Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan Ekonomi Kesejahteraan Syariah
1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ekonomi
Kesejahteraan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menggunakan teknik
ekonomi mikro untuk menentukan secara serempak efisiensi alokasi dari
ekonomi makro dan akibat distribusi pendapatan yang berhubungan dengan
itu (O’Connel, 1982). Ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang
digunakan oleh sebagian besar ekonom publik untuk mengevaluasi
penghasilan yang diinginkan masyarakat (Rosen, 2005:99). Ekonomi
kesejahteraan menyediakan dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat
kebijakan dalam alokasi sumberdaya (Besley, 2002). Definisi ini
merupakan seperangkat alokasi nilai guna (utility) yang dapat dicapai
dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari citarasa dan
teknologi.
Ekonomi
kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari kesejahteraan
sosial dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada dalam
masyarakat. Kesejahteraan ekonomi mempunyai kaitan dengan kesejahteraan
dari individu, sebagai lawan kelompok, komunitas, atau masyarakat sebab
ekonomi kesejahteraan berasumsi bahwa individu adalah unit dasar
pengukuran. Ekonomi kesejahteraan juga berasumsi bahwa individu
merupakan hakim terbaik bagi kesejahteraan mereka sendiri, yaitu
orang-orang akan menyukai kesejahteraan lebih besar daripada
kesejahteraan lebih kecil, dan kesejahteraan itu dapat diukur baik dalam
terminologi yang moneter atau sebagai suatu preferensi yang relatif.
Kesejahteraan
sosial mengacu pada keseluruhan status nilai guna bagi masyarakat.
Kesejahteraan sosial adalah sering didefinisikan sebagai penjumlahan
dari kesejahteraan semua individu di masyarakat. Kesejahteraan dapat
diukur baik secara kardinal yang dalam dollar (rupiah) atau “utils”,
atau diukur secara ordinal dalam terminology nilai guna yang relatif.
Metoda kardinal adalah jarang digunakan sekarang ini oleh karena
permasalahan agregat yang membuat ketelitian dari metoda tersebut
diragukan. Ada dua sisi dari ekonomi kesejahteraan, yaitu efisiensi
ekonomi dan distribusi pendapatan. Efisiensi ekonomi adalah positif
lebih luas dan berhadapan dengan " ukuran dari kue". Distribusi
Pendapatan adalah jauh lebih normatif dan berhadapan dengan " pembagian
atas kue".
2. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Syariah
Ekonomi
kesejahteraan konvensional hanya menekankan pada kesejahteraan material
saja, dengan mengabaikan kesejahteraan spiritual dan moral. Ekonomi
kesejahteraan syariah bertujuan mencapai kesejahteraan manusia secara
menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan
moral. Konsep ekonomi kesejahteraan syariah bukan saja berdasarkan
manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga nilai moral dan spiritual, nilai
sosial dan nilai politik Islami. Dengan demikian ekonomi kesejahteraan
syariah mempunyai konsep lebih komprehensif (Mannan, 1970:358).
Ekonomi
kesejahteraan syariah dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu
ekonomi yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan
tujuan, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan keseimbangan
makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan
solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan
mendorong kesejahteraan manusia akan membantu menyediakan suatu arah
yang tegas baik bagi pembahasan teoritis maupun resep kebijakan (Chapra,
2001:108).
Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan Ekonomi Kesejahteraan Syariah.
1. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ada
dua pendekatan yang dapat diambil terhadap ekonomi kesejahteraan, yaitu
pendekatan Neo-Klasik dan pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru.
Pendekatan Neo-klasik telah dikembangkan oleh Pigou, Bentham, Sidgwich,
Edgeworth, dan Marshall. Pendekatan Neo-Klasik berasumsi bahwa nilai
guna merupakan kardinal dan konsumsi tambahan itu menyediakan
peningkatan yang semakin kecil dalam nilai guna (diminishing marginal
utility). Pendekatan Neo-Klasik lebih lanjut berasumsi bahwa semua
individu mempunyai fungsi nilai guna yang serupa, oleh karena itu hal
tersebut mempunyai makna untuk membandingkan nilai guna individu dengan
nilai guna milik orang lain. Oleh karena asumsi ini, hal tersebut
memungkinkan untuk membangun suatu fungsi kesejahteraan sosial dengan
hanya menjumlahkan seluruh fungsi nilai guna individu.
Pendekatan
ekonomi kesejahteraan yang baru didasarkan pada yang dikerjaan oleh
Pareto, Hicks, Kaldor, Boulding, Arrow, Robbin, Scitovsky, Galbrairh dan
Sen). Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru dengan tegas
mengenalkan perbedaan antara bagian efisiensi dari disiplin dan bagian
distribusi serta memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Pertanyaan
dari efisiensi ditaksir dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi Pareto
dan uji kompensasi Kaldor-Hicks, sedangkan pertanyaan dari distribusi
pendapatan dicakup di dalam spesifikasi fungsi kesejahteraan sosial.
Lebih lanjut, efisiensi tidak perlu memerlukan ukuran kardinal nilai
guna, nilai guna ordinal adalah cukup untuk analisis ini. Banyak
titik-tolak pemikiran ekonomi dapat diambil untuk membahas masalah
welfare (kemakmuran) dan welfare economics (ilmu ekonomi yang
berorientasi kemakmuran). The American Economics Association yang
menempatkan Kenneth Boulding sebagai salah satu pemikir ekonomi
konpemtorer pada waktu itu, bersejajaran dengan tokoh-tokoh lain seperti
John Kenneth Galbraith, ragnar Nurkse, Paul A. Samuelson, Wassly
Lointief, Mozez Abramoritz, Andreas Papandreou, Norman Buchanan, Paul
Baran dan Milton Friedman. Lebih dari setengah abad yang lalu, Howard S.
Ellis dari University of California, Berkeley selaku editor menerbitkan
buku A Survey of Contemporary Economic I (Homewood: Irwin, 1949) yang
disponsori oleh The American Economics II terbit pula dengan editor
Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University (Homewood: Irwin 1952),
yang juga disponsori oleh the American Economics Association. Kedua
jilid buku ini sebagai kesatuan boleh dibilang merupakan karya
monumental dalam pemikiran ekonomi. Setengah abad yang lalu itu masih
dengan tegas dikatakan oleh Kenneth Boulding bahwa the subject matter of
welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus
didekati dari konsep harta atau “riches” ekonomi. Dengan pendekatannya
ini ia lebih lanjut memperkukuhkan konsepsi yang telah dikenal sebagai
“social optimum”, yaitu Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan
Edgeworth), di mana economics efficiency mencapai social optimum bila
tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih beruntung (better-off) tanpa
membuat orang lain merugi (worse-off). Dalam pada itu pemborosan (dalam
konsepsi social optimum ini) masih terjadi bila seseorng masih bisa
menolong orang lain tanpa merugi. Apa yang dikemukakan Boulding ini,
dalam kaitan Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth, Alfried Marshall dan
A.C. Pigou, pada dasarnya adalah “old utilitarian” dan tidak terlepas
dari mekanisme perfect competition dalam pasar. Welfare dan competition
menjadi dua sejoli diangkat di sini sebagai paradigma klasikal oleh kaum
Smithian. Inilah “old welfare economics” yang berdasar pada utilitas,
berorientasi harta atau kekayaan ekonomi individu dan self-interest
maximizalition, yang menegaskan tercapainya Pareto efficiency. Dengan
demikian “social optimum” semacam ini menggambarkan berlakunya institusi
ekonomi berdasar paham individualisme dan liberalisme ekonomi
(Swasono,2005).
Efisiensi
alokatif (allocative efficiency) sumber-sumber ekonomi ke tingkat
optimal yang menjadi titik tolak pemikiran kaum klasik Paretian ini (dan
kemudian juga neoklasik) ternyata tidak dengan sendirinya membawakan
kesejahteraan sosial (societal welfare). Bagaimanapun juga pareto
efficiency tidak membukakan kondisi untuk terbentuknya a good society
(Sen, 2002) dan tidak peka terhadap masalah distribusi. Welfare
economics setengah abad yang lalu berhenti di situ. Boulding kemudian
dalam bukunya Economics as a Science (1970) kurang lebihnya melepaskan
pendapat awalnya tentang social optimum yang sempit itu. Apa yang
disebut sebagai “new welfare economics” mulai muncul, kemudian menjadi
“contemporerary welfare economics” sejak Kenneth Arrow mengajukan
“impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia kembangkan sebagai
upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing anggota
masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Dari sini
ditunjukkan secara teoritis bagaimana sulitnya menggabung dan
mentransformasikan preferensi-preferensi individual menjadi preferensi
sosial. sepanjang yang saya ketahui Arrow-lah yang mengawali secara
teoritikal proses transformasi ini. Bila proses transformasi ini saya
kaitkan dengan paham kebersamaan (mutualisme, bukan individualisme).
Kesimpulan saya demikian itu karena dalam berpola interaksi sosial maka
individu-individu sebagai makhluk sosial akan berprilaku berdasar pada
kaidah-kaidah nonekonomi yang lebih kompleks. Dengan kata lain akan
terjadi transformasi perilaku individu-individu dalam pola interaksi
sosial, bahkan mungkin terjadi transformasi mind-set, terbentuk suatu
coherent collective mind and behavior. Ada suatu possibility teoritikal
bila dari preferensi-preferensi individual. Preferensi sosial adal
secara independent, sebagai kehendak individu yang hidup bermasyarakat
karena “rasa bersama”. Di sinikah barangkali impossibility theorem-nya
Arrow mendapatkan sambungan dan bagi saya mengagumkan (Swasono,2005).
Sementara
itu John Kenneth Galbraith, dengan mengemukakan pandangan Sraffa
(1926), John Robinson (1933) dan Chamberlain (1932) ikut menegaskan
bahwa persaingan (competition) patut diasumsikan sebagai tidak sempurna
(non perfect). Galbraith bisa memahami karya Arthur R. Burn The Decline
of Competition (1936) di mana elemen monopoli tidak lagi dipandang
sebagai sekedar kejadian sekali-kali eaktu ataupun deviasi dari
persaingan bebas. Ia berkesimpulan bahwa masalah kebijaksanaan monopoli
sejak lama merupakan masalah intellectual property of men whose faith is
in competition. Sejak awal (1950) Galbraith memprihatinkan bahwa
perkembangan monopoli dan konsentrasi merupakan penyalahgunaan (abuse)
kekuasaan ekonomi. Dalam bukunya The affluent Society (1958) ia
menggambarkan keterdiktean konsumen oleh iklan yang berlebih-lebihan.
Iklan semacam itu merupakan pemborosan sosial. selanjutnya secara
konsisten ia membela kepentingan masyarakat luas terhadap konsentrasi
kekuatan ekonomi swasta, sebagaimana ia kemukakan (1992) “…. The
privatization of social services and public enterprises are aimed at
altering property relations and hence the distribution of wealrh and
political power toward the greater empowerment of the rich, big
business, and the rentiers at the cost of the underclass….”.
(Privatisasi sarana-sarana dan perusahaan-perusahaan negara bertujuan
merubah hubungan-hubungan pemilikan dan selanjutnya pula distribusi
kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat posisi kelompok kaya,
kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi atas korban
masyarakat bawah).
Setelah
dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara welfare
and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky
mengemukakan melalui bukunya yang terkenal Welfare and Competition
(1951), bahwa competition memiliki berbagai kelemahan (shortcomings).
Bila kaum ekonom mengaggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah
mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price
stability), tugas negara adalah mengobati kelemahan-kelemahan yang ada
pada diri competition demi menjamin welfare. Negara, menurut Scitovsky,
harus menyediakan jasa-jasa yang masyarakat secara kolektif dapat
mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust legislation dan menolak
aggressive competition yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun ia pada
dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki
pembatasan terhadap kontrol oleh negara.
Setelah
Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare economics-nya
Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian (1957) menegaskan bahwa
welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas
pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an
sich perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa
efisiensi ekonomi memang memberikan kontribusi kepada human welfare
berdasar kriteria bahwa pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu
orde sosial ekonomi yang hidup di dalam masyarakat. Namun bagi Prof.
Baran, posisi welfare economics yang mengundang perdebatan teoritikal
dan moral sesungguhnya terletak pada melencengnya orde sosial ekonomi
dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih utuh dan mulia, dimana hubungan
lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada masyarakat kapitalis (yang
mendewakan self interest, perfect individual liberty, consumers’
sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi tercapainya
well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat yang
utuh, yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan
psikis (mental and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology
kapitalis yang melumpuhkan masyarakat miskin….”. Pada kesempatan ini
Baran sempat mengungkit keheranannya terhadap sikap John Stuart Mill,
Alfred Marshall, K. Wicksell dan A.C. Pigou yang terganggu oleh
munculnya keraguan terhadap “the visible hand”. Baran memuji F. Bastiat
dan J.B. Clark yang menempatkan welfare berdasar stelsel laissez faire
sebagai “iron low” yang mengabaikan noble sentiments dan high ethical
standards para protagon yang menghendaki prinsip-prinsip ekonomi yang
sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran, mengundang suatu
pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new economics”-nya
Keynes, meskipun dilihat oleh Baran (1952) sebagai dasar-dasar
perencanaan untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme,
telah menegaskan tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya
mekanisme built in untuk menjaga aggregate effective demand dalam
mempertahankan full employment. Namun Keynes tidak melihat kemerosotan
aggregate demand itu sebagai masalah struktural dalam alokasi
sumber-sumber ekonomi.
Kita
perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz (1952), bahwa
“….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our
interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects
are not equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi
bermula dari, dan relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan
kesejahteraan ekonomi dalam jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu
tidaklah sama). Dengan penegasannya ini ia sepaham dengan Clark. Sampai
saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan saat ini banyak di antara
kita yang berbicara mengenai growth namun mengabaikan economic welfare
pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal welfare).
Pandangan
mengenai welfare economics, substansi dan dimensinya terus makin
berkembang, diawali antara lain oleh Robert A. Dahl dan Charles A.
Lindblom dalam buku Politics, Political Economics and Welfare (1963).
Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai
apakah welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah
harus mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics
berlandaskan pada ilmu ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah
berdasar pada proposisi “what there is” atau “what there ought to be “.
Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu ekonomi adalah menentukan cara-cara
terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi yang telah ditentukan secara
politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu adalah dalam tatarannya
sebagai social preference dan social choice.
Dahl
dan Lindblom menyayangkan bahwa istilah “political economy” tidak bisa
digunakan saat ini tanpa memainkan trik-trik mistik rohnya Adam Smith,
David Ricardo dan Stuart Mill. Berikut ini ia kemukakan dalam mengawali
bukunya yang terkenal itu : Dalam teori formal, ilmu politik dan ilmu
ekonomi acapkali dianggap sebagai kerabat jauh dan tidak begitu bicara
satu sama lain. Dahl dan Lindblom berusaha mencari jalan untuk
menyatukan aspek-aspek tertentu dari politik dan ekonomi ke dalam teori
utuh yang konsisten. Pada ujud pertamanya, pertanyaannya terpusat ke
dalam masalah etika daripada masalah ilmu. Kedua tokoh ini menegaskan
bahwa tidak akan ada teori yang dapat menyatukan ilmu politik dan ilmu
ekonomi kecuali teori ini mengeksplisitkan premis-premis sosiologi dan
psikologi yang dikandung oleh masing-masing ilmu politik dan ilmu
ekonomi. Akhirnya dari situ perlu dapat ditarik suatu “rational sosial
action” untuk mencapai maksimisasi tujuan-tujuan good life, yang harus
dicapai dengan perjuangan melalui kalkulasi rasional dan control
demokratis, yaitu untuk meraih nilai-nilai dasar “freedom”, “equality”
dan “progress”.
Makna
welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain secara
optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan
filosofi, menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan
Lindblom membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih pelik,
suatu yang open ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom
konvensional. Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah
Amartya Sen mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and
Economics (Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan demikian pula Amitai
Etziomi, seorang sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral
Dimensions: Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988).
Dalam
relevansi dengan Orasi ini barangkali Hatta (negarawan), Baran
(idelog), Galbraith (reformis), Myrdal (reformis), Sen (ekonom), dan
Etzioni (sosilog) yang melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara
indpenden, di mana individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat
sebagai kenyataan yang given.
Amartya
Sen a.l. dalam bukunya Rationality and Freedom (Cambride: Berknap of
Harvard University Press, 2002), bertitik tolak dari social preference,
social choice dan impossibility theorem-nya Kenneth Arrow, menuju social
welfare judgements dan mekanisme social decision. Selanjutnya
theorem-nya Arrow makin berkembang canggih (memerlukan ketekunan dan
kedalaman teoritikal serta subtilitas nilai-nilai untuk memahaminya)
berkat pencerahan lebih lanjut oleh Sen, yang memberi makna lebih pada
well being (kesejahteraan dalam arti luas) dengan freedom (kebebasan)
sebagai lawan dari unfreedom.
Welfare
economic-nya Sen menjadi suatu gambaran dan proses rasional ke arah
melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan
(unfreedom) selanjutnya dengan mencari kriteria yang lebih luas
(ecletic) diharapkan dapat lebih memberi makna well being yang lebih
mapan, dengan ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti
“tingkat kehidupan” (levels of living), “pemenuhan kebutuhan pokok”
(basic needs fulfillment), “kualitas kehidupan” (quality of life) atau
“pembangunan manusia” (human development). Sedangkan Bornstein secara
normatif (“The Comparations of Economics System”, 1994) mengajukan
“performance criteria” untuk social welfare yang makin luas, sekaligus
makin sulit menentukan batasannya, meliputi output, growth, efficiency,
stability, security, inequality dan freedom yang harus dikaitkan dengan
suatu social preference (Swasono,2005).
2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Karena
penekanan pada keadilan inilah, para fuqaha telah meletakkan sejumlah
qaidah ushul (legal maxim) yang dapat membantu merealisasikan
kesejahteraan untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Diantara
kaidah-kaidah ini adalah sebagai berikut :
- Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang lebih besar
- Suatu kerugian yang lebih besar dapt digantikan oleh kerugian yang lebih kecil. Kemaslahatan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik harus dikedepankan daripada kemaslahatan privat.
- Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan.
- Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.
Semua
qaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep Pareto Optimal
yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari
sekelompok kecil (orang-orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan
yang lebih banyak (orang-orang miskin). Karena itu, konsep ini dalam
keadaan apapun, tidak mungkin mendapatkan kedudukan tinggi dalam
paradigma ilmu ekonomi kesejahteraan syariah, seperti yang didapatkannya
dalam ekonomi kesejahteraan konvensional (Chapra, 2001:59).
DAFTAR PUSTAKA;
- Abbaasi, .M..,K.W. Hollman dan J.H. Murray, 1990. Islamic Economics: Foundations and Practices. International Journal of Social Economics. Jilid V.
- Ahmad, Ziauddin. 1998. Islam, Proverty and Income Distribution. The Islamic Fondation, Lahore
- Aronsson,T.,Lofgren,K.G. and Backlund,K. 2004. Welfare Measurement In Imperfect Markets : A Growth Theoretical Approach, Cheltenham, Edward Elgar.
- Arrow, K.J. and Scitowsky,T. 1969. Readings in Welfare Economics, HomeWood, hal.255-283
- Asheim,G.B. and Buchholz,W. 2004. A General Approach to Welfare Measurement Through National Income Accounting, Scandinavian Journal of Economic 106, hal. 361-384.
- Asheim,G.B. and Weitzman,M.L. 2001. Does NNP Growth Indicate Welfare Improvement?, Economics Letters 73, hal. 233-239.
- Atkinson, A. 1975. The Economics of Inequality, Oxford University Press, London.
- Besley,Timothy. 2002. Welfare Economics and Public Choice, London School of
- Economics and Political Science, London, April., hal 1-3.
- Boadway,R.W. 1974. The Welfare Foundations of Cost-Benefit Analysis, Economic Journal 86, Desember, hal. 926-939.
0 komentar:
Posting Komentar