Pengertian Sastra profetik

Posted By frf on Rabu, 28 Desember 2016 | 06.39.00

Kuntowijoyo Sastrawan Profetik
Sastra profetik adalah sastra yang berjiwa transendental dan sufistik karena berangkat dari nilai-nilai ketauhidan, tetapi yang setelah itu juga memiliki semangat untuk terlibat dalam mengubah sejarah kemanusiaan yang karena itu memiliki semangat kenabian. Sebagai aliran di dalam tradisi intelektual Islam, sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (Hadi, 1999:23). 

Sastra transendental memang telah memiliki perjalanannya sendiri yang panjang. Dua contoh sastrawan Islam yang menulis secara sufistik dan transendental adalah Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.

Jalaluddin Rumi (1207-1273) adalah penyair dari Persia yang terkenal sebagai sastrawan yang mendalami tasawuf. Salah satu karya Jalaluddin Rumi adalah Diwan-i Syams Tabriz yang berupa 33.000 bait puisi berbentuk lirik. Puisi-puisi ini pada awalnya adalah lontaran spontan yang muncul dari mulut Jalaluddin Rumi ketika ia berada dalam situasi ekstase. Lontaran-lontaran itu kemudian dicatat oleh para muridnya yang mengelilinginya. Puisi-puisi dalam Diwan-i Syams Tabriz ini berisi renungan-renungan ilahiyah dan persatuan mistikal.

Muhammad Iqbal (1873-1938) dari Pakistan merupakan sosok lain dari sastrawan transendental dalam tradisi sastra Islam. Puisinya menampakkan kekentalan permenungan filsafat, ini tampak di antaranya dalam kumpulan puisinya yang berjudul Asrar-i Khudi. Muhammad Iqbal juga adalah pengagum Jalaluddin Rumi dan menganggap Jalaluddin Rumi sebagai guru spiritualnya.

Dalam sastra Indonesia modern, warna transendental juga banyak ditemukan. Karya-karya Amir Hamzah merupakan contoh sastra transendental yang berbobot dari tradisi sastra Angkatan Pujangga Baru. Chairil Anwar pelopor Angkatan 45 pun juga menulis puisi transendental, misalnya puisi “Kepada Peminta-minta”. Dalam tradisi yang lebih baru, sastrawan-sastrawan yang menulis tema transendental banyak bermunculan. Di antara mereka itu adalah Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, K.H. Mustofa Bisri, dan kemudian diikuti pula oleh yang lebih muda dari mereka, seperti Mustofa W. Hasyim, Mathori A. Elwa, Amien Wangsitalaja, Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy.

Kuntowijoyo, lahir 18 September 1943, merupakan sastrawan Indonesia yang dapat digolongkan sebagai penulis sastra transendental ini. Sastra bagi Kuntowijoyo harus mampu memberikan keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, antara pelibatan diri dalam persoalan kemanusiaan dengan kesuntukan beribadah, antara yang bersifat dunyawiyah dan ukhrawiyah, antara aktivisme sejarah dengan pengalaman religius. 

Kuntowijoyo mendasarkan perumusan sastra profetik (dan profetisitas secara umum) kepada Al Quran surah Ali Imran: 3. Bagi Kunto (1997), ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surah Ali Imran ini, yaitu (1) konsep tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etik profetik.

Pertama, konsep tentang umat terbaik (the choosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut oleh ayat tersebut. Jadi, sebuah umat tidak akan secara otomatis menjadi the choosen people. Konsep the choosen people dalam Islam ini berbeda dengan konsep the choosen people dari Yudaisme. Konsep Yudaisme menyebabkan rasialisme, sedangkan konsep umat terbaik dari Islam justru berupa sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras ke arah aktivisme sejarah. 

Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia (ukhrijat li an nas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan yang melupakan keduniaan bukanlah kehendak Islam, karena Islam adalah agama amal. 

Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiyah menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etik Islam dari etik materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstruktur (kesadaran) ditentukan oleh struktur (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran. Demikian pula, pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme, ia bertentangan dengan kesadaran Ilahiyah. 

Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik individu (orang awam, ahli, superahli), lembaga (ilmu, universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat). Semua diharuskan untuk mengamalkan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan iman (tu’minuna) bi Allah (beriman kepada Allah). Ketiga hal ini adalah unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. 

Asal-usul pikiran tentang etik profetik ini, menurut Kuntowijoyo, bisa ditelusuri dalam tulisan-tulisan Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa Nabi Muhammad SAW telah sampai ke tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik (dalam peristiwa Isra Mi’raj), tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda Nabi untuk berhenti. Akan tetapi, ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk perubahan kemanusiaan. Dengan kata lain, pengalaman religius itu justru menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah, sebuah aktivisme sejarah. Sunnah Nabi berbeda dengan jalan seorang mistikus yang puas dengan pencapaiannya sendiri. Sunnah Nabi yang demikian ini yang disebut dengan etik profetik. 

Selanjutnya, dari Roger Garaudy, filosof Perancis yang menjadi muslim, etik profetik juga memperoleh penegasannya. Roger Garaudy menulis Janji-Janji Islam (1982). Menurutnya, filsafat Barat tidak memuaskan karena terombang-ambing antara dua kubu, idealis dan materialis. Filsafat Barat lahir dari pertanyaan tentang bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Ia menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana wahyu dimungkinkan. Menurutnya, satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran peradaban ialah dengan mengambil kembali warisan Islam. Filsafat Barat sudah “membunuh” Tuhan dan manusia, karena itu ia menganjurkan supaya umat manusia memakai filsafat kenabian (profetik) dari Islam dengan mengakui wahyu (Kuntowijoyo, 1997).

Kuntowijoyo tergolong sebagai sastrawan yang mampu menulis dalam berbagai genre. Sebagai penyair ia telah menghasilkan tiga kumpulan sajak, yaitu Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Sebagai cerpenis ia menghasilkan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), fabel Mengusir Matahari (2000), dan beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas yang kemudian diterbitkan oleh Kompas dalam Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997). Dalam bidang drama ia menghasilkan “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968), “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma”, “Barda”, dan “Cartas” (1972), dan Topeng Kayu (1973). Sebagai novelis ia telah menulis “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari” (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), dan Impian Amerika (1998). Dari banyak karyanya itu Kuntowijoyo juga telah memperoleh berbagai penghargaan sastra.

Kumpulan puisi Makrifat Daun Daun Makrifat (selanjutnya disingkat MDDM) merupakan kumpulan puisi paling akhir yang dihasilkan Kuntowijoyo. MDDM diterbitkan oleh Gema Insani Press (1995), memuat 47 sajak-sajak pendek dengan nafas religiusitas yang kental yang tetap tidak mengabaikan kenyataan horisontal. MDDM bisa dipakai untuk melacak adanya tema sastra profetik yang dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Dalam pengantar untuk MDDM sendiri Kuntowijoyo juga secara tegas menulis.

“Sajak-sajak ini adalah serbuan dari langit. Akan tetapi, ia tidak menjadikan sastra terpencil. Lihatlah ia juga berbicara tentang pemogokan, kalau yang dimaksud dengan kenyataan ialah penderitaan. Sajak-sajak ini adalah sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme....” (Kuntowijoyo, 1995:5).

Dengan demikian, MDDM memiliki kekhasan sebagai sebuah khazanah pemikiran dan pola ucap dalam sejarah perpuisian Indonesia, yaitu hadirnya semangat profetik. Karenanya, perlulah sebagian puisi-puisi Kuntowijoyo dari kumpulan puisi MDDM tersebut dibedah untuk menelusuri adanya etika profetik di dalamnya. Uraian di bawah ini merupakan gambaran ringkas mengenai pengungkapan etika profetik dalam puisi Kunto tersebut.

Semangat Amar Ma’ruf (Emansipasi/Humanisasi)
Amar Ma’ruf dalam arti sederhananya adalah menyuruh kepada kebaikan. Dalam penafsiran lebih lanjur, amar ma’ruf dimaknakan sebagai upaya “pemanusiaan” (emansipasi/humanisasi). Upaya humanisasi dapat berarti upaya untuk melawan segala bentuk dehumanisasi dan loneliness (privatisasi dan individuasi). Dehumanisasi ini terjadi di antaranya karena dipakainya teknologi di dalam masyarakat, misalnya sebuah pabrik yang menjadikan manusia semata objek dan menciptakan otomatisme (manusia bergerak secara otomatis tanpa kesadaran) (Kuntowijoyo, 1997). 

