Transformasi Ekonomi dan Transformasi Sosial
Secara sadar sejak Indonesia merdeka dan menetapkan UUD 1945 telah dengan tegas digariskan kebijaksanaan nasional untuk melakukan “transformasi ekonomi” dan “transformasi sosial”.
Dalam kehidupan ekonomi makna transformasi ekonomi berhakikat “merubah sistem ekonomi kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi nasional yang demokratis”. Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana dan hati-hati menghidari kemungkinan terjadinya chaos dalam pelaksanaan transformasi ekonomi itu. Oleh karenanya ditetapkan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945 yang berbunyi: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian maka berlakulah “dualisme” di dalam sistem ekonomi nasional. Sistem pertama berdasarkan paham demokrasi ekonomi yang secara imperatif sesuai Pasal 33 UUD 1945 (yaitu paham ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, mutualism dan brotherhood); dan sistem kedua berdasar paham individualisme atau “asas perorangan” mengikuti ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD) sesuai Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
Mengingat berlakunya sistem kedua (yang berdasar pada “asas perorangan”) sesuai dengan aturan yang bersifat “temporer” itu, maka di dalam menyusun sistem ekonomi nasional “asas perorangan” (yang menjadi dasar liberalisme dan hidupnya kapitalisme) seharusnyalah bersifat temporer pula. Dalam kaitan tugas transformasi ekonomi ini maka Negara secara imperatif harus memiliki komitmen tegas untuk menyusun perekonomian (kultur ekonomi dan bisnis) ke arah paham ekonomi yang berdasar pada “usaha bersama dan asas kekeluargaan”, kemudian menanggalkan paham ekonomi yang berdasar pada “asas perorangan”. Dengan kata lain, transformasi ekonomi berarti secara bertahap kita mem-Pasal 33-kan KUHD.
Ada alasan hukum, yaitu masih dipertahankan berlakunya asas perorangan sesuai ketentuan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945, yang juga mengakibatkan kita mudah bersambung dan terdikte oleh kekuatan ekonomi dari luar yang berdasarkan individualisme, liberalisme dan kapitalisme, yang saat ini dengan deras di bawa oleh gelombang globalisasi. Sementara itu sistem ekonomi pasar-bebas (berdasar market fundamentalism) adalah sistem yang memelihara dan mempertahankan tuntutan kultur ekonomi kapitalisme dahsyat yang eksploitatori dan predatori.
Dalam pada itu keterdiktean, ketertundukan, ketakmandirian dan ketergantungan ekonomi terus berkelanjutan dengan tetap langgengnya budaya ekonomi subordinasi, yang mempertahankan hegemoni ekonomi dan menumbuhkan dependensi baru.
Hubungan ekonomi subordinasi tuan-hamba, taoke-koelie atau juragan-buruh (suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel) secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Inilah transformasi sosial yang harus kita lakukan. PIR (Perkebunan Inti Rakyat) adalah cultuurstelsel baru. PIR bukan lagi sesuai dengan NES (Nucleus Estate Small-Holders) sebagai model empowerment aslinya, di mana inti seharusnya dimiliki (sebagian/seluruhnya) oleh plasma, di mana hubungan keduanya adalah kebersamaan, inti tidak mensubordinasi plasma seperti kenyataannya sekarang.
Transformasi sosial ini tidak mudah terlaksana. Transformasi sosial ternyata harus menempuh suatu proses budaya melalui pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, dari yang keras terbuka hingga ke yang subtil, berhadapan dengan budaya feodalistik (patronisasi) dan servilisme (keinlanderan) yang tidak mendukungnya. Dalam kaitan dengan percaturan ekonomi antar negara hubungan ekonomi subordinasi sangat diwarnai oleh persistensinya inferiority complex bangsa ini, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin melunturnya nasionalisme, maka hubungan ekonomi subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia.
Apakah keterpurukan seperti yang disinggung di atas berarti pula bangsa ini telah mengingkari “nasionalisme” sebagai kekuatan dahsyat yang inherent dan aktual, sebagai penggerak utama perkembangan ekonomi nasional, sebagaimana ditegaskan sebagai suatu kenyataan riil oleh Joan Robinson, Leah Greenfeld, Ian Lustic dst 2) sebagaimana saat ini tetap merupakan kenyataan riil? Nasionalisme baru tetap menolak dependensi, namun mendorong interdependensi global, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Strukturalisme Ekonomi: Paradigma Baru
Keterpurukan Indonesia tidak terlepas dari peran kelompok meanstream yang saat ini mendominasi pemikiran kaum ekonom Indonesia, padahal basis teori neoklasikal yang melandasi pemikiran mereka saat ini terperangkap ke dalam konservativisme dan konvensionalisme ekonomi, yang boleh dibilang makin obsolit dan ortodoks.
