TEORI LENGKAP SENGKETA

Posted By frf on Minggu, 15 Januari 2017 | 17.29.00

I. A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. 
Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang bernama Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas.33 Kaidah berguna untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Menurut Van Kan, 34 kepentingan-kepentingan manusia bisa saling bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata mempunyai kelemahan:
  1. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak mempunyai sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan. 
  2. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia seperti kepentingan manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lainlain.
Oleh karena itu, diperlukan satu kaidah lagi yang dapat menjawab dua kelemahan di atas. Kaidah tersebut adalah kaidah hukum. Kaidah hukum mempunyai sifat pemaksa artinya kalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka dia akan dipaksa oleh hukum untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukan ke penjara agar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan. Kaidah hukum juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, hukum mulai mengatur dari manusia itu dilahirkan sampai meninggal dunia. Hukum juga mengatur tentang kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi administrasinya, hak-hak dan lain-lain. Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka hukum pun akan turut mengimbanginya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dasar hukum adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

 Kemudian ayat (2) menyatakan: Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) menyatakan: Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Ayat (4) menyatakan: Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diteirmanya permohonan keberatan oelh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan: Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6) menyatakan: Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota. Ayat (7) menyatakan: Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final. Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. (3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberaatn oleh Pengdailan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. (5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. (6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan suara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat. Dasar hukum yang terakhir adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Pangkal sengketa adalah objek atau wilayah kompetensi yang dapat dikategorikan sebagai sengketa Pilkada.

Pangkal sengketa ini kerap disalah artikan oleh para penegak hukum. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-bentuk pelanggaran pemilu seperti kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat kepolisian. Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegas menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil perhitungan suara yang berarti proses akhir dari Pilkada. 

B. Pemilihan Umum 
Demokrasi, pada mulanya merupakan satu gagasan tentang pola kehidupan yang muncul sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial politik yang tidak manusiawi di tengah-tengah masyarakat. Reaksi tersebut tentu datangnya dari orang-orang yang berpikir idealis dan bijaksana. Mereka terusik dan tergugah melihat adanya pengekangan dan pemerkosaan terhadap hak-hak asasi manusia. Ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai satu gagasan kehidupan yaitu kemerdekaan (freedom), persamaan (ekuality), dan keadilan (justice). Dalam kenyataan hidup, ide tersebut direalisasikan melalui perwujudan symbol-simbol dan hakekat dari nilai-nilai dasar demokrasi sungguh-sungguh mewakili atau diangkat dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilai-nilai itu sendiri35 .

Sejalan dengan makin mendunianya demokrasi, pemikiran tentang demokrasi pun semakin berkembang. Tapi pada umumnya pemikiran itu berintikan tentang kekuasan dalam Negara. Dalam Negara demokrasi, rakyatlah yang memiliki dan mengendalikan kekuasan dan kekuasaan itu dijalankan demi kepentingan rakyat. Abraham Lincoln pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Suatu pemerintahan itu dapat disebut demokratis apabila pemerintahan tersebut dapat memberikan kesempatan konstitusional yang teratur bagi persaingan damai untuk memperoleh kekuasaan politik untuk berbagai kelompok yang berbeda, tanpa menyisihkan bagian penting dari penduduk manapun dengan paksa.

Rezim-rezim demokratis dibedakan oleh paksa, legalitas, dan legitimasi berbagai organisasi dan himpunan yang relatif bebas dalam hubungannya dengan pemerintah dan dengan dirinya satu sama lain. Salah satu hal penting untuk memenuhi prasyarat tersebut diatas yaitu dengan melaksanakan pemilihan umum, karena tidak ada demokrasi tanpa diikuti pemilihan umum yang merupakan wujud yang paling nyata dari demokrasi. Melihat struktur kepartaian yang demikian, konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia pada dasarnya merupakan konflik antar sosial kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial. 

Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa perilaku politik dari berbagai partai politik di Indonesia di dalam hubungannya satu sama lain jauh lebih kompleks daripada sekedar bersumber dari dalam perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial. Kompleksitas itulah yang telah membuka kemungkinan membuka pola bagaimana cara melihat pola kepartaian dan perilaku politik yang diwujudkan oleh berbagai partai di Indonesia. Herbert Feith menyatakan konflik-konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologi yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional di satu pihak, dengan pandangan dunia modern di pihak lainya36 . Sementara itu Donald Hindley menyatakan keragaman pola kepartaian di Indonesia bersifat saling menyilang, yaitu golongan yang bersifat keagamaan di satu pihak dan penggolongan atas penganut pandangan dunia tradisional dan dunia modern di pihak lain37 .

1. Arti Pemilhan Umum 
Pada hakikatnya pemilu di Negara manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin Negara. Pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya. Pemilihan umum merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis. Fungsinya sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi. Esensinya sebagai sarana demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan 

Negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan Negara yang benar-benar memancarkan kebawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan perwakilan38 . Pemilihan Umum pada hakekatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak politik rakyat pada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kendaraan politik, partai politik kemudian hadir dan menawarkan kader-kadernya untuk mewakili hak-hak politik rakyat dalam negara. Tetapi untuk memperjuangkan hak-hak politik rakyat partai politik terlebih dahulu harus memperoleh eksistensi yang dapat dilihat dari perolehan suara dalam pemilihan umum.

Pemilihan umum adalah suatu sarana atau cara untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan, kepentingan rakyat perlu diwakali. Karena pada saat sekarang ini tidak mungkin melibatkan rakyat secara langsung dalam kegiatan tersebut mengingat jumlah penduduk sangat besar. Maka dari itu partai politik manawarkan calon-calon untuk mewakili kepentingan rakyat. Pemilihan umum merupakan saat dimana partai politik bertarung untuk memperoleh eksistensi di lembaga legislatif.

2. Fungsi Pemilihan Umum 
Dalam negara demokratis (pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat) maka salah satu ciri utamanya adalah pemilhan umum untuk memilih partai politik yang akan mendapat kepercayaan rakyat. Pemilihan umum merupakan gambaran yang ideal bagi suatu pemerintahan yang demokratis. Menurut Seymour Martin Lipset demokrasi yang stabil membutuhkan konflik atau pemisahan sehingga akan terjadi perebutan jabatan politik, oposisi terhadap partai yang berkuasa dan pergantian partai-partai berkuasa39. Karena itu pemilu bukan hanya untuk menentukan partai yang berkuasa secara sah, namun jauh lebih penting dari adalah sebagai bukti bahwa demokrasi yang berjalan dengan stabil, dimana terjadi pergantian partaipartai politik yang berkuasa. 

C. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194540. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak Juni 2005 Indonesia menganut sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pada dasarnya daerah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Menurut Rozali Abdullah, beberapa alasan mengapa diharuskan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung41, adalah: 1. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat Warga masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung. 40 Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
  • 33 Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum (Bandung : Alumni, 1986) hlm. 9. 34 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982) hlm. 7-17.
  • 35 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (CV. Rajawali. Yogyakarta.1985) hlm. 83
  • 36 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia suatu pengantar. (Ghalia Indonesia. Jakarta, 1998). hlm. 71 37 Ibid, hlm. 72
  • 38 Rusli Karim M, Perjalanan Partai Politik di Indonesia : Sebuah Potret Pasang Surut, (CV. Rajawali. Jakarta.1991) hlm. 120
  • 39 Seymour Martin Lipset, Political Man : Basis Sosial Tentang Politik, (Pustaka Pelajar. Yogyakarta.1960) hlm. 1
  • . 41 Lihat: Rozali Abdullah, pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Derah secara Langsung, PT Raja Grafindo, 2005, hlm 53-55

ll. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Pengertian Sengketa
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan pleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.

Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan/litigasi dan arbitrase/perwasitan, serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.

Cara-cara Penyelesaian Sengketa
a. Negosiasi
Merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan sama maupun berbeda.
b. Mediasi
Merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan mediator. Mediasi mengandung unsur-unsur :
  1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
  2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
  3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
  4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Tugas Mediator antara lain : 
Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan. 
Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyesuaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama. 

c. Arbitrase 
Subekti : merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih. 
Abdulkadir Muhamad : peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. 
Pasal 3 ayat 3 UU No 14 tahun 1970 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrsase tetap diperbolehkan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan. 

