Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan Ekonomi Syariah

Posted By frf on Minggu, 19 Februari 2017 | 14.07.00

Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan Ekonomi Kesejahteraan Syariah 
1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ekonomi Kesejahteraan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menggunakan teknik ekonomi mikro untuk menentukan secara serempak efisiensi alokasi dari ekonomi makro dan akibat distribusi pendapatan yang berhubungan dengan itu (O’Connel, 1982). Ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan oleh sebagian besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang diinginkan masyarakat (Rosen, 2005:99). Ekonomi kesejahteraan menyediakan dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat kebijakan dalam alokasi sumberdaya (Besley, 2002). Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai guna (utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari citarasa dan teknologi. 

Ekonomi kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari kesejahteraan sosial dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada dalam masyarakat. Kesejahteraan ekonomi mempunyai kaitan dengan kesejahteraan dari individu, sebagai lawan kelompok, komunitas, atau masyarakat sebab ekonomi kesejahteraan berasumsi bahwa individu adalah unit dasar pengukuran. Ekonomi kesejahteraan juga berasumsi bahwa individu merupakan hakim terbaik bagi kesejahteraan mereka sendiri, yaitu orang-orang akan menyukai kesejahteraan lebih besar daripada kesejahteraan lebih kecil, dan kesejahteraan itu dapat diukur baik dalam terminologi yang moneter atau sebagai suatu preferensi yang relatif. 

Kesejahteraan sosial mengacu pada keseluruhan status nilai guna bagi masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sering didefinisikan sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu di masyarakat. Kesejahteraan dapat diukur baik secara kardinal yang dalam dollar (rupiah) atau “utils”, atau diukur secara ordinal dalam terminology nilai guna yang relatif. Metoda kardinal adalah jarang digunakan sekarang ini oleh karena permasalahan agregat yang membuat ketelitian dari metoda tersebut diragukan. Ada dua sisi dari ekonomi kesejahteraan, yaitu efisiensi ekonomi dan distribusi pendapatan. Efisiensi ekonomi adalah positif lebih luas dan berhadapan dengan " ukuran dari kue". Distribusi Pendapatan adalah jauh lebih normatif dan berhadapan dengan " pembagian atas kue".

2. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Syariah
Ekonomi kesejahteraan konvensional hanya menekankan pada kesejahteraan material saja, dengan mengabaikan kesejahteraan spiritual dan moral. Ekonomi kesejahteraan syariah bertujuan mencapai kesejahteraan manusia secara menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan moral. Konsep ekonomi kesejahteraan syariah bukan saja berdasarkan manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga nilai moral dan spiritual, nilai sosial dan nilai politik Islami. Dengan demikian ekonomi kesejahteraan syariah mempunyai konsep lebih komprehensif (Mannan, 1970:358).

Pengertian, Prinsip, Tujuan dan Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

Ekonomi kesejahteraan syariah dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan tujuan, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan mendorong kesejahteraan manusia akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas baik bagi pembahasan teoritis maupun resep kebijakan (Chapra, 2001:108).

Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan Ekonomi Kesejahteraan Syariah.
1. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ada dua pendekatan yang dapat diambil terhadap ekonomi kesejahteraan, yaitu pendekatan Neo-Klasik dan pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru. Pendekatan Neo-klasik telah dikembangkan oleh Pigou, Bentham, Sidgwich, Edgeworth, dan Marshall. Pendekatan Neo-Klasik berasumsi bahwa nilai guna merupakan kardinal dan konsumsi tambahan itu menyediakan peningkatan yang semakin kecil dalam nilai guna (diminishing marginal utility). Pendekatan Neo-Klasik lebih lanjut berasumsi bahwa semua individu mempunyai fungsi nilai guna yang serupa, oleh karena itu hal tersebut mempunyai makna untuk membandingkan nilai guna individu dengan nilai guna milik orang lain. Oleh karena asumsi ini, hal tersebut memungkinkan untuk membangun suatu fungsi kesejahteraan sosial dengan hanya menjumlahkan seluruh fungsi nilai guna individu. 

Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru didasarkan pada yang dikerjaan oleh Pareto, Hicks, Kaldor, Boulding, Arrow, Robbin, Scitovsky, Galbrairh dan Sen). Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru dengan tegas mengenalkan perbedaan antara bagian efisiensi dari disiplin dan bagian distribusi serta memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Pertanyaan dari efisiensi ditaksir dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi Pareto dan uji kompensasi Kaldor-Hicks, sedangkan pertanyaan dari distribusi pendapatan dicakup di dalam spesifikasi fungsi kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, efisiensi tidak perlu memerlukan ukuran kardinal nilai guna, nilai guna ordinal adalah cukup untuk analisis ini. Banyak titik-tolak pemikiran ekonomi dapat diambil untuk membahas masalah welfare (kemakmuran) dan welfare economics (ilmu ekonomi yang berorientasi kemakmuran). The American Economics Association yang menempatkan Kenneth Boulding sebagai salah satu pemikir ekonomi konpemtorer pada waktu itu, bersejajaran dengan tokoh-tokoh lain seperti John Kenneth Galbraith, ragnar Nurkse, Paul A. Samuelson, Wassly Lointief, Mozez Abramoritz, Andreas Papandreou, Norman Buchanan, Paul Baran dan Milton Friedman. Lebih dari setengah abad yang lalu, Howard S. Ellis dari University of California, Berkeley selaku editor menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economic I (Homewood: Irwin, 1949) yang disponsori oleh The American Economics II terbit pula dengan editor Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University (Homewood: Irwin 1952), yang juga disponsori oleh the American Economics Association. Kedua jilid buku ini sebagai kesatuan boleh dibilang merupakan karya monumental dalam pemikiran ekonomi. Setengah abad yang lalu itu masih dengan tegas dikatakan oleh Kenneth Boulding bahwa the subject matter of welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus didekati dari konsep harta atau “riches” ekonomi. Dengan pendekatannya ini ia lebih lanjut memperkukuhkan konsepsi yang telah dikenal sebagai “social optimum”, yaitu Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgeworth), di mana economics efficiency mencapai social optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off). Dalam pada itu pemborosan (dalam konsepsi social optimum ini) masih terjadi bila seseorng masih bisa menolong orang lain tanpa merugi. Apa yang dikemukakan Boulding ini, dalam kaitan Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth, Alfried Marshall dan A.C. Pigou, pada dasarnya adalah “old utilitarian” dan tidak terlepas dari mekanisme perfect competition dalam pasar. Welfare dan competition menjadi dua sejoli diangkat di sini sebagai paradigma klasikal oleh kaum Smithian. Inilah “old welfare economics” yang berdasar pada utilitas, berorientasi harta atau kekayaan ekonomi individu dan self-interest maximizalition, yang menegaskan tercapainya Pareto efficiency. Dengan demikian “social optimum” semacam ini menggambarkan berlakunya institusi ekonomi berdasar paham individualisme dan liberalisme ekonomi (Swasono,2005). 

Efisiensi alokatif (allocative efficiency) sumber-sumber ekonomi ke tingkat optimal yang menjadi titik tolak pemikiran kaum klasik Paretian ini (dan kemudian juga neoklasik) ternyata tidak dengan sendirinya membawakan kesejahteraan sosial (societal welfare). Bagaimanapun juga pareto efficiency tidak membukakan kondisi untuk terbentuknya a good society (Sen, 2002) dan tidak peka terhadap masalah distribusi. Welfare economics setengah abad yang lalu berhenti di situ. Boulding kemudian dalam bukunya Economics as a Science (1970) kurang lebihnya melepaskan pendapat awalnya tentang social optimum yang sempit itu. Apa yang disebut sebagai “new welfare economics” mulai muncul, kemudian menjadi “contemporerary welfare economics” sejak Kenneth Arrow mengajukan “impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia kembangkan sebagai upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing anggota masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Dari sini ditunjukkan secara teoritis bagaimana sulitnya menggabung dan mentransformasikan preferensi-preferensi individual menjadi preferensi sosial. sepanjang yang saya ketahui Arrow-lah yang mengawali secara teoritikal proses transformasi ini. Bila proses transformasi ini saya kaitkan dengan paham kebersamaan (mutualisme, bukan individualisme). Kesimpulan saya demikian itu karena dalam berpola interaksi sosial maka individu-individu sebagai makhluk sosial akan berprilaku berdasar pada kaidah-kaidah nonekonomi yang lebih kompleks. Dengan kata lain akan terjadi transformasi perilaku individu-individu dalam pola interaksi sosial, bahkan mungkin terjadi transformasi mind-set, terbentuk suatu coherent collective mind and behavior. Ada suatu possibility teoritikal bila dari preferensi-preferensi individual. Preferensi sosial adal secara independent, sebagai kehendak individu yang hidup bermasyarakat karena “rasa bersama”. Di sinikah barangkali impossibility theorem-nya Arrow mendapatkan sambungan dan bagi saya mengagumkan (Swasono,2005). 

Sementara itu John Kenneth Galbraith, dengan mengemukakan pandangan Sraffa (1926), John Robinson (1933) dan Chamberlain (1932) ikut menegaskan bahwa persaingan (competition) patut diasumsikan sebagai tidak sempurna (non perfect). Galbraith bisa memahami karya Arthur R. Burn The Decline of Competition (1936) di mana elemen monopoli tidak lagi dipandang sebagai sekedar kejadian sekali-kali eaktu ataupun deviasi dari persaingan bebas. Ia berkesimpulan bahwa masalah kebijaksanaan monopoli sejak lama merupakan masalah intellectual property of men whose faith is in competition. Sejak awal (1950) Galbraith memprihatinkan bahwa perkembangan monopoli dan konsentrasi merupakan penyalahgunaan (abuse) kekuasaan ekonomi. Dalam bukunya The affluent Society (1958) ia menggambarkan keterdiktean konsumen oleh iklan yang berlebih-lebihan. Iklan semacam itu merupakan pemborosan sosial. selanjutnya secara konsisten ia membela kepentingan masyarakat luas terhadap konsentrasi kekuatan ekonomi swasta, sebagaimana ia kemukakan (1992) “…. The privatization of social services and public enterprises are aimed at altering property relations and hence the distribution of wealrh and political power toward the greater empowerment of the rich, big business, and the rentiers at the cost of the underclass….”. (Privatisasi sarana-sarana dan perusahaan-perusahaan negara bertujuan merubah hubungan-hubungan pemilikan dan selanjutnya pula distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi atas korban masyarakat bawah).

Setelah dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara welfare and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky mengemukakan melalui bukunya yang terkenal Welfare and Competition (1951), bahwa competition memiliki berbagai kelemahan (shortcomings). Bila kaum ekonom mengaggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), tugas negara adalah mengobati kelemahan-kelemahan yang ada pada diri competition demi menjamin welfare. Negara, menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust legislation dan menolak aggressive competition yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun ia pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol oleh negara.

Setelah Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare economics-nya Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian (1957) menegaskan bahwa welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an sich perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi memang memberikan kontribusi kepada human welfare berdasar kriteria bahwa pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu orde sosial ekonomi yang hidup di dalam masyarakat. Namun bagi Prof. Baran, posisi welfare economics yang mengundang perdebatan teoritikal dan moral sesungguhnya terletak pada melencengnya orde sosial ekonomi dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih utuh dan mulia, dimana hubungan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada masyarakat kapitalis (yang mendewakan self interest, perfect individual liberty, consumers’ sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi tercapainya well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat yang utuh, yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan psikis (mental and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology kapitalis yang melumpuhkan masyarakat miskin….”. Pada kesempatan ini Baran sempat mengungkit keheranannya terhadap sikap John Stuart Mill, Alfred Marshall, K. Wicksell dan A.C. Pigou yang terganggu oleh munculnya keraguan terhadap “the visible hand”. Baran memuji F. Bastiat dan J.B. Clark yang menempatkan welfare berdasar stelsel laissez faire sebagai “iron low” yang mengabaikan noble sentiments dan high ethical standards para protagon yang menghendaki prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran, mengundang suatu pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new economics”-nya Keynes, meskipun dilihat oleh Baran (1952) sebagai dasar-dasar perencanaan untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme, telah menegaskan tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya mekanisme built in untuk menjaga aggregate effective demand dalam mempertahankan full employment. Namun Keynes tidak melihat kemerosotan aggregate demand itu sebagai masalah struktural dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.

Kita perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz (1952), bahwa “….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects are not equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi bermula dari, dan relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan kesejahteraan ekonomi dalam jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu tidaklah sama). Dengan penegasannya ini ia sepaham dengan Clark. Sampai saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan saat ini banyak di antara kita yang berbicara mengenai growth namun mengabaikan economic welfare pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal welfare).




Pandangan mengenai welfare economics, substansi dan dimensinya terus makin berkembang, diawali antara lain oleh Robert A. Dahl dan Charles A. Lindblom dalam buku Politics, Political Economics and Welfare (1963). Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai apakah welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah harus mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics berlandaskan pada ilmu ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah berdasar pada proposisi “what there is” atau “what there ought to be “. Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu ekonomi adalah menentukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi yang telah ditentukan secara politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu adalah dalam tatarannya sebagai social preference dan social choice.

Dahl dan Lindblom menyayangkan bahwa istilah “political economy” tidak bisa digunakan saat ini tanpa memainkan trik-trik mistik rohnya Adam Smith, David Ricardo dan Stuart Mill. Berikut ini ia kemukakan dalam mengawali bukunya yang terkenal itu : Dalam teori formal, ilmu politik dan ilmu ekonomi acapkali dianggap sebagai kerabat jauh dan tidak begitu bicara satu sama lain. Dahl dan Lindblom berusaha mencari jalan untuk menyatukan aspek-aspek tertentu dari politik dan ekonomi ke dalam teori utuh yang konsisten. Pada ujud pertamanya, pertanyaannya terpusat ke dalam masalah etika daripada masalah ilmu. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tidak akan ada teori yang dapat menyatukan ilmu politik dan ilmu ekonomi kecuali teori ini mengeksplisitkan premis-premis sosiologi dan psikologi yang dikandung oleh masing-masing ilmu politik dan ilmu ekonomi. Akhirnya dari situ perlu dapat ditarik suatu “rational sosial action” untuk mencapai maksimisasi tujuan-tujuan good life, yang harus dicapai dengan perjuangan melalui kalkulasi rasional dan control demokratis, yaitu untuk meraih nilai-nilai dasar “freedom”, “equality” dan “progress”.

Makna welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi, menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan Lindblom membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih pelik, suatu yang open ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom konvensional. Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah Amartya Sen mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and Economics (Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan demikian pula Amitai Etziomi, seorang sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral Dimensions: Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988).

Dalam relevansi dengan Orasi ini barangkali Hatta (negarawan), Baran (idelog), Galbraith (reformis), Myrdal (reformis), Sen (ekonom), dan Etzioni (sosilog) yang melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara indpenden, di mana individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat sebagai kenyataan yang given.

Amartya Sen a.l. dalam bukunya Rationality and Freedom (Cambride: Berknap of Harvard University Press, 2002), bertitik tolak dari social preference, social choice dan impossibility theorem-nya Kenneth Arrow, menuju social welfare judgements dan mekanisme social decision. Selanjutnya theorem-nya Arrow makin berkembang canggih (memerlukan ketekunan dan kedalaman teoritikal serta subtilitas nilai-nilai untuk memahaminya) berkat pencerahan lebih lanjut oleh Sen, yang memberi makna lebih pada well being (kesejahteraan dalam arti luas) dengan freedom (kebebasan) sebagai lawan dari unfreedom.

Welfare economic-nya Sen menjadi suatu gambaran dan proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan (unfreedom) selanjutnya dengan mencari kriteria yang lebih luas (ecletic) diharapkan dapat lebih memberi makna well being yang lebih mapan, dengan ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti “tingkat kehidupan” (levels of living), “pemenuhan kebutuhan pokok” (basic needs fulfillment), “kualitas kehidupan” (quality of life) atau “pembangunan manusia” (human development). Sedangkan Bornstein secara normatif (“The Comparations of Economics System”, 1994) mengajukan “performance criteria” untuk social welfare yang makin luas, sekaligus makin sulit menentukan batasannya, meliputi output, growth, efficiency, stability, security, inequality dan freedom yang harus dikaitkan dengan suatu social preference (Swasono,2005).

2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Karena penekanan pada keadilan inilah, para fuqaha telah meletakkan sejumlah qaidah ushul (legal maxim) yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Diantara kaidah-kaidah ini adalah sebagai berikut : 
  • Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang lebih besar 
  • Suatu kerugian yang lebih besar dapt digantikan oleh kerugian yang lebih kecil. Kemaslahatan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik harus dikedepankan daripada kemaslahatan privat. 
  • Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan. 
  • Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin. 
Semua qaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep Pareto Optimal yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari sekelompok kecil (orang-orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan yang lebih banyak (orang-orang miskin). Karena itu, konsep ini dalam keadaan apapun, tidak mungkin mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ilmu ekonomi kesejahteraan syariah, seperti yang didapatkannya dalam ekonomi kesejahteraan konvensional (Chapra, 2001:59).

DAFTAR PUSTAKA;
  • Abbaasi, .M..,K.W. Hollman dan J.H. Murray, 1990. Islamic Economics: Foundations and Practices. International Journal of Social Economics. Jilid V.
  • Ahmad, Ziauddin. 1998. Islam, Proverty and Income Distribution. The Islamic Fondation, Lahore
  • Aronsson,T.,Lofgren,K.G. and Backlund,K. 2004. Welfare Measurement In Imperfect Markets : A Growth Theoretical Approach, Cheltenham, Edward Elgar.
  • Arrow, K.J. and Scitowsky,T. 1969. Readings in Welfare Economics, HomeWood, hal.255-283 
  • Asheim,G.B. and Buchholz,W. 2004. A General Approach to Welfare Measurement Through National Income Accounting, Scandinavian Journal of Economic 106, hal. 361-384.
  • Asheim,G.B. and Weitzman,M.L. 2001. Does NNP Growth Indicate Welfare Improvement?, Economics Letters 73, hal. 233-239.
  • Atkinson, A. 1975. The Economics of Inequality, Oxford University Press, London.
  • Besley,Timothy. 2002. Welfare Economics and Public Choice, London School of 
  • Economics and Political Science, London, April., hal 1-3.
  • Boadway,R.W. 1974. The Welfare Foundations of Cost-Benefit Analysis, Economic Journal 86, Desember, hal. 926-939.
Blog, Updated at: 14.07.00

0 komentar:

Posting Komentar