Subjek semangat amar ma’ruf dari kumpulan MDDM dapat ditemukan dalam puisi berjudul “(Menjadi saksi pemogokan)”. 

(Menjadi saksi pemogokan)
Kusucikan waktu dengan kata
sehingga para pekerja 
kembali ke pabrik
Aku tak pernah sangsi
kemerdekaan, tangan gaib semesta
mengalir lewat benang elektronik dan kesadaran yang mulia

Puisi di atas mengabarkan adanya aku partikular yang menegaskan kepada para pekerja untuk tidak perlu mogok kerja karena merasa diperbudak oleh pabrik. Aku partikular justru tidak sangsi bahwa jika dengan selalu mengedepankan kesadaran, maka kemerdekaan bisa ditemukan di sela-sela rutinisme kerja. 

Jika dilihat dari keseluruhan baris puisi, maka kalimat kesadaran yang mulia bisa menjadi model dari pusat makna yang ada. Kesadaran yang mulia sendiri membuktikan adanya kualitas kemanusiaan. Manusia akan memperteguh kualitas kemanusiaannya ketika ia bisa memaknai kehidupan dengan sebuah kesadaran. Dari sini inti makna puisi dapat ditebak, yaitu humanisasi/emansipasi (pemanusiaan).

Budaya industrialisasi, yang di antara simbolnya adalah munculnya pabrik-pabrik, telah menggiring manusia untuk cenderung menjadi mesin dan terjebak dalam rutinisme yang menyebabkannya kehilangan dimensi kemanusiaan (mengalami dehumanisasi). Dehumanisasi menyebabkan manusia kehilangan kemerdekaannya, kemerdekaan untuk menentukan eksistensinya. Manusia terkungkung oleh benda-benda. 

Di sinilah diperlukannya upaya humanisasi atau emansipasi, berupa mengembalikan manusia kepada kemanusiaannya. Upaya itu adalah dengan menghadirkan kembali kesadaran yang mulia, tanpa harus menolak secara membabi-buta budaya industrialisasi, tanpa harus menghancurkan pabrik-pabrik, tanpa harus mogok kerja. 

Jika seluruh instrumen industrialisasi memahami dan dipahami secara kesadaran yang mulia, maka kemanusiaan tetap bisa ditegakkan dan kemerdekaan tetap bisa ditemukan di dalam benang elektronik. Semangat untuk menegakkan hal demikian disebut semangat amar ma’ruf.

Semangat Nahyi Munkar (Liberasi)
Secara sederhana nahyi munkar diartikan mencegah kemungkaran. Mencegah kemungkaran ini bisa berupa membebaskan kehidupan dari segala bentuk kejahatan. Ia bersifat liberatif. Liberasi bisa menyentuh ke seluruh aspek kehidupan, terutama aspek sosial-politik dan ekonomi. 

Puisi untuk mewakili semangat nahyi munkar (liberasi) dari kumpulan Makrifat Daun Daun Makrifat adalah sebuah puisi tanpa judul yang bernomor 48. 

Sebagai hadiah malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena hatiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
Sampai dhuafa dan mustadhafin
diangkat Tuhan dari penderitaan

Puisi di atas memperlihatkan adanya aku partikular yang menegaskan etiknya untuk tetap terlibat dengan aktivisme sosial melebihi dari iming-iming kenikmatan asketisisme spiritual berjalan di atas mega, sehingga kejahatan terakhir musnah dan orang-orang lemah terlepas dari penderitaan. Penyampaian makna ini diperkuat oleh penghadiran beberapa polarisasi kata di dalamnya, terutama polarisasi antara mega dengan bumi. 

Tawaran untuk menikmati indahnya pengasingan mistik berjalan di atas mega ditolak oleh aku partikular. Aku partikular menolak karena kakiku masih di bumi. Sebagai bukti dari penolakan kepada pengasingan mistik itu adalah keinginan aku partikular untuk menyaksikan kejahatan terakhir dimusnahkan dan dhuafa dan mustadhafin / diangkat Tuhan dari penderitaan. 

