Pengertian Jual Beli pada Zaman Rosulullah

Posted By frf on Sabtu, 18 Februari 2017 | 16.49.00

Pengertian Jual Beli pada Zaman Rosulullah
Jual beli sudah terjadi sebelum pemerintah menetapkannya dalam undang-undang, pada zaman Rasulullah SAW pada waktu itu caranya masih primitif yaitu masih menggunakan sistem barter, tukarn menukar barang, setelah manusia memasuki abad kemajuan, mereka lalu memakai cara dan sistem penentuan harga, untuk lebih mempermudah teknis pemenuhan kebutuhannya dan menghindarkan dari kesukaran dan kesulitan.

Dengan demikian jual beli menjadi cara bekerja yang banyak membuahkan kesejahteraan manusia, karena mereka dapat berusaha mencari rizqi dengan aman dan tenang, tanpa ada yang merasa dirugikan baik kerugian secara terang-terangan, terpaksa maupun kerugian secara tersembunyi, sehingga tercipta kehidupan yang teratur. Oleh karena itu Allah SWT menghalalkan jual beli dengan sekaligus menetapkan aturan yang ibadah untuk menjamin kelangsungan dan kebaikan manusia ini.

Kenyataan memang menunjukkan bahwa sengketa perdata khususnya mengenai jual beli paling banyak terjadi, karena disebabkan tidak dipenuhi persyaratan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan itu. Peraturan dan persyaratan tersebut telah banyak ditulis di berbagai kitab dan buku khususnya di dalam kitab fiqh. Di samping itu ada beberapa aturan tata karma (etika) yang harus dijaga dan dipatuhi bersama agar tercipta iklim usaha yang adil dan bijaksana, dengan begitu tidak ada yang merasa tertipu.[13]

2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Pasal 1457 KUUHPdt.
Jual beli Tanah adalah suatu perjanjian dimana pihak yang mempunyai tanah yang disebut “Penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut “Pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan untuk membayar harya yang telah disetujui yang dijual belikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”. 

Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun npada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya pembeli sudah membayarn penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya.[14]

Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkannya secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459). Untuk itu, wajib dilakukan perbuatan hukum lain, yang disebut “penyerahan yuridis” (dalam bahasa Belanda : “juridische levering”), yang diatur dalam Pasal 616 dan 620. Menurut pasal-pasal tersebut, penyerahan yuridis itu dilakukan juga di hadapan notaries, yang membuat aktanya, yang disebut dalam bahasa Belanda “transport acte” (akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang disebut “Penyimpan hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran tersebut, tatacara penyerahan yuridis selesai dan dengan pendaftaran itu hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli.

Pasal-pasal KUUHPdt yang mengatur tatacara penyerahan yuridis sebagai kelanjutan dari jual beli tanah tersebut, belum pernah berlaku sampai dicabut oleh UUPA. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 dari Bepalingen Omtrent de Invoering van en den Overgang tot de nieuwe Wetgeving (Publikasi 3 Maret 1848 S. 10), penyerahan yuridis hak atas tanah diatur dan tatacaranya ditetapkan dalam Overschrijvingsordonnatie (S. 1834-27). (Secara tidak tepat, umum disebut “Ordonansi Baliknama”). Menurut Pasal 1 Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Overschrijvingsambtenaar (Pejabat Baliknama), yang bertugas membuat akta transportnya, sekaligus melakukan pendaftarannya. 

Ketentuan-ketentuan KUUHPdt dan Overschrijvingsordonnatie yang mengatur penyerahan yuridis itulah yang termasuk Hukum Tanah karena dengan dilakukannya penyerahan yuridis terjadi pemindahan hak atas tanah yang bersangkutan (Dalam sistematika di atas termasuk 2c)


Dalam Hukum Adat, “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam Hukum Adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena justru apa yang disebut “jual beli tanah” itu adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama. Maka jual beli tanah menurut pengertian Hukum Adat ini pengaturannya termasuk Hukum Tanah.[15]

3. Dalam jual beli supaya tidak ada sengketa di kemudian hari ada hukum jual beli yang harus dipenuhi rukun-rukun jual beli antara lain. 

a. Adanya penjual dan pembeli 
Syaratnya adalah : 
  • Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. 
  • Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa
  • Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir di tangan walinya. 
  • Baligh atas dalam hukum perdata cakap yang sudah berumur 15 tahun keatas / dewasa. 
b. Adanya barang yang dimiliki sendiri 
c. Adanya alat untuk melakukan pembayaran (uang).[16]

Dalam pasal 1473 dan 1476 bahwa penjual wajib menyatakan dengan jelas, untuk apa ia mengikatkan dirinya. Janji yang tidak jelas dan dapat diartikan dalam berbagai pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya. Adapun biaya penyerahan barang dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli kecuali karena diperjanjikan sebaliknya. 