Konservatisme dan ortodoksi ilmu ekonomi mainstream telah dengan keras ditentang oleh kaum strukturalis yang telah membuktikan asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang berdasar self-interest tidak lagi valid, bahkan telah membentukkan akhlak ekonomi yang makin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral science. Dari asumsi itu telah terjadi suatu self-fulfilling prophesy yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-ethicus. Ilmu ekonomi akhirnya berada dalam suatu berantakan (turmoil). 3) Fundamentalisme pasar, sebagai inherensi asumsi dasar self-interest, mempergiat keterjerumusan ini.4) Kelompok mainstream menjadi identik dengan kelompok market fundamentalists.
Tantangan kita adalah tantangan budaya, yaitu merombak paradigma obsolit dalam pemikiran ekonomi untuk membentuk suatu mindset ekonomi baru yang menjamin kemandirian.
Pandangan strukturalistik yang diungkapkan oleh John Kenneth Galbraith, 5) kiranya baik untuk mengawali titik-tolak tentang kelemahan ekonomi pasar. Galbraith menyatakan bahwa internasionalisasi modal, produksi dan perdagangan yang bebas sebagai wujud utama dari globalisasi, akan menimbulkan pemberdayaan ekonomi dan politik (empowerment) bagi kalangan aktor ekonomi yang mampu atas korban the underclass, yaitu golongan kelas bawah yang hidup dalam ekonomi rakyat.
Paham strukturalisme, baik strukturalisme awal maupun neostrukturalisme, adalah paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi. Kaum strukturalis mengungkapkan dan mengusut ketimpangan-ketimpangan struktural yang berkaitan pemusatan penguasaan dan pemilikan aset ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi. Kepedulian akademik-ilmiah pemikir strukturalis meliputi pula masalah ketimpangan dalam kelembagaan, partisipasi dan emansipasi sosial-ekonomi, pengangguran, kemiskinan struktural dan masalah ketergantungan serta subordinasi sosial-ekonomi.
Kaum strukturalis menempatkan ilmu ekonomi pada peran normatifnya, menjelajahi komposisi dan interrelasi antara para aktor, sektor-sektor dan variabel-variabel ekonomi dalam rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan sosial-ekonomi. Apabila strukturalisme cenderung menolak mekanisme pasar-bebas adalah karena pasar-bebas secara inheren menumbuhkan ketidakadilan sosial-ekonomi. Demikian itulah maka strukturalisme banyak menggelar tuntutan transformasi ekonomi dan transformasi sosial yang harus dianggap inherent dalam proses pembangunan nasional. Dalam kaitannya dengan ancaman dominasi dan hegemoni kekuatan ekonomi global, maka dapatlah dipahami bahwa strukturalisme berkaitan erat dengan nasionalisme ekonomi. 6)
Kelompok ekonomi “moneteris” kebanyakan beranjak dari pemikiran neoklasikal (market fundamentalism), sedangkan kelompok ekonomi “sektor riil” lebih dekat dan memahami pemikiran, tetapi tidak selalu rukun dengan, kaum strukturalis.
Selanjutnya kaum strukturalis, yang mengoreksi kelemahan mendasar dari mekanisme pasar dan persaingan-bebas, dengan makin bergeloranya globalisasi dengan kapitalisme globalnya, makin gencar pula menunjukkan kebenaran analitik dan bukti-bukti empirik, betapa globalisasi perlu benar-benar diwaspadai. Kaum strukturalis mulai menggunakan istilah-istilah keras untuk menyentak mindset neoklasikal, seperti “global capitalism”, “turbo capitalism”, “new imperialism”, “cowboy capitalism”, “Old West capitalism”, “the dangerous currents”, “the winner-take-all market”, “the zero-sum society”, “the winner-take-all society”, dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992) bahwa lobang ozone makin besar karena kelakuan “the greedy capitalism”. Dalam platform Club of Rome, lebih lanjut Tinbergen mengatakan bahwa “the limits to growth” dalam 20 tahun menjadi “beyond the limits” 7) karena kerakusan kapitalisme global.
