Penjelasan dan Pemgertian Akulturasi Menurut John W. Berry

Posted By frf on Rabu, 25 Januari 2017 | 15.55.00

A. Penjelasan Singkat tentang Siapakah John W. Berry?[1]
Nama lengkap dari tokoh ini adalah John Widdup Berry, tetapi lebih sering disebut dengan John Berry. Dia adalah seorang professor emeritus pada Fakultas Psikologi, Universitas Queen, Kingstone, ON, Kanada. Pada tahun 1963, ia menyelesaikan gelar BA-nya pada Sir George Williams Universitiy, dan pada tahun 1966, dia meraih gelar PhD di University of Edinburgh. Minat utamanya adalah tentang Cross Cultural Psychology dan Intercultural Relations. 

B. Penjelajahan John W. Berry tentang Masalah Akulturasi
Sebelum memulai proses pemahaman tentang masalah akulturasi, John W. Berry menelusuri terlebih dahulu semua referensi yang pernah ada yang terkait dengan masalah akulturasi. Dari penelusurannya tersebut, J. W. Berry mengambil kesimpulan bahwa pandangan yang sudah pernah ada tentang masalah akulturasi membantu siapapun dalam memberi pijakan untuk memulai penelusuran.

John W. Berry, dalam penelusurannya, mencatat dua pemahaman penting terkait dengan konsep akulturasi. Pertama adalah konsep akulturasi yang mencoba memahami berbagai fenomena yang dihasilkan oleh kelompok individu yang memiliki budaya berbeda manakala kelompok individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan pada pola budayanya yang asli. Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi dibedakan dari perubahan budaya dan juga juga dibedakan dari asimilasi. Akulturasi dilihat sebagai bagian dari konsep yang lebih luas mengenai masalah perubahan budaya. 

Kedua adalah konsep akulturasi yang diawali dengan hubungan antara dua atau lebih sistem budaya. Dalam konteks ini, perubahan akulturatif dipahami sebagai konsekuensi dari perubahan budaya. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak kultural, seperti halnya perubahan ekologis atau demografis. Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi mencakup perubahan yang mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan masalah budaya, seperti halnya masalah ekologis. 

Meskipun konsep tentang akulturasi dapat memiliki berbagai macam arti sebagaimana yang diinginkan oleh seseorang, John W. Berry meyakini bahwa konsep tersebut merupakan dasar bagi pendekatan psikologis. Dengan konsep itu, seorang peneliti dapat memahami darimana ide tentang akulturasi tersebut berasal, dan bahkan lebih jauh lagi, seorang peneliti dapat melangkah maju dengan berpangkal dari konsep tersebut.

C. Pengertian John W. Berry tentang Masalah Akulturasi
Dalam pemahaman John W. Berry, semua penelitian yang mencoba memahami masalah akulturasi dengan pendekatan Psikologi harus berpangkal pada konteks budaya yang diteliti. Karena pemahamannya berpangkal pada konteks budaya yang diteliti, maka Berry menekankan perlunya mendekati konsep akulturasi dari dua sudut pandang, yakni: sudut pandang akulturasi budaya dan sudut pandang akulturasi psikologis. 

Akulturasi budaya menunjuk pada perilaku individu atau kelompok individu yang berinteraksi dengan budaya tertentu, sementara akulturasi psikologis menunjuk pada dinamika intrapersonal dalam diri tiap individu yang menghasilkan berbagai reaksi berbeda antara yang satu dengan yang lain, meskipun mereka berada dalam wilayah akulturasi yang sama. Keduanya membutuhkan pembedaan dan juga pengukuran yang berbeda.

Secara skematis, John W. Berry mengambarkan kedua wilayah akulturatif itu dalam sebuah bagan, seperti tampak dalam gambar 1.1. Pada level budaya (bagian yang sebelah kiri), para ahli perlu memahami gambaran pokok dari kedua budaya asli sebelumnya (sebelum terjadi kontak antara dua budaya itu), sifat hubungan antara dua budaya tersebut, dan perubahan-perubahan budaya yang terjadi selama akulturasi.

 ASIMILASI & AKULTURASI dalam Pembelajaran BUDAYA

Pengumpulan informasi tentang hal ini membutuhkan pendekatan etnografis. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses itu dapat merupakan perubahan yang kecil, tetapi dapat juga merupakan perubahan yang subtansial. Rentang perubahannya bergerak dari model perubahan yang dapat dengan mudah diselesaikan sampai pada model perubahan yang menjadi sumber pokok dari adanya gangguan budaya.

Pada level individu (bagian yang sebelah kanan), seseorang harus mempertimbangkan perubahan psikologis dalam diri seorang individu dan pengaruh adaptasinya pada situasi yang baru. Dalam mengidentifikasi perubahan tersebut dibutuhkan contoh dari suatu populasi dan juga perlu mempelajari individu-individu yang terlibat dalam proses akulturasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat menjadi suatu rangkaian perubahan yang dengan mudah dapat diselesaiakan (seperti: cara berbicara, cara berpakaian, ataupun cara makan), tetapi dapat juga menjadi suatu pola rangkaian yang problematic sifatnya yang menghasilkan stress-akulturatif sebagaimana tampak dalam bentuk ketidakpastian, kecemasan, dan depresi. Proses adaptasi yang terjadi dapat berbentuk adaptasi internal atau psikologis, tetapi dapat juga berbentuk adaptasi sosiokultural.

Kedua pembedaan tersebut di atas akan terkait erat dengan strategi akulturasi (mengenai pokok bahasan tentang “Strategi Akulturasi Menurut John W. Berry”, silakan lihat pada Bagian D). Setiap individu atau kelompok terlibat dalam proses akulturasi. Startegi mana yang akan digunakan dalam proses akulturasi tersebut sangat tergantung pada variasi dari faktor-faktor yang ada sebelumnya (budaya dan kondisi psikologis) dan variabel-variabel yang merupakan konsekuensi dari strategi yang berbeda yang sudah dipilihnya.

D. Strategi Akulturasi Menurut John W. Berry
Dalam menjelaskan tentang stratgegi akulturasi-nya, John W. Berry memakai empat perspektif, yakni: dimensionalitas akulturasi, locus akulturasi, focus akulturasi, dan assessment akulturasi. Perspektif pertama adalah dimensionalitas akulturasi. Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang dimensionalitas akulturasi, John W. Berry bertanya terlebih dahulu: ”Dimensi akulturasi itu bersifat unilinear (unidimensional) atau multilinear (multidimensional)?” Pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu karena nantinya akan mempengaruhi proses pengukuran yang dijalankan.

Dalam pencariannya, John W. Berry lebih menyetujui konsep multilinearitas (multidimensionalitas) dari proses akulturasi, karena dalam berakulturasi, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang tidak hanya mengena pada satu dimensi saja, melainkan mengena pada lebih dari satu dimensi. Terkait dengan hal tersebut maka John W. Berry membedakan antara orientasi pada kelompok yang dimiliki oleh seseorang dengan orientasi pada kelompok lainnya. Pembedaan itu merupakan sesuatu yang esensial. Pembedaan itu diartikan sebagai preferensi relatif yang dimiliki oleh seseorang dalam memeliharan warisan dan identitas budayanya dan juga sebagai preferensi relatif yang dimiliki oleh seseorang dalam berhubungan dengan dan dalam berpartisipasi pada komunitas yang lebih besar selama dengan kelompok etnokultural lainnya. Secara skematis, konsep tersebut dipaparkan dalam 

Strategi sebagaimana digambarkan dalam skema di atas memiliki nama yang berbeda-beda tergantung pada kelompok etnokulturalnya: apakah kelompok etnokulturalnya dominan atau tidak dominan. Dari sudut pandang kelompok yang tidak dominan (kiri), strategi asimilasi terjadi manakala seseorang tidak berkeinginan memelihara identitas kultural mereka dan mencari interaksi harian dengan budaya lain. Kebalikannya adalah startegi separasi. Strategi separasi terjadi manakala seseorang menghidupi nilai-nilai yang ada pada budaya aslinya dan pada waktu yang bersamaan menghindari berinteraksi dengan yang lain.

Strategi integrasi terwujud ketika seseorang memeliki ketertarikan untuk memelihara budaya aslinya selama membangun interaksi harian dengan kelompok lain. Menurut John W. Berry, integritas kultural yang telah terwujud memiliki beberapa kualitas (kualitasnya tidak sama). Orang yang berada pada strategi ini mencoba untuk mencari (sebagai anggota dari suatu kelompok etnokultural tertentu) dan juga mencoba untuk berpartisipasi (sebagai bagian integral dari jaringan kelompok sosial yang lebih besar. Dan akhirnya adalah strategi marginalisasi. Strategi tersebut terjadi ketika kemungkinan untuk memelihara budaya aslinya dan kemungkinan untuk berinteraksi dengan kelompok lain sangat kecil. Menurut John W. Berry, strategi marginalisasi bisa terjadi karena hal itu merupakan pilihan yang secara sadar dibuat oleh seseorang, dan hal itu juga bisa terjadi sebagai akibat dari kegagalannya mencoba strategi asimilasi.