Adapun kewajiban utama pembeli adalah pembayaran harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan di dalam perjanjian pasal 1513 KUHPdt.[17]

Dalam pasal 1457 KUUH-Pdt jual beli adalah suatu perjanjian-perjanjian antara 2 belah pihak. Adapun kata perjanjian yang dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPdt, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih ketentuan pasal 1313 KUHPdt ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan antara lain : 
  1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
  2. Kata perbuatan menyangkup juga tanpa consensus. Dalam pengertian buatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan.
  3. Pengertian perjanjian dalam buku 11 KUHPdt sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersufat kepribadian.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian adalah : 
  1. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang (subjek) 
  2. Ada persetujuan pihak-pihak itu 
  3. Adanya obyek yang berupa benda 
  4. Adanya tujuan bersifat kebendaan 
  5. Ada bentuk tertentu lisan maupun tulisan 
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dialasi dan diberi akibat hukum. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt. Adapun syarat syaratny antara lain: 
  1. adanya persetujuan antara pihak pihak yang membuat perjanjian (konsesus)
  2. ada keakapan pihak pihak untuk mebuat perjanjian (capacity)
  3. adanya suatu hal tertentu (obyek)
  4. adanya suatu sebab yang halal (causa)
B. Pengertian Tanah dan Hukum Tanah 
1. Pengertian Tanah
Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.

Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.

Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang… 

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan nhanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.




Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari npermukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber npada hak tersbeut diperluas hingga meliputi juga penggunaan “sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya”. 

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Dan itu pun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata : sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang ini (yaitu : UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 

Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Penggunaan tubuh bumi itu harus ada hubungannya langsung dengan gedung yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk basement, ruang parker dan lain-lain keperluan yang langsung berhubungan dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun. Lihat BAB XII. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah :
  1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;
  2. Keadaan bumi di suatu tempat
  3. Permukaan bumi yang diberi batas;
  4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya).[18]
2. Pengertian Hukum Tanah
Tanah sebagai bagian dari bumi. Disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 12 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, serta Badan Hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[19]

Sebelum memasuki pada pengertian hukum tanah, maka kita uraikan dulu pengertian hukum. Hukum adalah sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan adanya, itu sebabnya hingga saat ini belum didapatkan suatu definisi tentang hukum yang tepat dan sempurna yang diterima oleh setiap orang (Apeldorn, 1980)[20]. 

Menurut rs. E. Utrecht, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditata oleh masyarakat itu (Ulrecht, 1957)[21]

Effendi Perangin menyatakan bahwa hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum baik yang tertulis maupun tidak terdaftar yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum yang kongkret.[22]

Dari berbagai uraian di atas dapat kita garis bawahi bahwasannya hukum tanah nadalah keseluruhan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkrit, beraspek pablik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu system.[23]

Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah, yang dimaksud hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, atau larangan-larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki, sesuatu yang boleh, wajib/dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.[24]

3. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah
Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai, “lembaga hukum” dan “hubungan hukum konkret”, nketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya ndapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal. 

Dikatakan “khas”, karena hanya dijumpai dalam Hukum Tanah dan tidak dijumpai dalam cabang-cabang Hukum yang lain. Dikatakan “masuk akal” karena mudah ditangkap dan diikuti logikanya. 

1. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum :
  • Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
  • Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. 
2. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkret :
  • Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
  • Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain
  • Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Dengan menggunakan sistematika di atas, ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan.


Hanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang disebutkan di atas dan yang termasuk dalam sistematika di atas saja yang merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah. Penentuan batas dengan bidang Hukum yang lain itu mempunyai juga manfaat praktis, karena sejak mulai berlakunya UUPA Hukum Tanah kita sudah diunifikasikan, sedang Hukum Privat, terutama Hukum Pardata, masih dualistic.