Kaum strukturalis tidak saja menunjukkan kelemahan (parsialitas) ekonomi neoklasikal, tetapi juga mengoreksi dan bahkan menolak asumsi dasarnya. Kegagalan pasar dan ketidaksempurnaan pasar dalam mewujudkan the invisible hand (yang diabaikan oleh kaum market fundamentalists) adalah yang salah satunya, tidak terselesaikannya micro-macro rift 8) adalah yang lainnya, sehingga efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak klop, bahkan bisa bertentangan dengan efisiensi ekonomi pada tataran makro.
Ekonomi neoklasikal berdasar mekanisme persaingan pasar-bebas terbukti tidak mampu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural untuk terlaksananya transformasi ekonomi dan transformasi sosial yang bermakna. Oleh karena itu strukturalisme berorientasi pada strukturisasi dan restrukturisasi ekonomi disertai intervensi mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Kelemahan mekanisme pasar-bebas dalam perwujudan demokrasi ekonomi adalah (istilah saya) mungkin sekadar mampu menghasilkan “nilai-tambah ekonomi” tetapi tidak menjamin dapat menyumbangkan “nilai-tambah sosio-kultural” (menjangkau makna partisipasi dan emansipasi kemartabatan), 9) dan pula timpangnya struktur kekuasaan ekonomi, telah menjadi tema-tema utama dalam pemikiran ekonomi strukturalis.
Strukturalisme peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme menolak homo economicus yang melahirkan akhlak homo homini lupus, menolak eksploitasi, pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan (impoverishment) sosial-ekonomi. Apabila ekonomi neoklasikal berorientasi pada pertumbuhan (growth), maka ekonomi strukturalis lebih mengutamakan masalah redistribusi dan lapangan kerja (employment). Boleh dibilang, sebagai upaya mengubah mindset atau pakem ekonomika, awal dari strukturalisme terutama adalah pemikiran ke arah “it is employment that will take care of growth”. 10)
Bagi Indonesia,11) pemikiran-pemikiran strategis, cermat dan mendalam mengenai ketimpangan-ketimpangan struktural harus tetap dikembangkan. Hanya dengan demikian maka kebijakan restrukturisasi untuk mengatasi ketimpangan struktural dapat didesain. Saya menawarkan beberapa butir kebijakan restrukturisasi ekonomi dalam artian reformasi makro yang meliputi berbagai sektor, bidang dan dimensi a.l. seperti berikut:
- Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan dan penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan dapat mengurangi secara struktural konsentrasi-konsentrasi pemilikan dan penguasaan aset pada sekelompok kecil aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat meningkatkan pemilikan bukan sekadar meningkatkan pendapatan masyarakat secara merata. Restrukturisasi ini diarahkan untuk membentukkan “Triple-Co”, yaitu co-ownership, co-determination dan co-responsibility sebagai implementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha ekonomi (lihat Bagan II). Dalam restrukturisasi ini hendaknya dihindarkan suatu perampasan seperti ("savage acquisition", "cannibal redistribution" atau "wild take-over").
- Restrukturisasi alokatif: Menyangkut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana anggaran nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank harus tetap memelihara perannya sebagai agen pembangunan, agen reformasi dan agen restrukturisasi ke arah tercapainya keseimbangan struktural yang lebih baik.
- Restrukturisasi spasial (spatial): Restrukturisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan serta pertumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya
- Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseimbangan dinamis antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang nongrassroots-based, menuju kukuhnya perekonomian rakyat (dengan wadah koperasi) sebagai sokoguru perekonomian nasional.
- Restrukturisasi perpajakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah sarana redistribusi. Pada dasarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebaliknya terhadap kelompok miskin yang memerlukan pemberdayaan diberikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif terhadap konsumsi mewah.
- Restrukturisasi strategis: Restrukturisasi ini untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi dependensi dan meningkatkan interdependensi resiprokal yang seimbang dan diperlukan untuk memperkukuh fundamental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based.
- Restrukturisasi pola-pikir atau reorientasi budaya: GBHN telah mendorong reorientasi semacam ini, yakni antara lain reorientasi ke arah lebih banyak membuka akses akan hak-hak rakyat dan mengembangkan perekonomian rakyat melalui sistem ekonomi berdasar demokrasi ekonomi.
- Restrukturisasi sosial-politik dan sosial-budaya: Restrukturisasi ekonomi ini tidak akan sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh restrukturisasi di bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Restrukturisasi sosial-politik menyangkut demokratisasi politik dan peran masyarakat madani. Restrukturisasi sosial-budaya menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearning terhadap pakem-pakem usang, khususnya restrukturisasi dan demokratisasi pendidikan rakyat. 12)
Sementara itu Sritua Arief salah satu tokoh strukturalis utama Indonesia mengecam ilmu ekonomi neoklasikal yang menjadi roh globalisasi, dengan menegaskan bahwa ia menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkung internasional yang tidak adil dan bahwa pasar harus di intervensi. 13)
Saya sendiri telah memberikan gambaran betapa kita harus mewaspadai globalisasi meskipun kita tidak harus menolaknya, saya kemukakan paling tidak ada tiga kelompok yang mempunyai pandangan berbeda mengenai globalisasi yang harus kita perhatikan dengan cermat:
- Kelompok pengagum;
- Kelompok kritis dan obyektif;
- Kelompok yang menolak. 14) Saya sendiri cenderung untuk memihak kelompok ketiga dalam arti mewaspadai dan bersikap sangat hati-hati terhadap kelompok pertama dan kedua. Bahaya globalisasi akan saya sajikan pada lampiran (lihat Lampiran I).
Ideologi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat
Berkali-kali Mubyarto dan saya mengingatkan bahwa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus telah “keliru”. Saya telah menegaskan tentang keterperosokan kita ke dalam perangkap teoretikal-parsial dan yang menerima begitu saja asumsi dasar neoklasikal yang mengacu pada pola pemikiran ekonomi Barat yang sempit dan mengandung berbagai ortodoksi, yang akan saya sajikan pada lampiran (lihat Lampiran II).
Di paragraph depan telah saya kemukakan mengenai Pasal 33 UUD 1945 dan tugas pelaksanaan cita-cita transformasi ekonomi dan transformasi sosial. Proses transformasi ini tidak akan bisa dilakukan apabila beberapa butir perintang tidak terlebih dulu kita atasi, antara lain:
- asas perorangan dengan paradigma individualisme dan liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu (self-interest economics yang berpedoman free-competition dan market fundamentalism);
- asas kebersamaan dan kekeluargaan berdasar paham kerakyatan (demokrasi ekonomi), di mana kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-perorang (tanpa mengabaikan hak orang-perorang);
- negara melepaskan diri dari tugasnya sebagai agent of development dan agent of reformation dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan structural (percaya pada the invisible hand yang dalam kenyataan telah kembali menjadi the incapable hand atau the dirty hand);
- mewaspadai globalisasi dengan ide pasar-bebas dan boderless world-nya;
Untuk itu marilah kita mulai menegaskan lebih dahulu, siapa yang disebut “rakyat”?
Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat? Tentu ia bagian dari rakyat! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “public needs” (yang berdimensi domain publik) dan “individual privacy”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutualism/mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood/broederschap/ukhuwah) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei” – suara rakyat suara Tuhan, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak, tidak tunggal. (Ideologi kerakyatan saat ini harus berhadapan dengan adagium baru politik uang “vox populi vox argentum” – suara rakyat suara uang).
Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi nasional kita berlaku demokrasi ekonomi, yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Konsep pembangunan ekonomi rakyat sebenarnya sangat jelas bagi yang masih berkeinginan mengetahuinya serta bersedia melepas pola-pikir lama yang terbukti “bias”, dengan melakukan unlearning secara wajar menuju pemikiran reformatif. Titik-tolaknya adalah "mengabdi rakyat", bukan "mengabdi ilmu" semata-mata. Ilmu harus bisa ditawar dengan misi. Ilmu yang kita kuasai kita kembangkan dan kita abdikan kepada rakyat dan kepentingannya.
Pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup, kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki kekuatan sebagai strategi pembangunan.
Memang ekonomi rakyat penting untuk mendapat perhatian khusus dari kita. Bukankah dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda perekonomian besar (ekonomi konglomerasi) ekonomi rakyat ternyata tetap bertahan? Bukankah kita harus bersyukur bahwa dengan terpuruknya ekonomi besar, ekonomi rakyatlah yang ternyata memberi penghidupan dan pekerjaan kepada rakyat. Untuk itu saya ingin mengatakan: “untunglah ada ekonomi rakyat”. Dengan demikian itu kehidupan ekonomi rakyat tetap tersangga dan tejamin.
