan bahwa harta warisan yang dikuasai oleh Y adalah harta warisan yang belum dibagi.

Y harus membuktikan bahwa telah terjadi pembagian harta warisan. 
Disamping asas beban pembuktian yang tercantum dalam pasal 163 HIR ( pasal 283 Rbg,1865BW) terdapat pasal-pasal yang mengatur diantaranya :

Dalam hal perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, maka muncullah tanggung jawab secara mutlak (strict liability) pada tergugat, bukan pada penggugat. Dalam hal ini pihak tergugat (pelaku pencemaran) yang dibebani pembuktian 

UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan, kecuali pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. (pasal 19 ayat (1),(2) dan (5). 
SUMBER: Sudikno: 2009 (diolah oleh penulis)

Setelah mengkritisi beban pembuktian diatas, hal yang penting bagi hakim adalah membagi beban pembuktian tersebut secara profesional (audi et elteram partem). Adanya beban pembuktian secara professional (seimbang dan patut) membawa akibat kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. Untuk lebih memperdalam beban pembuktian putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Maret 1956 No 56 K/Sip/1956 tentang perceraian menarik untuk dikaji. Ilustrasi lengkapnya sebagai berikut. Dalam gugat cerai seorang isteri (Penggugat) terhadap suaminya (Tergugat) mengatakan, bahwa ia diusir oleh suaminya, sedang suami (Tergugat) membantahnya dengan mengatakan, bahwa si isteri (Penggugat) pergi dari rumah atas kehendak sendiri. Mahkamah Agung membebani si suami (Tergugat) dengan pembuktian, bahwa si isteri meninggalkan rumah dengan kemauan sendiri dengan pertimbangan bahwa “keterangan si suami dapat dipertanyakan dengan asumsi bahwa seorang isteri yang telah bertahun-tahun kawin dan dalam perkawinan telah mendapatkan beberapa anak, dalam kasasi merupakan suatu yang aneh, dan hal ini harus dibuktikan oleh sang suami (Tergugat) tentang kebenaran pernyataan tersebut.

3.4 ALAT BUKTI DAN KEKUATAN ALAT BUKTI

Dalam Hukum Acara Perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah. Hal ini bermakna bahwa Hakim hanya dapat diperbolehkan mengambil keputusan berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Macam-macam alat bukti terdapat dalam pasal 164 HIR, 283 R.Bg, 1866 BW.Alat bukti tersebut terdiri dari :
  1. Alat Bukti Surat 
  2. Alat Bukti Saksi
  3. Alat Bukti Persangkaan
  4. Alat Bukti Pengakuan
  5. Alat Bukti Sumpah
Tingkatan urutan macam alat bukti diatas, tidak menentukan mana yang lebih kuat. Hal ini tergantung kepada variasi kasus yang tengah dihadapinya. Untuk mempertajam memahami macam-macam alat bukti akan diuraikan sebagaimana berikut:
1. ALAT BUKTI SURAT
Ada 3 macam bentuk surat yang dikenal oleh hukum acara perdata, yakni (1), Surat biasa, (2) Akta Otentik, (3) Akta dibawah tangan.[9] Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Adapun yang mengatur tentang surat tersebut diatur didalam pasal 165-167 HIR, Stb. 1867 No. 29, Pasal 282-305 R.Bg. Pengertian surat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 165 HIR adalah surat yang ditandatangani yang memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak, perikatan yang sengaja dibuat untuk pembuktian.Merupakan segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang diperlukan untuk menyampaikan isi hati atau buah pikiran yang diperuntukkan sebagai alat bukti. Akta, dibedakan menjadi :
a. akta otentik, pasal 165 HIR.
Adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu yang menunjukkan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak bagi ahli waris dan bagi pihak ketiga yang mendapatkan hak dari padanya. Sedangkan yang dimaksud dengan akta adalah surat yang ditandatangani yang memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan yang sejak semula sengaja dibuat untuk pembuktian. Menurut S.J. Fockeme Andreae, dalam bukunya “Rechts gereerd Handwoorddenboek, kata akta berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti geschrift[10] atau surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio yang mengatakan bahwa “acta” adalah merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.[11]