3. Ketentuan-Ketentuan Hak Milik atas Tanah
Dalam pasal 20 ayat 1 UUPA hak milik mempunyai pengertian bahwa hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah.[25]

Menurut ketentuan dalam pasal 570 KUHPdt, “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum.

Dari ketentuan pasal 570 KUHPdt dapat diuraikan pengertian sebagai berikut.
  • Hak milik adalah hak paling utama, karena pemilik dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.
  • Dapat menikmati sepenuhnya, artinya pemilik dapat memanfaatkan semaksimal mungkin.
  • Dapat menguasai sebebas-bebasnya.
  • Hak milik tidak boleh diganggu gugat, baik orang lain maupun penguasa, kecuali dengan alasan syarat-syarat dan menurut ketentuan undang-undang.
4. Ketentuan-Ketentuan Peralihan Hak Milik
Seperti yang dijelaskan dalam pasal 20 ayat 2 “Bahwa hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain” dan juga pasal 23 ayat UUPA Hak Milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

Dalam Hak Milik disebutkan padanya suatu penyerahan. Penyerahan disini memiliki arti : pengalihan suatu benda oleh pemiliknya atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain itu memperoleh hak atas benda itu. Misalnya dalam jual beli, jual beli baris dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja (obligator), tetapi belum memindahkan hak milik.

Dalam perjanjian jual beli, hibah, pemberian hadiah, tukar-menukar penyerahan itu memindahkan hak milik. Dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya, maka penyerahan benda tidak bergerak berupa tanah dan yang melekat di atasnya dilakukan dengan akta otentik di muka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Menurut peraturann yang berlaku sekarang Pejabat Pembuat Akta Tanah ini dapat berupa notaris dan dapat pula camat berdasarkan daerah kerja masing-masing. Kemudian PPAT tersebut didaftarkan ke kantor agraria setempat bagian pendaftaran tanah. Atas dasar ini pejabat pendaftaran tanah menerbitkan sertifikat hak milik sebagai tanda bukti hak.

Adapun syarat-syarat penyerahannya yaitu :
  1. Harus ada alasan hak (title)
  2. Harus ada perjanjian kebendaan
  3. Harus dilakukan oleh orang yang berhak
  4. Harus dengan penyerahan nyata.[26]
Peristiwa-peristiwa hukum seperti meninggalnya seseorang, yang mengakibatkan beralihnya karena hukum hak atas tanah yang dipunyainya kepada ahli warisnya, pengaturannya tetap oleh Hukum Waris, karena tidak ada bedanya yang hakiki dengan beralihnya unsur-unsur harta peninggalan lainnya yang bukan tanah. Tetapi pembuktian mengenai telah beralihnya hak atas tanah nyang bersangkutan kepada dan pemiliknya oleh ahli waris yang bersangkutan, pengaturannya termasuk Hukum Tanah (dalam sistematika di atas termasuk poin 2e).

Sehubungan dengan itu, maka yang dimasukkan dalam poin 2c hanyalah ketentuan-ketentuan yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum pemindahan hak, yaitu perbuatan-perbuatan hukum yang sengaja dilakukan untuk memindahkan suatu hubungan hukum konkret kepada pihak lain.

Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak semua ketentuan hukum mengenai tanah merupakan peraturan Hukum Tanah. Sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Perdata (KUUHPdt) yang tertulis, dan ada yang diatur oleh Hukum Adat yang tidak tertulis.[27]

C. Tujuan Jual Beli Tanah
Pada prinsipnya tujuan dari jual beli tanah adalah untuk peralihan hak milik atas tanah yang dijelaskan dalam pasal 23 ayat 1 UUPA,”hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebabannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal 19 pasal 1 UUPA bahwa,” kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal 2 meliputi : 
  • Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah 
  • Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya 
  • Pemberian surat tanda bukti hak-hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 
Dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 UUPA jual beli penukaran penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adapt dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. [28]

Untuk itu tujuan jual beli tanah untuk menguasai tanah secara individual, berarti bahwa tanah bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan. Tidak ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orang lain secara kolektif, biarpun menguasai dan menggunakan tanah secara bersama-sama dimungkinkan diperbolehkan. 