Ekonomi rakyat adalah riil dan konkrit. Kita bisa bersilang pendapat mengenai definisi ekonomi rakyat. Oleh karena itu lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, industri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, pertukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dan pasar-pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh rakyat, tembakau rakyat, dst. yang menjadi penyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya. Ini semua memberikan lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan yang sangat luas kepada masyarakat. Membangun ekonomi rakyat adalah membangun usaha-usaha rakyat yang riil seperti tersebut di atas.
Apabila kita mengingat betapa besarnya BLBI dan Obligasi Rekap yang dikeluarkan Pemerintah kepada para konglomerat hitam, betapa tidak adilnya MSAA yang menjadi sumber hukum bagi pengampunan hutang (keputusan memberikan R&D bagi para penyamun BLBI), memang kita cenderung untuk terpaku pada pola-pikir “perlunya pemihakan” mulai diberikan kepada ekonomi rakyat. Namun pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup. Kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki peran dan kekuatan sebagai strategi pembangunan.
Makna sebagai strategi pembangunan itu, antara lain:
- Dengan rakyat yang secara partisipatif-emansipatif berkesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi akan lebih menjamin nilai-tambah ekonomi optimal yang mereka hasilkan dapat secara langsung diterima oleh rakyat. Pemerataan akan terjadi seiring dengan pertumbuhan.
- Memberdayakan rakyat merupakan tugas nasional untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga rakyat lebih secara konkret menjadi aset aktif pembangunan. Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk membangun diri dan kehidupan ekonominya merupakan investasi ekonomi nasional, merupakan human investment (bukan pemborosan atau inefficiency) dan mendorong tumbuhnya kelas menengah yang berbasis grassroots.
- Pembangunan ekonomi rakyat meningkatkan daya-beli rakyat yang kemudian akan menjadi energi rakyat untuk lebih mampu membangun dirinya sendiri (self-empowering), sehingga rakyat mampu meraih “nilai-tambah ekonomi” dan sekaligus “nilai-tambah sosial” (nilai-tambah kemartabatan).
- Pembangunan ekonomi rakyat sebagai pemberdayaan rakyat akan merupakan peningkatan collective bargaining position untuk lebih mampu mencegah eksploitasi dan subordinasi ekonomi terhadap rakyat.
- Dengan rakyat yang lebih aktif dan lebih produktif dalam kegiatan ekonomi maka nilai-tambah ekonomi akan sebanyak mungkin terjadi di dalam negeri dan untuk kepentingan ekonomi dalam-negeri.
- Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyesuaikan kemampuan rakyat yang ada dengan sumber-sumber alam dalam negeri yang tersedia (factor-endowment Indonesia) berdasar strategi resources-based dan people-centered.
- Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyerap tenaga kerja.
- Pembangunan ekonomi rakyat akan bersifat lebih quick-yielding dalam suasana ekonomi yang sesak napas dan langka modal.
- Pembangunan perekonomian rakyat sebagai sokoguru perekonomian nasional akan meningkatkan kemandirian ekonomi dalam-negeri pada ekonomi luar-negeri, akan menekan sebanyak mungkin ketergantungan akan import-components dan meningkatkan domestic-contents industri dalam-negeri, yang selanjutnya akan lebih mampu menggerakkan pasaran dalam-negeri.
- Pemberdayaan perekonomian rakyat yang akan lebih mampu memperkukuh pasaran dalam-negeri yang akan menjadi dasar bagi pengembangan pasaran luar-negeri (ekspor).
- Dalam globalisasi ini kita harus tetap waspada terhadap paham globalisme yang cenderung menyingkirkan paham nasionalisme. Kepentingan nasional Indonesia harus tetap kita utamakan sebagaimana negara-negara adidaya selalu mempertahankannya pula dengan berbagai dalih ekonomi dan politik. Pembangunan perekonomian rakyat akan menjadi akar bagi penguatan fundamental ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme ekonomi.
- Pembangunan perekonomian rakyat dapat dilaksanakan (implementable) tanpa mempergunjingkan ekstremitas positif-negatifnya peran dan mekanisme pasar.
- Pembangunan perekonomian rakyat merupakan misi politik dalam melaksanakan demokratisasi ekonomi sebagai sumber rasionalitas dan pemihakan kepada rakyat kecil.
