Pengertian dan Liga Futsal Anak Jalanan

Posted By frf on Selasa, 14 Februari 2017 | 06.23.00

“Liga Futsal Anak Jalanan”
(Mengembangkan Tanggungjawab Sosial melalui pendekatan Sport Education)
Abstrak
Kegiatan PPM ini bertujuan untuk mengembangkan tanggung jawab sosial anak jalanan melalui program olahraga. Program tersebut adalah liga futsal dengan pendekatan sport education.

Sejumlah 4 lembaga terlibat sebagai partner yakni (1) Rumah Singgah Diponegoro, (2) Rumah Singgah Girlan, (3) Rumah Singgah Pambudi, dan (4) Ludica Foundation. Anak jalanan yang berpartisipasi dalam kegiatan ini adalah sejumlah 12 anak. Ludica Foundation membantu mengkoordinir pelaksanaan rapat koordinasi, pencarian sponsorship, dan pelakasanaan event liga. Sedang pengurus rumah singgah membantu fasilitasi (1) afiliasi tim, (2) sesi latihan, dan (3) event liga. Semua tahap tersebut dilaksanakan mulai dari bulan September sampai November 2008. Tahap event liga dilaksanakan di kalangan anak-anak jalanan di bawah binaan rumah singgah Diponegoro yang dilaksanakan pada tanggal 1 November 2008. Pemenang ditentukan berdasarkan tim paling fair play, tim paling kompak, dan tim yang bermain paling cantik. Setelah pelaksanaan kegiatan berakhir, tim PPM mengadakan workshop untuk membuat model pemberdayaan anak jalanan menggunakan pendekatan sport education.

Dari kegiatan PPM ini dapat disimpulkan bahwa (1) pelaksanaan program olahraga untuk anak jalanan memiliki potensi untuk disambut secara antusias. Hal ini merupakan akses yang bagus. (2) Bekerja bersama kelompok masyarakat ini memiliki tingkat ketidakpastian (organization uncertainty) yang tinggi. (3) Tiga tahap dalam pelaksanaan kegiatan ini mampu membangun kualitas tanggung jawab sosial anak jalanan. (4) Petunjuk praktis penyelenggaraan sport education sebagai sebuah pendekatan pemberdayaan masyarakat terpinggirkan memiliki potensi dalam menjamin nilai keberlangsungan (sustainability) kegiatan ini.

Kata Kunci: Futsal, Anak Jalanan, Tanggungjawab Sosial, Sport Education

Street Children Futsal League
(Developing Social Responsibility through Sport Education)

Abstract
The aim of this community service project was to develop street children social responsibility through sport programs. The project was a futsal league using sport education approach.

Four organizations have been involved as partners. They are (1) Rumah Singgah Diponegoro, (2) Rumah Singgah Girlan, (3) Rumah Singgah Pambudi, and (4) Ludica Foundation. The street children participated in this project were 12 ranging from 12 to 18 years old. Ludica foundation helped the project by coordinating meetings, looking for sponsorships, and administrating the league. While rumah singgah organization helped in facilitating (1) team affiliation, (2) formal competition, (3) culminating event. All three steps have been implemented during September through November 2008. However, only children from Rumah Singgah Diponegoro have been involved in the culminating event. The winners have been decided based on the most fair play, cooperative, and beautifully performed teams. Finally, the project was ended with a debriefing workshop to provide a draft on the practical guide for administrating sport education. 

The implementation of the project has concluded that (1) implementation of sport programs for street children yields some potentials to be apreciated enthusiastically. This is a good access. (2) To collaborate with this group requires an understanding on the organization uncertainty. Flexibility then is a must. (3) The three steps in this project have built children’s social responsibility. (4) The draft of practical guide for administrating sport education as an approach for disadvantage community has potential in guaranting the project’s sustainability.

Key Words: Futsal, Street Children, Social Responsibility, Sport Education

“Liga Futsal Anak Jalanan”(Mengembangkan Tanggungjawab Sosial melalui pendekatan Sport Education)

A. PENDAHULUAN 
Analisis Situasi
Anak jalanan memang merupakan salah satu potret buram masyarakat Indonesia paska reformasi. Beazley (2002, 2003a) secara cermat menggambarkan kondisi anak jalanan di Yogyakarta. Mereka dipinggirkan oleh negara maupun masyarakat. Peminggiran ini salah satunya berlangsung melalui anggapan bahwa menjadi anak jalanan adalah pelanggaran norma sosial. Dengan kata lain, masyarakat umum memandang bahwa kehadiran anak jalanan adalah bertentangan dengan wacana ideologi mapan tentang nilai keluarga dan gagasan tentang keteraturan sosial (Beazley, 2002). 