Hal itu ditegaskan dalam pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa,” atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud di dalam ayat 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun dengan orang lain.[29] \

1. Peralihan Hak Milik Atas Tanah
a) Penjualan di Bawah Tangan dalam Rangka Eksekusi 
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek, hak tanggungan yang dijual.

Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT (Hak Tagihan) dan dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan carna penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Biarpun tidak ada penjelasannya, kiranya penjualan di bawah tangan itu dimungkinkan juga dalam hal sudah diadakan pelelangan umum, tetapi tidak diperoleh penawaran yang mencapai harga minimum yang ditetapkan.

Pelaksanaan penjualannya hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HTN kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggal pemberitahuan tertulis adalah tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui kurir, atau tanggal pengiriman fascsimile. Juga setelah lewat waktu 1 bulan sejak diadakan pengumuman dalam sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat lainnya, seperti radio dan televise. Apabila ada perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan tanggal pengumuman, jangka waktu 1 bulan itu terhitung sejak tanggal paling akhir antara kedua tanggal tersebut. Jangkauan surat kabar dan atau media massa lainnya itu harus meliputi tempat letak obyek HT yang bersangkutan.

Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut ntetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.

Persyaratan yang ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang HT kedua, ketiga dan kreditor-kreditor bukan pemegang HT dan pemberi HT. 

b) Penjualan Di Bawah Tangan Secara Sukarela
Penjualan di bawah ntangan yang dimaksudkan itu adalah penjualan dalam rangka eksekusi HT, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 20 yang mengatur Eksekusi Hak Tanggungan. Maka biarpun untuk itu diperlukan persetujuan pemberi HT, yang melakukan adalah kreditor pemegang HT. Bukan pemberi HT ataupun pemberi HT bersama pemegang HT. Untuk itulah diperlukan janji yang disebut dalam uraian 184/I (2).

Sehubungan dengan itu tidak termasuk dalam ketentuan mengenai penjualan eksekusi di bawah tangan itu dengan syarat-syarat yang diuraikan di atas, penjualan obyek HT oleh pemberi HT, yang hasilnya disepakati untuk digunakan melunasi piutang kreditor pemegang HT, dan disepakati pula pembersihan obyek HT yang dijual dan HT yang membebaninya. Ini termasuk pengertian “penjualan sukarela”. Biarpun dibebani HT, obyek yang bersangkutan masih merupakan hak pemberi HT. Karena itu ia mempunyai hak untuk menjualnya kepada siapapun yang dikehendakinya, tidak terkecuali kepada pemegang HT sendiri. Dalam rangka melindungi kepentingan kreditor pemegang HT untuk itulah disediakan lembaga “droit de suite” (Uraian 176 B). Pada pihak lain kreditor pemegang HT pun menurut ketentuan Pasal 18 mempunyai hak melepaskan HT yang dipunyainya. 

Sudah barang tentu penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan maksud merugikan pihak lain, khususnya kreditor lain. Misalnya penjualan ataupun sebagai yang disebut dalam Akta Jual Beli yang bersangkutan. Dalam hal demikian jual-beli yang dilakukan dapat dituntut pembatalannya oleh pihak yang merasa dirugikan dengan menggunakan lembaga “Action Pauliana”. (Pasal 1341 KUUHPdt).[30]

D. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada asas hukum yang dianut oleh Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas hukum yaitu : “asas I’tikad baik” dan “asas nemo plus yuridis”, sekalipun suatu Negara menganut salah satu asas hukum tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hokum. Asas I’tikad baik berbunyi “orang yang memperoleh suatu hak dengan I’tikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini melindungi orang yang beri’tikad baik sedangkan asas nemo plus yuridis berbunyi” orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini melindungi pemegang hak yang sebenarnya.[31] Di dalam literature hukum agraria kita kenal beberapa sistem pendaftaran tanah yakni antara lain Sistem Torrens, Sistem Positif, Sistem Negative

a. Sistem Torent 
Sesuai dengan namanya, sistem ini diciptakan oleh SIR Robert Torent putra salah satu pendiri koloni Australia Selatan. Jadi sistem ini berasal dari Australia Selatan. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Act yang mulai berlaku di Australia sejak Tanggal 1 Juli 1858. Sistem ini sekarang dipakai di Aljazair, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaya, Kepulauan Fuji, Kanada, Yamanica, Trinidad, Dalam memakai sistem ini Negara-negara bersangkutan melihat pengalaman-pengalaman dari Negara-negara lain yang memakai sistem Torent ini Dalam detailnya agak menyimpang dari sistem aslinya, tetapi pada hakikatnya adalah sistem Torent yang disempurnakan dengan beberapa tambahan-tambahan serta percobaan-percobaan yang disesuaikan dengan hukum materialnya Negara-Negara masing-masing tata dasarnya adalah sama yakni The Real property Act. 