Semua strategi yang dijabarkan oleh John W. Berry tersebut memiliki beberapa asumsi. Asumsi pertama adalah kelompok yang tidak dominan dan anggota-anggotanya memiliki kebebasan untuk memilih cara berakulturasi. Integrasi terjadi jika ada pilihan bebas atau bisa juga terjadi jika kelompok yang dominan memiliki keterbukaan dan orientasi inklusif pada keragaman budaya sedemikian rupa sehingga kelompok yang tidak dominan dapat berperan. Asumsi yang kedua adalah kelompok yang tidak dominan melakukan adopsi nilai-nilai dasar yang ada pada kelompok sosial yang lebih besar, dan pada waktu yang bersamaan kelompok yang dominan melakukan adaptasi atas institusi internalnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan semua anggota kelompoknyayang sekarang hidup dalam situasi masyarakat yang plural. Dengan kata lain, semua strategi tersebut terjadi jika suatu masyarakat bersifat multikultur dan memiliki prakondisi psikologis yang dipersyaratkan, seperti halnya: tingkat penerimaan yang besar, taraf prasangka yang rendah, berpikiran positif terhadap kelompok etnokultural lain, dan memiliki kedekatan pada kelompok sosial yang lebih besar. 

Masih dalam kerangka strategi tersebut, John W. Berry menyatakan bahwa strategi integrasi (dan juga strategi separasi) dapat diwujudkan manakala anggota lain dari kelompok etnokultural yang dimiliki oleh seseorang berkeinginan untuk memelihara warisan budaya kelompoknya. Dalam konteks ini strategi integrasi dan separasi hanya terjadi jika ada kolektivitas, sementara untuk strategi asimilasi lebih bersifat individual. 

Dalam perkembangannya, pada tahun 1974, muncul dimensi ketiga (Dimensi pertama adalah ”pemeliharaan warisan dan identitas budaya” dan dimensi kedua adalah ”hubungan antar kelompok”) yang ditambahkan, yakni pengharapan akulturasi dan peran penguasa yang diperankan oleh kelompok dominan dalam mempengaruhi cara bagaimana proses saling berakulturasi dapat diwujudkan. Penambahan dimensi ketiga ini menghasilkan satu sudut pandang yang berhubungan dengan kelompok yang lebih besar (Lihat Gambar 1.2., bagian sebelah kanan).

Dari sudut pandang tersebut, ketika proses asimilasi dilihat dari kelompok non dominan yang berakulturasi, maka proses itu disebut melting- pot. Akan tetapi, jika proses akulturasi itu diminta oleh kelompok yang dominan, maka proses itu disebut pressure-cooker. Ketika separasi dipaksakan oleh kelompok dominan, proses itu dinamakan segresi, dan ketika marginalisasi dipaksakan oleh kelompok dominan, proses itu disebut ethnocide. Akhirnya, manakala keragaman diterima sebagai gambaran dari masyarakat yang lebih besar sebagai sebuah keseluruhan, proses integrasi itu dinamakan multikulturalisme. 

Perspektif kedua adalah locus (wilayah/tempat). Konsep John W. Berry tentang locus dijabarkan dalam bentuk tabel seperti tertulis di bawah ini:

Tabel tersebut menunjukkan enam tempat di mana di dalamnya orientasi pada masalah akulturasi dapat ditempatkan (dengan tetap menggunakan dua dimensi). Pada kolom yang sebelah kanan, perspektif yang dipakai adalah kelompok dominan atau kelompok masyarakat yang lebih besar, sementara pada bagian yang sebelah kiri, perspektifnya adalah kelompok non dominan atau kelompok etnokultural. Level yang dimasukkan dalam tabel tersebut adalah level nasional atau kelompok etnokultural (dapat berbentuk kebijakan pemerintahan atau tujuan dari kelompok etnokultural tertentu dalam sebuah masyarakat yang majemuk), level individual atau kelompok yang paling kecil, dan kelompok institusi (dapat berbentuk lembaga pemerintahan, sistem pendidikan, atau tempat kerja).

Pada level individu, seseorang dapat mengukur ideologi multikultural yang umum dalam keseluruhan populasi atau sikap yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan keempat strategi sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Wilayah yang paling umum diteliti adalah tentang kelompok etnokultural yang mencari tujuan bersama tentang keberagaman dan kesejajaran. 

Dengan menggunakan kerangka sebagaimana dijelaskan di atas, wilayah perbandingan dapat dibuat antara individu dan kelompoknya serta masyarakat yang non dominan dengan kelompok sosial yang lebih besar di mana di dalamnya kelompok yang non dominan itu berakulturasi. 

Perspektif yang ketiga adalah focus. Dalam penelitian tentang proses akulturasi yang menggunakan dua dimensi sebagai titik tolak penelitian, fokus utamanya adalah pemeliharaan budaya yang dimiliki oleh seseorang dan hubungan serta partisipasi dengan kelompok kultural lainnya. Beberapa peneliti lain telah mengajukan dua atau lebih dimensi akulturasi, di mana beberapa di antaranya didasarkan pada teori dan beberapa lainnya diturunkan secara empiris. Penelitian serupa (artinya ada dua dimensi yang dilibatkan) juga telah ada, yakni tentang konsep budaya atau identitas budaya.

Perspektif yang keempat adalah assessment. Dalam kerangka pikir John W. Berry, analisa penilaian tentang proses akulturasi terkait dengan dua hal, yakni: (a) menilai dua dimensi yang sudah ditekankan (dijelaskan sebelumnya) dengan menggunakan skala item tunggal ataupun jamak untuk kelompok yang dimiliki dan kelompok lain atau (b) menilai empat sektor yang ada dalam wilayah tersebut dengan menggunakan skala item tunggal ataupun jamak untuk setiap sikap: asimilasi, integrasi, separasi, dan marginalisasi).

Sebelum mendiskusikan setiap metode yang akan dipakai terkait dengan dua hal tersebut di atas, ada dua hal penting yang harus dibicarakan terlebih dahulu. Pertama adalah pertanyaan tentang dari mana kedua masalah tersebut muncul. Kedua masalah tersebut dihasilkan dari sudut pandang emik tentang situasi akulturasi di antara orang-orang Aborigin yang tinggal di Australia, Canada, dan India. Kedua masalah tersebut juga muncull terkait dengan masalah imigran dan juga populasi etnokultural yang terjadi di bagian belahan dunia. Perspektif emik yang dipakai juga mengalami perkembangan, dari satu kelompok tunggal mengarah pada kelompok-kelompok lain dan bahkan menjadi prinsip etis yang diturunkan bagi banyak kelompok selama kontek interkultural terjadi.

Kedua adalah masalah konseptualisasi yang terkait dengan strategi akulturasi yang sebetulnya bukan dimaksudkan untuk mengelompokkan individu, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengungkap tentang tempat mana yang akan dituju oleh individu-individu dalam berakulturasi. Meskipun banyak psikolog melakukan kategorisasi secara individu, John W. Berry yakin bahwa psikolog tersebuit pasti akan kehilangan informasi yang berharga tentang kompleksitas dari situasi akulturasi yang dihayati oleh seseorang. Dalam proses pengukuran awal yang sudah dijalankan, seorang ahli menggunakan empat skala, dengan item-item jamak untuk setiap skalanya. Item tersebut disusun untuk merefleksikan tentang wilayah akulturai yang berbeda-beda.

Sebuah alternatif lain yang mecoba melewati kedua dimensi tersebut menghasilkan empat sikap yang dapat diukur. Alternatif tersebut berpangkal pada dua dimensi yang ada, yakni: preferensi untuk memelihara budaya yang dimiliki, dan preferensi untuk berinteraksi dan berpartisipasi dengan kelompok lain dalam lingkup masayarakat yang lebih luas. Skala itemnya disusun dengan cara yang kurang lebih sama. Proses skoringnya bergerak mulai dari integrasi sebagai item yang favorabel sampai pada marginalisasi yang dipahami sebagai item yang tidak favorabel. Data model ini nanti dianalisa dengan menggunakan model tabulasi silang. Ketika skalanya disusun utnuk lebih menilai pada dua dimensi yang ada (dan bukan pada empat sikap strategi akulturasi, proses analisanya dapat menggunakan analisis korelasional. 

E. Konsekuensi Strategi Akulturasi Menurut John W. Berry
Berdasarkan pada penelusuran sebelumnya, John W. Berry menyimpulkan bahwa pada masa yang telah lewat sebetulnya sudah ada kepedulian tentang dua hasil (yang dimaknai sebagai dampak) akulturasi psikologis, yakni tentang perubahan perilaku dan stress akulturasi yang disertai dengan dua istilah spesifik, yakni adaptasi psikologis dan adaptasi sosiokultural. Manakala pengalaman akulturasi dihakimi sebagai sesuatu yang tidak menimbulkan masalah bagi individu, perubahan tampaknya menjadi lebih mudah, dan perubahan perilaku mejadi lebih lancar. Proses yang seperti itu mencakup tiga sub proses, yakni culture-shedding, culture-learning, dan culture-conflict. 

Dua proses pertama secara selektif, aksidental, dan deliberatif melibatkan proses kehilangan perilaku dan penemuan kembali perilaku baru yang dinilai lebih cocok dengan masyarakat yang sudah mapan. Semua proses itu disebut dengan istilah adjustment. Kebanyakan proses adjustment dilakukan dengan tanpa kesulitan yang berarti. Hasilnya adalah pengalaman akulturasi tidak dipahami sebagai suatu masalah. Tetapi tidak semuanya begitu, Karena ada beberapa pengalaman akulturasi yang menimbulkan permasalahan.

Manakala level konflik yang lebih besar berkembang dan pengalaman tentang hal yang terkait dengan masalah akulturasi tersebut dipahamai sebagai suatu masalah (tetapi masih dapat dikontrol), maka paradigma stress akulturasi adalah sesuatu yang pantas diberikan. Pada tataran ini, individu menghadapi masalah yang muncul sebagai hasil dari kontak akulturasi, di mana dalam kontak tersebut seseorang tidak dengan mudah atau tidak dengan cepat menyesuaikan.

Melalui hubungan antara dua konsep tersebut dengan strategi akulturasi maka dihasilkan beberapa penemuan empiris yang memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan generalisasi. Terkait dengan perubahan perilaku, perubahan yang paling sedikit dihasilkan dari strategi separasi, sementara perubahan yang paling besar dihasilkan dari strategi asimilasi. Strategi integrasi mencakup proses adopsi perilaku baru dari kelompok sosial yang lebih besar dan juga ingatan tentang gambaran nilai dari warisan budaya seseorang. Proses marginalisasi sering diasosiasikan dengan hilangnya warisan budaya utama dan munculnya banyak perilaku disfungsi ataupun juga perilaku menyimpang. Terkait dengan masalah stress akulturasi, kiranya juga jelas bahwa proses pencarian strategi integrasi merupakan model yang paling sedikit mendatangkan stress, sementara marginalisasi merupakan model yang paling banyak mendatangkan stress. Antara kedua ekstrim tersebut di atas adalah strategi akulturasi yang asimilatif dan separatif yang agak sedikit mendatangkan stress.

Setiap individu terikat pada penilaian tentang pengalaman akan hal ini. Kalau pengalaman tersebut dinilai sebagai sesuatu yang menantang, maka mekanisme coping dapat diaktifkan.(baik yang problem focused maupun yang emotion focused, atau juga, berdasarkan pada penemuan Endler dan Parker (1990), avoidance oriented coping). Diaz-Guerrero (1979) mengidentifikasi jenis coping lain, yakni active-coping (yang memiliki kemiripan dengan problem focused coping) dan pasive-coping yang mencerminkan kesabaran dan modifikasi diri yang mencerminkan strategi akulturasi model asimilasi. Sebagai hasil dari mencoba menghadapi pola perubahan akulturasi maka dicapailah beberapa proses adaptasi yang berlangsung untuk waktu yang lama.

F. Penutup
Sebagaimana sudah ditekankan pada bagian sebelumnya, konsep tentang strategi akulturasi dapat digunakan dalam banyak cara, secara khusus ketika seseorang mencoba memahami orientasi nasional, institusional, dan individual pada budaya kelompok dominan dan non dominan. Semua generalisasi yang termuat pada bagian ini didasarkan pada penemuan empiris yang memungkinkan bagi setiap peneliti untuk menyatakann bahwa kebijakan dan rencana publik yag mencoba meningkatkan hubungan interkultural pasti akan menekankan pendekatan integrasi ketika berhadapan dengan fenomena akultura

[1] Beberapa hal seputar siapa John W. Berry dapat dilihat pada artikel yang menceritakan tentang Curriculum Vitae-nya.
Blog, Updated at: 15.55.00

2 komentar:

  1. Di artikel ada disebutkan ilustrasi gambar 1 dan gambar 2...tp tidak muncul gambarnya

    BalasHapus
  2. Bisa diberitahukan sumber referensinya kak?

    BalasHapus