- Satu dekade yang lalu ada ajakan untuk meninjau ulang strategi-strategi pembangunan (Development Strategies Reconsidered, Overseas Development Council, 1987) dan ajakan yang mutahir (The Frontiers of Development Economics, Meier & Striglitz, 2001) menegaskan betapa perlu ada shift of paradigms dalam pemikiran ekonomi. Perekonomian rakyat memperoleh tempat dalam rekonsiderasi di situ. Lebih dari itu, bagi mereka yang masih mau melepaskan ortodoksi perlu membaca ide-ide lama dan baru mengenai social market economy.
- Secara keseluruhannya, butir-butir tersebut di atas akan lebih menjamin terjadinya pembangunan Indonesia, bukan sekadar pembangunan di Indonesia.
- Pembangunan ekonomi kerakyatan bertumpu pada platform bahwa yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara. Pembangunan ekonomi (GNP) adalah derivat dari platform ini, tidak terlepas dari pembangunan rakyat, bangsa dan negara.
- Dalam kenyataan, ekonomi rakyat telah menghidupi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia, di tengah-tengah pasang-surutnya sektor perekonomian formal-modern, sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Kesemuanya mendukung percepatan upaya melaksanakan transformasi ekonomi dan transformasi sosial.
Gerakan Koperasi Internasional (ICA), ILO dan Setjen PBB justru sedang menegaskan ulang tentang pentingnya koperasi untuk memajukan grassroots economy, khususnya ekonomi rakyat. Bahkan Konvensi PBB 2001 (sebagai hasil Sidang Umum-nya) menetapkan pula koperasi sebagai wadah grassroots economy di seluruh dunia perlu didorong maju berkat tiga prestasi utamanya yang telah dibuktikan, yaitu dalam
- memberantas kemiskinan;
- menciptakan lapangan kerja secara substantif; dan
- memperkukuh integrasi sosial (yang artinya memperkukuh solidaritas sosial). Sementara itu Dunia saat ini mulai banyak bicara mengenai world solidarity dan world equality.
Sayang sekali Indonesia, karena terbenam dalam dept-trap dan cultural-trap, malahan menjadi mudah kagum terhadap ide liberalisme dan privatisasi, serta terbawa arus pemikiran mentah kapitalisme global. Dalam hal ini saya ingin memperingatkan, agar kita menolak privatisasi dan mengutamakan “go-public” demi pemilikan merata oleh rakyat. Mengapa kita tidak berpikir besar demi kemuliaan rakyat: Mengapa Indosat dijual ke asing, padahal Indosat bisa dimiliki oleh para pelanggan ponsel yang pasti mampu membelinya. Mengapa Semen Gresik hendak dijual ke asing pula, padahal baik para developers dalam-negeri maupun para pemilik toko material dalam-negeri mampu membeli saham Semen Gresik; Pemda-Pemda pun bisa diatur dan dibantu untuk mampu memiliki Semen Gresik (daripada uang dihamburkan untuk membiayai Release & Discharge bagi para pengusaha hitam). Mengapa pula BCA dan lain-lain bank dijual ke asing, padahal bisa dibeli oleh para nasabah. Tentu kita bertanya mengapa Indofood tahu-tahu sebagian sahamnya telah dimiliki asing, padahal seharusnya dijual kepada rakyat (para konsumen dalam-negeri) yang dengan setia telah membesarkan dan menjadi pelanggan Indofood. Inilah peran Pemerintah yang harus melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 ke dalam dimensi perkoperasian, karena dengan demikian itu pemilik Indosat, Semen Gresik, BCA, Indofood adalah para pelanggannya sendiri. Bukankah ciri utama koperasi adalah bahwa pemilik adalah sekaligus pelanggan? Macam inilah yang kita cita-citakan sebagai transformasi ekonomi dan transformasi sosial, sebagai peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat dalam kehidupan sosial-ekonomi. Inilah konsep Triple-Co yang saya ajukan di atas, di mana pemilikan aset nasional tidak terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat, tetapi merata dalam wujud co-ownership, co-determination dan co-responsibility yang melibatkan masyarakat seluas-luasnya, meningkatkan pemilikan (wealth) dan partisipasi rakyat serta mengangkat harkat martabatnya, dari martabat sebagai kuli atau buruh menjadi mitra usaha.
