PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PUTUSAN
Pendahuluan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Akibat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dilakukan perubahan secara komprehensif dengan dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung maka diatur dalam ketentuan peralihan.
Selain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman diatur dalam beberapa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001 membawa konsekuensi harus dibentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Mahkamah Konstitusi (MK) sejak periode Nopember 2003 sampai dengan Maret 2007 telah memutuskan 16 permohonan judicial review Undang-Undang yang terkait dengan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Keenam belas Putusan MK tersebut adalah sebagai berikut:
- Pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap Undang Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Bab VI Pasal 36 Ayat (1), (2), (3), (4) dan Pasal 11 Ayat (4) terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 ayat (1) Tentang Pengadilan HAM terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, khususnya Pasal 36 menyangkut Penasehat hukum terhadap Undang-Undang Nomor18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 12 terhadap UUD 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
- Pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim MK sangat bervariasi mulai dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak, hingga tidak dapat diterima. Tentunya putusan MK tersebut berimplikasi yuridis dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman disini adalah sebagaimana dimaksud dalam BAB IX Pasal 24 UUD 1945 berikut peraturan perundang-undangan organiknya yang menjadi dasar pengaturan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.
Pembahasan
Telaah yang mendalam tentang implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah sangat berguna untuk merekonstruksi kekuasaan kehakiman berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dibangun dari proses identifikasi tingkat konsistensi antar isi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dengan demikian diharapkan akan diperoleh manfaat praktis bagi pemecahan masalah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di bidang kekuasaan kehakiman. Selain itu diharapkan pula dapat membangun sistem ketatanegaraan yang mampu menciptakan checks and balances system demi pengembangan penegakan sepremasi hukum.
Implikasi putusan MK yang cukup mendasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya telah menimbulkan persoalan baru yaitu polemik mengenai pengadilan korupsi di masa depan. Dalam Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dinyatakan bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Pemohon mendalilkan, jika ketentuan Pasal 1 Angka 3 dihubungkan dengan Pasal 53 UU KPK dan konsiderans UU KPK huruf b yang menyatakan, “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”, maka undang-undang a quo telah menempatkan Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan fungsi eksekutif, bukan bagian dari kekuasaan yudikatif. Dengan demikian, menurut Pemohon, Pengadilan Tipikor sulit diharapkan dapat menjalankan fungsinya secara merdeka, mandiri dan imparsial. Jika memang Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan yudikatif, ia seharusnya dibentuk dengan undang-undang yang terpisah dari undang-undang yang mengatur tentang suatu lembaga negara tertentu, sebagaimana yang berlaku selama ini. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat: pertama, bahwa pelaku kekuasaan kehakiman, menurut Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, adalah sebuah Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan yang berada di empat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung) dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Kedua, bahwa badan-badan peradilan dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 adalah badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Keempat, bahwa dengan demikian pula, pembentukan pengadilan-pengadilan khusus, sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, dimungkinkan. Kelima, bahwa selanjutnya, Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Pengertian frasa “diatur dengan undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 tersebut berarti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi dari Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut berbunyi, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang“. Penjelasan ayat tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Meskipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dibuat lebih kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah tercantum dalam Pasal 10 Ayat (1) (beserta Penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bunyi ketentuan Pasal 10 Ayat (1) tersebut adalah, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.” Sementara itu, Penjelasannya berbunyi, “Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.” Di samping itu, frasa yang berbunyi “diatur dengan undang-undang” yang tersebut dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 juga berarti bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain selain undang-undang.
Dengan demikian maka Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian MK memandang bahwa peralihan dampak hukum dari putusan harus smoot/halus sehingga diputuskan bahwa Pasal 53 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan diucapkan.
Berdasarkan Putusan MK atas Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, struktur lembaga kekuasaan kehakiman di Indoesia telah berubah.
Draft sementara dari Tim Perumus Undang-Undang Pemberantasan Korupsi justru bisa berimplikasi pada hilangnya pengadilan khusus korupsi sebagaimana kita kenal sekarang. Begitu pula eksistensi hakim ad hoc korupsi. Pada gilirannya juga memandulkan fungsi KPK. Wajar saja, jika putusan MK mengenai hal ini diwarnai perbedaan persepsi.
