Kebijakan Pendidikan
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
Bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai apakah pendidikan itu? Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu tujuan tertentu, para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah pendidikan. Drikarya (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu adalah memanusiakan manusia muda pengangkatan manusia muda ketaraf mendidik atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan adalah :
Proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya didalam masyarakat tempat mereka hidup.
Proses sosial yang terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. (Dalam Fattah, 1996:4)
Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah laku, fikiran, dan sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow and Crow (1980); “Modern educational theory and practice not only are eimed at preparation for future living but also are operative in determining the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang tetapi, juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-5). Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefinisikan beberapa ciri pendidikan menurut Fattah antara lain :
Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup.
Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal). (Fattah, 1996:5)
Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia kemanakah pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk beragama (religius). Dengan demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor manusia yang mana diharapkan mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan masyarakat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah, 1996:5).
Pendidikan menurut sumber yang terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah :“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).
Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).
B. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengubah tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil perubahan) itu dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan (educational objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu deskripsi dari pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang diharapkan akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien dan efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan tingkatan tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar (Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tersebut sebagai berikut :
1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau negara tentang ciri-ciri seorang manusia yang dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yang terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini menggambarkan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus dihasilkan oleh setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap lembaga pendidikan harus mengarahkan tujuannya pada tujuan pendidikan nasional.
2. Tujuan Institusional
Tiap tingkat dan jenis lembaga pendidikan, mengembangkan tujuan institusinal. Isi tujuan institusional adalah tingkah laku yang bagaimanakah yang diharapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Dengan kata lain lembaga pendidikan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang diinginkan dengan pengertian bahwa tujuan institusional ini harus mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diperlukan criteria-kriteria yaitu jelas, dapat dengan mudah diobservasi, dan realistis.
3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)
Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, tapi sudah mengarah pada tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum (dalam arti sempit) dari institusi itu maka disebut “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering juga disebut tujuan departemen (departement objective).
4. Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional mempunyai fungsi :
- Membantu para pengajar untuk memilih isi/topik pengajaran yang relevan
- Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara instruksional maupun kurikulum
- Membantu para pengajar mengarah pada proses pengajarannya
- Mengarahkan dan memberi gambaran pada sasaran tentang apa yang akan mereka peroleh dari pendidikan/pelatihan
- Merupakan indikator untuk evaluasi proses pendidikan
- Merupakan pasangan sasaran dan juga para pengajar untuk bekerja secara efektif dan efisien
- Membantu para pengajar memilih metode pengajaran yang tepat. (Notoatmodjo, 2003:41-45)
Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya dibentangkan harapan tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku sasaran pendidikan, antara lain perubahan pengetahuan, sikap dan kemampuan mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku, sebagai akibat dari berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula bukan setiap perubahan tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses pendidikan. Itulah sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut perlu dirumuskan dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah rumusan pada tingkah laku dan jenis tingkah laku: yang lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan, kecerdasan sikap, keterampilan yang diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah menyelesaikan program pendidikan (serangkaian proses belajar).
Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep dasar kebijakan pendidikan yang meliputi latar belakang perlunya kebijakan pendidikan, batasan kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan dan kebijakan negara, sistem politik dan kebijakan pendidikan, tingkat-tingkat kebijakan pendidikan, dan studi mengenai kebijakan pendidikan (Imron. 1996:1).
Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan penggabungan n dari kata education dan policy. Kebijakan adalah seperangkat aturannya, sedangkan pendidikan menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian kebijakan pendidikan tidak terlalu berbeda dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, yakni :
“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan sebagai suatu proses, tak terkecuali ketika melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses dimana pertimbangan-pertimbangan itu mesti diambil dalam rangka pelaksanaan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dalam melakukan petimbangan, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, ialah sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor situasionalnya. Dan, pertimbangan yang mempedomani terhadap sistem nilai dan faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam melaksanakan pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya. Pertimbangan tersebut ketika dirumuskan dapat berupa perencanaan umum. Dan, perencanaan yang bersifat umum ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan-pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).
Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan kepada level kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, juga menunjuk pada cakupannya, tingkatan pelaksanaan dan mereka yang terlibat didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :
- Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)
- Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)
- Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)
- Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)
Sistem Politik yang berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan pendidikan. Letak kaitan tersebut dapat dilihat pada, bagaimana kebijakan tersebut pada saat dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berbedanya perumusan kebijakan dinegara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yang dianut. Berbedanya pelaksanaan dan evaluasi kebijakan negara, kebijakan pendidikan, antara negara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yang dianut oleh negara-negara tersebut (Imron, 1996:20-25).
Perumusan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan meliputi; lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan pendidikan, masalah dan agenda kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).
