pada hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun menurut mereka pembahasan agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini seperti dalam pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada sebab-sebabnya sesuatu.[9]
Diantara para filosof diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.[10]
Selain itu menurut beliau, bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan.[11]
B. Konstribusi Filsafat Terhadap Dunia Islam
Walau filsafat diperselisihkan dalam dunia Islam, akan tetapi filsafat memberikan sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam kerja pikiran kemanusiaan dan mempunyai tempat sendiri dalam dunia Islam.
Sebagai mana arti dalam filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu yang membicarakan keberadaan Tuhan, maka filsafat sangat dibutuhkan dalam dunia Islam karena kebanyakan filsafat menggunakan argumentasi akal yang tentunya bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama dan filsafat dapat dikerjakan dengan dua cara: Pertama, dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran filsafat yang telah terurai. Contohnya dapat didapati dalam buku Fushus-Ul-hikam (permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan agama) dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat, atau dengan perkataan lain penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[12]
Karena filsafat ini adalah ilmu yang lahir di dunia Islam tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi ajaran Islam sendiri telah memberikan motivasi yang kuat terhadap perkembangan filsafat. Maka ilmu disini disebut sebagai filsafat Islam. Selain dapat melahirkan filsafat Islam di kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga melahirkan filosof-filosof besar Islam, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang dapat mengembangkan keintelektualan di Dunia Islam.
Akan tetapi, walau konstribudi filsafat terhadap Dunia Islam tidak bisa diremehkan. Agama yang akhirnya menjadi barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng dari kebenaran.
C. Pendapat Sebagian Filosof Yang Menyetujuai Pemaduan Agama Dan Filsafat
Semangat pemaduan sebagai jalan tengah yang dilakukan oleh filosof-filosof Islam dalam mempertemukan antara agama yang dipercayai kebenarannya, dengan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil pikiran semata. Hal seperti ini dapat diwakili oleh pandangan Al-Kindi dan Ibnu Rusyd sebagaimana berikut:
1. Al-Kindi
Al-kindi mempertemukan agama dan filsafat atas dasar pertimbangan bahwa filsafat ialah ilmu tentang kebenaran dan agama juga adalah ilmu tentang kebenaran pula, oleh kerana itu maka tidak ada perbedaan antara keduanya.
Menurutnya, kita tidak boleh malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari manapun datangnya, meskipun datang dari bangsa lain. Karena tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Memang kadang-kadang terdapat perlawanan dalam lahirnya, antara hasil-hasil pemikiran filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, yang menyebabkan filsafat ditentang. Pemecahan Al-Kindi dalam soal ini adalah bahwa kata-kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai arti yang sebenarnya (hakiki) dan arti mazasi (kiasan) yang dilakukan dengan jalan takwil (penafsiran) dengan syarat dilakukan oleh ahli agama dan ahli pikir.
Sesuai dengan pendiriannya bahwa filsafat harus dimiliki, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.[13]
2. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mengadakan pemaduan antara agama dan filsafat, karena sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi Aristoteles, ia harus membalas serangan yang dilakukan oleh Al-Ghozali dalam bukunya Tahafuth Al-Falasifah. Yang berisi serangan pedas terhadap para filsafat dan filosof sebelumnya.
Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut, ia menguraikan empat persoalan. Pertama, keharusan berfilsafat menurut syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengerian bathin, serta keharusan takwil. Ketiga, aturan-aturan takwil. Keempat, pertalian akal dan wahyu.
a. Pertama, Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat tidak lebih daripada mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan zat yang membuatnya. Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan demikian, antara lain dalam surah Al-A’raf, ayat 185: ”Apakah mereka tidak memikirkan tentang (Yandhuru Fi) alam langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?”. Juga dalam surah Al-Hasjr ayat 2, disebutkan sebagai berikut: ”Hendaknya kamu mengambil ibarat (I’tibar, mengadakan qias = sillogisme), wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Ayat terakhir ini dengan jelas mengharuskan kita untuk mengambil qias-aqli (silogisme) yaitu pengambilan suatu hukum yang belum diketahui dari sesuatu hukum yang sudah diketahui (maklum) yang intinya harus mengarahkan pandangan pada alam wujud ini dengan qias-aqli. Karena itu penyelidikan yang bersifat filosofis menjadi suatu kewajiban.
b. Kedua, Keharusan Takwil
Filosof-filosof Islam sepakat bahwa akal dan wahyu kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi dalam Qur’an maupun Hadits banyak nash-nash yang menurut lahirnya berlawanan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash itu bisa ditakwilkan sepanjang aturan-aturan takwil dalam bahasa Arab, seperti halnya kata-kata dari syara’ bisa ditakwilkan pula dari segi aturan fiqih. Penafsiran (penakwilan) semacam ini dipakai juga oleh ulama-ulama fiqih dan ulama-ulama filsafat.
c. Ketiga, Aturan-aturan Takwil.
Setelah menjelaskan tentang keharusan takwil di atas Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan takwil, yaitu: pertama, setiap orang harus menerima dasar-dasar (prinsip-prinsip) syara’ dan mengikutinya. Kedua, yang berhak melakukan takwil hanya golongan filosof semata, bahkan filosof-filosof tertentu saja yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ketiga, hasil penakwilan hanya bisa dikemukakan pada golongan pemakai qias Burhani, jelasnya filosof-filosof, bukan kepada orang awam, karena orang awam tidak memahami penakwilan tersebut. Keempat, diperbolehkannya Menjelaskan hasil penakwilan kepada orang-orang awam, karena adanya keadaan yang memaksa yaitu dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan pada penyebaran hasil-hasil penakwilan sebelumnya.
Kelima, kedudukan wahyu dan pertalian dengan akal
Ibnu Rusyd menganggap bahwa wahyu sebagai suatu keharusan untuk semua orang dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran yang berada di bawah kekuatan wahyu.[14]
D. Faktor-Faktor Pendorong Pemaduan Filsafat Dan Dunia Islam
Selain tanggapan yang diberikan oleh Al-Kindi dan Ibnu Rusyd dalam masalah pemaduan filsafat dan dunia Islam, ada beberapa faktor yang mendorong filosof Islam untuk memadukan keduanya yaitu:
- adana jurang pemisah antara Islam dengan Filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya,tentang persoalan baru atau khodimnya alam, hubungan alam dan Tuhan dan lain-lain.
- Banyaknya serangan yang dilakukan oleh tokoh agama terhadap pikiran-pikiran filsafat, yang kadangkala menimbulkan tekanan-tekanan oleh rakyat dan penguasa pada ahli-ahli pikir, yang sebenarnya tidak membawa hasil yang sesuai dengan akidah agama.
- Adanya hasrat para filosof untuk menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan itu agar bisa hidup tenang dan tidak terlalu nampak perlawanannya kepada agama.[15]
0 komentar:
Posting Komentar