PANDANGAN ISLAM PADA KORUPSI

Posted By frf on Selasa, 17 Januari 2017 | 07.01.00

Kata Pengantar
Assalamu Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu,
Alhamdulillah, Dengan segala puji dan rahmat Allah SWT, maka kami dapat menyusun dan menyelesaikan tulisan ini.
Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah hukum Tindak Pidana Korupsi, Semester VI Fakultas Hukum – Universitas Islam Asyafiiyah, maka disusunlah permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini sebagaimana yang ditugaskan oleh Dosen, adalah sebagai berikut :
  1. Celah-celah hukum apa sajakah yang menyebabkan pemberan¬tasan korupsi di Indonesia belum maksimal?
  2. Langkah-langkah apa sajakah yang dapat dilakukan untuk menekan tindak pidana korupsi di Indonesia?
Tulisan ini lebih kepada kompilasi dari beberapa hasil penelitian dan pendapat-pendapat para ahli yang kami susun secara sitematis, agar memudahkan pengertian dan pemahaman bagi para pembacanya, sehingga diharapkan akan lebih bermanfaat.

Demikianlah kami berharap dibukakannya pintu maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan ataupun kelebihannya serta hal lainnya yang berkaitan dengan tulisan kami.
Jakarta, 25 September 2011
Penyusun,

Rully Sofyan
Nim: 12.2008.0061

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindakan korupsi telah lama dianggap sebagai suatu tindakan yang sangat merugikan perekonomian suatu negara. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus yang berasal dari kata corrumpere (Webster Student Dictionary : 1960). Arti harfiah dari kata tersebut adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.(The Lexicon Webster Dictionary 1978). Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan ”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.

Pengertian tindak pidana korupsi menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, itu dapat dibedakan dari 2 segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah : (1) secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara, (2) dengan tujuan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatn atau kedudukannya, (3) member hadiah atau janji dengan mengingat kekuasaan atau wewenang pada jabatan atau kedudukannya, (4) percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat, (5) memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat, (6) member sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, (7) member janji, (8) sengaja membiarkan perbuatan curang, (9) sengaja menggelapkan uang atau surat berharga. Sedangkan korupsi pasif, antara lain : (a) menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat, (b) menerima penyerahan atau keperluan dengan membiarkan perbuatan curang, (c) menerima pemberian hadiah atau janji, (d) adanya hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu, (e) menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya. Selain itu juga, dalam prakteknya jenis korupsi itu sendiri dapat dikelompokkan kedalam 2 bentuk, yaitu : (1) Administrative Corruption, dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan huum/peraturan yang berlaku. Akan tetapi individu-individu tertentu memperkaya diri sendirinya (contoh; penerimaan CPNS) dan (2) Against the Rule Corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hukum (seperti; penyuapan, penyalahgunaan jabatan, pemberian dan lain-lain).

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Un¬dang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 30 jenis tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompok¬kan menjadi tujuh, yaitu: i) kerugian keuangan Negara; ii) suap-menyuap; iii) penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) per¬buatan curang; vi) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan vii) gratifikasi.

B. Syariat Islam
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Al-Qur`an maupun hadits shahih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
Di dalam Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

”Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”. [Ali Imran: 161].

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua Nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.

Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.

Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”

Ibnu Katsir mengatakan," Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...))
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”

2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))

"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".

3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))

"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".

4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))

"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".

5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ))

"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?".

C. Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Di Indonesia angka korupsi menunjukkan grafik peningkatan dari tahun ke tahun, sebagai sebuah 'prestasi' yg patut didisesalkan. Bila uang negara yang hilang pada tahun 2004 mencapai Rp 4,3 triliun, dan naik menjadi Rp 5,3 triliun pada tahun 2005, maka pada tahun 2006 lalu melonjak drastis hingga mencapai Rp 14,4 triliun (Media Indonesia/24/1). Bahkan saat ini belum lagi jelas kasus BLBI, Nazarudin Cs dan Bank Century, yang merugikan negara sekitar Rp. 6,5 triliun.

Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra – ordinary crimes), maka upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Akan tetapi tercatat dalam sejarah hukum Indonesia, inilah pertama kalinya Presiden R.I (SBY) memberikan grasi kepada seorang terpidana korupsi (Syaukani)

Strategi penghukuman yang keras sangat diperlukan, karena korupsi bukan merupakan penyimpangan perilaku (deviant behavior). Korupsi adalah tindakan yang direncanakan penuh perhitungan untung rugi (benefit-cost ratio) oleh pelanggar hukum yang justru memiliki status terhormat. Mereka tidak saja pandai menghindari jeratan hukum dengan jalan memanfaatkan kelemahan-kelemahan atau celah-celah yang ada dalam sistem hukum itu sendiri bahkan mereka memang orang-orang yang mampu membuat hukum itu menjadi lemah. Sehingga orang lain hanya bisa merasakan aroma korupsinya saja, namun tidak berdaya bila harus membuktikan hal tersebut.

Pada tahun 2004 hasil survey yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC), sebuah lembaga survey yang cukup prestisius, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi negara terkorup di Asia. Bahkan, Indonesia masih dinilai tetap lebih buruk dari India, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Sejalan dengan hasil survey tersebut, Transparancy International (TI) menempatkan Indonesia pada urutan Negara paling korup ke-135 dari 145 negara yang disurvey atau berada pada urutan ke-10 dari bawah dengan nilai Corruption Perception Index (CPI) 2.0.

Kalau sebelumnya korupsi hanya terjadi secara terpusat dalam struktur eksekutif, setelah reformasi, terutama di era otonomi daerah, praktik korupsi justru menyebar ke lembaga legislatif dan ke daerah - daerah.

Korupsi Daerah Versi KPK
Modus DPRD
Modus Pejabat Daerah
  • Pengadaan Barang dana Jasa Pemerintah dengan mark up harga dan merubah spesifikasi barang
  • Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan & tanpa prosedur
  • Penyimpangan prosedur pengajuan & pencairan dana kas daerah
  • Manipulasi sisa APBD
  • Manipulasi dalam proses pengadaan/perijinan/konsensi hutan
  • Gratifikasi dari BPD penampung dana daerah
  • Bantuan Sosial tidak sesuai peruntukannya
  • Menggunakan APBD untuk keperluan Keluarganya dan koleganya
  • Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;
  • Ruislag/tukar guling tanah dengan mark down harga
  • Penerimaan Fee Bank
Korupsi Daerah Versi BPK
  • Penggelembungan dana program
  • Program fiktif
  • Investasi dana daerah ke lembaga keuangan yang tak pruden
Dalam hubungan itu, korupsi tidak hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan atau pun kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan asset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja atau pun terpaksa. Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan; korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik; sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas.

Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan. Dengan fenomena demikian, dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi suatu budaya, sehingga tindakan tersebut, sudah merupakan suatu tindakan yang dianggap wajar oleh para pelakunya.

BAB II
UPAYA PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Jaksa Agung Soeprapto sudah melakukan berbagai tindakan pemberantasan korupsi yang berakhir dengan penuntutan terhadap beberapa orang menteri.

Selanjutnya, karena kerasnya tuntutan masyarakat dalam memberantas korupsi, kemudian timbulah gerakan pemberantasan korupsi yang dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis dan Kolonel Kawilarang, dan pada saat itu beberapa tokoh koruptor berhasil ditangkap dan diadili seperti Lie Hok Thai dan Piet De Quelyu. Di era tahun 1960-an, berdasarkan hukum darurat muncul kembali Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jenderal A.H. Nasution dan Sekretaris Kolonel Muktiyo. Akan tetapi tim ini terpaksa dibubarkan mengingat tekanan politik era Orde Lama. Selanjutnya, di era tahun 1970-an, Pemerintah Orde Baru membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, namun juga tidak berjalan efektif. Hal ini disebabkan terlalu besarnya campur tangan kekuasaan terhadap proses pemeriksaan yang sedang dilakukan Tim Pemberantasan Korupsi.

Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan upaya pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dapat dicatat antara lain :
  1. Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor : Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957 dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor : Prt/PM/011/1957.
  2. Undang-Undang Nomor : 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  4. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  8. UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003.
  9. UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  10. UU RI No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  11. UU RI No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
  12. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
  13. UU RI No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
  14. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
  15. UU RI No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
  16. UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  17. Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  18. UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  19. Penjelasan UU RI No. Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  20. UU RI No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
  21. UU RI No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.
  22. UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  23. UU RI No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilaksanakan oleh 3 (tiga) instansi penegak hukum yaitu :
  1. Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
  2. Kepolisian Republik Indonesia; dan
  3. Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh 2 (dua) instansi penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang masing-masing independen satu dengan lainnya.

Selain lembaga-lembaga tersebut, dalam upaya meningkatkan kemampuan dalam penanggulangan korupsi, telah pula dibentuk beberapa lembaga baru seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Selain lembaga-lembaga tersebut, lembaga yang juga terkait tugas dan wewenangnya dalam melakukan penanggulangan korupsi adalah BPKP dan BPK serta Inspektorat Jenderal tiap-tiap Departemen/LPND atau BAWASDA di tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota.
1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.