Salah satu dampak yang paling nyata dari marginalisasi adalah rendahnya kompetensi sosial anak jalanan. Alih-alih mereka belajar sosialisasi, anak-anak ini justru melakukan perilaku yang nampak anti sosial. Misalnya, penelitian Beazly yang lain secara lebih intensif mengamati bagaimana anak-anak yang mulai beranjak dewasa ini mulai menunjukkan perlakuan perlawanan terhadap budaya dominan; mulai dari gaya rambut dan aksesoris sampai tato, tindik, seks bebas, dan narkoba (Beazley, 2003a, 2003b). Pada gilirannya, tekanan dari budaya dominan dan perlawanan budaya mereka memposisikan anak jalanan pada posisi sulit di mana akses terhadap hak-hak anak menjadi semakin tertutup, terutama hak tumbuh dan kembang. 

Banyak usaha telah dilakukan untuk anak jalanan, baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah, dalam skala lokal maupun nasional, dan dari program tunggal insidental sampai multi program yang intensif dan berkelanjutan. Misalnya, program yang diusung oleh Safe the Children pada tahun 2005 telah berusaha memberdayakan dan mensuport anak jalanan melalui empat program payung, di antaranya (1) meningkatkan kapasitas organisasi non pemerintah, (2) meningkatkan akses layanan kesehatan, (3) bantuan untuk kebutuhan khusus anak jalan perempuan, dan (4) mengembangkan alternatif dari hidup di jalan (Save the Children, 2005).

Namun demikian, nampaknya masih jarang ditemui program yang berbasis olahraga di antara berbagai program pemberdayaan anak jalanan, Kalaupun ada mungkin masih bergerak di seputar olahraga untuk kesehatan. Olahraga memiliki potensi unik yang dapat menjadi kendaraan untuk pemberdayaan masyarakat terpinggirkan termasuk anak jalanan. Manfaat olahraga untuk kesehatan, kebugaran, dan elitisme atlet memang sudah diterima begitu saja oleh masyarakat. Namun, lebih dari manfaat biologistik, olahraga memberi manfaat pengembangan modal sosial dan kultural.

Oleh karena itulah, program pengabdian pada masyarakat ini kami laksanakan sebagai sebuah usaha menciptakan model pendidikan untuk pengembangan olahraga masyarakat. Kegiatan ini adalah liga futsal anak jalanan menggunakan pendekatan sport education sebagai bagian dari usaha melayani kebutuhan anak jalanan, khususnya kebutuhan untuk pengembangan tanggungjawab sosial yang mencakup kepemimpinan, fairplay, tolerensi, kerjasama tim, dan perilaku positif lainnya. Model ini diharapkan menjadi acuan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan olahraga masyarakat.

Tinjauan Pustaka 
Menurut Wikipedia, ada dua pengertian anak jalanan. Pertama, children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalan tapi masih memiliki hubungan keluarga. Kedua, children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh dan sebagian waktunya di jalan yang tidak memiliki atau memutuskan hubungan dengan keluarga. Namun perkembangan saat ini memunculkan satu kategori lagi, yakni children from the families of the street di mana anak-anak yang berada di jalan dan berasal dari keluarga yang hidup/ tinggal di jalan (id.wikipedia.org). Meskipun pada awalnya istilah anak jalanan merupakan hal tabu dan cenderung bersifat anti sosial dan subversif, kini istilah ini cenderung diterima (Civil Society Forum for East and South East Asia, 2003). Sebagai komunitas, anak jalanan memiliki istilah sendiri seperti gembel, glanet, tikyan, dan rendan (anak jalanan perempuan).

Di Indonesia, jumlah anak jalanan belum bisa diperkirakan secara pasti. Sebuah survey yang dilakukan pada tahun 1999 di 12 kota di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah anak jalanan mencapai 170.000 anak (West, 2003). Namun beberapa versi data menunjukkan bahwa jumlah anak jalanan berkembang pesat paska sejak era reformasi (Speak, 2005).

Ada banyak masalah yang dihadapi oleh anak jalanan. Beazly (2003) mengidentifikasi tentang bagaimana marginalisasi anak jalanan ini berlangsung dan bagaimana anak-anak ini melakukan perlawanan budaya. Akibatnya, mereka cenderung dianggap anti kemapanan. Selain itu Civil Society Forum for East and South East Asia (2003) menemukan bahwa stigma negatif dan miskinnya peluang ekonomi membuat mereka semakin terpinggirkan.

Program-program pemberdayaan juga mengalami hambatan yang cukup berarti seperti kebuntuan program bagi anak yang mencapai usia 18 tahun. Mereka juga tidak memiliki akses ke fasilitas dan layanan pemerintah seperti kesehatan dan pendidikan dikarenakan tidak memiliki sertifikat kelahiran. Selain itu juga tidak ada definisi yang jelas tentang “anak jalanan” yang mengakibatkan tidak adanya data demografi yang memadai sehingga menghambat advokasi. Sedangkan bagi anak-anak yang hidup terpisah dari keluarga tidak memiliki pelayanan alternative karena kategori ini belum menjadi pertimbangan yang penting (Civil Society Forum for East and South East Asia, 2003).

