Teori Kajian Budaya Kontemporer
Istilah ‘budaya’ tentunya merupakan sebuah istilah yang masih diperdebatkan dengan berbagai makna dalam bermacam konteks dan wacana. Dalam konteks semiotik, budaya dapat dipandang sebagai ringkasan atas kegiatan simbolis yang terarah, dilakukan bersama-sama oleh semua anggota masyarakat, dapat dipelajari dan diajarkan dan disalurkan ke semua anggota masyarakat, serta dapatdigunakan oleh sebuah kelompok masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, demikian menurut definisi yang diberikan oleh Juri Lotman. “"Culture is the generator of structuredness... [and] the nonhereditary memory of the community" (Budaya adalah generator ketersusunan …[dan] peninggalan dari komunitas yang tidak diberikan secara turun temurun” (Lotman).[1] Makna, nilai, dan arti beredar dalam bahasa urutan kedua (lambang, nilai, gambar, cerita, mitos) yang menggunakan, baik bahasa biasa (bahasa asli seseorang) maupun sistem tanda lainnya seperti kesan visual, media massa, dan teknologi informasi. Berbagai macam cara yang ditujukan untuk menyalurkan semua arti yang tersimpan atau yang terpakai oleh semua anggota masyarakat terikat dalam konteks yang termediasi. Hal yang termasuk dalam Budaya Popular: nilai-nilai yang berasal dari periklanan, industri hiburan, media dan ikon mode, fashion dan menargetkan masyarakat umum. Norma-norma atau nilai-nilai ini berbeda dari norma yang berasal dari lembaga-lembaga yang bersifat tradisional, politis, berpendidikan atau agamis.
gaya dan ditujukan pada orang awam dalam masyarakat. Nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai yang disertai oleh Berada dalam satu budaya artinya berada dalam sistem tanda yang telah ada sebelumnya dan sistem tanda ini
Pada tahun 1980an dan 1990an, beberapa ahli antropologi beralih pada sudut pandang penafsiran atas budaya yang bahkan bersifat lebih radikal, yang secara umum dikenal sebagai posmodernisme. Posmodernisme mempertanyakan apakah sebuah pemahaman objektif terhadap budaya lain juga memungkinkan. Pemahaman ini berkembang sebagai sebuah reaksi atas modernism, yang merupakan pendekatan ilmiah dan rasional terhadap pemahaman atas dunia yang ditemukan dalam sebagian besar etnografis.
Ahli antropologi postmodern menyatakan bahwa semua orang membentuk budaya melalui proses terus menerus yang mewakili proses menulis, membaca dan menafsirkan sebuah teks. Dari sudut pandang inilah, orang selanjutnya menciptakan dan saling memperdebatkan makna dari semua aspek budaya, seperti kata-kata, ritual dan konsep-konsep. Masyarakat Amerika Serikat, misalnya, mengalami perdebatan panjang atas masalah-masalah budaya seperti apa yang membentuk sebuah keluarga, bagaimana seharusnya peranan wanita dan pria dalam masyarakat dan fungsi apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah federal. Banyak ahli antropologi sekarang ini mengkaji dan menulis tentang pertanyaan-pertanyaan ini, bahkan dalam masyarakat mereka sendiri.
Teori Budaya
Istilah ini telah digunakan untuk membedakan usaha-usaha membuat konsep dan memahami dinamisnya budaya. Secara historis, usaha-usaha ini telah melibatkan perdebatan tentang hubungan antara budaya dan alam, budaya dan masyarakat (termasuk proses sosial material), keretakan antara budaya tinggi dan budaya rendah, dan hubungan saling mempengaruhi antara tradisi budaya, pertikaian budaya dan perbedaan. Teori budaya juga telah ditandai oleh perjanjian dengan konsep yang telah sering digunakan untuk menutupi beberapa latar belakang yang sama yang ditandai dengan gagasan budaya itu sendiri. Yang menonjol disini adalah konsep ideology dan kesadaran (khususnya bentuk-bentuk kolektifnya).
