Pages

Jumat, 23 Desember 2016

Manfaat Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing

Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
Keberadaan bahasa nasional Indonesia hingga saat ini, tidak bisa dilepaskan dari 2 peristiwa yang sangat bersejarah. Pertama, ketika para putra dan putri berikrar “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 yang lalu. Kedua, ketika bahasa persatuan yang dijunjung itu dimantapkan posisinya sebagai “bahasa negara” dalam pasal 36 UUD 1945. Sejak saat itu bahasa Indonesia (BI) terus berkembang menjadi bahasa yang mampu mengemban banyak fungsi. Yang berkembang tidak hanya segi substansi bahasa itu sendiri, seperti: ejaan, ucapan, kosakata dan tatakalimat, tetapi juga jumlah pemakaiannya. Dari tahun ke tahun jumlah itu terus meningkat.

Pada tahun 1920-an, pemakai bahasa Indonesia (pada saat itu bernama bahasa Melayu) telah mencapai 4,9% atau 2,8 juta orang dari jumlah penduduk sebanyak 57 juta orang. Pada tahun 1940-an jumlah itu meningkat menjadi 5,2% dari jumlah penduduk 72 juta orang, atau sama dengan 3,75 juta orang. Selanjutnya, berdasarkan hasil sensus tahun 1990, dari jumlah penduduk sebanyak 179 juta meningkat menjadi 73,1% atau 131 juta orang.

Meskipun dari 73,1% itu yang menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari baru 18,4 % atau 24 juta orang, namun jumlah itu sudah menunjukkan peningkatan yang sangat membanggakan. Bahkan, ada sekitar 19 juta orang penutur atau 14,5 % yang mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya.

Makin meningkatnya pamakai BI membuktikan bahwa BI mampu menjadi alat komunikasi secara nasional yang efektif bagi warga 483 suku bangsa Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sulitnya mempersatukan dan mendekatkan hubungan antarsuku yang memiliki alat komunikasi berbeda-beda.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, kehadiran BI dapat diterima oleh seluruh warga suku bangsa dengan tangan terbuka. Belum pernah terdengar berita tentang penolakan penggunaan BI sebagai bahsa nasional. Bahkan, warga masing-masing suku bangsa telah ikut membina dan mengembangkan BI menjadi bahasa yang maju. Dalam hal ini BI telah terbukti mampu menjadi wahana pemersatu berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang sosial, budaya, agama berbeda-beda, menjadai satu bangsa, bangsa Indonesia.

Di samping itu BI juga telah terbukti mampu menjadi bahsa negara. Berbagai peristiwa kenegaraan dan penulisan dokumen-dokumen resmi dapat dilaksanakan dengan baik oleh BI. Demikian pula halnya dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan lainnya seperti: ekonomi, politik, pertahanan, olah raga, budaya dan pariwisata dapat berjalan lancar berkat peranan BI.

Peranana lain yang telah dibuktikan oleh BI adalah dalam kedudukannya sebagai wahana transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi berbagai sumber melalui proses belajar-mengajar, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Hal ini membuktikan bahwa BI telah mampu menyelaraskan diri dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia luar.

Bagian yang paling penting untuk tidak kita lupakan adalah bahwa BI telah diposisikan sebagai salah satu wujud nyata terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia. Seperti yang diamanatkan oleh pasal 32 UUD 1945 yang menyatakan “pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, BI telah menjadi lambang jati diri (identitas) bangsa, yang dapat menumbuhkan kebanggan dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa Indonesia. BI telah memegang peranan yang sangat menentukan terhadap keberadaan (eksistensi) dan kelangsungan hidup bangasa Indonesia secara keseluruhan. 

Setelah BI diikrarkan 73 yahun yang lalau, atau 56 tahun setelah ditetapkan sebagai bahasa negara, BI menuju ke arah kemantapan sebagai wahana komunikasi yang efektif dalam lingkup yang lebih luas lagi. BI tidak hanya dipakai oleh para penutur di dalam negeri, tetapi juga diminati oleh penutur berkebangsaan asing.

Minat itu telah tumbuh sejak tahun 1795, atau 206 tahun yang lalu, ketika sebuah institut di Perancis mempelajari bahasa Melayu. Berdasarkan data yang ada, hingga kini tidak kurang dari 35 negara di dunia yang telah melaksanakan pengajaran BI melalui pendidikan formal di perguruan tinggi dan kursus-kursus. Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat 9 universitas yang mengajarkan BI. Di Jerman ada 6 universitas dan di Jepang ada 28 universitas, sementara di Australia selain diajarkan di 13 perguruan tinggi, BI juga diajarkan di berbagai sekolah menengah. Bahkan di Inggris yang bahasanya dipilih sebagai bahasa komunikasi internasional, BI dan sastra Indonesia dipalajari untuk memperoleh gelar akademik sampai dengan jenjang pascasarjana (di School of Oriental and Africans Studies, London).