Kajian teoritik pengembangan olahraga masyarakat (POM) memerlukan analisis konsep masyarakat dan pembangunan masyarakat. Istilah masyarakat (community) dapat ditafsirkan secara beragam yang menghasilkan makna yang jamak pula. Masyarakat sebagai komunitas mengindikasikan gagasan tentang kolektifitas, kebersamaan, rasa kepemilikan, atau sesuatu yang dibagi. Suatu komunitas dapat ditentukan sendiri oleh anggotannya atau merupakan suatu label yang dikonstruksi dan ditentukan secara eksternal (Hylton dan Totten, 2001). Komunitas juga dapat diimajinasikan dan secara bersamaan direalisasikan. Contohnya, komunitas dapat berupa area yang ditentukan secara geografis (tempat, lokalitas, inhabitan) atau dapat berupa pengalaman (kelompok minat, afiliasi, aktifitas olahraga). Sedangkan apa yang disebut sebagai pengembangan masyarakat adalah skala pengembangan yang berbasis pada level intervensi baik dari yang bersifat imposisi ekternal (model deterministik top-down) sampai internal (model interaktif bottom-up). Pengembangan masyarakat bukan semata-mata pelayanan kepada masyarakat, tapi pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengambil bagian secara aktif dalam menentukan kebutuhan dan solusi.

Sedangkan pengembangan olahraga masyarakat (POM) mengacu pada paradigma yang berbeda dengan pembinaan olahraga pada umumnya. Pembinaan olahraga terlalu terfokus pada pencapaian prestasi atlet elit. Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) misalnya, lebih mengacu pada paradigma pembinaan house of sport nya Geoff Cooke (1996) sebagaimana digambarkan di bawah ini.

Paradigma di atas memberikan ilustrasi tentang pembinaan olahraga berkelanjutan berdasar tiap tahap perkembangan dalam olahraga. Tahapan-tahapan tersebut mengindikasikan progres hirarkis dari level partisipasi ke arah performance dan excellence, sehingga fokus utamanya adalah spesifik olahraga yang sudah mapan. Sedangkan POM tidak hanya semata-mata memfokuskan pada pembinaan olahraga dan juga bukan hanya olahraga di masyarakat. Akan tetapi POM mencakup dunia “pembangunan masyarakat”. Gambar 2 merepresentasikan kerangka masyarakat aktif yang menjadi paradigma POM.

Pada awalnya, penelitian tentang pengembangan tanggungjawab sosial melalui aktifitas olahraga berangkat dari gagasan Hellison (1978) tentang pengajaran tanggungjawab personal dan sosial (PTPS). Sejak peluncuran buku Beyond Balls and Bats (Hellison 1978), penelitian dan pengembangan model kurilulum pendidikan jasmani untuk PTPS berkembang di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan beberapa negara Eropa (Hellison dan Martinek, 2006). Lebih dari kurikulum PTPS juga dikembangkan untuk program-program di luar tembok sekolah. Hellison dan Walsh (2002) melakukan analisis terhadap 26 penelitian PTPS dalam program olahraga untuk anak-anak miskin dan terpinggirkan.

Dari semua penelitian tahun 1978 sampai 2001 ini dapat disimpulkan beberapa poin penting mencakup; (1) ”aktifitas jasmani sebagai kendaraan yang potensial untuk pengajaran keterampilan hidup (life skill) dan nilai, sambil pada saat yang sama mengembangkan isi pembelajaran aktifitas jasmani”, (2) tujuan program aktifitas jasmani yang mencakup/ membantu anak untuk mengambil tanggungjawab atas kesejahteraan dan pengembangan mereka sendiri dan yang lain, (3) peningkatan beberapa variabel seperti peningkatan pengendalian diri (self-control), usaha (effort), arah diri (self-direction), dan tolong menolong (Hellison dan Walsh, 2002)

Sport Education (SE) termasuk dalam pembelajaran yang disituasikan (situated learning) dan sudah lama dikembangkan dalam kurikulum penjas di Amerika. Walaupun SE belum cukup dikenal dan apalagi diaplikasikan di dalam pendidikan jasmani di Indonesia, kami melihat potensinya untuk dilaksanakan di luar kurikulum, dalam hal ini sebagai pendekatan untuk pemberdayaan anak jalanan.

Model SE menekankan pengembangan perilaku sosial positif dan memberikan kesempatan bagi anak untuk pengembangan keterampilan kepemimpinan (Siedentop, 1994). SE dirancang untuk mengembangkan pengalaman olahraga yang positif melalui stimulasi fitur kontekstual penting olahraga yang autentik. Menurut Siedentop, Hastie, dan van der Mars (2004), tata laksana SE adalah sebagai berikut; SE membutuhkan beberapa tim. Tiap tim memilih sendiri peran-peran seperti kapten, pelatih, dan manager. Tiap tim juga mengutus perwakilannya untuk berperan sebagai wasit (komisi wasit dan pertandingan), jurnalis, pencatat rekor dan statistik pertandingan. Mereka juga memberi nama tim, berikut warna seragam, maskot, logo, dan yel-yel.

Bagian pertama dari sesi adalah semacam pemusatan latihan (training camp), di mana technical assistant akan membantu latihan ketrampilan. Kemudian setelah beberapa pertemuan, pelatih tim akan melaksanakan sendiri latihan untuk timnya. Setelah keterampilan dasar dipelajari dan dipraktekkan, tahap berikutnya adalah kompetesi pra sesi. Sepanjang sesi ini, anak-anak berlatih menjadi wasit, belajar untuk mencatat skor dan statistik, dan terlibat dalam beberapa tugas managerial lainnya seperti membuat lapangan, menjalankan waktu, dan menyiapkan peralatan.

Sebagaimana sesi mengalami progres, pelatihan menjadi lebih sedikit dan kompetisi formal menjadi fokus utama. Tahapan berikutnya kemudian adalah kompetisi di mana tujuan utamanya adalah memenangkan pertandingan dengan mengumpulkan poin dari pertandingan. Namun, tidak semata-mata kemenangan yang dituju tapi juga sportifitas, organisasi, dan kelengkapan tugas-tugas managerial. Pada saat final, berbagai penghargaan diberikan seperti penghargaan peringkat teratas, penghargaan untuk wasit, penghargaan fair play, dan penghargaan partisipasi.

Dalam rangka pengembangan pemain dalam sepenuh rasa, aspek-aspek penting dalam model SE adalah bahwa anak mengambil peran yang lebih dari sekedar menjadi ”atlet”. Sebagaimana disebutkan di atas, selain mereka mempraktikkan latihan skil, mereka juga terlibat sebagai pelatih, wasit, manager, dan pencatat skor. Pengalaman dalam SE kemudian menawarkan setting yang kaya secara interaktif di mana menekankan peluang tanggungjawab. Aktifitas tersebut akan membantu mengajarkan kepemimpinan yang positif, organisasi, dan keterampilan interpersonal dalam konteks yang mengasumsikan berbagai tanggungjawab peran. Pada kenyataannya, penelitian yang dilakukan oleh Hastie dan Sharpe (1999) menunjukkan bahwa SE memiliki efek positif terhadap perilaku sosial positif pada anak-anak yang beresiko secara sosial.

Dalam model SE ini kami akan menggunakan permainan Futsal. Permainan futsal lebih familiar dikenal dengan sepakbola yang diminikan. Permainan futsal memang identik dengan lapangan yang lebih kecil dan dimainkan dengan pemain yang jumlahnya lebih sedikit (5 pemain per tim) atau separuh dari pemain sepakbola (Saryono, 2006). Pertimbangan pemilihan futsal adalah kepopuleran permainan dan kemudahan akses terhadap sarana dan prasarana.

Identifikasi dan Perumusan Masalah 
Dari paparan di atas dapat disimpulkan beberapa poin inti masalah, yakni (1) meningkatnya jumlah anak jalanan, (2) marginalisasi anak jalanan, (3) terbatasnya akses ke layanan publik, (3) kurangnya pemenuhan kebutuhan akan keterampilan hidup dalam hal ini adalah pengembangan tanggungjawab sosial, (4) terbatasnya program-program olahraga untuk pemberdayaan anak jalanan terlebih lagi program olahraga yang secara khusus mengembangkan tanggungjawab sosial, dan (5) belum adanya model pendidikan untuk pemberdayaan anak jalanan melalui program-program pengembangan olahraga masyarakat.

Rumusan masalah dalam kegiatan ini adalah bagaimana membuat model pendidikan untuk pengembangan olahraga masyarakat untuk anak jalanan melalui liga futsal dengan menggunakan pendekatan sport education.

Tujuan Kegiatan PPM 
Tujuan dari kegiatan ini adalah tersediannya model pendidikan untuk pemberdayaan anak jalanan melalui pengembangan olahraga masyarakat dan secara bersama-sama membantu anak jalanan mengembangkan tanggungjawab sosial melalui pertandingan futsal yang dikelola menggunakan pendekatan sport education. 
Manfaat Kegiatan PPM 

Manfaat kegiatan ini adalah untuk menyediakan suatu model bagi penyelenggaraan program pengembangan olahraga masyarakat. Selain itu kegiatan ini juga menyediakan pembelajaran tanggung jawab sosial yang disituasikan dalam liga futsal. Anak-anak akan belajar kepemimpinan, pengambilan keputusan, fairplay, resolusi konflik, penyusunan program, dan toleransi melalui peran-peran yang diambil sesuai dengan pendekatan sport education.

B. METODE KEGIATAN PPM
1. Khalayak Sasaran Kegiatan PPM
Khalayak sasaran antara strategis jangka pendek dalam kegiatan ini adalah anak jalanan dan pengurus rumah singgah di Yogyakarta. Secara jangka panjang, karena kegiatan ini akan menghasilkan model pengembangan olahraga masyarakat, maka kegiatan ini akan bermanfaat bagi lembaga yang berkepentingan terhadap masyarakat terpinggirkan seperti pemerintah, lembaga non pemerintah, bisnis, universitas, dan sekolah.

2. Metode Kegiatan PPM
Metode kegiatan ini adalah penyelenggaraan liga futsal dan workshop. Liga futsal adalah pembelajaran yang disituasikan (situated learning) melalui pendekatan sport education. Sedangkan untuk membuat model tersebut, kegiatan ini akan mencakup workshop evaluasi dan pembuatan model pendidikan pengembangan olahraga masyarakat.