Karya-karya Raymond Williams (The Long Revolution, 1961) dan E.P. Thompson (The Making of the English Working Class, 1963) khususnya sangat berpengaruh dalam perkembangan teori budaya Inggris pasca perang. Penekanan William pada budaya sebagai ‘keseluruhan cara hidup’ dan penekanan Thompson atas budaya sebagai cara yang digunakan kelompok untuk ‘menangani’ materi sosial yang mentah dan keberadaan materi telah membuka cara-cara berpikir baru tentang budaya – khususnya dalam melepaskan konsep dari kesusastraan sempit dan referensi estetik. Baik William maupun Thompson, keduanya mengkaji dimensi budaya yang dihidupkan dan proses kolektif dan aktif dalam menciptakan jalan hidup yang penuh makna.
Pembacaan budaya seperti ini (dimana budaya adalah segala sesuatu yang muncul dan ada dalam kehidupan kita termasuk budaya populer) dikembangkan oleh Thompson dan Williams kemudian jelas-jelas ditantang oleh penafsiran ahli strukturalis lain. Penafsiran ini menekankan struktur lambang eksternal budaya, sebagaimana yang diwujudkan dalam bahasa-bahasa dank ode-kode budaya, daripada bentuk nyata dari lambang tersebut. Dalam rumusan ini, budaya dapat dibaca sebagai sistem pemberian lambang melalui dunia sosial yang dipetakan. Versi ahli strukturalis tentang teori budaya juga secara tegas dikatakan dalam versi Louis Althusser tentang Marxisme. Althusser menawarkan sebuah gubahan atas teori Marxist tentang ideologi yang memberikan lingkup lebih besar terhadap keampuhan dunia ideologi. Dia menekankan khususnya pada otonomi yang bersifat nisbi (relative) di bidang budaya atau ideologi sambil berpegang pada prinsip yang akhirnya menentukan karakter hubungan ekonomi dan proses.
Perhatian atas pengakuan terhadap keampuhan praktik-praktik budaya dalam karya tulis Althusser selanjutnya dikembangkan dalam teori budaya dengan penyesuaian atas ide-ide milik Antonio Gramsci. Karya Gramsci membuka cara-cara baru dalam mengkonseptualisasikan peran budaya dan praktik budaya dalam pembentukan dan persekutuan kelas dan, khususnya, menambah bobot peranan budaya dalam melindungi bentuk-bentuk kepemimpinan dan otoritas moral dan politik (hegemoni). Pengaruh ide-ide Gramsci dianggap penting, khususnya dalam membantu teori budaya mengatasi kebuntuan yang tercipta karena adanya ketegangan antara sudut pandang ahli budaya dan strukturalis yang bersaing pada tahun 1970an.[2] Ketika pentingnya ide Gramsci telah pudar dalam teori budaya, saat itulah ide Michel Foucault berkembang. Kekuatan sentral dari pengaruh Foucault adalah membentuk suatu pemahaman atas bahasa budaya yang lebih bersifat diskursif (didasarkan pada pemikiran analitis) dan hubungan satu sama lain antara kekuasaan dan representasi.[3] Pengaruh Foucault juga nampak dalam perdebatan tentang karakter spesifik budaya menurut sejarah dan perkembangannya baik sebagai objek atau alat pemerintahan.[4]
Hubungan saling mempengaruhi antara ras, etnis dan budaya juga muncul sebagai sebuah perhatian utama pada teori budaya kontemporer. Hal ini sering melalui kritik atas bentuk-bentuk etnisitas yang diambil dalam tradisi teori budaya masyarakat Inggris yang dihubungkan dengan Williams dan Thompson – atau seperti istilah yang diberikan Paul Gilroy yaitu daya tarik tak wajar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Inggris.[5] Daya tarik ini juga memberi tantangan berupa nasionalisme baru dari konsepsi budaya yang menghubungkannya pada wilayah nasional tertentu. Dalam hal ini, para penulis seperti Gilroy malah menekankan pada pergerakan transnasional dan pencampuran budaya. Pernyataan Gilroy terhadap ‘Atlantis Hitam’ menunjukkan sebuah usaha untuk membayangkan proses budaya di luar batasan yang ditentukan oleh konsepsi budaya yang dibatasi secara nasional. Dalam pengertian ini, konsepsi ini lebih lazim dihubungkan dengan paham orientalis karya Edward Said, yang tidak hanya mengkaji kedinamisan internal tapi juga faktor-faktor eksternal dari budaya. Menurut paham orientalis Said (1978), konsepsi ke-Barat-baratan dari budaya dan peradaban digambarkan sebagai konsepsi yang telah dibentuk terhadap sebuah proses penamaan dan mengesampingkan paham Oriental secara simbolis.