UU arbitrase nasional : UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan UU tersebut, Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum, yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Penjanjian arbitrase tidak batal meskipun : 
  • Meninggalnya salah satu pihak. 
  • Bangkrutnya salah satu pihak. 
  • Novasi (Pembaharuan utang) 
  • Insolvensi (keadaan tidak mampu membayar)salah satu pihak. 
  • Pewarisan. 
  • Berlakunya syarat-syarat hapusnya peikatan pokok. 
  • Bilamana pelaksanaan perjanjian dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase. 
  • Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. 
Jenis Arbitrase : 
Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter : merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. 
Arbitrase institusional : merupakan suatu lembaga yang bersifat permanen sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya, meskipun perselisihan telah selesai. 

Di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase, yaitu : 
  • Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). 
  • Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

lll. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar

Transaksi/hubungan dagang

Potensi melahirkan sengketa dagang Negosiasi

Penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase

Dasar hukum bagi forum

Kesepakatan para pihak 

Apabila terjadi kekosongan forum
Common law dengan konsep “long arm jurisdiction”

B. Para Pihak dalam Sengketa
1. Sengketa antara Pedagang dan Pedagang

Cara penyelesaian bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak

Menentukan forum pengadilan dan hukum apa yang akan diberlakukan
Ada batasannya
2. Sengketa antara Pedagang dan Negara Asing

Kontrak dagang dalam nilai yang relative besar

Masalah imunitas Negara

Pengertian jure imperii dan jure gestiones dalam HI
Badan peradilan umumnya menganut jure gestione

C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

Prinsip Fundamental

Badan-badan peradilan termasuk (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati
  1. bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
  2. bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa

Termuat dalam Psl 7 The Uncitral Model Law on International Commercial Arbitration

Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono)

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).

D. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants." 

Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.

Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini

Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.

2. Mediasi
  • Melalui pihak ketiga
  • Usulan-usulan penyelesaian informal
  • A quick, cheap and effective result
  • Penyelesaian melalui mediasi tidak mengikat
3. Konsiliasi
  • Konsiliasi lebih formal daripada mediasi
  • Komisi konsiliasi
  • Tahap tertulis dan lisan
4. Arbitrase
  • Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). 
  • Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
  1. kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. 
  2. sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
  3. Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. 
  4. Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
  5. Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. 
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya,atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).

Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.

lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).

Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya suatu aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)

lV. PENYELESAIAN SECARA DAMAI SENGKETA INTERNASIONAL
A. Prinsip-prinsip Umum Hukum Internasional yang berlaku.
Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal dan dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antara Negara tanggal 24 Oktober 1970 serta Deklarasi Manila tanggal 15 Nopember 1982 mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, yaitu sbb:
  • Prinsip bahwa negara tidak akan menggunan paksa yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB
  • Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara
  • Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa
  • Prinsip persamaan kedaulatan negara
  • Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara
  • Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional
  • Prinsip keadilan dan hukum internasional
B. Kebebasan Memilih Prosedur Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional tidak berisi keharusan agar suatu negara memilih prosedur penyelesaian tertentu. Hal ini juga ditegaskan oleh Pasal 33 Piagam PBB yang meminta kepada negara-negara untuk menyelesaian sengketa secara damai sambil menyebutkan bermacam-macam prosedur yang dapat dipilih oleh negara-negara yang bersengketa. Karena kebebasan ini, maka negara-negara pada umumnya memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian sengketa secara politik, ketimbang penyelesaian melalui arbitrase atau secara yurisdiksional karena penyelesaian sengketa secara politik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

Perbedaan antara sengketa politik dengan sengketa hukum yaitu:
  • Sengketa politik ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, misalnya atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya, penyelesaian sengketanya adalah secara politik.
  • Sengketa hukum ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas dasar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional.
C. Penyelesaian Sengketa Secara Politik (Non Yurisdiksional) Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul-usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara-negara yang bersengketa dan tidak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum.

Karena makin bertambahnya intervensi organisasi-organisasi internasional terutama PBB dalam penyelesaian politik sengketa-sengketa internasional, maka penyelesaian politik dibagi menjadi:
1. Penyelesaian dalam kerangka antara negara
a. Perundingan Diplomatik
Perundingan biasanya diadakan dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan langsung antara negara-negara yang bersengketa dalam pertemuan tertutup antara wakil-wakilnya.
Terbagi atas:
1. Perundingan langsung antar negara
Perundingan-perundingan langsung ini biasanya dilakukan oleh Menteri-Menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan khusus untuk berunding dalam kerangka diplomasi ad hoc. Perundingan-perundingan tersebut dapat berlangsung dalam kerangka bilateral maupun multilateral.
2. Jasa-jasa Baik dan Mediasi
Jasa-jasa baik (good offices) berarti intervensi suatu negara ketiga yang merasa dirinya wajar untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi antara dua negara. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah satu dari kedua negara yang bersengketa atau oleh kedua-duanya. Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar negara-negara bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu satu sama lain, amka berakhirlah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut.

3. Jasa-jasa Baik dan Mediasi Sekjen PBB
Dalam pelaksanaan fungsinya, Sekretaris Jenderal PBB. Apakah atas prakarsa sendiri ataupun dari negara-negara sering memberikan jasa-jasa baiknya kepada pihak-pihak yang terlibat untuk penyelesaian sengketa mereka.

b. Angket
adalah juga merupakan cara penyelesaian sengketa antar negara yang nono yurisdiksional dengan tujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta yang merupakan penyebab dari suatu sengketa, keadaan diwaktu terjadinya sengketa dan jenis dari sengketa yng terjadi. Sistim angket ini bertujuan untuk memberikan dasar yang kuat jalannya suatu perundingan. Agar perundingan mempunyai dasar-dasar yang kuat tentu diperlukan data-data yang objektif sebagai penyebab terjadinya suatu sengketa.

c. Konsiliasi Internasional
Adalah suatu cara penyelesaian secara damai sengketa internasional oleh suatu organ yang telah dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa setelah lahirnya masalah yang dipersengketakan.

2. Penyelesaian dalam kerangka Organisasi PBB
Agar keamanan dan perdamaian dapat terjamin demi keselamatan umat manusia, tentu sengketa-sengketa yang terjadi harus diselesaikan secara damai.
a. Observasi Pendahuluan
Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB menyatakan bahwa:
“Anggota-anggota PBB harus menyelesaikan sengketa-sengketa internasional mereka secara damai sebegiturupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional maupun keadilan tidak terancam”

b. Peranan Utama Dewan Keamanan
Peranan Utama Dewan Keamanan dikukuhkan dalam Pasal 24 ayat 1 Piagam yang menyatakan:
“Agar PBB dapat mengambil tindakan segera dan efektif, negara-negara anggota memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan setuju bahwa Dewan Keamanan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negara-negara anggota”

c. Intervensi Majelis Umum
Peranan Majelis Umum menurut pasal 10 Piagam PBB:
“Majelis Umum dapat membahas semua persoalan atau hal-hal yang termasuk dalam kerangka Piagam atau yang berhubungan dengan kekuasaan atau fungsi salah satu organ yang tercantum dalam Piagam…..dan membuat rekomendasi-rekomendasi kepada anggota PBB atau Dewan Keamanan”

Jadi, Majelis mempunyai wewenang atas berbagai persoalan apakah persoalan itu merupakan suatu sengketa atau keadaan. Mengenai keadaan, Majelis memepunyai kekuasaan intervensi langsung dalam 2 hal yaitu:
1. Menurut Pasal 11 ayat (3) ;
“Majelis dapat menarik perhatian Dewan Keamanan terhadap semua keadaan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional”
2. Menurut pasal 14 ;
“Majelis dapat mengusulkan tindakan-tindakan untuk penyelesaian secara damai semua keadaan, tanpa memandang asal-usul, yang mungkin mengganggu kesejahteraan umum atau membahayakan hubungan baik antar bangsa”

d. Wewenang Sekretaris Jenderal PBB
Disamping Dewan Keamanan dan Majelis Umum, Sekjen PBB yang dapat menarik perhatian Dewan Keamanan. Menurut pasal 99 Piagam: “Sekertaris Jenderal dapat menarik perhatian Dewan Keamanan atas semua masalah, yang menurut pendapatnya dapat mengancam perdamaian dan keaman dunia”