3. Langkah-langkah Kegiatan PPM
Kegiatan PPM ini melalui tiga langkah. Langkah pertama adalah (1) pra-pelaksanaan yang merupakan pertemuan-pertemuan penyamaan persepsi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga mitra. Langkah kedua merupakan pelaksanaan kegiatan yang mencakup beberapa tahap sebagaimana dianjurkan dalam konsep sport education yang telah dimodifikasi sesuai dengan konteks lokal. Tahapan tersebut adalah (1) afiliasi tim, (2) sesi latihan, dan (3) event liga. Sedang langkah terakhir adalah debriefing workhop yang merupakan lokakarya penyusunan panduan pelakasanaan sport education untuk anak jalanan.

4. Faktor Pendukung dan Penghambat
Dalam penyelenggaraan kegiatan ini, kami menghadapi beberapa faktor yang mendukung dan menghambat. Faktor yang mendukung adalah (1) fasilitasi universitas maupun Fakultas Ilmu Keolahragaan, (2) alokasi dana yang memadai, (3) kemudahan akses kepada anak jalanan melalu rumah singgah, (3) motivasi dan antusiasme anak jalanan dalam aktivitas jasmani, (4) kelangkaan program olahraga untuk pemberdayaan anak jalanan, Sedangkan faktor penghambat kegiatan ini meliputi (1) kesulitan anak jalanan untuk membagi waktu untuk kegiatan ini dengan kerja di jalanan dan kegiatan lainnya, (2) transportasi bagi anak jalanan, (3) koordinasi dengan pengurus rumah singgah, dan (4) pelaksanaan debriefing workshop yang tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh semua lembaga mitra.

C. PELAKSANAAN KEGIATAN PPM
Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM
a. Partner dan Peserta 
Kegiatan ini melibatkan 4 lembaga partner. Salah satu di antara keempat lembaga tersebut adalah Ludica Foundation yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat terpinggirkan melalui program-program olahraga. Selain itu, kegiatan ini melibatkan 3 rumah singgah: (1) Rumah Singgah Diponegoro, (2) Rumah Singgah Girlan, dan (3) Rumah Singgah Pambudi. Sedangkan peserta kegiatan adalah anak jalanan yang berada di bawah binaan rumah singgah tersebut.

Tiap-tiap dari rumah singgah membentuk satu atau dua tim yang terdiri dari 10-12 orang dengan berbagai peran yang diambil oleh anak jalanan. Setidaknya peran tersebut adalah manager, pelatih, wasit, dan pemain. Mereka yang mendapat peran sebagai wasit akan membentuk komisi wasit bersama-sama dengan wasit dari tim lain.

b. Pra-Pelaksanaan
Sebelum memulai kegiatan, tim PPM mengadakan pertemuan untuk penyamaan persepsi dan koordinasi dengan pengurus rumah singgah awal September 2008. Rapat koordinasi ditujukan untuk mencapai kesepemahaman ke 5 lembaga tersebut terhadap ide dasar dan tujuan Liga Futsal Anak Jalanan. Penyamaan persepsi ini meliputi gagasan dasar dari penyediaan situasi di mana anak dapat belajar dan mengembangkan tanggungjawab sosial melalui aktivitas olahraga. Meskipun sebelumnya mereka sudah menerima dan membaca proposal yang kami ajukan, kami tetap melakukan diskusi apakah model pendekatan sport education bisa dipahami dalam satu persepsi. Setelah dialog dirasa telah mencapai satu pemahaman, pokok bahasan dilanjutkan ke hal yang lebih teknis menyangkut bagaimana kegiatan ini bisa diaksanakan. Ludica Foundation bersedia menjadi event organizer dan pengurus rumah singgah bersedia menjadi fasilitator kegiatan. Pertemuan ini dihadiri oleh tim PPM, Ludica Foundation, rumah singgah Diponegoro, Girlan, dan Pambudi.

c. Pelaksanaan
Walaupun pada saat pra-pelaksanaan dihadiri secara lengkap oleh lembaga mitra, namun karena berbagai keterbatasan koordinasi antara tim PPM, rumah singgah, dan anak jalanan itu sendiri maka saat pelaksanaan kegiatan yang sampai pada tahap event liga harus dijadwal ulang. Hal ini disebabkan karena berbagai agenda kegiatan yang bersamaan dengan Liga Futsal ini. Untuk mengatasi kendala ini, kami memutuskan event liga dijalankan 2 kali.

Pada tahap pelaksanaan ini, Ludica Foundation membantu mengkoordinir pelaksanaan rapat koordinasi dan pelakasanaan event liga. Sedang pengurus rumah singgah membantu fasilitasi pelaksanaan kegiatan yang terdiri dari beberapa tahap: (1) afiliasi tim, (2) sesi latihan, dan (3) event liga. Bantuan fasilitasi mereka sangat berarti terutama saat tahap afiliasi tim. Berikut ini penjabaran secara terperinci berkaitan dengan tahap-tahap dalam sport education yang telah dimodifikasi secara kontekstual.