Pitlo mengartikan akta adalah surat-surat yang ditandatangani, di buat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk di pergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu di buat.[12] Dari definisi di atas, jelaslah bahwa tidaklah semua dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat dapat disebut akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. Surat itu harus ditandatangani
Keharusan ditandatangani sesuatu surat untuk disebut akta ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi “suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas. Atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat di berlakukan sebagai alat otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak.

2. Surat itu harus memuat Peristiwa yang Menjadi Dasar Sesuatu Hak Perikatan
Sesuai dengan peruntukkan sesuatu akta sebagai alat pembuktian demi keperluan siapa itu surat di buat, maka jelas bahwa surat itu harus berisikan sesuatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang di butuhkan. Peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu dan yang di butuhkan dalam pembuktian haruslah merupakan suatu peristiwa hukum yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan. Jika peristiwa hukum disebut dalam surat itu dapat menjadi dasar suatu hak atau perikatan, atau jika surat itu sama sekali tidak memuat peristiwa hukum yang dapat menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, maka surat itu bukanlah akta, sebab tidaklah mungkin surat dapat dipakai sebagai alat bukti.

3. Surat itu diperuntukkan sebagai Alat Bukti
Apakah suatu bukti surat dibuat untuk menjadi bukti, tidak selalu dapat dipastikan, demikian halnya mengenai sehelai surat, dapat menimbulkan keraguan. Surat yang ditulis oleh seorang pedagang untuk menegaskan suatu persetujuan yang telah dibuat secara lisan, adalah suatu akta, karena ia di buat untuk pembuktian. 

Akta otentik diatas Dibedakan menjadi 2 macam diantaranya:
- akta pejabat/Ambtenaar Akta
Akta yang inisiatif pembuatan dan isinya ditentukan oleh pejabat.
Misal : berita acara pemeriksaan, relaas (surat panggilan), putusan pengadilan, akta kelahiran, akta perkawinan → tidak ada pernyataan para pihak yang dimuat dalam akta, isi ditentukan oleh pejabat.

- akta para pihak / partij Acte
akta yang inisiatif pembuatannya dan isi akta ditentukan oleh para pihak.
Misal : akta jual beli, sewa menyewa.

b. akta di bawah tangan, Stb. 1867 No. 29.
Adalah akta yang dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan pejabat yang berwenang.
Akta otentik mempunyai kekuatan sempurna dan meningkat.Sempurna : bahwa dengan satu alat bukti akta otentik itu sudah cukup untuk memutus perkara, karena itu sudah cukup untuk alat bukti.

Karena dibuat oleh atau dihadapan pejabat, pejabat yang membuat akta ini telah disumpah. Akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat harus dipercaya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat selama tidak dibuktikan sebaliknya.Asas : Unus Testis Nullus Testis, Pasal 169 HIR : artinya satu saksi bukan saksi.

Pasal 172 HIR : pedoman untuk hakim untuk menilai alat bukti.Mengikat : artinya bahwa apa yang dikemukakan di dalam akta itu harus dianggap benar selama belum dibuktikan ketidakbenarannya.

Ambtenaar acte kebenarannya berlaku terhadap setiap orang. Partjic acte hanya berlaku bagi para pihak, ahli waris, orang yang mendapatkan hak dari padanya. Lawan dari mengikat adalah bebas, artinya bahwa apakah alat bukti itu dipakai atau tidak tergantung pada hakim.

2. ALAT BUKTI SAKSI
Alat bukti kesaksian diatur di dalam Pasal 139 – 1852 HIR, 168 – 172 HIR, 165-179 R. Bg.Pasal 306-309 R. Bg, Pasal 1895, 1902 – 1912 BW. Biasanya dipakai dalam masyarakat yang sederhana, masyarakat adat yang hubungan kekerabatannya masih erat.