Etik menolak untuk pengasingan mistik, etik menolak kejahatan, etik menolak kependeritaanan dhuafa dan mustadzafin adalah etik liberatif. Di dalamnya terkandung semangat untuk membebaskan, membebaskan manusia dari kejahatan dan dari penderitaan. Karena itulah, inti makna dari puisi ini adalah semangat liberasi. 

Liberasi yang muncul dari puisi ini adalah liberasi yang bersifat sosial-politik dan ekonomi. Memusnahkan kejahatan adalah bentuk liberasi yang bersifat sosial-politik itu. Di dalamnya terkandung hasrat untuk menegakkan HAM, melawan otoritarianisme dan kediktatoran, juga melawan segala kejahatan sosial. Mengangkat penderitaan merupakan bentuk liberasi yang bersifat ekonomi. Di sini terkandung hasrat untuk menghilangkan adanya kesenjangan ekonomi, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu” (Al Hasyr: 7).

Semangat Iman bi Allah (Transendensi)
Iman bi Allah berarti percaya kepada Allah S.W.T. Dikontekskan dengan pembahasan sebelumnya, maka semangat amar ma’ruf (emansipasi/humanisasi) dan nahyi munkar (liberasi) itu harus dirujukkan kepada keimanan kepada Tuhan. Puisi tanpa judul bernomor 47 representatif untuk mewakili tema ini. 

Suatu hari kutemukan
burung di sangkar termenung membungkam
aku bertanya dan dengan sedih dia mengatakan
Mereka yang melupakan Tuhan
tak berhak mendengar burung bernyanyi

Puisi menampakkan adanya aku partikular yang tengah diajari oleh peristiwa pemberontakan sebuah burung terhadap perilaku kontraliberatif dan dehumanisatif dari manusia karena manusia melupakan Tuhannya.

Karena adanya mereka (manusia) yang melupakan Tuhan menyebabkan burung terpenjara di sangkar (kontraliberatif dan dehumasisatif). Keterpenjaran ini menyebabkan burung melakukan upaya protes (semangat humanisasi+liberasi), yaitu dengan termenung membungkam dengan anggapan bahwa mereka yang melupakan Tuhan itu memang tidak pantas mendengarkan burung bernyanyi. 

Melupakan Tuhan merupakan perbuatan yang kontradiktif bagi keimanan, bagi semangat transendensi. Hilangnya keimanan menyebabkan dominannya perilaku yang kontradiktif bagi semangat humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahyi munkar). Dengan kata lain, membangun upaya humanisasi dan liberasi harus tetap berpijak pada landasan semangat transendensi (iman bi Allah).*** 

Daftar Pustaka:
  • Hadi W.M., Abdul, 1989, “Semangat Profetik Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam majalah Ulumul Quran No. 1, Jakarta: Aksara Buana
  • ________, 1999, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus
  • Kartanegara, R. Mulyadhi, 1986, Renungan Mistik Jalal ad-Din Rumi, Jakarta: Pustaka Jaya
  • Kuntowijoyo, 1993, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan
  • ________, 1995, Makrifat Daun Daun Makrifat, Jakarta: Gema Insani Press
  • ________, 1997, “Menuju Ilmu Sosial Profetik” dalam Republika, Kamis, 7 Agustus 1997, Jakarta
  • Luce, Miss dan Claude Maitre, 1993, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, diterjemahkan oleh Djohan Effendi, Bandung: Mizan
  • Rifai, Aminudin, 2002, “Makna Puisi ‘(Sajak-sajak yang dimulai dengan Bait Al-Barzanji)’ Kuntowijoyo Pendekatan Semiotika Riffaterre”, skripsi sarjana sastra Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM
  • Tim DKJ (ed.), 1984, Duapuluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan
  • Wangsitalaja, Amien, 2001, “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dalam Kakilangit 49 Majalah Horison XXXIV/2/2001, Jakarta: Yayasan Indonesia
Blog, Updated at: 06.39.00

0 komentar:

Posting Komentar