KPK sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun baik pihak eksekutif, yudikatif, legislatif dan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tugas KPK tidaklah hanya bersifat penindakan (represif) terhadap tindak pidana korupsi tetapi juga yang bersifat pencegahan korupsi (preventif). Tugas-tugas KPK adalah :
  • koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  • supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  • melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; dan
  • melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah¬an negara.
Butir a dan b, merupakan fungsi KPK sebagai trigger mechanism atau pendorong terhadap optimalisasi tugas dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan melakukan koordinasi dan supervisi. Dalam kaitannya dengan tugas koordinasi, KPK berwenang antara lain untuk mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK memiliki kewenangan khusus yaitu dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan dengan alasan antara lain :
  • laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
  • proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut¬larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertangung-jawabkan;
  • penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; dan
  • penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi. Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, meliputi tindak pidana korupsi yang:
  1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaran negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
  2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
  3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah).
2. Peranan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penang-gulangan tindak pidana korupsi.
Sebelum terbentuknya lembaga atau komisi yang mempunyai peran dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, kejaksaan sudah menjalankan fungsi tersebut sejak berlakunya undang-undang nomor 3 tahun 1971 atau UU No. 24 Prp 1960 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/PERPU/013/1958.

Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Sesuai Pasal 2 Keppres tersebut, disebutkan bahwa tugas pokok kejaksaan adalah melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut serta menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum.

Fungsi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keppres 55 Tahun 1991 adalah :
  • merumuskan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perizinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;
  • menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan sarana prasarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan ketatalaksanaan serta pengelolaan atas milik Negara yang menjadi tanggung jawabnya;
  • melakukan kegiatan pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun represif yang berintikan keadilan di bidang pidana, melakukan dan/atau turut menyelenggarakan intelijen yustisial di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, memberikan bantuan, pertimbangan pelayanan dan penegakan hukum di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah menyelamatkan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;
  • Menetapkan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
  • memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah di pusat dan di daerah dan turut menyusun peraturan perundang-undangan serta meningkatkan kesadaran hukum masyarakat;
  • Menyelenggarakan koordinasi, bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan baik ke dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas pokoknyaberdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksaan umum yang ditetapkan oleh Presiden.
Kejaksaan merumuskan program strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan :

1. Upaya-upaya pencegahan.
  • membuka akses bagi masyarakat atas informasi penyelesaian pengaduan secara transparan, baik berupa proses maupun dokumen yang berkaitan dengan perkara tersebut;
  • pelayanan pengaduan (public complain) warga masyarakat atas sikap dan perilaku personil kejaksaan;
  • cakses masyarakat untuk menyampaikan berbagai informasi mengenai gratifikasi;
  • penyempurnaan sistem manajemen keuangan negara dan manajemen SDM dan pembinaan aparatur negara;
  • peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
2. Upaya penindakan
a. Percepatan penyelesaian dan eksekusi tindak pidana korupsi, ditempuh dengan beberapa strategi : 
  1. Menentukan sektor prioritas pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan uang negara. Prioritas pemberantasan korupsi pada 5 (lima) besar lembaga pemerintah dengan APBN terbesar; 
  2. Percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi yang sudah ada; 
  3. Mempercepat pembekuan dan pengelolaan aset¬aset hasil penyitaan negara; 
  4. Melakukan pembatalan terhadap berbagai SP3 perkara-perkara korupsi yang secara hukum masih dapat diproses kembali berupa diaktifkan¬nya kembali penyelesaian kasus-kasus korupsi kontroversial; 
  5. Mempercepat proses hukum terhadap tersangka/ terdakwa tindak pidana korupsi di pusat dan daerah yang melibatkan anggota DPR/DPRD, Kepala Daerah dan Pejabat lainnya; 
  6. Mempercepat proses hukum terhadap penye¬lewengan anggaran temuan BPK dan BPKP yang berindikasi tindak pidana korupsi; 
  7. Melakukan eksekusi terhadap kasus-kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) berupa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana korupsi.
b. Dukungan terhadap Lembaga Penegak Hukum, dilakukan dengan cara :
  1. Membentuk satuan tugas (Task Force) yang terdiri dari para ahli/profesional yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi;
  2. Meningkatkan koordinasi dan persamaan persepsi antara lembaga penegak audit internal dan eksternal pemerintah dengan kejaksaan;
  3. Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum; 
  4. Pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum.
Pada prinsipnya, peran Kejaksaan di berbagai negara dikelompokkan dalam 2 (dua) sistem, pertama, disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua, disebut discretionary prosecutorial system. Kejaksaan RI atau lazim disebut Korps Adhyaksa masuk ke dalam kedua kelompok tersebut, baik mandatory prosecutorial system di dalam penanganan perkara tindak pidana umum, dan discretionary prosecutorial system khusus di dalam penanganan tindak pidana korupsi, mengacu pada pasal 284 ayat 2 KUHAP jo Pasal 26 Undang-Undang No 31/1999 jo Undang-Undang No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 44 ayat 4 serta Pasal 50 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 30 huruf d Undang-Undang No 16/2004 tentang Kejaksaan RI, sedangkan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia mengacu kepada Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

Perkara penyelesaian korupsi yang diselesaikan dari tahun 2003 -Maret 2006.
Tahun Sisa Masuk Tahun Laporan Jumlah Diselesai kan Sisa Presentase Tingkat Penyelesaian

2003 71 553 624 584 40 93%
2004 40 577 617 586 31 95%
2005 31 689 729 700 29 96%
2006 29 162 191 161 30 84%

3. Peranan Kepolisian Republik Indonesia (NCB-Interpol Indonesia) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.
Mengingat kejahatan terus berkembang terutama dalam tindak pidana korupsi sementara kewenangan aparat penegak hukum memiliki yurisdiksi terbatas dalam wilayah negaranya, maka setiap negara menyadari perlunya kerjasama antar negara dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan dengan melakukan tukar menukar informasi dan saling membantu dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, perampasan hasil kejahatan, ekstradisi serta pemindahan narapidana.

Dalam Chapter IV Konvensi Anti Korupsi 2003 disebutkan bentuk-bentuk kerjasama Internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yakni :
  • ekstradisi;
  • pemindahan narapidana;
  • bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
  • transfer of criminal proceeding;
  • kerjasama penegak hukum;
  • penyidikan bersama;
  • teknik-teknik penyidikan khusus (pembuntutan);
  • asset recovery (penyitaan dan pengembalian asset).
Kerjasama ini dilakukan melalui International Criminal Police Organization (ICPO – Interpol). ICPO-Interpol adalah organisasi internasional yang bertujuan untuk mencegah dan memerangi semua bentuk kejahatan dengan menciptakan dan membangun kerjasama kepolisian melalui National Central Bureau (NCB-Interpol) Negara-negara anggota. Indonesia berkaitan dengan hal ini telah membentuk NCB-Interpol Indonesia. Kepala NCB – Interpol Indonesia adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Namun perlu dijelaskan bahwa peran NCB-Interpol Indonesia hanyalah sebatas pemberi sumber informasi criminal, sebagai fasilitator untuk terselenggaranya kerjasama antar penegak hukum Indonesia dan Negara lain dan melayani, memproses dan mengkoordinasikan dengan pihak berwenang dalam memenuhi permintaan bantuan penyelidikan dan penyidikan dari dalam dan luar negeri.

4. Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pembera-tasan tindak pidana korupsi.
Badan Pemeriksa Keuangan Negara dibentuk berdasarkan amanat Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK mencakup tiga kriteria yaitu pemeriksaan keuangan; pemeriksaan kinerja; dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
a. Pemeriksaan keuangan.
Pemeriksaan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah).

b. Pemeriksaan kinerja.
Pemeriksaan ini dilakukan BPK atas aspek ekonomi dan efisiensi serta atas aspek efektifitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajerial oleh APIP.

c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan ini dilakukan BPK dengan tujuan khusus. Termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif, yang tujuannya antara lain guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara serta adanya unsur pidana.

BPK diberi kewenangan untuk mendapatkan data, dokumen, dan keterangan dari pihak yang diperiksa; kesempatan untuk memeriksa secara fisik setiap aset yang berada dalam pengurusan pejabat instansi yang diperiksa; termasuk melakukan penyegelan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara pada saat pemeriksaan berlangsung.

Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait. Selain itu, hasil pemeriksaan tersebut juga disampaikan kepada pihak pemerintah untuk dilakukan koreksi dan menanggapi temuan yang ada. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya unsur pidana, maka BPK wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, disebutkan bahwa BPK dapat melakukan audit investigative guna mengungkap kerugian Negara/daerah. Sedangkan dalam Pasal 11 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang BPK, disebutkan bahwa BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses persidangan yang menyangkut keuangan negara/daerah,

BAB III
Celah-Celah Hukum Yang Menyebabkan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Belum Maksimal
Kesadaran akan bahaya tindak pidana korupsi telah merata di setiap negara, dan di setiap negara mengkategorikannya sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime). Upaya pemberantasan korupsi di setiap negara demikian gencar, tetapi nyatanya tindak pidana korupsi tetap berkibar demikian pula halnya di Indonesia dimana belakangan ini terdapat sederetan pejabat tinggi negara yang diduga dan yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan banyak diantara pelaku tindak pidana korupsi itu adalah orang-orang yang seharusnya sangat paham hukum dan seharusnya menjadi panutan masyarakat. Di sinilah pokok permasalahan utama tentang kenapa tindak pidana korupsi memiliki berbagai kendala dalam penyelesaiannya.

Penyelesaian tindak pidana korupsi dapat ditinjau dari berbagai aspek yaitu;
A. Peraturan Perundang-undangan
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Aturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana korupsi telah ada jauh sebelum kemerdekaan, hal ini dapat dilihat dari sederetan pasal dalam KUHP yang mengancam hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu pasal 209; 210; 387; 388 dan pasal 416; 417; 418; 435 KUHP. Kaidah hukum yang tercantum di dalam pasal-pasal tersebut sebetulnya cukup representative sebagai tindakan represif bagi perbuatan korupsi, asalkan kaidah-kaidah tersebut betul-betul ditegakkan. Tetapi timbul permasalahan dalam hal penegakannya, sehingga pasal-pasal tersebut dianggap ketinggalan jaman dan tidak actual lagi untuk dijadikan instrumen pencegahan dan pemberantasan korupsi.

2. Aturan Hukum di luar KUHP
Pada tahun 1958 di tengah merajalelanya praktek korupsi saat itu pemerintah RIS membuat aturan khusus di luar KUHP yaitu Peraturan Penguasa Perang Nomor : Prt/Perpu/031/1958 tanggal 16 April 1958, yang tujuan utamanya untuk lebih berfungsinya aturan hukum untuk pemberantasan korupsi. Peraturan ini disertai dengan kaidah atau norma yang tujuannya untuk menjaring koruptor dari jalur pemidanaan dan dari jalur keperdataan, serta dilengkapi dengan upaya disediakannya daftar harta kekayaan pejabat sebagai instrumen preventifnya. Dengan strategi yang bersifat sporadic tersebut maka diharapkan hukum akan lebih efektif dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi. Secara teoritik tentunya untuk efektifitas aturan hukum tersebut tetap sangat membutuhkan dukungan kemampuan kinerja para penegak hukum dan dukungan masyarakat.

Selanjutnya, pada tahun 1960 pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini berlaku pada jaman pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Undang-undang ini tidak lebih baik dari Peraturan Penguasa Perang Tahun 1958, dan hal ini dapat dijadikan salah satu indicator dari melemahnya aturan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berkaitan dengan Peraturan Penguasa Perang, Andi Hamzah menjelaskan kelebihannya perihal : “adanya sistem pendaftaran harta benda pejabat oleh Badan Pemilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan gugatan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatan, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana, juga disertai dengan sistem preventif, yaitu pendaftaran harta benda pejabat” .

Aturan tentang gugatan perdata dimaksudkan adalah langsung ke pengadilan tinggi, dengan demikian dapat memotong salah satu mata rantai peradilan, yaitu pengadilan negeri. Kaidah hukum Peraturan Penguasa Perang seperti secara yuridis tentunya akan lebih efektif untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-Undang No. 24 Th 1960 menghilangkan jalur preventif, berupa pendaftaran harta pejabat, dan hal ini merupakan salah satu hal yang menyulitkan penyelesaian tindak pidana korupsi. Berarti pula suatu peluang untuk lebih semaraknya tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, pada tahun 1971 Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang No. 3 Thn 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk tindakan represif bagi pemberantasan tindak pidana korupsi perlu memperberat sanksi pidananya, untuk itu undang-undang ini menghadiahkan penjara maksimal seumur hidup bagi semua delik yang dikategorikan sebagai korupsi, baik yang kecil, sedang maupun besar, dan ditambah dengan dan/atau denda maksimal 30 juta rupiah (pada saat harga emas 1 gram Rp 3000,-).

Tahun 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini juga bermaksud untuk lebih menekankan pemberian sanksi berat bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu dengan pidana seumur hidup. Tetapi dalam hubungan dengan penyelamatan kekayaan negara ada kelemahan untuk penegak hukum, jika dibandingkan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Th 1971. Pasal 6 dan 11 Undang-Undang No. 3 Th 1971 menentukan : “sejak tahap dimulainya penyidikan jaksa wajib melakukan penyitaan terhadap harta benda tersangka, isteri/suami, anak dan setiap orang atau badan yang mempunyai hubungan dengan perkara tersangka dan minta kepada hakim (tahap penuntutan) untuk merampas barang-barang tersebut sebagai jaminan pembayaran uang pengganti”. Sedangkan berdasarkan UU No. 31 Th 1999 jo UU No. 20 Th 2001 pada penyidikan hanya wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya baik kepunyaan suami/isteri, anak atau setiap orang atau korporasi yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Rumusan tersebut jelas menyulitkan jaksa atau penyidik lainnya dalam menyelamatkan asset negara yang dikorupsi, sebaliknya memudahkan bagi tersangka untuk menyembunyikan atau memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada pihak ketiga.

Kemudian dengan diundangkannya Undang-Undang No. 20 Th 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tujuannya untuk lebih memantapkan kaidah-kaidah pemberantasan tindak pidana korupsi. Juga dengan diundangkannya Undang-undang No, 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang tujuan utamanya untuk lebih memperkuat struktur yang berfungsi untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun dilengkapi berbagai kewenangan ekstra lebih dibanding penegak hukum lain, tapi di dalam pelaksanaannya masih dihadapkan pada berbagai problematik.

B. Aparat Penegak Hukum
Usaha melakukan pemberantasan antara lain dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 5 Thn 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini menginstruksikan secara leluasa kepada Jaksa Agung untuk ”mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara”.

Berkaitan dengan telah diberlakukannya UU No. 30 Th 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka kemampuan dalam penyidikan yang dilaksanakan oleh 3 (tiga) instansi penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu lebih ditingkatkan.

Selanjutnya, aparat NCB-Interpol Indonesia perlu pula meningkatkan bentuk-bentuk kerjasama dengan pihak anggota lainnya karena banyak pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Bentuk-bentuk kerjasama yang perlu ditingkatkan meliputi :
  1. Tukar menukar informasi kriminal dan intelijen.
  2. Penyelidikan
  3. Penyidikan
  4. Pencarian dan penangkapan pelaku kejahatan
Menurut Romli Atmasasmita, keberhasilan kerjasama internasional (bilateral atau multilateral) sangat ditentukan oleh strategi dan teknik diplomasi para pejabat kementrian luar negeri Indonesia atau hubungan timbal balik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain

C. Kendala Yang Dihadapi Oleh Aparat Penegak Hukum
A.1. Mekanisme Perlindungan Pelapor dan atau Saksi.
Banyak pihak telah mengungkapkan bahwa mekanisme pemberian perlindungan terhadap pelapor dan atau saksi pada perkara Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) belum atau tidak tersosialisasi sebagaimana yang dikehendaki dalam UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), ditentukan bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (vide pasal 1 angka 24 KUHAP). Seseorang yang menyampaikan laporan tersebut biasanya dalam proses selanjutnya dimintai keterangan sebagai saksi dan statusnya menjadi saksi. Menurut pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Batasan di dalam pasal 1 angka 26 KUHAP mengenai keharusan “mendengar – melihat – atau mengalami sendiri” apabila dikaitkan dengan saksi pelapor pada perkara tindak pidana korupsi, dapat menimbulkan kesulitan, mengingat dapat membatasi kemungkinan seseorang untuk menjadi saksi pelapor karena tindak “mendengar – melihat – atau mengalami sendiri”. Hal ini terkait dengan sifat tindak pidana korupsi yang seringkali tidak “menghadirkan” korban yang dirugikan secara langsung oleh perbuatan koruptif tersebut. Bahkan seringkali terdapat kesulitan untuk menunjukan mengenai siapa yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, sebaiknya dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 angka 24 KUHAP juncto angka 26 KUHAP sehingga terjadi perluasan makna yang memungkinkan orang-orang yang tidak “mendengar – melihat – atau mengalami sendiri” suatu perbuatan korupsi, dapat menjadi saksi pelapor atas perbuatan korupsi yang dimaksud. Dalam kaitannya dengan pelaporan yang demikian, perubahan ketentuan pasal 1 angka 24 KUHAP juncto angka 26 KUHAP perlu diikuti oleh perumusan baru agar menjamin bahwa penyampaian laporan yang dimaksud, benar-benar dilandasi oleh motivasi atau itikad baik pelapor dan terhindar dari cara¬cara penyampaian laporan yang mengakibatkan timbulnya tindak pidana lain seperti fitnah, pencemaran nama baik, dan atau perbuatan tidak menyenangkan.

Perubahan tersebut di atas harus segera diikuti dengan perubahan terhadap ketentuan dalam Bab V Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 (tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi) juncto PP Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan Tipikor, dan perubahan pada perundang-undangan terkait lainnya.

Dalam konteks perubahan sebagaimana tersebut di atas, perlu pula diperhatikan dan atau diakomodir ketentuan article 32 dan 33 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 07 Tahun 2006, yang memuat ketentuan¬ketentuan yang intinya sebagai berikut :
  • Negara peserta konvensi wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk memberikan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman/intimidasi terhadap para saksi dan para saksi ahli, dan sejauh diperlukan, juga bagi keluarganya;
  • Negara peserta konvensi dapat menentukan prosedur perlindungan fisik melalui relokasi tempat tinggal dan atau pembatasan penyingkapan identitas;
  • Negara peserta konvensi dimungkinkan membuat hukum pembuktian yang membolehkan saksi memberikan kesaksian dengan cara-cara yang menjamin keselamatannya.
Pemberitaan oleh media massa dan atau hasil analisa dari seorang pakar, tentu saja dapat diberi kualifikasi sebagai laporan yang memenuhi syarat, karena hal tersebut berupa opini pribadi yang subjektif.

A.2. Akses Terhadap Informasi Perbankan.
Salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan para pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang perbankan karena transaksinya yang bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal. Dalam konteks demikian, mudah dipahami bahwa kemudahan mengakses informasi perbankan milik pelaku tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum akan sangat signifikan membantu kelancaran pengungkapan dan atau pemberantasan Tipikor.

Maka perlu dibuatkan aturan yang lebih rinci mengenai batasan-batasan informasi yang dapat diakses oleh aparat penegak hukum beserta prosedur detailnya. Kecepatan akses terhadap informasi perbankan, juga harus diperhatikan, sebaiknya Timtastipikor (Tim pemberantasan tindak pidana korupsi) dapat menjadi wadah koordinasi dan atau konsultasi dengan pihak perbankan untuk merumuskan aturan dan prosedur yang lebih rinci.

Sebaiknya motivasi aparat penegak hukum dan pihak perbankan selalu berlandaskan pada article 40 UNCAC Tahun 2003, yang merumuskan bahwa setiap Negara peserta konvensi wajib memastikan bahwa, dalam hal penyelidikan tentang terjadinya kejahatan domestik sebagaimana ditetapkan dalam konvensi ini, terdapat mekanisme yang memadai dalam system hukum nasional untuk mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin timbul dari penerapan undang-undang tentang kerahasiaan bank. Perizinan dalam rangka penerobosan rahasia bank, menurut hemat penulis, perlu disederhanakan dan tidak perlu sampai pada Gubernur BI, tetapi cukup meminta izin pada Direksi Perbankan yang dituju, serta permohonan tersebut dapat langsung diajukan oleh penyidik perkara korupsi yang bersangkutan dengan tembusan sebagai pemberitahuan pada ketua KPK.

Perlu juga dirumuskan secara tegas bahwa pihak perbankan wajib menjawab permohonan aparat penegak hukum dalam waktu yang terbatas. Hal ini penting untuk menghindari adanya jawaban dari pihak perbankan yang berlarut-larut sementara tersangka pelaku sudah berkesempatan menghilangkan dan atau mengaburkan barang bukti atau alat bukti.

A.3. Birokrasi Izin Pemeriksaan Pejabat Publik.
Dalam rangka mempermudah dan atau mempercepat pemberian izin pemeriksaan terhadap pejabat publik yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, perlu juga dilakukan amandemen atau revisi terhadap undang-undang tentang pemerintahan daerah. Sebagai contoh, izin pemeriksaan terhadap gubernur, harus dimohonkan kepada Presiden. Dalam hal inipun penyidik tidak dapat langsung mengajukan permohonan izin kepada Presiden, tetapi harus melalui kepolisian di tingkat Polres, Polda, dan Kapolri. Demikian juga, izin pemeriksaan terhadap pejabat perbankan, harus dimohonkan kepada Gubernur Bank Indonesia.

Dalam rangka percepatan pemberian izin pemeriksaan sebagaimana tersebut di atas, selain urgensi perubahan undang¬-undang pemerintahan daerah, juga perlu dilakukan perubahan sikap mental aparat Sekretariat Negara dan aparat Sekretariat Gubernur BI. Meskipun aturannya belum direvisi, tetapi apabila ada itikad baik pada diri aparat Negara untuk membantu pengungkapan tindak pidana korupsi, penulis berpendapat bahwa akan ada percepatan pemberian izin pemeriksaan terhadap pejabat public yang terindikasi korupsi.

A.4. Sanksi Yang Tegas Bagi Penyelenggara Negara Yang Tidak Melaporkan Harta Kekayaannya.
Laporan harta kekayaan penyelenggara Negara sangat diharapkan dapat merupakan salah satu sarana yang efektif untuk memonitor perolehan kekayaan penyelenggara Negara. Mudah dipahami bahwa apabila terdapat fakta bahwa terjadi penambahan kekayaan pada penyelenggara Negara yang cukup besar tetapi tidak dapat dijelaskan secara masuk akal tentang asal usul penambahan kekayaan tersebut, maka mungkin hal tersebut merupakan indikasi korupsi. Banyak kalangan telah mengungkapkan bahwa mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara Negara sebagaimana tersebut di atas, selama ini belum berjalan secara efektif. Penyebabnya adalah karena tidak adanya sanksi yang tegas apabila penyelenggara Negara tersebut tidak melaporkan kekayaannya sebelum, selama, dan sesudah menjabat penyelenggara Negara.

Dalam rangka mengatasi problematika atau kelemahan tersebut, perlu dilakukan amandemen terhadap UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelengga Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, khususnya pada bab VIII yang memuat tentang sanksi bagi penyelenggara Negara yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan kekayaannya. Tim berpendapat bahwa sanksi administrative sebagaimana tercantum dalam pasal 20 ayat (1) UU Nomor 28 tahun 1999, adalah terlalu ringan dan tidak kondusif bagi usaha pengungkapan perbuatan-perbuatan yang terindikasi korupsi.

Dalam rangka amandemen terhadap bab VIII Nomor 28 Tahun 1999 tersebut di atas, penulis berpendapat agar dipedomani article 8, chapter II dari UNCAC Tahun 2003, yang mengatur tentang Preventive Measure (tindakan-tindakan pencegahan), yang menentukan perlunya negara-negara peserta konvensi menetapkan standar perilaku pejabat publiknya untuk menjamin agar fungsi-fungsi public dapat terlaksana secara terhormat dan pantas, termasuk di dalamnya mengenai kewajiban pejabat public membuat pernyataan-pernyataan pada otoritas-otoritas yang tepat mengenai kegiatan-kegiatan pejabat public diluar pemerintahan, investasi-investasi dan asset-aset dan hadiah-hadiah.

Beberapa persoalan lainnya dalam koordinasi penanggulangan korupsi di Indonesia antara lain :
  1. Belum adanya aturan yang jelas tentang kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Walaupun ketentuan dalam UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur tentang kewenangan KPK, tapi di lapangan masih terjadi tumpang tindih penanganan. Hal ini terjadi karena lembaga Kejaksaan maupun Kepolisian masih memiliki pijakan hukum untuk bertindak, disamping adanya arogansi lembaga dan kurang adanya kepercayaan di antara lembaga penegak hukum.
  2. Tidak padunya berbagai ketentuan yang ada dapat menyebabkan tidak efektifnya penegakan hukum. Kehadiran Timtastipikor justru semakin membingungkan, selain koordinasinya belum jelas (hanya kebutuhan sesaat tidak bersifat sistemik) juga banyak mengurangi kewenangan yang dimiliki KPK.
  3. Pengadilan khusus korupsi dapat menciptakan fragmentasi dalam pemberantasan korupsi. Kehadiran lembaga ini menciptakan pengkotakan-pengkotakan baru dalam penanggulangan korupsi, bukan saja di antara lembaga yang ada, juga diantara para hakim, (antara hakim adhoc dan hakim karir).
  4. Ketua KPK diusulkan Presiden selaku kepala pemerintahan dan melaporkan hasil kerjanya kepada Presiden, sehingga terjadi conflict of interest bila harus mengusut pembantu-pembantu Presiden. Kondisi ini kemungkinan berpengaruh pada ijin pemeriksaan terhadap pejabat yang diduga korupsi.
  5. Belum adanya aturan yang jelas tentang kerjasama antara lembaga-lembaga penegak hukum dengan lembaga-lembaga lain seperti BPK, BI, PPATK dan sebagainya. Lembaga-lembaga mitra kerja ini diharapkan mendukung penegak hukum mengungkap korupsi.
  6. Sistem pengawasan yang tidak jelas, siapa pengawasnya dan bagaimana bentuk pengawasannya. Kalau dalam KUHAP dapat dilihat Polisi yang bertindak sebagai penyidik di bawah pengawasan Jaksa Penuntut Umum, jaksa penuntut umum dikontrol oleh pengadilan.
  7. Ketertutupan informasi tentang perkembangan penanganan kasus. Informasi selain diperlukan oleh masyarakat untuk mengontrol proses penegakan hukum juga sangat diperlukan oleh penegak hukum yang lainnya. Keterbukaan ini dapat menghapus kesan adanya KKN dalam penegakan hukum.
  8. Tingginya harapan masyarakat membuat KPK kebanjiran kasus, tapi tidak bisa ditindaklanjuti. Dalam hal inilah perlu kerjasama diantara lembaga penegak hukum.
  9. Belum maksimalnya kerjasama internasional, baik di bidang ekstradisi maupun bantuan hukum timbal balik dan kerjasama dengan Interpol. Perjanjian ekstradisi sangat diperlukan dengan negara-negara tempat dimana koruptor-koruptor sering melarikan diri. Bantuan hukum diperlukan baik untuk kepentingan represif maupun preventif.
Untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan sudah seharusnya kita memperhatikan KUHAP yang menghendaki adanya hubungan fungsional di antara lembaga penegak hukum. Dalam KUHAP sudah diatur siapa yang bertindak sebagai penyidik maupun penuntut umum, bagaimana bentuk pengawasannya dan sebagainya.

Sedangkan beberapa kendala yang sering dijumpai dalam kerjasama internasional yang selama ini dilaksanakan oleh NCB Interpol Indonesia, antara lain :
  1. Dalam kerjasama dengan NCB Interpol negara lain, NCB Interpol Indonesia menerima Berita Acara Pemeriksaan Saksi/Tersangka tanpa ada Berita Acara Penyumpahan dan barang bukti yang tidak ada Berita Acara Penyitaan. Hal tersebut mengundang keraguan dan banyak pendapat mengenai keabsahannya.
  2. Menghadirkan saksi yang berada di luar negeri dihapadan penyidik atau di sidang pengadilan sering diminta bantuan NCB Interpol Indonesia. Biaya perjalanan, akomodasi dan uang saku saksi selama berada di Indonesia tidak jelas siapa yang harus menanggungnya.
  3. Jika dalam suatu kasus yang dalam penanganannya memerlukan kerjasama internasional yang memakan waktu yang cukup lama, sering terjadi permasalahan karena keterbatasan waktu penahanan sehingga pelaku harus dilepas. Dalam hal ini penyidik akan menghadapi masalah apalagi pelakunya orang asing.
  4. Dalam permintaan ekstradisi atas tersangka, sesuai hukum suatu negara, permintaan ekstradisi harus dilampiri Surat Keterangan dari Kejaksaan Agung yang menyatakan bahwa tersangka telah cukup bukti melakukan tindak pidana yang disangkakan sesuai pasal. Hal tersebut tidak diatur dalam KUHAP.
  5. Banyak negara diminta mengharuskan adanya Surat Perintah Pengadilan untuk penggeledahan dan penyitaan sedangkan dalam KUHAP, pengadilan hanya mengeluarkan Surat Ijin Penggeledahan dan atau penyitaan.
  6. Pengajuan permintaan bantuan timbal balik, pencarian dan penangkapan dan ekstradisi dari Kejaksaan dan Polri sering tidak memenuhi syarat dan permintaan penangkapan dan penahanan dari negara lain tidak dilaksanakan dengan alasan yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana di Indonesia.
  7. Banyak permintaan-permintaan pemindahan narapidana kepada Indonesia untuk warga negara asing dan WNI namun Indonesia belum dapat memberikan pertimbangan atas permintaan tersebut karena belum ada undang-undang yang mengaturnya.
  8. Kerjasama dengan negara lain sering menjadi hambatan karena belum ada perjanjian ekstradisi atau perjanjian bantuan timbal balik antara Indonesia dengan yang yang diminta bantuan.
Selain itu, berkaitan dengan prosedur atau hukum acara penanganan perkara korupsi, ada beberapa hal yang selama ini dinilai sebagai kelemahan atau bahkan menjadi hambatan dalam penyelesaian perkara korupsi mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, proses persidangan hingga pelaksanaan eksekusi yaitu :

Pertama, Dalam Pasal 38 ayat 1 KUHAP disebutkan : ”penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan setempat”. Dengan demikian, tanpa adanya surat izin tersebut maka pihak penyidik tidak dapat melakukan penyitaan terhadap barang-barang milik tersangka meskipun sudah terdapat bukti yang kuat bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi. Prosedur ini penting untuk ditinjau kembali, selain karena persoalan birokrasi, juga sangat tergantung pada subyektifitas hakim, dan dapat menjadi celah bagi tersangka untuk mengalihkan kepada pihak ketiga atau untuk menghilangkan barang bukti. Tidak menutup pula kemungkinan terjadinya kolusi antara Ketua Pengadilan setempat dengan pihak yang barang/asetnya akan disita.

Kedua, Pelaksanaan putusan Pengadilan oleh Kejaksaan. Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara garis besar menyebutkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkracht baru dapat dilaksanakan, setelah kejaksaan menerima salinan putusan dari panitera Pengadilan. Syarat adanya salinan putusan Pengadilan pada prakteknya seringkali menjadi kendala dalam penanganan perkara korupsi. Walau sudah diputus pengadilan, tanpa adanya salinan resmi dari Pengadilan, pihak Kejaksaan dapat beralasan untuk tidak melakukan eksekusi. Persoalan ini disebabkan karena proses minutasi (penyusunan salinan putusan) pada prakteknya baru selesai beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah putusan dibacakan. Selain persoalan lemahnya administrasi dan SDM di Mahkamah Agung, ada indikasi bahwa lambannya salinan atau petikan putusan dari Mahkamah Agung dikirimkan ke Pengadilan Negeri memang disengaja oleh pihak-pihak tertentu untuk memberi celah bagi para terpidana kasus korupsi untuk melarikan diri. Hal ini diperparah karena dalam hukum acara tidak disebutkan adanya limitasi atau batasan waktu berapa lama Kejaksaan harus menjalankan eksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht dan tidak ada konsekuensi hukum apabila jaksa telat atau tidak segera melaksanakan eksekusi walaupun petikan putusan telah diterima oleh pihak Kejaksaan.

Ketiga, Penahanan terhadap tersangka atau terdakwa korupsi. Pasal 197 KUHAP menyebutkan mengenai formalitas yang harus terdapat dalam putusan yang salah satunya adalah perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Dalam KUHAP disebutkan alasan penahanan adalah ”adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Namun dalam perkara korupsi, tidak ada kewajiban bagi penegak hukum untuk menahan pelaku korupsi kecuali dilakukan hanya dalam putusan yang inkracht . Karena kelemahan ini, banyak pelaku korupsi yang tetap bebas meskipun sudah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding. Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya bargaining antara terdakwa dengan hakim atau upaya mencari jalan aman bagi hakim. Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya efek jera bagi para pelaku korupsi.

D. Pengawasan Dan Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Memperhatikan praktek-praktek korupsi yang terjadi dan usaha-¬usaha pemerintah dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi terutama yang berkaitan dengan masalah pengawasan dan koordinasi antar aparat penegak hukum, maka penanganan tindak pidana korupsi selama ini menghadapi berbagai hambatan serius yang dapat dikelompokkan ke dalam lebih kurang 4 (empat) kelompok, antara lain :
  1. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang telah berlangsung lama yang bersumber dari praktek-praktek penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan struktural diantaranya meliputi : perbedaan yang terlalu besar “gaji formal” diantara sesama aparat penegak hukum korupsi; egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan serta berupaya menutup-nutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif, lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum yang semakin banyak, seperti polisi, jaksa, KPK, Tim Tastipikor, sehingga hal ini menimbulkan kesulitan dalam melakukan kontrol/pengawasan; Aparat penegak hukum tidak mempunyai pandangan yang sama dalam hal menafsirkan peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan korupsi; serta lemahnya system pengendalian intern yang memiliki korelasi positif dengan berbagai penyimpangan dan efisiensi dalam pengelolaan kekayaan Negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.
  2. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat yang membuat penangan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : masih adanya “sikap sungkan” diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penangan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislative dan yudikatif dalam penanganan korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.
  3. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrument pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah; belum adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat: lemahnya penegakan hukum penangan korupsi; belum adanya sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi, serta lambatnya proses penanganan korupsi sampai dengan penjatuhan hukuman. Berdasarkan Kajian dan inventarisasi Peraturan perundang-undangan yang berpeluang KKN periode 1999 sampai dengan 2003 oleh Kementrian PAN disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengandung celah KKN adalah yang rumusan pasal-pasalnya ambivalen dan multi-interprataasi serta tidak adanya sanksi yang tegas (multi-interpretasi) serta tidak adanya sanksi yang tegas (multi-interpratasi) terhadap pelanggar peraturan perundang¬undangan.
  4. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: kurang komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindak lanjuti hasil pengawasan; lemahnya koordinasi baik diantara aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak independennya organisasi pengawasan; serta kurang adanya dukungan system dan prosedur pengawasan dalam penangan korupsi. Di samping hal tersebut di atas, kendala aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, juga diperburuk oleh :
1. Sistem Manajemen.
Lemahnya sistem manajemen khususnya manajemen sumber daya manusia dari penyelenggara pemerintahan, mulai dari system rekrutmen, karir dan promosi dan penilaian kinerja sampai kepada renumerasinya. Yang merupakan bibit korupsi yang berkembang dalam setiap lini pemerintahan sampai dengan saat ini.

2. Pendidikan.
Sistem pendidikan yang kurang menggugah kesadaran dan tanggung jawab untuk tidak berbuat atau melawan korupsi, serta kurang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga Negara atas negaranya yang menyebabkan ketidak percayaan masyarakat terhadap legitimasi pemerintah. Rendahnya pendidikan masyarakat tersebut menyebabkan masyarakat seringkali menjadi sasaran empuk birokrasi Negara dalam memanipulasi sejumlah fasilitas dan pelayanan public.

Dengan diratifikasinya konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi ini yang merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bagi bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional, maka perlu meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan asset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri; mendorong terjalinnya kerjasama teknik pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah paying kerjasama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional dan multilateral.

E. Analisa Peraturan Perundang-undangan
Usaha pemberantasan korupsi sebenarnya telah dilakukan baik pada masa Orde lama, Orde Baru, maupun era Reformasi. Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan usaha pemberantasan korupsi, telah dibuat oleh pemerintah, baik sendiri maupun bersama-sama dengan DPR. Berikut ini adalah berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi :
  1. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  2. Undang-undang Nomor : 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi;
  3. Peraturan Penguasa Perang Nomor : Prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958;
  4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  5. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  6. Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  7. Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  8. Undang-undang Nomor : 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
  9. Undang-undang Nomor 07 Tahun 2006 tentang Ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption);
  10. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 127 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara;
  11. UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  12. UU RI No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
  13. Dan lain-lain.
Dalam konteks ini, pegangan utama dari aparat penegak hukum dalam mengaplikasikan berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas adalah niat baik (good will) dalam mewujudkan perbaikan bangsa dan Negara melalui pemberantasan korupsi. Dalam konteks aplikasi peraturan perundang-undangan, niat baik tersebut sebaiknya juga dimiliki oleh aparat penyelenggara Negara lainnya yang sangat mungkin berpotensi menjadi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana korupsi.

Uang Pengganti
Salah satu kelemahan yang masih ada dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 jo UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2001 adalah tentang minimnya pengaturan mengenai Pidana Uang Pengganti. Dalam setiap putusan pengadilan tindak pidana korupsi, pada umumnya selalu tertera penerapan pidana uang pengganti. Masalah yang masih dirasakan ada berkaitan dengan pidana uang pengganti karena minimnya pengaturan dalam peraturan perundang¬-undangan adalah perihal mekanisme pengawasannya.

Konsep pidana uang pengganti, bisa jadi dimaksudkan untuk menghukum koruptor seberat mungkin sehingga para koruptor menjadi jera. Bagaimana tidak, hukuman bagi koruptor, sesuai UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, pun diganjar pidana tambahan berupa uang pengganti (pasal 34 huruf c). Konsep yang kurang lebih sama dengan sedikit modifikasi dianut oleh UU penggantinya yakni UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU No. 20 Tahun 2001.

Di samping itu, latar belakang munculnya konsep pidana uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang Negara yang raib akibat suatu tindakan korupsi. Sedangkan salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya tindakan yang “merugikan keuangan Negara”. Sekalipun demikian, sayangnya pengaturan mengenai pidana uang pengganti masih minim. Coba saja buka UU No. 3 Tahun 1971, praktis hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34 huruf c. Kondisi yang sama juga tergambar pada UU penggantinya, UU No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No. 20 Tahun 2001.

Karena minimnya pengaturan mengenai uang pengganti, tentu bakal memunculkan sejumlah persoalan dalam penerapannya. Salah satunya adalah dalam hal menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan kepada terdakwa.

Pasal 34 huruf c UU No. 3 tahun 1971 hanya menetapkan besarnya uang pengganti adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Rumusan yang sama juga terdapat dalam pasal 18 UU No. 3 tahun 1999. Dari rumusan yang ala kadarnya itu, menjadi masalah kemudian: bagaimana memilah antara harta atau asset yang diperoleh dari hasil korupsi dan yang bukan. Lantas, bagaimana jika uang hasil korupsi itu sudah dibelikan tanah atau property, terlebih lagi jika property itu berada di luar negeri? Bagaimana mengkonvensikannya dikaitkan dengan uang yang diperoleh dari korupsi? Jika hal itu terjadi, tak pelak hakim harus putar akal memilah¬milah harta sang koruptor. Begitu pula jaksa harus cermat dalam dakwaannya menentukan berapa besarnya uang yang dikorup dikaitkan dengan penetapan uang pengganti.

Karena itu, agaknya bakal lebih mudah jika penetapan uang pengganti itu disamakan saja dengan kerugian Negara yang ditimbulkan. Jadi, lebih logis dan sederhana. Cuma, persoalan lainnya, siapa yang berwenang menghitung kerugian uang Negara? Mengingat, sekarang ini tidak ada aturan hukum yang secara spesifik mengatur mengenai siapa yang ditugasi untuk menghitung kerugian Negara. Umumnya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang memberikan laporan. Tapi, ujung-ujungnya jaksa penuntut umum (JPU) juga menentukan dan dituangkan dalam dakwaan. Bahkan kerap terjadi perbedaan penghitungan kerugian Negara antara BPK dan JPU.

Kelemahan lainnya adalah tak pernah ada transparansi mengenai laporan berapa sebetulnya yang telah berhasil ditarik. Padahal, begitu pentingnya Negara mengejar uang pengganti dari para koruptor. Setidaknya, dapat digunakan untuk menambah pundi-pundi kas Negara yang sedang kepayahan ini. Sekedar informasi, menurut data Kejaksaan RI per September 2005 ada sekitar Rp 5.317 triliun uang pengganti yang belum dieksekusi Kejaksaan yang tersebar di 18 Kejaksaan Tinggi meliputi 227 perkara.

Produk Hukum
Sudah sering kita amati, tatkala terdakwa diadili dalam perkara korupsi, pada kenyataannya memperlihatkan adanya ketidak pastian mengenai berapa jumlah kerugian Negara dikaitkan dengan perbuatan secara melawan hukum yang didakwakan kepada terdakwa.

Hakim pun akhirnya memvonis tanpa ada kepastian mengenai kerugian Negara yang dimaksud. Bahkan tidak hanya itu, pengadilan seringkali menjadi “lembaga sandera” bagi terdakwa, karena pengajuan perkara oleh jaksa penuntut umum ternyata alat bukti masih bersifat abu-abu dalam menentukan kerugian Negara.

Pengadilan mendapat stigma negatif, padahal pengadilan telah menjalankan tugasnya dan telah menempatkan diri sebagai pengawal keadilan sebagaimana menjadi simbol bagi pencari keadilan. Kenyataannya, pengadilan menjadi tidak independent. Ada kesan hakim-hakim ketakutan mengambil putusan yang adil sesuai dengan fakta di persidangan. Itu semata-mata bagi kasus korupsi, tidak ada pilihan apabila diajukan ke pengadilan terdakwanya harus dihukum. Hakim yang memutus bebas menjadi popular karena disorot publik, lalu diperiksa instansi yang berkompeten, dan pribadi hakim yang dimaksud dikuliti.

BAB IV
Langkah-langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Menekan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Belum maksimalnya penanganan perkara korupsi selain faktor lemahnya SDM dari aparat penegak hukum, juga disebabkan karena secara substansi peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi yang ada masih terdapat beberapa kelemahan. Hal ini seringkali menjadi celah hukum yang disatu sisi menghambat upaya pemberantasan korupsi dan disisi lain menguntungkan para pelaku korupsi.

Indonesia seharusnya dapat mencontoh beberapa negara yang telah berhasil menekan tindakan korupsi seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan China. Negara-negara tersebut secara tegas memberikan hukuman yang berat terhadap para pelaku korupsi yang terbukti melakukan perbuatan tersebut. Sementara, di Indonesia, ancaman maksimum terhadap pelaku korupsi hanya menetapkan ancaman maksimum seumur hidup dan denda maksimum 30 juta rupiah, dan biasanya vonis akhir masih tergantung pada pembelaan pengacara terdakwa, sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia memang sangat ramah terhadap para koruptor.

A. Produk Hukum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, merupakan satu langkah maju yang keberadaanya diharapkan oleh masyarakat.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.

B. Kebijakan Untuk Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana disampaikan oleh Muladi, penegakan hukum dalam penanggulangan korupsi tergantung pada tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Tahap aplikasi penegakan hukum pidana merupakan suatu proses yang kompleks, karena tersangkut banyak pihak (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan penasehat hukum) yang masing-masing memiliki pandangan-¬pandangan yang berbeda dalam mencapai tujuan bersama. Tahap-¬tahap tersebut telah memadai baik dari formulasi, sistem pertanggungjawabannya maupun sistem beracara dan aturan pelaksanaan pidananya.

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi, ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Instruksi Presiden tersebut berlaku efektif tanggal 09 Desember 2004. Berikut kesebelas diktum yang merupakan inti dari Instruksi Presiden tersebut :

Pertama: Kepada seluruh Pejabat Pemerintah yang termasuk dalam katagori Penyelenggara Negara sesuai Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang belum melaporkan harta kekayaannya untuk segera melaporkannya kepada Komisi Pemberan¬tasan Korupsi.

Kedua: Membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rangka penyelenggaran pelaporan, pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di lingkungannya.

Ketiga: Membuat penetapan kinerja dengan Pejabat di bawahnya secara berjenjang, yang bertujuan untuk mewujudkan suatu capaian kinerja tertentu dengan sumber daya tertentu, melalui penetapan target kinerja serta indikator kinerja yang menggambarkan keberhasilan pencapaiannya baik berupa hasil maupun manfaat.

Keempat: Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik baik dalam bentuk jasa ataupun perijinan melalui transparansi dan standarisasi pelayanan yang meliputi persyaratanpersyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pengutan-pungutan liar.

Kelima: Menetapkan program dan wilayah yang menjadi lingkup tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sebagai program dan wilayah bebas korupsi.

Keenam: Melaksanakan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara konsisten untuk mencegah berbagai macam kebocoran dan pemborosan penggunaan keuangan Negara baik yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Ketujuh: Menerapkan Kesederhanaan baik dalam Kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak langsung pada keuangan Negara.

Kedelapan: Memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian ijin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka.