PENGERTIAN
Pengertian kesaksian : kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan yang disampaikan secara lisan dan pribadi oleh orang-orang yang bukan pihak yang berperkara, yang dipanggil di persidangan.[13] Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga unsur didalam kesaksian (1). Kesaksian di persidangan, (2) Disampaikan secara lisan, (3)Harus diberikan secara pribadi, artinya tidak dikuasakan kepada orang lain, harus yang bersangkutan. 

Kewajiban untuk menghadap. 
Apabila tidak menghadap, diancam dua pasal, yaitu :
  1. Pasal 140 HIR : adanya sangsi bagi saksi yang tidak mau datang setelah dipanggil secara patut, maka ia dihukum untuk membayar beaya yang telah dikeluarkan sia-sia dan ia dipanggil sekali lagi. 
  2. Pasal 141 (2) HIR. Ketua Majelis Hakim dapat memerintahkan supaya saksi yang tidak datang itu dibawa oleh polisi menghadap pengadilan negeri untuk mencukupi kewajibannya.
  3. Sebelum memberikan kesaksian, wajib disumpah agar saksi memberikan kesaksian yang benar sebenarnya
Kewajiban untuk bersumpah
Saksi apabila tidak mengundurkan diri sebelum member keterangan harus disumpah menurut agamanya (ps.147HIR, 175 Rbg, 1911 BW jo. Ps 4 S. 1920 no 69). Oleh karena sumpah ini diucapkan sebelum memberi kesaksian dan berisi janji untuk menerangkan yang sebenarnya, maka sumpah ini disebut juga sumpah promissoir . Sumpah promissoir ini berlainan dengan sumpah confirmatoir sumpah yang diucapkan sebagai alat bukti. Apabila memberikan keterangan yang tidak benar, diancam dengan pasal 242 KUHP : sumpah palsu. Pasal 147 jo 148 HIR : saksi wajib disumpah, apabila menolak dapat ditahan.

Kewajiban Memberikan Keterangan
Apabila saksi setelah disumpah enggan memberikan keterangan, maka atas permintaan dan beaya pihak yang bersangkutan hakim dapat memerintahkan menyandera saksi 

Ada tiga hal yang harus dikemukakan oleh saksi, yaitu: apa yang dilihat, didengar, dirasakan sendiri. Ia harus memberikan alasan. Terhadap keterangan saksi ini, hakim tidak wajib percaya, kekutan pembuktiannya bebas. Pedoman penilaian : pasal 172 HIR: kecocokan antara saksi satu dengan saksi lainnya. Tidak boleh pembuktian dengan saksi: (1) Pasal 22 KUHD : Pembuktian adanya firma oleh para pihak – akta,(2) Pasal 258 KUHD : Asuransi – polis Kecuali sudah ada bukti pendahuluan.

Kesaksian merupakan keharusan : pasal 140,141,148 HIR.
Dapat mengundurkan diri : pasal 146 HIR :
  1. Apabila memberikan keterangan dikhawatirkan tidak obyektif.
  2. Saudara dan ipar
  3. Orang yang karena jabatannya/kedudukannya harus menyimpan rahasia yang berkaitan dengan kedudukannya.
3. ALAT BUKTI PERSANGKAAN
Alat bukti persangkaan diatur dalam pasal Pasal 173 HIR, 310 R. Bg, 1915-1920 BW. Pasal 173 HIR : tidak memberikan pengertian persangkaan. Pasal yang memberikan pedoman pada hakim untuk mempertimbangkan persangkaan sebagai alat bukti. Pengertian persangkaan : pasal 1915 BW :Adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang telah terkenal ke arah peristiwa yang belum terkenal dari peristiwa yang sudah terbukti kebenarannya kepada peristiwa yang belum terbukti kebenarannya.Persangkaan merupakan alat bukti yang tidak langsung. Untuk memudahkan penulis memberikan contoh sebagaimana berikut:

A harus membuktikan bahwa A tidak berada di tempat X. Yang harus dibuktikan oleh A adalah bahwa ia pada hari dan jam yang sama ia berada di tempat Y. sehingga otomatis ia tidak berada di tempat X pada hari dan jam yang sama.

Persangkaan ada dua macam :
  1. Persangkaan Undang-Undang / praesumptiones yuris – pasal 1916 BW
  2. Persangkaan hakim / praesumptiones facti – pasal 173 HIR
Pengertian persangkaan Undang-Undang (Pasal 1916 BW)
Yaitu suatu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus Undang-Undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam teori hukum acara perdata, persangkaan UU dibedakan atas dua macam :

1. Praesumptiones Yuris Tantum
Yaitu persangkaan Undang-Undang yang dapat diajukan bukti lawan, hal ini paling banyak jumpai didalam Undang-Undang.

Contoh : pasal 250 BW : anak yang dilahirkan dalam perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya.

Misal : A dan B menikah tahun 1998. Kemudian A pergi tugas belajar. Oktober 2001 B melahirkan anak X. A bisa menyangkal bahwa ia bukan ayahnya (pembuktian terbalik).

Pasal 633,668,662 BW : menyangkut masalah keterangan. Kebanyakan persangkaan tatum ini bisa dibuktikan lawan.

2. Praesumptiones Yuris Et De Jure

Yaitu persangkaan UU yang tidak bisa diajukan bukti lawan.
Contoh : pasal 184,911,1681 BW.

Menurut Pitlo, persangkaan yang memungkinkan bukti lawan, pada hakekatnya bukanlah persangkaan.
Persangkaan UU, pembuktiannya terbalik, kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa, artinya apa yang disebutkan UU harus dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya.

Pengertian Persangkaan Hakim
Adalah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari peristiwa-peristiwa yang terkenal ke arah peristiwa yang belum terkenal/belum terbukti.

Kekuatan pembuktiannya bebas, artinya terserah pada hakim, contoh :
  • Perizinan pembuktiannya sangat sulit. Apabila ada laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri berada dalam satu kamar dan kamar itu tertutup, maka dianggap melakukan perzinahan : menurut prasangkaan hakim.
  • Apabila dalam perselisihan pada proses peradilan dalam hal pembukuan. Salah satu pihak yang membawa pembukuan diperintahkan membawa, tetapi pada saat sidang ia tidak membawa, maka hakim bisa melakukan persangkaan bahwa pembukuan tersebut tidak beres.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
  1. Sudikno : tidak boleh hanya berdasar persangkaan saja, harus disertai alat bukti lain.
  2. Azet : hakim boleh menjatuhkan putusan dengan memegang pada satu persangkaan
Dalam praktek, yang lazim adalah tidak boleh, seperti halnya saksi, satu saksi bukan saksi : satu persangkaan bukan persangkaan.

4. ALAT BUKTI PENGAKUAN
Alat bukti pengakuan diatur di dalam Pasal 174-176 HIR, 311-313 R. Bg, Pasal 1923, 1928 BW. Pengakuan adalah keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak/hubungan hukum yang diajukan oelh pihak lawan.Tidak diperlukan persetujuan pihak lain, dengan adanya pengakuan ini membebaskan pihak lawan untuk membuktikan.

Apabila secara tertulis dalam persidangan, maka tidak bisa dikualifikasikan / disamakan dengan alat bukti surat.

Pada dasarnya tidak dapat dicabut kembali, tetapi ada perkecualian, apabila terdapat kesalahan pada pokok perkara.

Kekuatan pembuktian ada tiga, yaitu :
  • sempurna
  • mengikat
  • menentukan
Sempurna dan mengikat : bisa diajukan bukti lawan, masih mungkin putusan dapat berubah apabila pihak bisa mematahkan bukti lawan.

Ada tiga macam pengakuan di dalam sidang :
a. Pengakuan murni
Adalah pengakuan terhadap seluruh dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat tanpa embel-embel.
Pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
Pasal 176 HIR menyatakan bahwa pengakuan murni tidak boleh dipisah-pisah.

Pengakuan murni tidak perlu pembuktian.
Misal : dalam sidang perkara hutang piutang, A mendalilkan B mempunyai hutang 100 juta, B dalam jawabannya menyatakan bahwa B memang punya hutang kepada A sebesar 100 juta.

b. Pengakuan kwalifikasi
Adalah pengakuan yang disertai sangkalan atau sanggahan dari sebagian tuntutan penggugat.

Misal : A dan B dalam sengketa jual beli rumah. A mengatakan bahwa B belum membayar, sedangkan B menyatakan bahwa ia betul telah mebeli rumah, tapi tidak seharga 70 juta, melainkan 50 juta. Seharusnya A tidak perlu membuktikan adanya jual beli. Pengakuan B ini menurut pasal 176 HIR dianggap tidak mengaku, sehingga tetap harus membuktikan jual beli telah terjadi dalam B membuktikan bahwa harga murah tersebut adalah 50 juta.

c. Pengakuan klausula
Adalah pengakuan yang disertai bantahan atau sanggahan yang bersifat membebaskan.
Misal : A dan B melakukan jual belil rumah seharga 70 juta. B mengakui telah terjadi jual beli rumah seharga 70 juta, B menyatakan telah membayar sejumlah 70 juta, sehingga B harus membuktikan bawa ia telah membayar sejumlah 70 juta. Hal ini menurut pasal 176 HIR dianggap tidak mengaku. Konsekuensinya : tetap harus membuktikan jual beli dan B tetap harus membuktikan telah membayar.

Tujuan pasal 176 HIR adalah untuk melindungi debitur-debitur kecil dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kreditur.

Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, S.H., pasal 176 HIR sangat mengecewakan dan tidak masuk akal, karena sudah mengaku tetapi masih harus membuktikan lagi. Beliau memberikan saran : sebaiknya diserahkan pada hakim untuk memutuskan bukan menganulir pasal 176 HIR.Pengakuan yang dibuat dalam persidangan mempunyai kekuatan pembuktian.

Pengakuan yang dibuat diluar persidangan :
  1. Tertulis : diserahkan pertimbangan sepenuhnya kepada hakim, tidak mempunyai kekuatan pembuktian : mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.
  2. Lisan :bukan merupakan alat bukti.
5. ALAT BUKTI SUMPAH
Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dhukum olehnya. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religious yang digunakan dalam peradilan.

Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 155, 156, 158, 177 HIR, 182, 183, 314 R. Bg. Disebut sebagai sumpah confirmatoir, yaitu sumpah sebagai alat bukti.Yang menjadi alat bukti bukan upacara penyumpahannya, tetapi pengakuan atau keterangan dari salah satu pihak di muka persidangan yang dikuatkan dengan sumpah.Dalam HIR, sumpah dibedakan menjadi :
1. Decisoir – Pasal 156 HIR
Disebut juga sumpah pemutus, karena setelah diucapkan sumpah decisoir hakim dapat langsung memutus perkara.

Sumpah decisoir ini dilakukan atas permintaan salah satu pihak. Sumpah ini tidak diperlukan syarat-syarat, misalnya alat bukti permulaan, tidak ada alat bukti sama sekali boleh.

Sumpah decisoir dapat dikembalikan artinya apabila yang minta sumpah decisior adalah penggugat, sedangkan tergugat tidak bersedia, maka tergugat dapat mengembalikannya pada penggugat untuk disumpah decisior.

Untuk melaksanakannya diperlukan dua syarat :
a. Litis decisoir
Yang disumpahkan harus peristiwa yang dipersengketakan dalam persidangan.

b. Persoonlijk daad
Harus peruatan pribadi, tidak boleh peruatan orang lain.

Pihak yang meminta untuk menyumpah pihak lawan berrati ia melepaskank hak. Dalam pelaksanaannya sumpah ini dapat berupa sumpah pocong, klenteng, dll.