Ada yang berpendapat, putusan ini membuat eksistensi Pengadilan Korupsi dan KPK (bahkan eksistensi pemberantasan korupsi) terancam. Karena jika dalam waktu tiga tahun pemerintah dan DPR gagal melahirkan Undang-Undang Pengadilan Korupsi maka perkara korupsi akan diadili di pengadilan biasa, yang selama ini telah melahirkan putusan-putusan kontroversial. Itu berarti pada 19 Desember 2009 sudah harus ada Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang menyatukan sistem peradilan tindak pidana korupsi. Jika pada tanggal itu tak terbentuk, Pengadilan Tipikor yang ada sekarang kehilangan dasar hukumnya. Akibat lanjutan jika pengadilan korupsi hilang karena tidak adanya Undang-Undang Pengadilan Korupsi maka ketajaman KPK dalam memberantas korupsi pun akan hilang. KPK lebih banyak akan bertindak secara preventif dan melakukan pendidikan anti korupsi dan sebagainya. Justru tindakan represif dari KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi ke pengadilan korupsi lah yang selama ini menjadi pusat apresiasi masyarakat. Sementara itu, mungkin ada pandangan berbeda yang menyatakan, putusan MK menimbulkan ketidakpastian dimana di satu sisi pengadilan Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi putusannya tidak langsung berlaku dan masih memberi kesempatan tiga tahun lagi. (Topo Santoso: 2007)
Putusan lain misalnya tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya pasal 16 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Bunyi pasal 16, "Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau belum jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. Menurut pemohon, hal ini berakibat putusan peradilan menjadi tidak konsisten dan menyebabkan ketidakpastian hukum, khususnya terhadap kasus yang menimpa kliennya. Namun Mahkamah Kontitusi berpendapat pasal tersebut tidak bertentangan sama sekali dengan jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum. Sebaliknya asas ini justru mengukuhkan pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, seperti yang termuat dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Bila memang pemohon dirugikan dengan putusan peradilan bukan karena berlakunya pasal 16, melainkan perbedaan penafsiran dan penerapan hukum yang dilakukan peradilan sehingga tidak terbukti adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan.
Dalam Putusan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menetapkan undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga telah menghambat konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945 dan merugikan hak konstitusi Pemohon dalam memperjuangkan hak untuk memajukan diri secara kolektif membangun masyarakat, bangsa dan negara dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah, maka Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD RI 1945. Apabila tetap konsisten berpegang pada Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, akan tercipta tolak ukur ganda dalam sistem hukum Indonesia dengan tetap membiarkan berlaku sahnya suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 in casu Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 yang berbunyi “dengan undang-undang ini ditetapkan adanya satu Kamar Dagang dan Industri yang merupakan wadah bagi pengusaha Indonesia baik yang tidak bergabung maupun yang bergabung dalam organisasi pengusaha dan/atau organisasi perusahaan”, yang jelas-jelas merugikan hak konstitusi Pemohon beserta puluhan ribu anggota untuk membentuk organisasi yang sebanding dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia tersebut. Namun demikian MK menolak permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3346).
Berdasarkan putusan tersebut maka telah terjadi perluasan kewenangan salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 dinyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 2004 sebagai perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa: "Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris" diangap bertentangan dengan ketentuan, semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 24 ayat (1) dan (3). Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan". Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan:"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Didalilkan Pemohon, Ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud seharusnya dengan berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai undang-undang yang khusus di mana isinya kontradiktif. Artinya ada dua badan yang melakukan pengawasan terhadap Advokat. Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 khusus pada Pasal 36 beserta Penjelasannya (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985) yang sama sekali tidak dirubah, sehingga masih tetap berlaku ketentuan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris” di satu pihak, sedangkan menurut Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan Organisasi Advokat. Bahwa dengan adanya dua badan pengawasan yang diatur dengan undang-undang yang berlainan terhadap suatu materi muatan ayat yang sama, maka timbullah dualisme hukum dan terjadinya pertentangan antara dua undang-undang yang berlaku. Akibatnya telah terjadi ketidakpastian hukum dalam pengawasan terhadap Pemohon dan Advokat umumnya.
Dengan demikian putusan-putusan Mahkamah Konstitusi khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dapat berimplikasi merubah konfigurasi pengaturan kehakiman sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan ada pula yang justru menguatkan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang ada.
Beberapa Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan tersebut tentunya perlu dipandang dalam konteks kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim.
Konsep yuridis “Kekuasaan kehakiman yang merdeka” secara konstitusional meliputi:
1. Larangan terhadap upaya campur tangan (intervensi) pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (termasuk eksekutif) kecuali campur tangan itu dibolehkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) secara limititatif menetapkan wewenang “intervensi” eksekutif terhadap urusan peradilan hanya menyangkut grasi, rehabilitasi, amnesti, serta abolisi. Wewenang ini disebut “Wewenang Pseudo Yudisial.” Dalam bentuk aturan hukum, konsepsi “Kekuasaan kehakiman yang merdeka” dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 1, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Dalam “Penjelasan” Pasal 1 a quo dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung pengertian “kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.” Untuk mengafirmasi ketentuan Pasal 1 a quo, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 mengancam setiap orang yang dengan sengaja mengintervensi kekuasaan kehakiman dengan ancaman pidana. (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (4)).
2. Pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu atap (one roof system)”.
Munculnya ide one roof system menurut Montesquieu untuk mencegah munculnya kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang. Montesquieu berpendapat setiap percampuran di satu tangan antara legislatif, eksekutif, dan yudisial dipastikan akan menimbulkan kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang. Untuk mencegah kesewenang-wenangan, badan (alat kelengkapan) organisasi negara harus dipisahkan satu sama lain. Yang satu independen terhadap yang lain. Implikasi yuridis pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu atap” adalah adanya borders (tapalbatas) terhadap wewenang cabang kekuasaan, oleh karena itu, hanya organ-organ kekuasaan kehakiman sajalah yang berhak melakukan tindakan-tindakan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Secara kontrario, tindakan organ eksekutif dalam proses penegakan hukum dan keadilan merupakan intervensi yang dilarang oleh konstitusi. (Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, halaman 120-121).
Menurut Jur. A. Hamzah dengan mengutip pendapat Paulus E. Lotulong, kekuasaan kehakiman merdeka atau independen itu sudah bersifat universal. Ketentuan universal yang terpenting ialah The Universal Declaration of Human Rights, Pasal 10 mengatakan:
"Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him. "
(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).
Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
"Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law."
(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberitakan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang).
UUD 1945 Ayat (1) sesudah amandemen ketiga berbunyi: "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan." Ayat (2) mengatakan:
"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."
Perbedaan dengan Pasal 24 lama ialah kekuasaan kehakiman yang merdeka sudah disebut dalam rumusan bukan hanya dalam penjelasan. Juga dirinci peradilan dibawah Mahkamah Agung, termasuk yang baru yaitu Mahkamah Konstitusi.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikuro menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut beliau hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati pembuatan undangundang tetapi tidak sama. Beliau berpendapat bahwa walaupun Ter Haar menyatakan isi hukum adat baru tercipta secara resmi dianggap ada apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama para hakim, ucapan Ter Haar itupun tidak dapat dianggap bahwa dengan putusan hakim dan lain penguasa itu terciptalah hukum adat, tetapi hanya merumuskan hukum adat itu.
Untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal (doktrin). Mengenai yurisprudensi, van Apeldoorn berpendapat sejajar dengan Wirjono Prodjodikuro tersebut di muka. Di negeri Belanda katanya, hakim tidak terikat kepada putusan hakim-hakim lain dan juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi. Apabila suatu peraturan dalam putusan hakim diterima secara tetap dan nyata menjadi keyakinan hukum umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk suatu yurisprudlensi tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan berdasarkan keputusan hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah laku hakim-hakim terciptalah keyakinan hukum umum. (Jur. A. Hamzah: 2003).
Menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya Pasal 24 UUD 1945 telah menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman berpuncak pada Mahkamah Agung yang merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Namun, dalam perjalanan, praktek kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu selalu dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah yang terpusat di tangan Presiden. Makin lama seorang Presiden berkuasa, makin kuat pengaruhnya terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita, sehingga prinsip ‘fair and impartial judiciary’ selalu gagal diwujudkan dalam kenyataan. Pemisahan unsur pembinaan acara peradilan di bawah Mahkamah Agung dan pembinaan administrasi peradilan di bawah Pemerintah (c.q. Departemen Kehakiman) terbukti telah menjadi salah satu penyebab utama meluasnya pengaruh pemerintah terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita. Karena itu, setelah reformasi dewasa ini, kita menegaskan prinsip kemandirian dan kemerdekaan hakim itu dalam wujud pengorganisasian kekuasaan kehakiman dalam satu atap pembinaan di bawah Mahkamah Agung. Prinsip demikian dikukuhkan dalam ketetapan MPR tahun 1999 dan kemudian ditegaskan kembali dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sejak itu, resmilah sistem kekuasaan kehakiman kita mandiri dan merdeka. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, pengawasan dan kontrol politik terhadap kekuasaan kehakiman juga ditingkatkan untuk mengatasi jangan sampai kemandirian kekuasaan kehakiman itu justru dimanfaatkan untuk melanggengkan praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di lingkungan peradilan pada umumnya.
0 komentar:
Posting Komentar