Dalam sistem ini sistem ini menyatakan bahwa sertifikat tanah merupakan alat bukti yang paling lengkap tentang gak dari pemilik yang tersebut di dalam serta tidak dapat diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilikan sejati adalah melalui dana asuransi dan untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin, terkecuali jika memperoleh sertifikat tanah, dimaksud melalui cara pemalsuan/penipuan.[32]

b. Sistem Positif
Menurut sistem ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak yang mutlak, serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.[33]

Ciri-ciri sistem ini menurut DEr. Ny Mariam Darus Badrul Zaman. S.H. dalam bukunya Bab-bab tentang Hypotik Hulas ialah bahwa pendaftaran menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah walaupun ia bukan pemilik tanah yang berhak, Stelsel ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah, pejabat-pejabat balik nama disini memberikan peran yang sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak yang dipindahkan itu dapat didaftar, menyelidiki identitas pihak-pihak, wewenang-wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disyaratkan telah dipenuhi atau tidak.

Adapun keberatan-keberatan terhadap sistem positif ini diantaranya :
  1. Peran aktif pejabat-pejabat balik nama ini memakan waktu yang lama.
  2. pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya diluar perbuatan dan diluar kesalahannya.
  3. Apa nyang menjadi wewenang pengadilan diletakkan dibawah kekuasaan administrasi.
Dengan melihat uraian di atas kita dapat menarik satu manfaat dari kegunaan sistem positif ini yaitu :
  1. Adanya kepastian dari buku tanah.
  2. Peran aktif dari pejabat balik nama tanah.
  3. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertifikat tanah mudah dimengerti oleh umum.
Dengan demikian sistem ini memberikan suatu jaminan yang mutlak terhadap buku tanah kendatipun ternyata bahwa pemegang sertifikat tanah bukanlah pemilik sejati dan oleh karena itu ketika yang ber’tikad baik. Yang bertindak berdasar bukti tersbeut akan mendapat jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat adalah tidak benar.

c. Sistem Negatif 
Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.[34]

Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah bukanlah merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain bahwa buku tanah bisa saja berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik yang sebenarnya melalui putusan yang telah mempunyai keuatan hukum tetap.

Menurut Dr. Ny. Mariam Darus Badrul Zaman, S.H dalam bukunya Bab-bab tentang Hypothek Hal 44 dan 45 (dalam Bachtiar Efendi hal 82) mengemukakan bahwa hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai. Menyelidiki apakah pemberian hak sebelumnya (Rehtsvoorganger) mempunyai wewenang menguasai (Besehikkingbe Veegdheid) atau tidak, berkaitan dengan bagaimana cara orang terdaftar itu memperoleh haknya, apakah telah memenuhi ketentuan Undang-Undang atau tidak. Demikianlah penjajahan itu dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang mendahului penyerahan. 

Kebaikan sistem negative ini adalah : 
  1. Adanya perlindungan pada pemegang hak yang sebenarnya.
  2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterima.
Azas peralihan hak atas tanah menurut system ini adalah azas-azas nemo plus yuris yakni orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal, Azas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini pemegang hak yang sebenarnya akan tetap dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

Sehubungan dengan kewajiban pendaftaran dimaksud system apakah yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dari beberapa sistem yang dikemukakan diatas untuk mengetahui hal ini terlebih dahulu kita akan mengemukakan dasar hukum dari pendaftaran tanah yang dilaksanakan di Indonesia yang dapat kita temukan dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Agaria yang selengkapnya berbunyi :

Ayat 1 : Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
  1. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.
  2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ayat 3: Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi, serta kemungkinan penyelenggaraan menurut pertimbangan menteri agraria.