Lingkungan dan Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan menurut Anderson adalah “segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan, pengaruh tersebut bisa besar, kecil, langsung, tidak langsung, laten, dan jelas” (Imron, 1996:31).Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988) menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi sumber alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi ekonomik. Sementara yang dianggap paling berpengaruh terhadap kebijakan tersebut adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini adalah: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu kebijakan pendidikan mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus dan teknis), maka para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-tingkatan tersebut berbeda. Aktor tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator, Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).
Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal. Kapan suatu perumusan kebijakan pendidikan dianggap selesai? Suatu kebijakan dianggap final setelah disahkan oleh peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa penerbitan keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat juga berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan pemerintah.
Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan dapat dipergunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah banyak dikeluarkan tidak sekedar dipergunakan untuk memecahkan satu masalah atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).Pengertian, Batasan dan Faktor Implementasi Kebijakan PendidikanSetelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada khalayak kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini, adalah aktualisasi kebijakan pendidikan yang telah disahkan, bergantung kepada bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya. Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika tidak diimplementasikan, tidak akan dirasakan gunanya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan, akan lebih berguna, apapun dan seberapa pun gunanya (Imron, 1996:65).
Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam praktik. Nakamura (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi masalah dan menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus (Imron, 1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan. Ia sendiri mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan berdasarkan aktifitas fungsional.
“Implementasi kebijakan pendidikan, ia katakan sebagai konsep yang dinamis, memerlukan usaha-usaha yang untuk mencari apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang mengarah pada penempatan program kedalam suatu dampak” (Dalam Imron, 1996:65-66.Tiga aktifitas utama dalam implementasi kebijakan pendidikan ialah interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi adalah aktifitas menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dijalankan. Organisasi adalah unit atau wadah yang dipergunakan untuk menempatkan program. Sementara aplikasi adalah konsekuensi yang berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang dibutuhkan (Imron, 1996:65-66).
Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan (implementasi kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yang umumnya abstrak tersebut, baru nyata dan kongkrit setelah diimplementasikan secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa ada kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan dengan sendirinya.
“Meskipun banyak pula rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya harus diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).
Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah :
Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit dan sulit untuk diimplementasikannya.
Bila rumusan masalah kebijakan dan alternatif pemecahan masalah kebijakan yang diajukan dalam rumusan tidak jelas.
Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan.
Keahlian pelaksana kebijakan.
Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang diimplementasikan.
Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi. (Imron, 1996:76-77)
Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan pertimbangan utama oleh para penentu dan pelaksana kebijakan dilapangan.
C. Pengertian Pembangunan
Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga, mengungkapkan bahwa konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yang melibatkan aspek-aspek lingkungan dan keadilan sosial yang pada dasarnya masih bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Kalau kita renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok. Pertama masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua masalah manusia yang menjadi pengambil inisatif, yang menjadi manusia pembangunan. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia, manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif manusia tersebut harus merasa bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dijumpainya. Pembangunan pada akhirnya merupakan masalah yang harus didekati secara interdisipliner melalui berbagai disiplin ilmu (Arief, 1996:13-15). Menurut Soerjono Soekanto, pembangunan merupakan :
“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spritual maupun secara material, yang mencakup seperangkat cita-cita meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pembangunan harus bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus didasarkan pada fakta, sehingga nantinya merupakan suatu kerangka yang singkron.
Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan artinya, adanya keinginan untuk selalu membangun pada ukuran dan haluan yang terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.
Peningkatan produktifitas. Peningkatan standar kehidupan.
Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yang sama dibidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Pengembangan lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam masyarakat mencakup; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan kecermatan, ketelitian dan kejujuran, bersifat rasional dalam mengambil keputusan, siap menghadapi perubahan, giat dan menggunakan kesempatan yang benar, integritas dan dapat berdiri sendiri, bersikap kooperatif”. (Soekanto, 2000:454)
Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai oleh pembangunan. Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yang terkandung dalam pembangunan itu. Pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu itu, dapat dilakukan melalui cara-cara tertentu
Pada dasarnya cara melakukan pembangunan adalah sebagai berikut :
- Struktural, mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga sosial, produsernya serta pembangunan secara materil.
- Spiritual, yang mencakup watak dan pendidikan dalam penggunaan cara-cara berfikir secara illmiah
Cara-cara tersebut diatas dapat ditempuh, oleh karena secara analitis masyarakat terdiri dari struktur sosial yang mencakup ekonomi, teknologi dan sistem kedudukan serta peranan. Kecuali itu, juga terdapat sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan dan wewenang, serta adanya kebudayaan yang mencakup sistem nilai.Konsep pembangunan tersebut merupakan upaya pembangunan berwawasan manusia, dimana menurut The World Commision on Environment and Development (WCED) dimaksudkan sebagai :
- Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih pada pertumbuhan ekonomi dan kurang pada keadilan sosial.
- Jawaban terhadap kepincangan SDM model negara berkembang dibandingkan dengan model negara maju.
- Pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada kepentingan manusia saja, malainkan juga pada hubungan dengan lingkungannya. (Dalam Ndraha, 1999:20).
0 komentar:
Posting Komentar