Kesembilan: Melakukan kerja sama dengan Komisi pemberantasan Korupsi untuk melakukan penelaahan dan pengkajian terhadap system-sistem yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi dalam ruang lingkup tugas wewenang dan tanggung jawab masing-masing.

Kesepuluh: Meningkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif di lingkungannya.

Kesebelas: Khusus kepada :
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepada BAPPENAS melakukan kajian dan uji coba untuk pelaksanaan system E-Procurement yang dapat dipergunakan bersama oleh Instansi Pemerintah.
2. Menteri Keuangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan perpajakan, kepabeanan dan cukai, penerimaan bukan pajak dan anggaran untuk menghilangkan kebocoran dalam penerimaan keuangan Negara, serta mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan Negara yang dapat membuka peluang terjadinya praktek korupsi, dan sekaligus menyiapkan rancangan peraturan perundang¬undangan penyempurnaannya.
3. Menteri Negara Perncanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantas Korupsi Tahun 2004 – 2009 berkoordinasi dengan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait dan unsur masyarakat serta Komisi Pemberantasan Korupsi.
4. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
  • Menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.
  • Menyiapkan rumusan kebijakan dalam rangka penyusunan penetapan kinerja dari para pejabat pemerintahan.
  • Menyiapkan rumusan kebijakan untuk pe¬nerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada Pemerintahan Daerah, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Departemen.
  • Melakukan pengkajian bagi perbaikan system kepegawaian Negara.
  • Mengkoordinasikan, memonitor dan meng¬evaluasi pelaksanaan Instruksi Presiden ini.
5. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  • Menyiapkan rumusan amandemen undang¬undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi.
  • Menyiapkan rancangan peraturan perundang¬undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
6. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara memberikan petunjuk dan mengimplementasikan penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik pada badan usaha milik Negara.
7. Menteri Pendidikan Nasional menyelenggarakan pendidikan yang berisikan substansi penanaman semangat dan perilaku anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan baik formal dan non formal.
8. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi menggerakkan dan mensosialisasikan pendidikan anti korupsi dan kampanye anti korupsi kepada masyarakat.
9. Jaksa Agung Republik Indonesia
  • Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamat¬kan uang Negara.
  • Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.
  • Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara republik Indonesia, Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi.
10. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara.
  • Mencegah dan memberikan sanksi tegas tehadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
  • Meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi.
11. Gubernur dan Bupati/Walikota
  • Menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerin¬tahan yang baik di lingkungan pemerintah daerah.
  • Meningkatkan pelayanan publik dan meniada¬kan pungutan liar dalam pelaksanaannya.
  • Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi kebocoran keuangan Negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 , merupakan harapan masyarakat agar kedua lembaga tersebut dapat mempercepat penanganan dan mengeksekusi kasus-kasus korupsi yang melibatkan tersangka korupsi.

Langkah kedua yang akan dilakukan adalah pemeriksaan dalam pengadaan barang di semua lembaga Negara termasuk di departemen-¬departemen, DPR dan lembaga lainnya. Selama ini, pengadaan barang merupakan ajang korupsi yang paling mudah dilakukan, tidak hanya di lembaga Negara tapi juga tumbuh subur di lingkungan swasta. Modusnya dengan me-mark up harga barang dan juga meminta potongan harga kepada pemasok.

C. Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum
Konsideran huruf b dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi mencantumkan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Konsideran tersebut dapat dianggap sebagai suatu pernyataan kejujuran pemerintah yang mengakui bahwa kegiatan pemberantasan korupsi belum berjalan secara efektif dan efisien. Berdasarkan pada kejujuran tersebut, adalah logis apabila pemerintah melakukan upaya-upaya “baru” lainnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi agar kegiatan pemberantasan tersebut meningkat daya guna dan hasil gunanya. Salah satu upaya yang perlu ditempuh adalah dengan jalan meningkatkan koordinasi antar aparat penegak hukum dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna kegiatan pemberantasan korupsi, pemerintah telah membentuk KOmisi

Pemberantasan Korupsi yang mempunyai tugas antara lain menjalankan koordinasi dengan instansi yang berwenang dalam melakukan kegiatan pemberantasan korupsi. Yang dimaksud instansi berwenang termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen (pasal 6 huruf a jo penjelasan pasal 6 UU No. 30/2002)

Dalam rangka melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana tersebut di atas, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai wewenang (pasal 7 UU No. 30/2002) :
  • mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
  • menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  • meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
  • melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
  • meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Merujuk pada wewenang nomor a sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus berkoordinasi dengan instansi yang melaksanakan kegiatan pemberantasan korupsi dalam level tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Mengingat bahwa level tindakan tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh instansi berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a jo penjelasan pasal 6 UU no. 30/2002, maka koordinasi yang harus dijalankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pastilah meliputi juga koordinasi dengan aparat kepolisian, dan kejaksaan.

Dalam kaitannya dengan koordinasi tersbut, perlu diingat ketentuan KUHAP yang mengatur tentang koordinasi aparat penyidikan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2), yang menentukan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (10) huruf a. Adapun yang dimaksud dengan penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia, sedangkan yang dimaksud oleh huruf b adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Dalam konteks koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi antar aparat, perlu diberi perhatian khusus tentang pengalaman Komisi Pemberantasan Korupsi yang sulit mendapatkan akses terhadap informasi perbankan. Hal ini memberi kontribusi yang bersifat hambatan dalam upaya pemberantasan korupsi karena salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan para pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang perbankan, karena transaksinya yang bersifat rahasia, cepat, dan mudah serta tidak memerlukan uang kartal, untuk menyembunyikan uang atau kekayaan hasil korupsi. Sayangnya, dalam Keppres tentang pembentukan Timtastipikor, unsure perbankan tidak dimasukkan sebagai salah satu anggotanya. Untuk menutup kelemahan ini, disarankan agar dijalin kerjasama khusus dengan dunia perbankan, baik itu Bank Indonesia, maupun dengan Perbanas (Perhimpunan Bank Swasta Nasional).

D. Peran Aktif Masyarakat
Menurut Mochtar Lubis, korupsi akan selalu ada dalam budaya masyarakat yang tidak memisahkan secara tajam antara hak milik pribadi dan hak milik umum. Pengaburan hak milik masyarakat dan hak milik individu secara mudah hanya dapat dilakukan oleh para penguasa. Para penguasa di berbagai belahan dunia oleh adat istiadat, patut untuk meminta upeti, sewa dan sebagainya pada masyarakat, karena secara turun temurun semua tanah dianggap sebagai milik mereka. Jadi korupsi berakar dari masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada ’birokrasi patrimonial” yang berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. DalamSaat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap usaha pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor kelas kakap dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dalam setiap tindakan hukum terhadap kasus korupsi.

Harapan masyarakat agar para pelaku tindak pidana korupsi mendapat ganjaran hukuman yang setimpal telah banyak dilontarkan. Dalam musyawarah alim ulama Nadhatul Ulama (NU) se Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Agustus 2002 telah dirumuskan fatwa-fatwa keras mengenai tindak pidana korupsi, antara lain : mengkriminalisasikan korupsi sama dengan pencurian dan perampokan; pelakunya dapat dikenai pidana maksimal berupa potong tangan, dan kalau meninggal dianjurkan tidak perlu disholati. Kedua, memutus stelsel dan mekanisme korupsi yang sudah berurat berakar. Pelaksanaan hukuman secara maksimal (lama) diharapkan dapat memotong jalur-jalur korupsi yang telah terbangun bersama tokoh-tokoh yang dikenai pidana itu.

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan usaha pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif dapat dilakukan dengan 4 (empat) pendekatan atau strategi yaitu:
  1. Pendekatan hukum;
  2. Pendekatan budaya
  3. Pendekatan ekonomi
  4. Pendekatan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan.
Melalui pendekatan hukum, pemerintah telah menggulirkan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan hal-hal yang telah dicantumkan dalam berbagai ketentuan yang ada tersebut, serta melakukan evaluasi terhadap aturan-aturan yang ada guna meningkatkan keberhasilan tujuan yang diharapkan. Pendapat bahwa korupsi disebabkan antara lain oleh peraturan yang buruk telah ada sejak dahulu kala. Sebagaimana dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas, bahwa seorang pembaru Cina yang bernama Wang An Shih (1021 – 1086) terkesan oleh dua sumber korupsi yaitu bad laws and bad man. Namun, bad man terkesan lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan bad law, Buktinya, peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi silih berganti dibuat, tetapi korupsi dalam segala bentuknya dirasakan masih tetap mengganas. Itulah sebabnya, perbaikan atau penyempurnaan aturan hukum di bidang korupsi tetap dilakukan untuk makin mempersempit celah hukum yang ada.

Melalui pendekatan budaya, strategi pemberantasan korupsi harus diarahkan pada pemberdayaan dan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan dampak korupsi terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Melalui pendekatan ekonomi, diharapkan terwujudnya peningkatan kemampuan ekonomi terutama masyarakat lapisan bawah. Hal ini disebabkan karena perkembangan ekonomi nasional tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan konglomerasi dan kalangan menengah, akan tetapi justru yang paling utama ditentukan secara signifikan oleh kemampuan golongan ekonomi lemah. Pendekatan untuk meningkatkan kemampuan sektor riil akan meningkatkan perkembangan ekonomi makro.

Melalui pendekatan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya keuangan, menunjukkan dengan jelas bahwa kelemahan mendasar dalam sektor ini sangat menentukan pelaksanaan strategi pemberantasan korupsi selama ini dan terutama sekali untuk masa-masa mendatang.

E. Upaya-Upaya Lainnya
Kebijakan pemberantasan korupsi harus juga ditunjang dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal tersebut dapat dilakukan melalui langkah-langkah atau syarat-syarat :
  1. ada cek terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif serta yudikatif.
  2. ada garis jelas akuntabilitas antara pemimpin politik, birokrasi dan rakyat.
  3. Sistem politik yang terbuka yang melibatkan masyarakat sipil yang aktif
  4. Sistem hukum yang tidak memihak, peradilan pidana dan ketertiban umum yang menjunjung hak-hak politik dan sipil yang fundamental, melindungi keamanan pribadi dan menyediakan aturan yang konsisten, transparan untuk transaksi yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang modern.
  • Pelayanan publik yang profesional, kompeten, kapabel dan jujur yang bekerja dalam kerangka yang akuntabel dan memerintah dengan aturan dan dalam prinsip merit dan mengutamakan kepentingan publik.
  • Kapasitas untuk melaksanakan rencana fiskal, pengeluaran, manajemen ekonomi, sistem akuntabilitas finansial dan evaluasi aktivitas sektor publik.
  • Perhatian bukan saja kepada lembaga-lembaga dan proses pemerintah pusat tetapi juga kepada atribut dan kapasitas sub nasional dan penguasa pemerintah lokal dan soal-soal transfer politik dan desentralisasi administratif; dan
  • Setiap strategi anti korupsi yang efektif harus mengakui hubungan antara korupsi, etika, pemerintahan yang baik dan pembangunan berkesinambungan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan tindakan korupsi adalah :
  • menaikkan gaji pegawai rendahan dan menengah;
  • menaikkan moral pegawai tinggi;
  • legalisasi pungutan liar menjadi pendapatan resmi atau legal.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya korupsi besar-besaran, bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan publik, pendapatan negara, pengelola keuangan negara, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan sebelum menduduki jabatan harus didaftar kekayaannya sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi. Melalui mekanisme ini, pegawai negeri atau pejabat yang tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya yang tidak seimbang dengan pendapatannya yang resmi dapat digugat langsung secara perdata oleh penuntut umum berdasarkan perbuatan melanggar hukum dan dirampas untuk negara.

BAB V
P E N U T U P
  1. berbagai kebijakan (policy) yang diambil oleh pemerintah selama ini dalam memberantas korupsi banyak yang tidak berjalan secara efektif. Sebagai contoh di antaranya adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) yang hanya menjadi kebijakan yang jeudaih dalam tataran konseptual namun tidak aplikatif untuk dioperasionalkan dalam memberantas korupsi.
  2. produk hukum yang digunakan sebagai pijakan yuridis dalam melakukan pemberantasan korupsi, masih memiliki banyak celah hukum sehingga sering dimanfaatkan para koruptor untuk menghindar dari jerat hukum. Bahkan bukan hanya itu, banyaknya celah hukum dalam UU Tipikor dan KPK justru sering digunakan sebagai “senjata” oleh para koruptor dalam melakukan serangan balik (corruptor fight back). Kesuksesan koruptor mendobrak daya “gedor” UU Tipikor dan UU KPK tercermin dalam putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai uji materiil UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK dalam putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999 junto UU No. 20/2001 bertentangan dengan UUD 1945, karena penjelasan pasal tersebut dianggap telah memperluas kategori unsur melawan hukum materiil dengan merujuk pada hukum tidak tertulis serta bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (rechtzakerheid) dan prinsip keadilan (rechtvaardigheid).
  3. institusi yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK belum mampu berperan secara optimal dalam membasmi dan mencegah terjadinya korupsi. Belum optimalnya kinerja KPK disebabkan oleh begitu kuatnya intervensi kekuatan politik terhadap lembaga tersebut. Akibatnya, praktek diskriminasi atau “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi tak dapat dihindari untuk dilakukan, demi menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak yang berkuasa.
  4. mandeknya proses reformasi birokrasi yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah. Hingga saat ini, Birokrasi belum sanggup secara maksimal menangkal terjadinya berbagai praktik-praktik korupsi. Birokrasi justru tetap dengan wajah lamanya yang korup.
A. KESIMPULAN
  1. Pentingnya supremasi hukum, mengingat sulitnya penegakan hukum kalau hanya dilakukan secara parsial, maka dipandang perlu untuk meningkatkan penegakan hukum disegala bidang.
  2. Penegakan hukum yang konsisten dan strategi penghukuman yang keras sangat diperlukan, selain merampas dan menyita harta koruptor, perlu juga memberikan sanksi sosial dan penegakan hukum yang maksimal, yaitu hukuman seumur hidup bagi koruptor yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, belum pernah dilakukan, padahal, hukuman berat itu penting untuk memberikan efek jera. Langkah lainnya adalah mempersulit pemberian remisi, bahkan jika memungkinkan kebijakan tersebut dihapus kemudian mengaryakan narapidana korupsi, menjelang akhir masa penahanan, misalnya dengan mempekerjakan mereka sebagai buruh perkebunan, penyapu jalan, dan semacamnya.
  3. Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara-cara khusus
  4. Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi, dikarenakan permasalahan korupsi bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi baik di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif, tetapi juga telah berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya.
  5. Usaha pemberantasan korupsi tidak semata-mata merupakan persoalan hukum, tetapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi dan politik, sehingga upaya pemberantasannya pun harus bersifat komprehensif dan multidisipliner.
  6. Mengingat korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka upaya pemberantasannya pun tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula; yakni melalui 4 pendekatan yakni pendekatan hukum; pendekatan budaya; pendekatan ekonomi; dan pendekatan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan.
  7. Salah satu langkah yang harus diambil dalam rangka mendorong percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia adalah meninjau kembali peraturan perundang-undangan tentang korupsi yang telah ada termasuk di dalamnya prosedur dalam penanganan perkara korupsi secara keseluruhan.
B. SARAN
  1. melakukan kaji ulang (review) terhadap berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan ditindaklanjuti mengeluarkan kebijakan baru untuk menganti kebijakan-kebijakan yang tidak dapat berjalan secara efektif.
  2. menutup berbagai celah hukum yang terdapat di dalam UU Tipikor dan UU KPK dengan cara segera melakukan penyempurnaan (revisi) terhadap kedua UU tersebut serta mempercepat proses legislasi RUU tentang Pengadilan adhoc Tipikor yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di DPR.
  3. memperkuat kelembagaan KPK dengan memfasilitasi infrastruktur, memberikan anggaran yang memadai, mengharuskan semua jajaran birokrasi, kepolisian, kejaksaan untuk mendukung keberadaan kedua lembaga tersebut serta menghentikan berbagai bentuk intervensi politik terhadap KPK.
  4. segera melakukan restrukturisasi terhadap birokrasi secara menyeluruh dengan mempercepat proses reformasi terhadap birokrasi melalui implementasi prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) ke dalam sistem birokrasi di Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
  5. Korupsi dengan pengertian yang lebih luas lagi, terbina/terjadi di lingkungan kita, misalnya:
  • Mah, minta uang dong untuk bayar praktikum 500 ribu,” padahal total biaya praktikum hanya 300 ribu.
  • Anak-anak, meskipun masih ada waktu setengah jam lagi, mari kita sudahi perkuliahan ini,” Korupsi waktu sering dilakukan oleh guru jika sedang malas mengajar. Meskipun tidak satupun siswa yang protes, termasuk saya.
  • Pasar tradisional juga merupakan tempat korupsi, dimana terdapat pedagang yang mencurangi timbangannya supaya mendapat untung yang lebih.
  • Yang mengerikan adalah korupsi bahan-bahan konstruksi bangunan. Yang seharusnya perbandingan semennya 1:3, supaya untung diubah jadi 1:8. Yang seharusnya tiang pondasi digali hingga kedalaman 10 meter, hanya digali 5 meter, pengurangan lebar aspal untuk jalan, dan lain lain.
  • Cara memberantas korupsi yang baik menurut Aa Gym, adalah dengan 3M :
  1. Mulai dari diri sendiri
  2. Mulai dari hal-hal kecil, dan
  3. Mulai dari saat ini
DAFTAR PUSTAKA;
  • Power Point Tindak Pidana Korupsi, oleh Basuni SH, MH
  • Penelitian tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia dilaksanakan oleh Tim, diketuai oleh DR. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH, MH 
  • Firdaus Arifin, S.H. Analis Hukum Tata Negara, Sedang Studi di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
  • http://www.equator-news.com/utama/awas-bpkp-celah-koruptor
  • http://victorsilaen.com/index.php/2010/09/17/grasi-dan-jihad-melawan-korupsi/
  • http://mukhsonrofi.wordpress.com/
  • Buku Saku Memahami Gratifikasi oleh Direktorat Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi
  • http://indahnyadakwah.blogspot.com/2010/04/mewaspadai-bahaya-korupsi.html
  • http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2067
Blog, Updated at: 07.01.00

0 komentar:

Posting Komentar