Para penganut paham feminis juga menekankan pengaruh penting teori budaya saat ini. Hal yang nampaknya besar disini adalah hubungan saling mempengaruhi antara paham feminis dan psikoanalisis. Hal ini telah menyebabkan banyak diskusi tentang cara-cara dimana identitas gender dibentuk dalam bahasa budaya dan melalui praktik-praktik budaya. Karya terkini berupa memori, fantasi dan penampilan gender khususnya hanya bersifat sugestif.[6]
Salah satu aliran teori budaya kontemporer adalah pendapat bahwa kehidupan sosial terutama dibentuk oleh budaya . Sehingga budaya bukanlah sebuah kumpulan artefak atau arsip perkembangan namun lebih kepada, seperti yang ditulis oleh Antonio Gramsci, ‘sebuah arena persetujuan dan perlawanan’ (Stuart Hall, “Dekonstruksi,” hal. 239)[7] terhadap bentuk kehidupan sosial. Teori budaya kontemporer telah memperluas pemahaman terhadap budaya melampaui paham universalis, dan oleh karena itu, andaikata asumsi para kaum elit dan kesimpulan hegemoni normative tentang budaya dan malah terfokus pada budaya sebagai “artikulasi dan aktifasi makna” (Storey, hal. xiii)[8] atas dasar bahwa hal ini merupakan wacana yang terutama memiliki “kekuasaan dan kekuatan untuk mendefinisikan realitas sosial” (xii). Makna dalam sebuah budaya yang melindungi dan menentang susunan sosial yang dominan dianggap membohongi sebagaimana yang disebut Michel de Certeau sebagai “hasil kedua” (xiii), lebih pada bidang konsumsi daripada bidang ekonomi dari proses produksi. Dalam artian, ‘konsumen lah yang mempengaruhi ‘hasil penggunaan’ (xiii) makna (pengertian) budaya yang menentukan realita sosial. Sungguh begitu banyak yang terfokus pada praktek-praktek konsumsi dan identifikasi menjadi ‘berpusat pada proyek kajian budaya’ (xi) sehingga hanya beberapa orang saja yang sekadar berpendapat bahwa ‘kajian budaya dapat digambarkan … mungkin secara lebih akurat sebagai kajian ideologi’ (James Carey qtd. Dalam Storey xii). Fokus kajian budaya pada kekuatan penting dari wacana untuk menjelaskan realitas sosial telah mengalihkan perhatian kajian budaya dari hubungan sosial yang lebih luas terhadap produksi yang membentuk ideology dan konsumsi dan nyatanya juga menentukan kenyataan sosial, menjadi sebuah teori pasar tentang budaya yang meningkatkan ‘penggunaan’ secara berlebihan dan ‘penunjukan ulang’ komoditas budaya sehingga dalam melaksanakan hal ini perlu mengadakan perubahan bentuk subjek tenaga kerja (buruh) menjadi subjek konsumsi yang, jauh dari campur tangan ke dalam modal global, mendukungnya lewat hasrat ‘menahan’ dan aksi ‘menentang’ konsumsi.
Dengan kata lain kajian budaya bersandar pada asumsi bahwa konsumsi menentukan produksi daripada cara lain disekitarnya. Sehingga , ‘gaya hidup’ masyarakat (yang menjadi cara lain dalam menunjukkan komoditas yang mereka konsumsi dan bagaimana mereka mengkonsumsinya) dianggap lebih penting, dalam hal ini, daripada hubungan tenaga kerja yang harus mereka masuki sebagai kondisi awal yang dibutuhkan pada proses konsumsi. Pendapat semacam ini menyimpulkan bahwa penanda dan keyakinan yang menempatkan seseorang dalam budaya sebagai pria dan wanita, orang kulit hitam, bangsa Latin, homo, … merupakan faktor yang lebih penting yang menunjukkan identitas mereka.