Gambaran tentang perkembangan pemakai BI bagi warga asing itu belum termasuk sejumlah universitas di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Universitas Nasional (Jakarta), Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), Universitas Pendidikan Indonesia (Bandung), Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga, Jawa Tengah) dan Universitas Negeri Malang (Malang, Jawa Timur) telah mengajarkan BI untuk mahasiswa dari luar Indonesia yang datang di perguruan tinggi tersebut.

Memasuki abad 21 telah berkembang fenomena baru yang disebut sebagai era kesejagatan atau globalisasi, yang mengandung makna manusia hidup dalam zaman dunia tanpa batas (borderless world). Istilah ini sering diartikan dalam konteks ekonomi saja. Hal ini tidak mengherankan karena berbagai negara berupaya keras untuk mengglobalisasi ekonomi, sehingga muncul berbagai institusi seperti: GATT, WTO, APEC, AFTA, dan NAFTA.

Dalam kenyataan, globalisasi itu tidak hanya bidang ekonomi saja tetapi juga mengimbas ke bidang politik dan kebudayaan. Interaksi antarbangsa yang terjadi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi – karena pada dasarnya manusia adalah manusia economicus – telah menyebabkan juga terjadinya globalisasi kebudayaan. Bahasa sebagai unsur kebudayaan memiliki peranan penting dalam era globalisasi sebagai wahana mencapai pemenuhuan kebutuhan ekonomi., disamping pemenuhan kebutuhan yang lain.

Sebagai sebuah negara berkembang dan memiliki sumber daya alam dan budaya yang besar, Indonesia menjadi negara tujuan bagi banyak warga negara asing untuk berhubungan dengan Indonesia. Meskipun telah ada wahana komunikasi internasional yaitu bahasa Inggris, namun banyak di antara mereka yang mendambakan untuk dapat bertutur dengan BI dalam melaksanakan kerja samanya.

Dari segi kesiapan untuk menjadi bahasa pilihan penutur asing, BI telah siap meskipun harus diakui masih memiliki kelemahan, seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli bahasa. Untuk menjadi bahasa komunikasi yang lebih luas, BI harus berani melakukan efisiensi dan memperkaya kosa kata agar dapat menampung pengungkapan konsep modern dengan setepat-tepatnya. Di samping kelemahan juga diakui BI memiliki kelebihan, antara lain tergolong mudah dipelajari.

Peluang ini memiliki nilai yang amat strategis dalam upaya memposisikan BI sebagai salah satu bahasa di dunia yang sanggup menjadi “jembatan” untuk membangun persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Bagi kebudayaan juga merupakan peluang yang amat baik, karena BI menjadi “jendela”, untuk dapat melihat keanekaragaman budaya Indonesia. Dengan menguasai dam mampu bertutur BI, masyarakat asing akan lebih mudah dalam mengekspresikan kebudayaan Indonesia dan menikmati perjalanan wisatanya.

Dari gambaran di atas memberikan indikasi bahwa BI telah menjadi wahana komunikasi yang efektif dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. BI telah berkembang menjadi bahasa yang menarik minat warga asing untuk belajar dan mampu menggunakannya. Minat itu makin meningkat seiring dengan tuntuan era globalisasi. Kenyataan yang sangat membanggakan itu perlu terus dijaga dan dikembangkan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: “bagaimana kebijakan pembinaan dan pengembangan selanjutnya agar BI benar-benar menjadi bahasa yang sanggup berlompetisi dengan bahasa-bahasa lainnya?”

Berbicara tentang kebijakan di bidang bahasa, sudah saatnya untuk diarahkan pada 2 sasaran secara proporsional. Arah pertama, adalah kebijakan pembinaan dan pengembangan bahasa yang bersifat ke dalam dan, kedua, kebijakan arah ke luar. Kebijakan ke dalam lebih ditekankan pada pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah sebagai bagian dari kebudayaan serta dalam fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa persatuan dan bahasa iptek. Di samping itu juga diarahkan pada upaya pemasyarakatan penggunaan BI bagi warga negara Indonesia secara baik dan benar.

Seangkan arah ke luar dimaksudkan sebagai kebijakan pada pengenalan dan pengajaran BI bagi para penutur asing, seperti halnya yang dilakukan berbagai negara asing dalam memperkenalkan dan mengajarkan bahasanya di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa perhatian terhadap bidang yang penting ini masih terbatas dan perlu ditingkatkan. Dalam buku “Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesusastraan Indonesia 1947-1997” halaman 2 dinyatakan ada 3 masalah bahasa yang ditangani oleh Pusat Bahasa, yaitu (1) masalah bahasa nasional. (2) masalah bahasa daerah, dan (3) masalah pengajaran bahasa asing

Masalah pengajaran BI bagi penutur asing dipandang belum merupakan masalah nasional dan bahkan tidak disinggung dalam buku laporan tersebut. Memang kita telah melakukan berbagai kerja sama kebahasaan dengan negara lain termasuk melalui Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Malaysia-Indonesia (MABBIM), namun sasarannya masih terbatas pada masalah kebahasaan itu sendiri, pendidikan lanjutan (beasiswa) dan pelatihan kebahasaan.

Oleh karena itu, sekaranglah saatnya kita memperhatikan hal ini, karena keberhasilan dalam meningkatkan jumlah penutur BI bagi orang asing tidak hanya memberikan dampak positif pada bidang bahasa tetapi juga bidang-bidang lainnya. Sekaranglah saatnya kita mengarahkan kebijakan bagaimana memperkenalkan kebudayaan kita ke luar negeri, dan tidak lagi hanya mengarahkan pikiran pada bagaimana menangkal pengaruh negatif kebudayaan asing saja.

Apa yang telah dilakukan oleh para warga asing merintis dan mengembangkan pengajaran BI bagi penutur asing di 35 negara di dunia ini adalah prestasi yang luar biasa dan patut mendapatkan penghargaan yang tinggi. Upaya ini harus terus didorong dan didukung secara luas apabila kita menghendaki BI dapat menjadi bahasa internasional pilihan di samping bahasa Inggris.

Oleh karena itu lahirnya forum “Bahasa Indonesia bagi Pentur Asing”, disingkat BIPA, atas inisiatif beberapa negara penyelenggara pengajaran BI sangatlah tepat. Melalui wadah ini dapat dijalin kerja sama BIPA antarnegara. Di samping itu BIPA juga dapat menyelenggarakan forum diskusi, seminar, kongres atau konferensi seperti yang sekarang sedang berlangsung, untuk membahas berbagai hal berkenaan dengan pengajaran BIPA. Dalam kaitan dengan hal ini kerja sama antara Pusat Bahasa dan Perguruan Tinggi di Indonesia dengan BIPA sangat diperlukan.

Sebagaimana halnya pengajaran bahasa asing di Indonesia, pengajaran BIPA juag memerlukan dukungan berbagai sarana dan prasarana. Disamping BI itu sendiri harus terus ditingkatkan pembinaan dan pengembangannya, materi bahasa yang akan diajarkan bagi penutur asing perlu dirancang dengan sebaik-baiknya. Diperlukan kurikulum, buku ajar (termasuk penyusunan kamus dwibahasa), metodologi yang tepat, dan peralatan laboratorium bahasa yang memadai.

Untuk mengerakkan program pengajaran BIPA diperlukan sejumlah tenaga pengajar yang memiliki kemampuan teknis dan kemamuan yang kuat untuk ditempatkan di luar negeri. BIPA perlu didukung oleh tenaga pengajar yang tidak hanya menguasai BI tetapi juga memahamai bahasa penutur asing yang bersangkutan. Tenaga tersebut perlu dipersiapkan sejak dini melalui pendidikan dan pelatihan khusus, yang tidak hanya berasal dari tenaga Pusat Bahasa dan perguruan Tinggi saja, tetapi juga dari masyarakat atau guru BI.

Seperti halnya pengajaran bahasa Inggris bagi penutur asing dilengkapi dengan standar pengujian kemampuan atau Test of English as a Foreign Language (TOEFL), maka pengajaran BI bagi penutur asing perlu dilengkapi pula dengan instrumen yang sama. Instrumen ini amat diperlukan untuk berbagai kepentingan, terutama untuk mengetahui tingkat kemahiran berbahasa. Dalam kaitan dengan hal ini, Pusat Bahasa saat ini sedang mengembangkan sarana pengujian itu, yang diberi nama Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia disingkat UKBI.

Sementara itu, Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata sedang melakukan studi tentang pendirian “Pusat Kebudayaan Indonesia di Luar Negeri.” Lembaga ini diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada warga negara asing yang ingin belajar atau mendapatkan informasi tentang kebudayaan dan pariwisata Indonesia. Dalam hal ini pengajaran BI harus dijadikan program utama, untuk mempermudah mereka mengenali dan memahami kebudayaan Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh Pusat Kebudayaan Indonesia yang didirikan oleh Prof. Koh Young Hun dari Hankuk University bersama KBRI di Korea Selatan tiga bulan yang lalu, juga memprioritaskan pengajaran BI bagi warga Korea yang berminat.

Demikian beberapa hal yangd apat saya sampaikan pada konferensi ini. Mudah-mudahan konferensi ini berhasil merumuskan kesepakatan yang berguna bagi penyusunan kebikajan di bidang kebahasaan dan kesastraan Indonesia.
    Bahan bacaan:
  • Kongres Bahasa Indonesia VII (1998)
  • Mengemban Tugas: Pengembangan SDM, Prof. Dr. Ing- Wardiman Djojonegoro (1998)
  • Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Dr. M. Junus Melalatoa (1995)
  • Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesastraan Indonesia 1947-1997 (1998)
  • *) Disampaikan pada Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA) IV, tanggal 1 – 3 Oktober 2001, di Denpasar, Bali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar