BELAJAR KETERAMPILAN BERBASIS KETERAMPILAN BELAJAR
(Learning Skill Based Skill Learning)
Abstrak. Untuk mengantisipasi tantangan global, Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun konsep bertajuk Pendidikan Berbasis Kecakapan Hidup (Life-Skill Based Education). Di satu sisi, konsep ini diperlukan untuk menyongsong kecenderungan global dan membekali siswa dengan berbagai keterampilan sesuai program pengembangan di daerah-daerah kabupaten, maupun untuk memperluas kompetensi siswa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari; tetapi di sisi lain konsep ini merupakan wacana yang masih dapat diperdebatkan, karena sebagian pakar masih mempertahankan asumsi bahwa keterampilan belajar itu lebih penting dari pada belajar keterampilan. Belajar keterampilan merupakan bagian dari keterampilan belajar. Dalam keterampil belajar terakomodasi berbagai kemampuan, termasuk belajar keterampilan yang searah dengan pemberian multi-life skilled. Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education) merupakan salah satu wacana yang dapat diangkat menjadi kebijakan pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus menerus.
Kata-kata kunci: belajar, terampil, belajar keterampilan, keterampilan belajar
*) Dr. Dwi Nugroho Hidayanto adalah Konsultan ADB untuk JSEP-2 dan dosen FKIP Universitas Mulawarman Samarinda.
1. Pendahuluan
Beberapa dekade yang lalu para ahli telah meramalkan bahwa dunia akan dikuasai oleh orang yang menguasai informasi. Kenyataan dewasa ini telah membuktikan bahwa negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat telah menguasai dan mengendalikan dunia berkat informasi yang telah berada dalam genggamannya. Apalagi dengan teknologi internet yang merupakan ciri paling menonjol pada millenium ketiga ini, akses informasi dari dan ke berbagai penjuru dunia dapat dilakukan dengan sangat efisien.Gelombang dan arus informasi yang terus meningkat tidak mungkin dapat dibendung. Fenomena ini jelas memberikan implikasi terhadap dunia pembelajaran, baik dari segi penyediaan sumber belajar maupun cara membelajarkan siswa. Kecakapan atau keterampilan hidup (life-skill) yang diperlukan tidak lagi cukup hanya dalam bentuk keterampilan tradisional atau kecakapan menghasilkan teknologi tepat guna, tetapi juga kecakapan memanfaatkan informasi seoptimal mungkin yang berguna bagi pembentukan jati dirinya. Oleh karena itu, berbagai keterampilan yang diberikan dalam rangka pemerolehan multi life skilled harus dilandasi oleh keterampilan belajar (learning skill).
Keterampilan belajar diyakini lebih universal, yang meliputi mengingat fakta, mengingat konsep, mengingat prosedur, mengingat prinsip, menggunakan konsep, menggunakan prosedur, menggunakan prinsip, mengembangkan konsep, mengembangkan prosedur, dan mengembangkan prinsip. Dengan memiliki berbagai aspek keterampilan belajar universal tersebut, dengan sendirinya kemampuan lain yang lebih subtil dalam bentuk keterampilan atau kecakapan untuk hidup akan terikut. Oleh karena itu, proses pemerolehan life-skilled tidak dapat terpisah dari proses keterampilan belajar. Pembelajaran life-skilled harus tetap berada dalam kerangka learning skill (keterampilan belajar). Pembelajaran bagi munculnya keterampilan belajar akan lebih akomodatif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman serta gencarnya arus informasi global, karena esensinya ialah membekali siswa dengan kecakapan adaptabilitas dan fleksibilitas dalam memecahkan persoalan hidup. Kecakapan memecahkan persoalan hidup yang kompleks terkait dengan penguasaan sejumlah informasi serta dimilikinya aspek-aspek kepribadian yang mantap, yang kemudian lebih popular dengan istilah kecerdasan emosional. Oleh karena itu, pembelajaran yang mendorong siswa agar dapat mencari, menangkap, mengelola serta memanfaatkan informasi seefektif dan seefisien mungkin perlu segera dirintis. Informasi perlu dicari dan ditangkap karena di dalamnya begitu banyak tawaran peluang untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Informasi juga perlu dikelola karena informasi yang diterima biasanya belum terstruktur sehingga perlu ditata agar mudah dipahami dan dimanfaatkan. Oleh karena informasi itu sendiri adalah pengetahuan, maka pemanfaatan informasi sama artinya dengan proses penyerapan dan pengayaan pengetahuan. Semakin banyak informasi yang dikuasi siswa berarti semakin banyak pengetahuan, dan semakin banyak pengetahuan yang dimiliki siswa berarti ia semakin potensial untuk memecahkan persoalan hidup.
Pembelajaran yang bertujuan untuk memecahkan persoalan hidup dapat direkayasa. Persoalannya ialah apakah yang perlu dibekalkan kepada siswa? Apakah belajar keterampilan yang mengarah kepada keterampilan khusus untuk mencari nafkah, ataukah keterampilan yang mengarah kepada keterampilan universal yang merupakan keterampilan bagi pengembangan potensi dan kreativitas siswa dalam totalitasnya? Jika penekanannya pada belajar keterampilan yakni bentuk-bentuk kemampuan untuk mencari nafkah, berarti banyak aspek lain yang terlewatkan, sementara aspek yang terlewatkan tersebut diperlukan oleh siswa dalam proses pembentukan jati dirinya.
2. Kajian Teoritik
2.1. Empat Pilar Pembelajaran
Dalam proses menjadi (on becoming process), paling tidak siswa memerlukan empat pilar yakni pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dan bekerjasama. Hal ini sejalan dengan penegasan UNESCO dalam konverensi tahunannya di Melbourne (Diptoadi, 1999: 165) yang menekankan perlunya Masyarakat Belajar yang berbasis pada empat kemampuan yakni:
- Belajar untuk mengetahui,
- Belajar untuk dapat melakukan,
- Belajar untuk dapat mandiri, dan
- Belajar untuk dapat bekerjasama.
Empat kemampuan tersebut di atas merupakan pilar-pilar belajar yang akan menjadi acuan bagi sekolah dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-membelajarkan yang akan bermuara pada hasil belajar aktual yang diperlukan dalam kehidupan manusia. Hasil belajar aktual merupakan akumulasi kemampuan konkrit dan abstrak untuk memecahkan persoalan hidup. Oleh karena itu, empat pilar belajar tersebut tidak bisa dilihat sebagai kwartetomis, empat kemampuan yang terpisah satu dari yang lain. Di satu sisi, ia merupakan garis kontinum dalam proses pencapaiannya, tetapi di sisi lain dapat berbentuk hierarki karena kemampuan di bawahnya merupakan prasyarat bagi kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan tertinggi dan terakhir merupakan akumulasi dari kemampuan-kemampuan di bawahnya.
Belajar untuk tahu menjadi basis bagi belajar untuk dapat melakukan; belajar untuk dapat melakukan merupakan basis bagi belajar untuk mandiri; belajar untuk mandiri merupakan basis bagi belajar untuk bekerjasama. Tahu, dapat, mandiri, dan kemampuan bekerjasama merupakan kesatuan dan prasyarat bagi individu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Hubungan antar pilar tersebut dapat dijelaskan. Bahwa tidak semua siswa yang tahu dapat melakukan dalam arti memiliki keterampilan; tetapi yang dapat melakukan pasti memiliki pengetahuan sebagai dasar teoretik. Tidak semua yang dapat melakukan, dapat memiliki kemandirian, karena untuk menjadi mandiri memerlukan syarat-syarat lain; tetapi yang memiliki kemandirian pasti memiliki keterampilan khusus sebagai basisnnya.
Tidak semua yang mandiri mampu bekerjasama dengan orang lain, karena kemampuan bekerjasama menuntut syarat-syarat lain yang lebih terkait dengan aspek psikologis; dan yang mampu bekerjasama pasti telah memiliki basis kemandiran, keterampilan, dan pengetahuan yang cukup memadai. Oleh karena itu, pengetahuan menjadi basis dan awal dari proses pemilikan keterampilan; pengetahuan dan keterampilan menjadi basis dan awal dari kemandirian; dan pengetahuan, keterampilan dan kemandirian menjadi basis dan awal dari kemampuan melakukan kerjasama dengan orang lain. Akumulasi dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian dan kemampuan bekerjasama tersebut merupakan modalitas bagi kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).
Searah dengan empat pilar pembelajaran, muncul satu pertanyaan tentang mana yang lebih penting antara belajar untuk hidup dan hidup untuk belajar. Pertanyaan ini diajukan untuk menguji paradigma pembelajaran yang lebih menekankan kepada pemerolehan keterampilan, karena di sisi lain masih bertahan satu pandangan yang menyatakan bahwa belajar, yang menghasilkan keterampilan belajar (bukan belajar keterampilan), merupakan kewajiban dasar manusia sebagai bagian dalam proses menjadi. Berbagai teori secara konsisten juga masih menempatkan keterampilan (dalam arti skill to earning a living) sebagai salah satu aspek tujuan belajar.
Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (Life-skilled Based Education), yang saat ini sedang menjadi tema yang menarik diperbincangkan, diyakini dilatari oleh rasional yang cukup kokoh, yang dapat dilihat dari tiga dimensi, baik dimensi makro (skala luas), mezzo (skala menengah), maupun mikro (skala kecil). Dilihat dari dimensi makro adalah upaya pemberian keterampilan kompleks bagi sumber daya manusia Indonesia untuk memasuki persaingan global. Dilihat dari dimensi mezzo, adalah upaya pemberian keterampilan bagi putra-putra daerah untuk membangun daerah sejalan dengan tuntutan otonomi, sebagaimana ditegaskan oleh Subandriyo dan Hidayanto (2000), bahwa pemerintah daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu mengekplorasi dan memanfaatkan potensi alam daerah masing-masing. Dari sisi mikro, tetapi berjangka panjang, ialah upaya membekali siswa dengan berbagai keterampilan yang berguna untuk mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari.
Konsep di atas sangat tepat sebagai terobosan bagi persoalan nasional yang cukup mendesak, tetapi di sisi lain merupakan indikasi bahwa program pembelajaran pada hampir semua lini pendidikan belum mengasilkan lulusan dengan keterampilan yang memadai, yang menurut istilah Fishman (2001) lulusan yang tidak global-market likes, lulusan yang tidak disukai pasar global. Akan tetapi, jika konsep itu dikembangkan sebagai kebijakan pendidikan umum akan muncul satu kekhawatiran, karena begitu banyak aspek hasil belajar di luar keterampilan hidup (skill to earning a living) yang bernilai abadi untuk mengatasi persoalan yang lebih kompleks akan hilang begitu saja.
2.1 Makna Keterampilan Belajar
Belajar adalah berubah merupakan definisi klasik yang masih dapat dipertahankan, karena paling relevan dengan keberadaan sekolah sebagai agen perubahan. Definisi yang inklusive ini mengakomodasi semua tujuan belajar, dari tujuan terendah yakni mengetahui fakta sampai ke tujuan tertinggi yakni kemampuan memecahkan masalah. Sekolah sebagai agen perubahan dan tempat berkembagnya aspek intelektual (head-on), moral (heart-on) dan keterampilan (hand-on) tidak dapat direduksi hanya untuk salah satu tujuan belajar saja. Sekolah akan kehilangan makna jika menekankan pada salah satunya dengan mengabaikan yang lain, karena tujuan awal diadakannya sekolah ialah untuk membekali siswa dengan berbagai aspek intelektual dan emosional yang fundamental sehingga ia cerdas, bermoral dan terampil. (Harefa, 2000)
Learning to learn, belajar untuk belajar, tumbuh dari sinergi antara intelektual dan moral yang terekspresi dari hasil belajar otentik (actual outcomes) dalam bentuk karya dan perilaku. Dimilikinya keterampilan belajar untuk belajar oleh siswa, dengan sendirinya akan dikuasi sejumlah aspek lain, termasuk keterampilan untuk hidup. Keterampilan belajar bukan keterampilan tunggal tetapi merupakan garis kontinum yang bermula dari titik awal kehidupan dan berakhir pada akhir hidup manusia itu sendiri. Keterampilan belajar merupakan salah satu potensi dan tugas asasi manusia yang kuantitas dan kualitasnya dipengaruhi faktor eksternal. Pendidikan adalah faktor eksternal dalam bentuk rekayasa sistematis untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas keterampilan belajar. Berbagai cara telah dilakukan para pakar untuk menumbuhkan keterampilan belajar, diantaranya model pembelajaran berpikir yang dikembangkan Purwadhi (2000) yang telah teruji dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis yang pada akhirnya dapat menumbuhkan keterampilan belajar (skill to learn).