Afiliasi Tim: Afiliasi tim adalah pembentukan tim oleh sekelompok anak jalanan. Para anak jalanan dalam satu rumah singgah mengadakan beberapa pertemuan untuk membentuk tim dengan menentukan peran seperti manager, pelatih, dan wasit. Tugas pokok manager dalam tim adalah mengatur, mengarahkan, mengelola pemain memberikan informasi jadwal pertandingan, bermain dengan mana dan mempersiapkan semua kebutuhan tim baik di dalam maupun di luar lapangan, baik sebelum dan sesudah pertandingan. Seorang manager tim boleh merangkap sebagai pemain dalam pertandingan apabila tugasnya sudah dapat dikendalikan.

Sedangkan tugas pokok pelatih adalah mengatur dan mengarahkan pemain dalam usaha untuk memperoleh penampilan yang baik, memperoleh kemenangan saat pertandingan dan melakukan usaha-usaha peningkatan penampilan jauh hari sebelum pertandingan di mulai. Beberapa tugas pelatih antara lain :
  • Menyusun jadwal, bentuk, isi latihan untuk meningkatkan kekompakan tim dan menaikan kemampuan tim
  • menyusun pemain yang akan bermain
  • mengganti pemain yang bermain tidak sesuai keinginan pelatih menerapkan taktik dan strategi pada tim dan pemain untuk memperoleh kemenangan
Tugas pokok wasit adalah memimpin jalannya pertandingan agar berjalan dengan lancar, adil, jujur, tidak memihak, menerapkan dan menegakkan peraturan pertandingan.

Tugas Pemain adalah bermain dengan baik dan penuh semangat untuk tim dengan usaha yang gigih dan keras berusaha membawa timnya menang dengan mentaati peraturan pertandingan. Pemain wajib menjalankan perintah dari manager tim dan pelatih. Pemain dapat memberikan pertanyaan, usul, informasi dan saran kepada anggota pemain satu tim, pelatih dan manager untuk kebaikan tim. Pemain dilarang untuk :
  • Tidak mentaati latihan oleh pelatih
  • Tidak mentaati arahan pelatih & manajer
  • Mencaci maki teman satu tim, membuat kekacauan dalam tim
  • Tidak mentaati perintah wasit dalam bermain
Secara lebih detail, berbagai peran dan tanggungjawab tersebut dapat dilihat dalam lampiran. Tim PPM memberikan peran dan diskripsi tugas tersebut pada saat afiliasi tim.

Setelah peran-peran tersebut ditentukan, anak yang berperan menjadi manager akan berada dipucuk pimpinan dan menentukan ke arah mana tim akan dibawa. Dalam tahap afiliasi tim, manager memimpin rapat di kalangan mereka sendiri untuk menentukan nama tim, maskot, yel-yel, tempat dan program latihan. Bahkan mereka juga merancang sendiri desain kaos tim. Untuk menjalankan tim, setiap tim mendapat subsidi dari tim PPM sebesar Rp. 500.000,. Semua proses afiliasi tim didampingi namun tidak dicampurtangani oleh pengurus rumah singgah. Afiliasi tim dilaksanakan mulai tanggal 20-27 September 2008.

Sesi Latihan: Sesi latihan dilaksanakan mulai tanggal 10-30 Oktober 2008. Satu tim futsal anak jalanan berlatih 2 kali seminggu di lapangan futsal terdekat dengan rumah singgah mereka. Mereka mengorganisir sendiri semua proses latihan termasuk segala kebutuhan yang berkaitan dengan latihan. Walau demikian, pada tahap awal dari sesi lathan tiap tim mendapatkan technical assistant dari mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan. Tugas technical assistant ini adalah mendampingi dan memberi konsultasi hal-hal yang berkaitan dengan latihan, seperti penyusunan program latihan, prosedur latihan, materi dan beban latihan. Pendampingan oleh technical assistant ini berangsur-angsur dikurangi intensitasnya sebagaimana tim semakin independent. Selain itu, tim PPM juga menyediakan technical assistant untuk wasit. Pada saat latihan ini, wasit yang ditunjuk juga berlatih memimpin pertandingan.

Meskipun perkembangan tanggung jawab sosial ini sudah mulai nampak pada tahap afiliasi tim, pertumbuhannya bisa dirasakan secara nyata pada tahap sesi latihan. Ada berbagai pekerjaan dan kendala yang bermunculan pada tahap ini. Misalnya, mereka harus memikirkan dan memutuskan di mana dan kapan latihan. Selain itu mereka juga harus mengatur keterbatasan keuangan mereka untuk biaya sewa lapangan dan penyediaan minum saat latihan. Tidak jarang jika mereka mengalami kekurangan dana untuk sewa tempat latihan, mereka melakukan sesuatu secara tergornanisir, misalnya dengan mengamen bersama.

Kami melihat perkembangan nyata kualitas kepemimpinan mereka, terutama mereka yang berperan sebagai manager, pelatih, dan wasit. Misalnya, Sandi merupakan anak termuda di antara teman-teman satu tim. Namun, posisinya sebagai manager memungkinkannya untuk melakukan koordinasi dan mengatur bagaimana tim harus berjalan. Kepemimpinan Sandi terus berkembang melintasi dua tahap berikutnya.

Event liga: Tahap ini dilaksanakan dua tahap. Tahap pertama event liga di kalangan anak-anak jalanan di bawah binaan rumah singgah Diponegoro yang dilaksanakan pada tanggal 1 November 2008. Sedang tahap kedua event liga akan dilaksanakan setelah pelaporan PPM yakni akhir November 2008. Penyelenggaraan tahap kedua ini akan diambil alih sepenuhnya oleh Ludica Foundation sehingga pembiayaannya juga akan ditanggung oleh Ludica Foundation dan sponsorship. Sistem setengah kompetisi akan diterapkan agar memungkinkan kesempatan pertandingan yang lebih banyak. Pemenang ditentukan berdasarkan tim paling fair play, tim paling kompak, dan tim yang bermain paling cantik.

d. Debriefing Workshop
Setelah pelaksanaan kegiatan berakhir, tim PPM berencana mengadakan workshop bersama-sama dengan lembaga partner dan perwakilan anak jalanan untuk membuat model pemberdayaan anak jalanan menggunakan pendekatan sport education. Namun, pada pelaksanaan workshop ini hanya dihadiri oleh pengurus Ludica Foundation, pengurus rumah singgah Diponegoro, dan Tim PPM. Worskshop yang laksanakan pada tanggal 2 November ini dihadiri oleh 7 orang. Workshop ini menghasilkan petunjuk singkat penyelenggaraan sport education untuk program-program pemberdayaan kelompok masyarakat terpinggirkan.

e. Pembahasan Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM
Pada tahap pra-pelaksanaan kami mendapati antusiasme yang besar di kalangan pengurus rumah singgah. Hal ini barangkali karena mereka jarang mendapati program-program pemberdayaan anak jalanan melalui aktifitas jasmani.

Sebagaimana kegiatan lainnya, apa yang telah direncanakan pada tahap pra-pelaksanaan tidak selalu berjalan lancar. Hal ini dikarenakan sulitnya menyamakan agenda di mana mereka sudah memiliki kegiatan sendiri-sendiri. Misalnya, pada bulan Ramadhan, anak jalanan memiliki berbagai kegiatan. Bagi mereka, bulan ini merupakan bulan “basah”. Sehingga, aktivitas di bulan puasa mesti banyak menyesuaikan. Selain itu, sebagian besar anak jalanan juga memiliki kegiatan di luar kota pada akhir Oktober. Berbagai agenda yang sering bertabrakan ini yang kemudian menuntut rescheduling berulang-ulang.

Salah satu upaya penjadwalan ulang adalah pelaksanaan event liga yang sulit dilakukan bersama-sama sebelum awal November. Oleh sebab itu tim PPM memutuskan untuk membuat dua tahap penyelenggaraan. Tahap pertama sepenuhnya menjadi tanggung jawab tim PPM dan tahap ke dua menjadi tanggung jawab Ludica Foundation. Reorganisasi dan rescheduling ini adalah bentuk kebijakan pengelolaan yang fleksibel. Hal ini sangat berarti untuk penyelenggaraan program kemasyarakatan yang tingkat ketidakpastiannya (uncertainty) sangat tinggi seperti pemberdayaan anak jalanan.

Selanjutnya, setelah langkah pra-pelaksanaan adalah langkah pelaksanaan. Pelaksanaan kegiatan yang meliputi afiliasi tim, sesi latihan, dan event liga telah mampu menyediakan berbagai situasi di mana anak-anak belajar mengembangkan tanggungjawab sosialnya. Peran-peran yang diambil dalam sport education memungkinkan anak untuk menjalani berbagai tugas yang menuntut tanggung jawab. Pada tahap awal (afiliasi tim) biasanya belum tumbuh berbagai pembelajaran yang diharapkan. Namun, sejalan dengan kegiatan ini berjalan apa yang diharapkan oleh kegiatan ini, yakni pembelajaran tanggung jawab sosial, mulai nampak dan terus berkembang. Bahkan tahap event liga merupakan tahap paling kritis di mana berbagai peran tersebut dipertaruhkan.

Pelaksanaan kegiatan ini hanya melibatkan 3 tahap dari 6 tahap yang disarankan sport education. Barangkali jika keenam tahap ini bisa dilaksanakan secara keseluruhan, mungkin hasilnya akan lebih optimal. Namun, tentu akan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan dana yang lebih besar.