2. Supletoir – Pasal 155 (1) HIR, 182 R. Bg.
Disebut juga sumpah penambah, adalah sumpah yang dibebankan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak.
Syarat :
Harus ada permulaan pembuktian.
Tujuan dari sumpah supletoir adalah untuk menambah alat bukti yang ada, karena alat bukti yang ada belum lengkap.

3. Aestimatoir – Pasal 155 (2) HIR, 182 R.Bg
Disebut juga sumpah penaksir, adalah sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada pihak penggugat untuk memastikan besarnya kerugian yang diderita oleh penggugat (hakim officio).

Sumpah ini dilakukan apabila tidak ada bukti, misalnya sulit dibuktikan karena telah musnah, kebakaran.
Sumpah decisoir tidak mempengaruhi putusan hakim, sedangkan kepalsuan sumpah supletoir dan sumpah aestimatoir dapat mempengaruhi putusan yang dijatuhkan oleh hakim, karena merupakan sumpah yang dibebankan oleh hakim.

Sumpah dapat dikuasakan, hanya saja kuasanya adalah kuasa khusus untuk mengangkat sumpah dan biasanya isi sumpah tersebut sudah disebutkan dalam surat kuasa khusus tersebut.

SUMPAH PEMUTUS
SUMPAH PENAMBAH 
  1. Harus mengenai apa yang dilakukan sendiri oleh yang bersumpah.
  2. Apabila pihak yang diminta bersumpah menolak, ia bisa mengembalikan
  3. Tidak dapat diajukan bukti perlawanan. 
  • Tidak harus mengenai apa yang dilakukan sendiri.
  • Tidak boleh dikembalikan kepada pihak lawan karena merupakan inisiatif hakim.
  • Dapat diajukan bukti perlawanan. 

REFERENSI BUKU-BUKU
  • A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, terjemahan. M. Isa, Intermasa, Jakarta, 1978
  • Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, 2000.
  • H.Drion Bewijzen in het recht, Themis 1966 afl.5/6
  • M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, PT Zaher Trading, 1997.
  • Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
  • M. Situmorang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1992.
  • Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Kedelapan, Liberty Yogyakarta, 2009. 
  • Retnowulan Sutantio dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju: Bandung, 1979.
  • R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980.
  • Rachmi…
  • Subekti, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman- Bina Cipta; Bandung 1989.
  • Victor M. Situmorang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1992.
Pertanyaan (Evaluasi mandiri)
  1. Jelaskan pengertian dari pembuktian dan apakah semua hal harus dibuktikan!
  2. Bandingkan asas pembuktian yang fundamental dari hukum acara pidana dan hukum acara perdata!jelaskan pula beban pembuktian yang diatur menurut ketentuan Undang-Undang.
  3. Sebutkan 4 pembuktian yang ditentukan dalam hukum materiil!
  4. Sebutkan 5 macam alat bukti menurut ketentuan Undang-Undang!apakah urut-urutan itu menentukan kuat lemahnya jenis alat bukti tersebut? jelaskan!
  5. Apakah surat biasa yang ada tandatangannya merupakan akta? Jelaskan
  6. Sebut dan jelaskan 2 macam akta menurut Undang-Undang!jelaskan pula ketentuan pembuktian masing-masing akta tersebut!
  7. Sebutkan 3 unsur dalam hal kesaksian ! sebut pula kewajiban saksi!
  8. Sebutkan perbedaan antara saksi dan ahli! Jelaskan perbedaan antara persangkaan hakim dan persangkaan undang-undang. Sertakan pula contohnya.
  9. Pengakuan dalam sidang sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat! Jelaskan artinya! Sebutkan 3 macam pengakuan di dalam sidang!
  10. Sebut dan jelaskan 3 macam sumpah yang diatur oleh Undang-Undang
Blog, Updated at: 13.31.00

0 komentar:

Posting Komentar