Pembelajaran bagi tumbuhnya keterampilan belajar juga dirasa sebagai salah satu kebutuhan mendasar bagi negara maju dalam menyongsong era global sebagaimana penegasan Goh Chok Tong, P.M. Singapore, pada The Singapore Expo (2001), bahwa kurikulum harus lebih menekankan pada kemampuan berpikir kreatif dan kritis serta pemecahan masalah. Kemampuan ini dapat tumbuh jika siswa menghargai keterkaitan antar disiplin ilmu, menggunakan prosedur pemecahan masalah dan keterampilan berkomunikasi serta mau bekerja dalam kelompok kerja. Dorongan terhadap siswa untuk menghargai berbagai disiplin, tertib prosedur, serta berbagai aspek lain yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi dengan sesamanya menunjukan bahwa siswa perlu memiliki berbagai keterampilan yang kompleks. Keterampilan-keterampilan itu dapat diperoleh dari proses keterampilan belajar.
Keterampilan belajar yang pertumbuhannya memerlukan berbagai prasyarat tersebut se arah dengan konsep “Menjadi Manusia Pembelajar” yang ditulis oleh Harefa (2000). Harefa (2000: 53) menulis apa yang diingatkan Jakob Sumardjo bahwa manusia hidup untuk belajar (learning how to be), bukan belajar untuk hidup (learning how to do). Hidup untuk belajar searah dengan perlunya keterampilan belajar, dan belajar untuk hidup searah dengan belajar terampil. Hidup untuk belajar berarti mengeluarkan segenap potensi dirinya untuk membuat dirinya nyata bagi sesamanya. Belajar untuk hidup berarti upaya mendapatkan pekerjaan. Hidup untuk belajar lebih esensial, karena belajar bukan hanya pelatihan tetapi proses untuk menjadi diri sendiri.
Seorang yang terampil belajar ia akan menjadi pembelajar bagi dirinya yang berbasis pada kesadaran bahwa we created by the Creator to be creature with creativity (Harefa, 2000: 119). Bahwa kita adalah ciptaan yang dicipta oleh Sang Pencipta dan dianugerahi daya cipta untuk mencipta. Bila seseorang telah menjadi manusia pembelajar, ia akan dapat menciptakan organisasi pembelajar, yakni organisasi yang terus menerus memperluas kapasitas menciptakan masa depan. Seorang pembelajar akan lebih memiliki tanggung jawab baik kepada Tuhan, kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia. Seorang pembelajar akan memperoleh keterampilan belajar dan akhirnya akan lebih manusiawi, sebagaimana penegasan Senge (dalam Harefa, 2000: 139), bahwa dari belajar individu akan:
- Menciptakan kembali kepribadiannya,
- Melakukan sesuatu yang baru,
- Merasakan hubungan yang lebih dalam dengan dunia,
- Dapat memperluas kapasitas proses pembentukan kehidupan.
2.3. Tujuan Keterampilan Belajar
Tujuan akhir dari terampil belajar ialah dimilikinya kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab. Tanggung jawab ini memiliki makna yang sangat dalam, melampaui kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh dari belajar. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, harus dilampuai dua tujuan antara, yakni:
- Mampu mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dan
- Dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuhnya-seutuhnya dengan cara menjadi diri sendiri. (Harefa, 2000: 136).
Individu mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya karena dalam proses belajarnya akan berhadapan dengan berbagai tantangan, kesulitan, dan berbagai kendala, yang semua itu merupakan ujian bagi penemuan diri sendiri; suatu proses pemahaman diri. Melalui proses ini ia mengetahui potensi dirinya secara benar sehingga ia akan konsisten pada satu bidang yang darinya dapat dimunculkan satu maha karya. Proses ini berbasis pada konsep pendidikan transformatif, yang menurut Darmaningtyas (199: 177), merupakan model pendidikan yang kooperatif dan akomodatif terhadap kemampuan anak menuju proses berpikir yang bebas dan kreatif. Implementasi pendidikan transformatif ialah pada keikutsertaan siswa dalam memahami realitas kehidupan dari yang konkret sampai yang abstrak. Realitas kehidupan ini akan menjadi sumber inspirasi dan kreativitas dalam melakukan analisis dan membangun visi kehidupan.
Untuk sampai kepada tujuan puncak, yakni kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab, individu perlu mengaktualisasikan segenap potensinya dan mengekspresikannya secara otentik. Dalam istilah Rachman (2000: 150), aktualisasi ini diperlukan agar individu lebih menjadi manusia. Aktualisasi segenap potensi ini adalah bentuk lain dari kebutuhan untuk berprestasi, yang dalam istilah McCleland (dalam Inkeles, 1974) disebut n Ach (need for achievement). N Ach ini merupakan bagian paling penting dalam membangun bangsa. Dari hasil penelitiannya terhadap siswa-siswa di lebih dari 100 negara, McCleland menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara kemajuan yang dicapai suatu bangsa dengan tingkat n Ach anak-anak bangsa tersebut, dan tingkat n Ach berkorelasi positif dengan kualitas dan kuantitas bacaan yang diserap sebelumnya.
Oleh karena itu, frame untuk membangun bangsa seharusnya lebih membuka peluang bagi tumbuhnya kebutuhan berprestasi yang termanifestasi pada keterampilan belajar. Dari keterampilan belajar ini akan tumbuh hasil belajar otentik (actual outcomes) yang berupa perilaku mulia maupun karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Semakin tinggi dan semakin luas keterampilan belajar yang dimiliki individu, semakin tinggi dan semakin luas pula keterampilan-keterampilan lain yang mengiringinya yang merupakan hasil belajar otentik.
2.4. Belajar Terampil Untuk Siapa?
Pendidikan siap pakai merupakan frame dari belajar terampil. Frame ini dalam jangka waktu tertentu mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sesaat; walaupun kata siap pakai itu sendiri masih selalu menjadi bahan perdebatan karena dapat diterjemahkan dari berbagai sudut pandang. Pertanyaan mendasar sering dilontarkan, yakni: siap pakai untuk siapa; siap pakai untuk apa; dan dimana? Konsep siap pakai dicurigai sebagai pesanan dari dunia industri untuk memenuhi kebutuhan tenaga terampil yang murah, yang oleh karenanya bentuk-bentuk keterampilan yang diberikan harus searah dengan kepentingan dunia industri. Konsep ini, tidak salah jika diacukan pada upaya pemenuhan salah satu aspek kebijakan pembangunan, akan tetapi jika digunakan sebagai platform dari kebijakan pendidikan umum,maka akan merusak substansi pendidikan itu sendiri. Sebagaimana Drost (2000: 128) tegaskan bahwa tugas lembaga pendidikan bukan memberi yang dikehendaki masyarakat, melainkan memberikan yang dibutuhkannya. Di samping itu, lembaga pendidikan bukan community service station yang secara pasif melayani tuntutan masyarakat, tetapi lebih sebagai lembaga yang perlu mengkritisi apa yang sedang terjadi di masyarakat.
Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia pun akan menjadi keliru jika fungsi sumber daya manusia ditempatkan hanya sekedar pekerja atau salah satu faktor produksi. Menurut Suryadi (1999: 277), tenaga kerja dalam kaitannya dengan konsep sumber daya manusia berdimensi ganda. Dalam waktu yang bersamaan ia tidak hanya berperan sebagai pekerja atau faktor produksi, tetapi sekaligus sebagai produsen, konsumen, sumber gagasan, serta sumber penggerak untuk pemanfaatan seluruh peluang. Suryadi (1999) menekankan pula bahwa terlalu sederhana jika kekuatan manusia hanya dipandang dari segi penguasaan keterampilan atau keahlian semata. Dengan kata lain, lulusan berbagai pendidikan perlu dibekali dengan sikap, orientasi nilai, wawasan yang luas, serta pemilikan cara berpikir yang menganggap penting inovasi, perubahan, dan penyempurnaan cara bertindak secara berkelanjutan. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa terampil belajar merupakan aspek yang lebih substantif, lebih mendasar, karena diperlukan bagi setiap siswa untuk memecahkan persoalan yang lebih kompleks, sedangkan belajar terampil diperlukan untuk memenuhi sebagian dari keseluruhan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan sebagai tempat disemaikannya anak-anak bangsa perlu memerankan fungsi secara proporsional, baik sebagai menara api maupun menara air. Lembaga pendidikan berfungsi sebagai menara api dalam arti ia harus dapat menerangi, mengarahkan, memberi pencerahan, bahkan mengkritisi masyarakat dan pemerintah. Bersamaan dengan itu, ia juga harus rela menjadi menara air, yang mampu memenuhi dahaga masyarakat; tetapi masyarakat tidak dapat semaunya ikut mengatur pemutaran kran.
2.5. Belajar Keterampilan Sebagai Sub Keterampilan Belajar
Dalam konteks yang lebih luas, yakni pendidikan, belajar keterampilan merupakan sub dari keterampilan belajar. Dalam keterampilan belajar, akan muncul keterampilan-keterampilan lain, baik yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotor. Sedangkan dalam belajar keterampilan lebih condong dan dominan pada aspek psikomotor. Bagaimana posisi belajar keterampilan dan keterampilan belajar dalam konteks pendidikan, dapat diperiksa pada Gambar 3.Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang secara teknis-operasional dilakukan melalui pembelajaran. Program pembelajaran yang baik akan menghasilkan efek berantai pada kemampuan siswa untuk belajar secara terus menerus melalui sumber belajar yang tak terbatas. Dari belajar siswa dapat menciptakan kembali dirinya, dapat melakukan sesuatu yang baru, dapat merasakan hubungan yang lebih akrab dengan alam dan sesamanya, dan dapat memperluas kapasitas pribadi dalam rangka kehidupan yang lebih luas. Dari keterampilan belajar akan ditemukan satu bentuk keterampilan khusus, yang sesuai dengan bakat dan minatnya dan mungkin digunakan sebagai basis untuk memperoleh penghasilan.
Keterampilan khusus yang dimaksud ialah life-skilled. Artinya, life-skilled tumbuh dari keterampilan belajar. Sebagaimana penegasan Gredler (1989: 2) tentang kedudukan pembelajaran dalam proses kehidupan manusia: “Individual who have become skilled at self directed learning are able to acquire a variety of new leisure-time and job-skills. They also have developed the capacity to endow their lives with life-long creativity.” Jadi, kedudukan belajar terampil merupakan bagian dari terampil belajar.Individu yang memiliki keterampilan belajar, dalam arti dapat mengarahkan diri, berarti akan dapat memperoleh berbagai keterampilan lain, termasuk keterampilan untuk bekerja yang merupakan bagian dari kreativitas kehidupan jangka panjang. Individu yang memiliki keterampilan belajar lebih optimis karena memiliki banyak pilihan, sedangkan individu yang hanya memiliki keterampilan terbatas sebagai akibat terlalu menfokus pada satu keterampilan yang spesifik potensial menjadi orang yang pesimistik, karena tidak memiliki banyak pilihan dan kemampuan transfer ilmu.
3. Simpulan
Belajar keterampilan merupakan bagian dari keterampilan belajar. Dalam keterampil belajar terakomodasi berbagai kemampuan, termasuk belajar keterampilan yang searah dengan pemberian multi-life skilled. Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education) merupakan salah satu wacana yang dapat diangkat menjadi kebijakan pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus menerus. Keterampilan belajar lebih inklusif karena mencakup berbagai aspek perkembangan kepribadian manusia, yang terdiri dari aspek intelektual, moral, dan keterampilan. Belajar keterampilan sebagai salah satu aspek keterampilan belajar akan tumbuh searah dengan perkembangan keterampilan belajar. Sebagai salah satu upaya untuk menyiapkan dan menyediakan sumber daya manusia terampil, konsep tersebut perlu disambut dengan baik dan bijak tanpa harus mengalahkan perlunya pendidikan universal yang menghasilkan berbagai aspek keterampilan yang lebih esensial berjangka panjang dan kokoh.
Pustaka Acuan
AECT, 1990. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali Press.
Darmaningtyas, 1999. Pendidikan pada dan setelah Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Drost, J.2000. “Mengapa Diperlukan Kebebasan Akademik?”. Dalam Mengagas
Pendidikan Rakyat. Editor: Dadang S. Anshori. Bandung: AlqaprintJatinangor.
Diptoadi, V. L. 1999. “Reformasi Pendidikan di Indonesia Menghadapi Tantangan Abad21”. Jurnal Ilmu Pendidikan, 6 (3): 161-175.
Goh Chok Tong. 2001. Shaping Lives, Molding Nation. PM’s Keynote Address. Speech
By Prime Minister Goh Chok Tong at The Teachers’ Day Rally, at The SingaporeExpo on Friday, 31 August 2001 at 7.30 PM.
Fischman, Gustavo E. 2001. “Globalization, Consumers, Citizens, and the “PrivateSchool Advantage in Argentina (1985-1999)”. Education Policy Analysis
Archives. 9 (31). Arizona State University.
Harefa, Andreas. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas.
0 komentar:
Posting Komentar