Ayat 4: Dalam peraturan pemerintah di atas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas dengan ketentuan-ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.[35]

Dari ketentuan pasal 19 ayat 2 di atas huruf C Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan dasar hukum Pendaftaran Tanah tersebut dapat kita ketahui bahwa yang didaftarkannya hak-hak atas tanah akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kata “kuat” dalam pengertian pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA tersebut di atas adalah berarti bahwa sertifikat tanah yang diberikan tersebut adalah tidak mutlak, dan membawa akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sepanjang tidak ada yang membuktikan keadaan yang sebaliknya.

Yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut adalah tidak benar, kalau kita hubungkan ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C dengan sistem-sistem pendaftaran tanah yang telah dikemukakan di atas, maka akibat hukum dari ketentuan pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA dengan kata lain bahwa system yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pendaftaran Tanah adalah system Negatif dengan tendensi positif.[36]

Sedangkan sistem yang dianut UUPA adalah sebagai berikut :
1) Menurut DR. Ny. Mariam darus badrul Zaman, S.H (dalam bukunya bab-bab tentang hipotik)
Menurut beliau sistem yang dianut UUPA adalah sistem campuran, antara Sistem Negatif dan Positif, hal ini terlihat dengan adanya perlindungan pada pemilik yang sebenarnya (Sistem Negative), sedangkan sistem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah, dimana sebelumnya diterbitkan sertifikat tanah, terlebih dahulu diadakan penjajahan terhadap peristiwa-peristiwa hukum apa saja yang mendahului penyerahan.[37]

2) Menurut Abdur Rahman (dalam tulisannya Berita Pusat Study hukum Tanah Fakultas Hukum Uniam No 5/Mei/1978
Beliau cenderung condong pada pendapat DR. Ny Mariam yang mengatakan bahwa sistem pendaftaran yang dianut UUPA dan PP No 10/1961 adalah campuran (positif dan negative) dimana dalam sistem yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negative dan positif sudah tertutup. Sistem yang demikian ini menurut hematnya pada saat masa sekarang sangat baik dan cocok keadaannya dengan keadaan di Negara kita, sekalipun memang harus diakui perlunya diadakan beberapa penyempurnaan guna disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan.[38]

3) Menurut DR. Sumarti Hartono (dalam buku beberapa pemikiran kearah pembaharuan Hukum hal 107)
Menurut beliau katanya setelah UUPA berlaku selama hampir 20 tahun tiba saatnya kita berpegang pada sistem positif, yang menjadikan sertifikat tanah satu satunya alat bukti untuk membuktikan hak milik atas tanah dengan pengertian bahwa apabila dapat membuktikan bahwa sertifikat itu palsu / diupalsukan / diperoleh dengan jalan yang tidak sah / karena paksaan / pungutan liar / menyogok. Misalnya maka tentu saja sertifikat itu dianggap tidak sah sehingga menjadi batal dengan sendirinya (Van Rechts Weignieting).[39]

Mantaha, mantan kepala jawatan pendaftaran tanah menyatakan bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang dianut sekarang ini adalah sistem negative dengan tendensi positif. 

Dengan sistem ini keterangan-keterangan yang ada apabila tidak ternyata benar maka dapat diubah dan dibatalkan.[40]

Dengan pasal 19 Undang-Undang Agraria ini, maka untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan suatu peraturan pemerintah.

Berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, pendaftaran tanah berdasarkan azas-azas sebagai berikut.

a. Azas Sederhana 
Maksudnya sederhana dalam pendaftaran tanah adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknnya maupun prosedurnya dengan mudah dimengerti atau dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah.

b. Azas Aman 
Azas aman adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara lebih dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Azas Terjangkau 
Azas terjangkau adalah keterjangkauan bagi pihak yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi tanah lemah.

d. Azas Mutakhir 
Azas mutakhir menentukan data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu dengan keadaan nyata di lapangan, masyarakat dapat memperoleh keterangan data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pola Azas Terbuka.[41]

e. Dasar Hukum Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 
Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan hukum dasar dan sekaligus merupakan sumber hukum dalam arti formal artinya, sumber berlakunya hukum, sumber berlakunya peraturan-peraturan hukum. Apabila dilihat dari pasal-pasalnya UUD 1945 hanya berisikan 37 pasal dengan 4 pasal peraturan peralihan, diantara ke 37 pasal itu adalah pasal 33 ayat 3 yang menjadi dasar berlakunya UUPA No 5 Tahun 1960, jadi berdasarkan uraian diatas tersebut jelas bahwa UUPA No 5 Tahun 1960 itu dibentuk berdasarkan Undang-Undang 1945.[42]