Sehingga asumsi bahwa konsumsi lebih penting dibanding produksi yang secara tetap membentuk teori budaya sejak tahun 1960an telah menjadi pengertian umum baik pada teori budaya maupun budaya harian itu sendiri. Perubahan teknologi yang pesat pada beberapa dasawarsa terakhir ini telah mengubah sifat dasar budaya dan pertukaran budaya. Masyarakat di seluruh dunia dapat melakukan transaksi ekonomi dan saling mengirimkan informasi satu sama lain hampir sseketika itu juga dengan menggunakan komputer dan satelit komunikasi. Pemerintah dan perusahaan telah memperoleh kekuasaan besar lewat kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Perusahaan –perusahaan juga telah menciptakan sebuah bentuk budaya global berdasarkan pasar-pasar yang bersifat komersial di seluruh dunia.
Budaya lokal dan struktur sosial sekarang ini dibentuk dengan minat yang kuat dan luas, dengan cara-cara yang bahkan para ahli antropologipun belum pernah mampu membayangkannya. Ahli antropologi sebelumnya berpikir bahwa masyarakat dan budaya mereka merupakan sistem yang benar-benar berdiri sendiri. Namun sekarang, banyak bangsa yang menjadi masyarakat multi budaya, yang terdiri atas berbagai subkultur (subbudaya) yang lebih kecil. Budaya juga melintasi batasan Negara. Misalnya, orang-orang di seluruh dunia saat ini tahu beebagai kata-kata dalam bahasa Inggris dan berhubungan dengan ekspor budaya Negara Amerika seperti merk pakaian dan produk tenologi, film maupun music, serta makanan yang diproduksi besar-besaran.
Banyak ahli antropologi menjadi tertarik pada bagaimana masyarakat yang dominan dapat membentuk budaya masyarakat yang hanya memiliki sedikit kekuasaan, sebuah proses yang oleh beberapa peneliti disebut sebagai hegemoni budaya. Saat ini banyak ahli antropologi secara terbuka berusaha menentang kekuasaan masyarakat dunia yang dominan, seperti pemerintah Uni Soviet dan perusahaan- perusahaan besar, untuk membuat masyarakat lebih kecil yang unik dengan mengangkat budaya komersial bangsa Barat.
Industri Budaya
Horkheimer dan Adorno (1976) berpendapat bahwa gagasan budaya saat ini telah berkembang menjadi industri yang aktif, yang berkembang sesuai dengan tren ekonomi. Mereka khususnya mengamati bahwa produksi barang secara besar-besaran merupakan sebuah sarana kepuasan terhadap kebutuhan yang akibatnya memberikan kendali kekuasaan terpusat dan manipulasi terhadap seseorang. Penggandaan pilihan yang disediakan bagi konsumen memperkuat suatu keyakinan bahwa tiap-tiap kebutuhan dapat dipenuhi (dipuaskan) dengan sebuah produk tertentu, dengan menciptakan sebuah kesadaran produsen untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan konsumen melalui produk mereka. Produksi barang dalam jumlah besar diterjemahkan menjadi produksi ide besar-besaran, yang membuat budaya hanya sebagai sebuah industri yang menyokong perkembangan ideologi-ideologi orang-orang yang memegang kekuasaan atasnya. Horkheimer dan Adorno (1976) menggambarkan pemberian label atas gagasan-gagasan melalui paham konsumeris ini sebagai industri budaya. Proses terjadinya hal ini ditandai dengan beberapa faktor, yang kesemuanya menyatakan bahwa seseorang tidak memiliki kuasa, namun hanya sedikit berkuasa, sedang beberapa pemimpin menjadi makin berkuasa.
Industri budaya memiliki ciri utama sebagai sebuah monopoli; kendali atas pilihan konsumen jatuh di tangan kaum minor, kekuasaan terpusat. Secara ekonomis, kekuasaan ini dikenal sebagai elit perusahaan. Proses pembuatan makna, gagasan dan kesadaran melalui ketersediaan produk dan paham konsumeris produk mencerminkan minat pasar terhadap perusahaan. Dalam hal teknologi sebagai sarana dimana industri budaya berkembang sendiri, Horkheimer dan Adorno (1976) menyatakan ‘dasar dari pernyataan bahwa teknologi berkuasa atas masyarakat adalah orang-orang yang berkuasa atas masyarakat, kemampuan ekonominya paling besar’.[9] Penciptaan dan perluasan industri budaya ditentukan oleh kekuatan secara ekonomi. Selain itu, produk yang tersedia juga ditentukan oleh sedikitnya pilihan. Holzer (2006)[10] membantah bahwa keyakinan konsumen pada diri sendiri berpengaruh terhadap produk yang tersedia di pasar, namun kenyataan yang nampak hanyalah diabadikan oleh kekuatan secara politis demi mempertahankan ilusi bahwa seseorang juga berpengaruh. Holzer menyatakan “konsumen pada akhirnya hanya mempunyai ‘hubungan sekunder’ dengan barang dan jasa yang mereka beli. Para konsumen bergantung pada orang lain yang menghasilkan komoditas untuk mereka – dan oleh karenanya bergantung pada pilihan yang dibuat oleh produsen” (hal. 405). Konsumen secara relatif tidak memiliki kuasa ketika dibandingkan dengan orang-orang yang benar-benar menghasilkan produk.
Yang kedua, industri budaya memiliki ciri adanya produksi komoditas, yang berperan sebagai ungkapan atau perwakilan atas realita bagi konsumen. Seseorang menjadi pakar atau ahli minuman anggur atau opera juga seni kontemporer bukan karena tiap hal ini memperkaya dan memperluas cita rasa dan kepandaian mereka, namun lebih pada minat terhadap budaya yang mengesahkan sebuah gaya hidup tertentu yang dipandang sebagai hal yang sangat diinginkan. Horkheimer dan Adorno (1976) menjelaskan lebih lanjut tentang poin ini:
Yang disebut dengan menggunakan nilai dalam menangkap komoditas budaya digantikan oleh pertukaran nilai; pada posisi kenikmatan, terdapat kunjungan galeri dan pengetahuan sesungguhnya: orang yang mengagungkan gengsi menggantikan pakar. Konsumen menjadi ideology industri plesir, yang kelembagaannya tidak bisa terelakkan. Budaya dan paham konsumeris dikawinkan menjadi sebuah proses, dimana komoditas memegang nilai hanya untuk perluasan bahwa komoditas tersebut mengesahkan status yang diinginkan oleh konsumen. Budaya popular sama dengan sebuah pabrik yang menghasilkan barang-barang budaya berstandard untuk memanipulasi rakyat menuju kepasifan; kenikmatan yang mudah dan tersedia lewat konsumsi budaya popular membuat rakyat menjadi patuh dan puas, tak peduli bagaimana sulitnya keadaan ekonomi mereka. Horkheimer dan Adorno melihat budaya yang diproduksi secara besar-besaran ini sebagai berbahaya bagi seni budaya yang sedikit lebih tinggi dan sulit. Industri budaya dapat meyebabkan adanya kebutuhan yang salah, yaitu kebutuhan yang dibuat dan dipuaskan oleh paham kapitalis. Kebutuhan yang sebenarnya, sebaliknya, adalah kebutuhan akan kebebasan, kreativitas atau kebahagiaan sejati.
Masyarakat disuguhi dengan ilusi sehingga budaya dan pilihan konsumen dikawinkan menjadi kesatuan tak terpisahkan dan akibatnya paham konsumeris melambangkan peluang untuk melatih paham individualis yang sesungguhnya. Kenyataan ini diamati di hampir semua situasi dimana sebuah produk berada. Google memberi contoh bagaimana pilihan seseorang dapat menciptakan aura individualitas sambil tetap menyokong kekuasaan terpusat sebuah perusahaan. Dan ketika iklan berusaha mengesahkan identitas budaya, iklan ini pun hampir tidak mungkin mampu dicurigai sebagai usaha mempromosikan agenda penganut paham fasis.
Kajian Budaya (Cultural Studies
Pada model ‘Kajian Budaya’, “budaya” merupakan sebuah bidang perselisihan dan persaingan kekuatan yang berasal dari ketidaksimetrisan bentuk kekuasaan, modal dan nilai. Kajian Budaya sebagai ilmu akademis telah dituduh sebagai proses mendematerialisasikan atau mengelompokkan isi media untuk membuat pesan politis dan ideologis menjadi objektif demi kepentingan analisis. Pendekatan ini seringkali selanjutnya dijadikan ciri sebagai sebuah ‘akibat’ model analisis yang berfokus pada mekanisme para penganut paham kapitalis dan badan hukum terhadap penguasaan dan biasanya mengabaikan perantara dan aktivitas individu, kelompok dan cabang budaya yang berperan sebagai penerima dan pengguna media.
Pendekatan “Marxisme Budaya”-nya Stuart Hall membangun model yang lebih kompleks berdasarkan perluasan teori hegemoni, ekonomi sosial memproses “persetujuan perusahaan” diantara kelas-kelas yang lebih rendah (masyarakat “mampu-tidak mampu” atau “mampu-kurang mampu” ) untuk menerima pandangan yang dikembangkan oleh kelas-kelas berpemilikan (masyarakat mampu).
Menurut pandangan kajian budaya, media massa dan komunikasi khususnya membuat sandi (secara implicit pada awalnya dianggap sebagai konteks untuk makna) atas sebuah ideologi dominan yang dapat diterima masyarakat. Media akibatnya secara ideologis diberi kode sehingga memaksimalkan persetujuan kehendak konsumen dan kaun yang “mampu-tidak mampu” untuk “bertahan pada program ini” dan mengabadikan status quo dari distribusi kemakmuran dan kekuasaan.
Hegemoni ideology yang melindungi kelas yang memimpin dan berkepemilikan bukanlah masalah dari kekuatan, kekerasan atau manipulasi yang sengaja nampak. Hal ini berfungsi sangat baik karena hegemoni ini berdasarkan pada persetujuan kehendak dari orang-orang yang kurang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menerima sebuah ideology yang dominan, demi melihat dunia dan berperilaku berdasarkan pandangan di atas.
Contoh-contoh ideologi umum yang beredar di media dan melindungi kekuatan hegemonis:
- Kebebasan berbicara (sebagai sebuah keyakinan, saat beberapa orang memiliki kekuasaan atas apa yang mereka suarakan)
- Individualitas (bagus untuk pemasaran, karena paham konsumeris membutuhkan presentasi berkelanjutan atas pilihan maupun identitas serta kebutuhan personal yang unik untuk melihat dan membeli seperti halnya orang lain dalam sebuah kelompok identitas)
- Kebebasan memilih (bagian dari keyakinan perseorangan, juga gagasan utama dalam pemasaran dan budaya konsumen: ideologi tempat belanja).
Menurut pandangan hegemoni dan budaya, perilaku sosial sangat ditentukan oleh faktor-faktor identitas gandaseperti ras, kelas sosial, jenis kelamin dan kebangsaan, yang dilambangkan dalam hirarkis kekuasaan, kepentingan dan nilai ekonomis. Namun Hall dan pengamat lain seperti Dick Hebidge menunjukkan bahwa orang-orang memiliki banyak strategi berhubungan dengan keinginan media: bekerja dalam kode dominan, menggunakan sebuah kode yang dapat dirundingkan (meski menerima namun mengubah makna berdasarkan posisi penonton maupun komunitas penonton tersebut), atau mengganti kode yang berlawanan (dengan menggunakan kesadaran kritis, memusnahkan hal-hal yang membingungkan, ironis, subversi, drama, parody, seperti sampling DJ). Dalam hal ini, banyak cabang budaya dibentuk di sekitar kelompok yang menggunakan media, gambar dan musik yang menciptakan identitas dan perbedaan dari pendapat umum atau budaya yang dominan.
Wilayah yang mungkin bagi Kajian Budaya/Budaya Populer/Budaya Kota:
- Subkultur (subculture)
- Gaya (style)
- Budaya mode (fashion)
- Budaya Berbelanja (shopping culture)
- Budaya Selebritis dan Penggemar (celebrity and fandom)
- Budaya Cyber (dunia maya) dan Paham Cyborgis (cyber culture and cyborgism)
- Budaya dan Teknologi
- Budaya Remaja
Semakin susah sesuatu diproduksi ulang, maka sesuatu itu akan semakin dipuja dan dipertahankan. Sebagaimana budaya yang digunakan oleh paham kapitalis untuk mengendalikan kesadaran individu, oleh sebab itu budaya tersebut benar-benar di’industrialisasi’kan dan dijadikan komoditas. Seni dulu juga pernah dijadikan sebagai komoditas, menurut paham kapitalis seni secara keseluruhan dijadikan komoditas, dan seringkali sukses dengan mengumpulkan dan memanipulasi hasrat.
Daftar Pustaka
1. P. Adams and and E. Cowie, The Women in Question, Cambridge, USA, MIT Press, 1993.
2. Butler, Bodies that Matter: On The Discursive Limits of Sex, New York, Routledge, 1993.
3. Gilroy, Paul, Ain't No Black in the Union Jack: The Cultural Politics of Race and Nation, Chicago, The University of Chicago Press, 1987.
4. Laurence Grossberg et al. (eds.), Cultural Studies, New York, Routledge, 1992
5. Hall, Stuart. "Notes on Deconstructing 'the Popular'." People's History and Socialist Theory. Ed. Raphael Samuel. London: Routledge, 1981.
6. Hall Stuart et al., Policing the Crisis: Mugging, the State and Law and Order, London, McMillan, 1978.
7. Holzer, B. International Journal of Consumer Studies, 30, 405-415, 2006.
8. Horkheimer, M., & Adorno, T. W. The culture industry: Enlightenment as mass deception (J. Cumming, Trans.). In Dialectic of enlightenment (p. 120-167). New York: Continuum International Publishing Group, 1976.
9. Lotman, Juri, Universe of the Mind: A Semiotic Theory of Culture. (Translated by Ann Shukman, introduction by Umberto Eco). London & New York: I. B. Tauris & Co Ltd, 1990.
10. Lotman Jurij M.; Uspenskij B.A.; Ivanov, V.V.; Toporov, V.N. and Pjatigorskij, A.M. 1975. “Theses on the Semiotic Study of Cultures (as Applied to Slavic Texts)” in Sebeok Thomas A. (ed.), The Tell-Tale Sign: A Survey of Semiotics. Lisse (Netherlands): Peter de Ridder, 1975.
11. Nixon, Sean, Hard Looks: Masculinities, Spectatorship and contemporary Consumption, London, UCL Press, 1996.
12. Storey, John. Cultural Theory And Popular Culture: A Reader. Atlanta: U of Georgia P, 1998.
[1] Juri Lotman, Universe of the Mind: A Semiotic Theory of Culture. (Translated by Ann Shukman, introduction by Umberto Eco). London & New York: I. B. Tauris & Co Ltd, 1990, p. xiii. See also, Lotman Jurij M.; Uspenskij B.A.; Ivanov, V.V.; Toporov, V.N. and Pjatigorskij, A.M. 1975. “Theses on the Semiotic Study of Cultures (as Applied to Slavic Texts)” in Sebeok Thomas A. (ed.), The Tell-Tale Sign: A Survey of Semiotics. Lisse (Netherlands): Peter de Ridder, 1975, pp. 57–84.
[2] See, for example, Stuart Hall et al., Policing the Crisis, 1978.
[3] See Sean Nixon, Hard Looks, 1996.
[4] See Laurence Grossberg et al. (eds.), Cultural Studies, 1992.
[5] See Ain't No Black in the Union Jack, 1987.
[6] See P. Adams and and E. Cowie, The Women in Question, 1993; and Judith Butler, Bodies that Matter, 1993.
[7] Hall, Stuart. "Notes on Deconstructing 'the Popular'." People's History and Socialist Theory. Ed. Raphael Samuel. London: Routledge, 1981.
[8] Storey, John. Cultural Theory And Popular Culture: A Reader. Atlanta: U of Georgia P, 1998.
[9] Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (1976). The culture industry: Enlightenment as mass deception (J. Cumming, Trans.). In Dialectic of enlightenment (p. 120-167). New York: Continuum International Publishing Group.
[10] Holzer, B. (2006). Political consumerism between individual choice and collective action: Social movements, role mobilization and signaling. International Journal of Consumer Studies, 30, 405-415
0 komentar:
Posting Komentar