SUMBER ARTIKEL;
- 2) Mengenai nasionalisme dapat saya kutipkan: “…The very nature of economics is rooted in nationalism…The aspirations of the developing countries are more for national independence and national self-respect than just for bread to eat… The hard-headed Classicals were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the World …”, lihat Joan Robinson, Economic Philosophy, Chicago: Aldine Publishing, 1962; “… Today, it is claimed, we live in the period of late capitalism, and possibly in the postindustrial society, yet nationalism … is not gone, nor does it show any signs of being gone soon…. Nationalism first appeared in England, becoming the preponderant vision of society there… the sustained growth characteristic of modern economy is not self-sustained; it is stimulated and sustained by nationalism…”, lihat Leah Greenfeld, The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001; “… It has been a commonplace to view nationalism as the greatest, the most powerful single force in the modern world…”, lihat Ian S. Lustick, Hegemony and The Riddle of Nationalism, Logos 1.3 – Summer 2002, hlm. 18.
- 3) Lester C. Thurow, Gurubesar Ekonomi pada MIT menegaskan: “ … economics is in the state of turmoil… the economics of the textbooks and of the graduate schools not only still teach price-auction model but it is moving toward narrower and narrower interpretations … the mathematical sophistication intensifies as an understanding of the real world diminishes… economics cannot do without simplifying assumptions, but the trick is to use the right assumption at the right time, and this judgement has to come from empirical analyses including those employed by historians, psychologists, sociologists and political scientists…”, lihat Lester C. Thurow, The Dengerous Currents: The State of Economics (New York: Random House, 1983), hlm. 236-237.
- 4) Robert Heilbroner salah satu tokoh besar Amerika Serikat dalam ilmu ekonomi dan Lester C. Thurow secara konsisten menegaskan mengenai the defects of the market sebagai berikut: “… the market is an insufficient instrument for provisioning society, even rich societies … the market is assiduous servant of the wealthy, but indifferent servant of the poor … market system promote amorality, it is not just an economic failure, but it is a moral failure…”, lihat Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained (New York: Simon Schuster, edisi baru, 1994), hlm. 255-256; sementara itu George Soros mengatakan: “… But market fundamentalism has become so powerful that any political forces that dare to resist it are branded as sentimental, illogical, and naïve. …Yet the truth is that market fundamentalism is itself naïve and illogical. Even if we put aside the bigger moral and ethical questions and concentrate solely on the economic arena, the ideology of market fundamentalism is profoundly and irredeemably flawed. To put the matter simply, market forces, if they are given complete authority even in the purely economic and financial arenas, produce chaos and could ultimately lead to the downfall of the global capitalist system. This is the most important practical implication of my argument in this book…”; lihat George Soros, the Crisis of Global Capitalism (New York: Public Affairs, 1998), hlm. xxii.
- 5) Lihat John Kenneth Galbraith, The Culture of Contentment (Boston: Houghton Mifflin, 1992).
- 6) Lihat Leah Greenfeld, the Spirit of Capitalism:…, op. cit., hlm. 4.
- 7) Lihat Meadows, Donella H., et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972). Duapuluh tahun kemudian, sebagai kelanjutan dan evaluasinya, ternyata ‘limits’ itu telah dilampaui, lihat Meadows, Donella H, et al., Beyond the Limits, Forward by Jan Tinbergen (Vermont: Chelsea Green, 1992).
- 8) Heilbroner dan Thurow menyebutkannya sebagai “micro-macro ills”, Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained, op. cit, hlm. 256. Dalam ruang kelas akan bisa sangat menarik membicarakan asumsi constant returns to scale vs increasing returns to scale dan transformasinya dari tataran mikro ke tataran makro. Para pengajar dianjurkan untuk membaca “the new growth economics” sebagaimana dikemukakan oleh Samuelson yang berkaitan dengan capital deepening, increasing returns to scale, external scale economics, lihat Paul A. Samuelson, “Sparks and Grit from the Anvil of Growth”, dalam Gerald M. Meier dan Joseph E. Stiglitz (eds.), Frontiers of Development Economics (Washington DC: IBRD/Oxford University Press, 2001), hlm. 492-505.
- 9) Lihat beberapa artikel dalam Sri-Edi Swasono, Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta: UI-Press, 1992); lihat pula Sri-Edi Swasono, Dari Lengser ke Lengser: Reformasi Menjadi Deformasi (Jakarta: UI-Press, 2001), op.cit.