3. Penyelesaian dalam kerangka Organisasi-organisasi dan Badan-badan Regional
Menurut pasal 33 Piagam PBB menetapkan bahwa; “salah satu cara untuk menyelesaian sengketa internasional secara damai adalah melalui pengaturan regional (regional arrangement) serta campur tangan organisasi-organisasi dan badan-badan regional, berdasarkan pilihan para pihak sendiri”

Wewenang organisasi-organisasi dan badan-badan regional didalam proses awal penyelesaian sengketa secara damai ditentukan secara berbeda menurut prosedur masing-masing pengaturan regional, misalnya:

Liga Arab (League of Arab States)
Apabila sengketa yang timbul tidak menyangkut masalah kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah salah satu negara anggotanya atau negara lainnya, maka keputusan Liga Arab akan mengikat dan wajib dilaksanakan oleh negara anggotanya. Dewan Liga Arab hanya dapat berfungsi sebagai badan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa diantara para anggotanya berdasarkan:
  • permohonan dari negara anggota untuk menangani sengketa
  • permasalahan yang menjadi sengketa
D. Penyelesaian Secara Hukum 1. Arbitrase Internasional
Yaitu cara penyelesaian sengketa internasional secara damai yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh Arbiter yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Ciri-ciri pokok Arbitrase:
  1. Sukarela, yaitu negara-negara tidak diharuskan memilih cara penyelesaian yang demikian dan negara-negara juga bebas memilih hakim-hakimnya.
  2. Sifat hukumnya mengikat, yaitu terletak pada keharusan negara-negara melaksanakan keputusannya dengan itikad baik.
  3. Non-institusional, yaitu bahwa arbiter-arbiternya dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa dan bukan merupakan organ yang permanen yang dibentuk sebelum lahirnya sengketa.
2. Mahkamah Internasional
Mahkamah internasional adalah merupakan bagian integral dari PBB.
Aspek-aspek Institusional Mahkamah, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat permanennya Mahkamah internasional tersebut. Dikatakan bersifat permanen, karena didirikan sebelum lahirnya sengketa, hakim-hakimnya telah dipilih sebelumnya dan demikian juga dengan wewenang dan prosedurnya yang telah ditetapkan sebelum sengketa lahir.

i. Komposisi dan cara-cara pengangkatan Hakim
Menurut pasal 2 Statuta:
“Mahkamah terdiri dari sekumpulan hakim-hakim yang bebas dipilih tanpa memandang kewarganegaraan diantara ahli-ahli yang mempunyai moral yang tinggi dan kualifikasi yang diperlukan untuk memegang jabatan hukum tertinggi di negara mereka masing-masing atau penasihat-penasihat hukum yang keahliannya telah diakui dalam hukum internasional”

Hakim-hakim Ad Hoc adalah hakim-hakim sementara yang hanya ikut bersidang untuk suatu perkara tertentu dan yang ditunjuk khusus untuk perkara tersebut. Tugasnya berakhir setelah selesai perkara yang dia tangani.

ii. Prosedur Mahkamah Internasional
  1. prosedur tertulis dan perdebatan liasn diatur sedemikian rupa untuk menjamin sepenuhnya masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya
  2. sidang-sidang Mahkamah terbuka untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrase tertutup untuk umum.
iii. Wewenang Hakim
yaitu Mahkamah dapat mengambil tindakan sementara dalam bentuk ordonansi. Tindakan sementara yaitu tindakan yang diambil Mahkamah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa sambil menunggu keputusan dasar ataua penyelesaian lainnya yang akan ditentukan Mahkamah secara definitif.

iv. Keputusan Mahkamah
Keputusan Mahkamah diambil dengan suara mayoritas dari hakim-hakim yang hadir, bila suaranya seimbang maka suaru ketua atau wakilnya yang menentukan.
Blog, Updated at: 17.29.00

0 komentar:

Posting Komentar