Badan Pembentuk Undang-Undang pada waktu pembentukan UUPA itu menggunakan pola pikiran hukum adat, dimana kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam hukum adat yaitu hukum agraria adapt, dilengkapi oleh hukum agraria barat. Jadi hakekatnya UUPA No 5 Tahun 1960 adalah hukum agraria adat dengan “Baju Baru” yaitu hukum agraria adat yang diberi bentuk tertulis berbentuk Undangn-Undang.[43]

Sedang Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No 5 Tahun 1960, jadi dasar hukum berlakunya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang No 5 Tahun 1960.

E. Tujuan Pendaftaran Tanah
Dalam Peraturan yang menyempurnakan PP No 10 Tahun 1961 ini tetap dipertahankan tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah sebagai yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA yaitu bahwa Pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan. Rincian tujuan pendaftaran tanah dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 adalah :

a. Untuk memberikan kepastian hukum perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertifikat sebagai tanda buktinya. Inilah yang merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaranya diperintahkan oleh pasal 19 UUPA, maka memperolah sertifikat bukan sekedar fasilitas melainkan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang.


Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana termasuk dalam pasal 19 ayat 2 huruf C. UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan buku tanah adalah dokumen yang dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah-tanah yang sudah ada haknya.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan Hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah di daftar. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Nasional kabupaten/kota madya. Para pihak yang berkepentingan terutama calon pembeli atau calon kreditur sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah atas satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan terbuka untuk umum ini sesuai dengan asas pendaftaran yang bersifat terbuka.

Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah untuk dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisiknya dan data yuridisnya belum. 

c. Untuk terselenggaranya tartib administrasi pertanahan, Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dan tertib. Administrasi dibidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihannya, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.[44]

Dari berbagai tujuan pendaftaran di atas merupakan wujud pembaharuan hukum tanah Indonesia, karena hukum Agraria yang berlaku sebelum di Undangkannya. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 adalah Hukum Agraria Barat dan Hukum Agraria Adat. Hukum Agraria kolonial tersusun berdasarkan dan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya dipengaruhi oleh biaya, sehingga sangat besar kemungkinannya yang terjadi adalah adanya pertentangan kepentingan rakyat dan Negara dalam melaksanakan pembangunan semesta dan juga sebagai akibat politik Hukum pemerintah jajahan itu, hukum agraria mempunyai sifat dualisme hukum yaitu berlakunya peraturan-peraturan Hukum adapt disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan pada Hukum Barat, hal ini selalu menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, dan juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa Indonesia.

Masalah-masalah yang timbul adalah adanya ketidakpastian hukum hak atas tanah oleh rakyat Indonesia, Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria kolonial yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memberikan jaminan hukum (Recht Kadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum Agraria adapt tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalau di daftar oleh pemerintah Hindia Belanda tujuannya bukan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.

Jadi dengan telah di Undang-Undangkannya Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dianut dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 rakyat Indonesia yang mempunyai hak-hak atas tanah memperoleh kepastian hukum hak-hak atas tanah dengan melaksanakan pendaftaran tanah miliknya sebagaimana tertuang dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran.
Blog, Updated at: 16.49.00

3 komentar:

  1. sabung ayam filipina Terpercaya Indonesia
    Taruhan S128 - SV388 - CFT2288 (KUNGFU)
    Yuk Gabung Bersama Kami Raih Kemenangan Anda Sekarang Juga 100% Tanpa Bot
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    Telegram : +62812-2222-995 / https://t.me/bolavita
    Wechat : Bolavita
    WA : +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus
  2. bosen kalah kalah aja..?? silahkan coba registrasi di bolavita
    hanya dengan modal 50 ribu sudah bisa jadi jutawan
    buktikan sendiri no Hoax... ^^ sabung ayam bali

    info lbh lanjut:

    WA: +628122222995

    BalasHapus