Pada langkah terakhir dari PPM ini adalah penyusunan petunjuk praktis penyelenggaraan sport education untuk pemberdayaan masyarakat terpinggirkan. Adanya petunjuk praktis ini adalah untuk menjamin nilai keberlangsungan (sustainability) dari kegiatan ini. Workshop yang dihadiri hanya oleh dua institusi menunjukkan kelemahan. Namun, hal ini bukan berarti petunjuk praktis tersebut tidak berdaya guna. Kedua lembaga ini setidaknya merupakan dua lembaga yang representatif untuk menyusun petunjuk tersebut. Tim PPM terdiri dari para dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan. Sedangkan Ludica Foundation adalah person-person yang sudah cukup berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat terpinggirkan melalui program-program olahraga. Selain itu, mereka adalah lulusan Fakultas Ilmu Keolahragaan. Tentu saja hasil workshop ini sangat terbuka untuk refeisi di kemudian hari

D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Dari kegiatan Liga Futsal Anak Jalanan ini kami menyimpulkan beberapa poin sebagaimana diuraikan berikut ini:
  • Pelaksanaan program olahraga untuk anak jalanan memiliki potensi untuk disambut secara antusias.
  • Bekerja bersama kelompok masyarakat ini memiliki tingkat ketidakpastian (organization uncertainty) yang tinggi.
  • Tiga tahap dalam pelaksanaan kegiatan ini mampu membangun kualitas tanggung jawab sosial anak jalanan.
  • Petunjuk praktis penyelenggaraan sport education sebagai sebuah pendekatan pemberdayaan masyarakat terpinggirkan memiliki potensi dalam menjamin nilai keberlangsungan (sustainability) kegiatan ini.
2. Saran
Berdasar penyelenggaraan kegiatan Liga Futsal Anak Jalanan ini, kami memberikan beberapa saran konstruktif untuk penyelenggaraan serupa.
  1. Pembuat kebijakan dalam bidang sosial terutama program untuk kelompok terpinggirkan perlu memperhatikan potensi program-program olahraga.
  2. Tingginya nilai ketidakpastian bisa dikurangi dengan alokasi waktu yang lebih panjang dan mempertegas paradigma fleksibilitas dalam manajemen kegiatan.
  3. Perlu ada penelitian dengan topik ini agar apa yang sudah dicapai dalam kegiatan ini bisa lebih divalidasi dan menyumbang secara teoritik baik disiplin ilmu keolahragaan dan kesejahteraan sosial.
  4. Petunjuk praktis yang dihasilkan dari kegiatan ini perlu dikembangkan di kemudian hari dan perlu disusun strategi operasi distribusinya.
DAFTAR PUSTAKA;
  • Beazley, Harriot (2002). “Vagrants Wearing Make-up”: Negotiating Spaces on the Streets of Yogyakarta, Indonesia. Urban Studies, Vol. 39, No. 9, 1665-1683
  • Beazley, Harriot (2003a). The Construction and Protection of Individual and Collective Identities by Street Children and Youth in Indonesia1. Children, Youth and Environments, Vol 13, No.1
  • Beazley, Harriot (2003b). Voice from the Margins: Street Children’s Subcultures in Indonesia. Children’s Geographies, Vol. 1, No. 2, 181-200.
  • Civil Society Forum for East and South East Asia (2003). A Civil Society Forum for East and South East Asia on Promoting and Protecting the Rights of Street Children. Report, 12-14 March 2003 – Bangkok, Thailand.
  • Cooke, Geoff (1996). A Strategic Approach to Performance and Excellence, in Suppercoach, National Coaching Foundation, 8 (1): 10.
  • Hastie, Peter dan Tom Sharpe (1999). Effect of a Sport Education Curriculum on the Positive Social Behavior of At-Risk Rural Adolescent Boys. Journal of Education for Students Placed at Risk, 4(4), 417-430.
  • Hellison, Donald (1978). Beyond Balls and Bats: Alienated (and other) Youth in the Gym. Washington, DC. AHPERD.
  • Hellison, Donald dan Tom Martinek (2006). Social and Individual Responsibility Programs. Dalam MacDonald, Kirk, dan O’Sullivan. the Handbook of Physical Education. London: Sage Publications.
  • Hellison, Donald dan David Walsh (2002). Responsibility-based Youth Programs Evaluation: Investigating the investigation. Quest. 54: 292-307.
  • Hylton, Kevin dan Mick Totten (2001). Community Sport Development. Dalam Hylton dkk. Sports Development: Policy, Process, and Practice. London: Routledge.
  • Hylton, Kevin, Peter Bramham, Dave Jackson, dan Mark Nesti (2001). Sports Development: Policy, Process, and Practice. London: Routledge.
  • Saryono (2006). Futsal Sebagai Salah Satu Permainan Alternatif untuk Pembelajaran Sepakbola dalam Pendidikan Jasmani. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia. Vol. 3 No. 2, Novermber 2006.
  • Siedentop, Daryl, Peter Hastie, Hans dan van der Mars (2004). Complete Guide to Sport Education. Champaign: Human Kinetics.
  • Save the Children (2005). Urban Street Children Empowerment and Support. Final Program Report.
  • Speak, Suzanne (2005). Relationship Between Children’s Homelessness in Developing Countries and the Failure of Women’s Rights Legislation. Housing, Theory and Society. Vol. 22, No. 3, 129-146
  • West, Andrew (2003). At the Margins: Street Children in Asia and the Pacific. Poverty and Social Development Papers. Asian Development Bank: 
  • www.wikipedia.org
Blog, Updated at: 06.23.00

0 komentar:

Posting Komentar