- 10) Dikatakan Mahbub ul Haq “… we were tought to take care of GNP as this will take care of poverty. Let us reverse this and take care of the poverty…” (yang dimaksud melalui employment, pen.) as this will take care of GNP”, lihat Mahbub ul Haq, “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective”, Development Digest, October 1971, hlm. 7. Lihat pula Sri-Edi Swasono, “Prospek dan Perkembangan Perekonomian Rakyat/UKM: Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Pasar”, mimeo, Diklatpim, LAN, Denpasar, 21-22 Maret 2002.
- 11) Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi (Yogyakarta: UGM-PUSTEP, 2003), hlm. 36-38.
- 12) Lihat Sri-Edi Swasono, Pembangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik (Jakarta: UI-Press, 1990), hlm. 26-43.
- 13) Dalam Kata Sambutan pada buku Sri-Edi Swasono, Sritua Arief mengatakan: “…Saya dan Saudara Sri-Edi menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkup internasional yang tidak adil. Pasar harus diintervensi, justru perlu ada a visible hand untuk mengatur pasar demi kepentingan negara dan kemaslahatan masyarakat. Itulah sebabnya kami menolak internasionalisasi modal, produksi, dan perdagangan secara bebas. Ini akan merunyamkan ekonomi rakyat bangsa kita…”, lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose …, op. cit., hlm. xii.
- 14) (1) Kelompok pengagum dan pemuja globalisasi yang melihat globalisasi semata-mata dari segi-segi positif-imperatifnya, bahwa globalisasi adalah tuntutan sejarah yang tidak terelakkan, suatu inevitability, suatu realitas dan bukan lagi suatu pilihan. Para akademisi ekonomi yang berorientasi pada market fundamentalism (Smithian) pada umumnya masuk kelompok ini, yang tentunya pula menerima dengan mudah paham liberalisme dan kapitalisme. Bagi mereka globalisasi adalah suatu progress dan opportunities. (2) Kelompok yang kritis dan lebih objektif dalam menyimak dan menimbang makna globalisasi. Globalisasi diungkapkan sebagai fenomena global yang telah mengakibatkan banyak sekali kekecewaan, bahkan kebrutalan sosial-ekonomi dan sosial-kultural, tanpa peduli terhadap nilai-nilai tradisional, yang kesemuanya mengakibatkan penderitaan yang luas, sehingga globalisasi harus direformasi secara radikal (Stiglitz, Huntington). Globalisasi mendorong persaingan secara berlebih yang menjuruskan kepada konflik perdagangan bahkan mungkin perang-dagang dunia (world trade war) (Krugman). Globalisasi tidak berpihak kepada kaum miskin bahkan acapkali merupakan proses dehumanisasi. Kelompok ini merupakan kelompok korektif, namun bukan penentang. Dalam kelompok ini termasuk mereka yang masih menyangsikan apakah globalisasi bisa terwujud benar-benar, apakah suatu global economy bisa terbentuk tanpa adanya (dalam kenyataan atau perkiraan) suatu global society (Soros, Thurow); bukanlah keserakahan kapitalisme global yang mengiringi globalisasi akan selalu condong membentukkan suatu discriminatory fragmented global society? (3) Kelompok yang menolak globalisasi, yang pada hakikatnya adalah wujud baru dari imperialisme (Petras & Veltmeyer, J.W. Smith, Huntington). Globalisasi merupakan proyek politik kaum imperialis global dengan global governance-nya yang nampak terang-terangan ataupun terselubung. Kelompok ini menempatkan nasionalisme ekonomi sebagai suatu kekuatan tangguh untuk memajukan dan menjaga kesinambungan kehidupan ekonomi masyarakat berdasar kenyataan riil tentang hidup dinamisnya pluralisme global (Robinson, Greenfeld). Kelompok ini melihat globalisasi sebagai sosok intruder yang melakukan dolarisasi dan Amerikanisasi, menolak ide global uniformity dan mempertahankan global pluralism serta national uniqueness. Untuk itu bicara mengenai perlunya suatu aksi kolektif yang terkoordinasi untuk memobilisasi kekuatan oposisi dan menolak globalisasi yang berinsting dasar predatori ini. Kelompok ini menolak dominasi ataupun subordinasi ekonomi, mengutamakan koeksistensi damai antarbangsa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai a new internationalism of equals (Petras & Veltmeyer), lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose…, op.cit., hlm. 123-125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar