Nilai Kultural Sejarah perkembangan kultur pedesaan Jawa ditandai oleh konflik-konflik keagamaan, politik, dan ekonomi pada kurun abad ke XV-XVI. pada masa itu, konflik-konflik atas dasar keagamaan menjadi unsur utama, yang kemudian memicu konflik-konflik yang lebih keras dengan kesan persaingan politik dan ekonomi.
Konflik-konflik keagamaan yang diselubungi oleh persaingan politik dan ekonomi itu dapat diamati dari terbentuknya struktur sosial yang digambarkan dalam berbagai konfigurasi dalam suatu proses kontinum yang berkepanjangan, sejak awal penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Soemarsaid Moertono (1985), dalam penjelasannya tentang pembagian wilayah kerajaan di Jawa pada masa Kerajaan Mataram II, membagi wilayah kekuasaan menjadi tiga golongan: nagara (ibukota) dan nagaragung (daerah inti), mancanagara dan pesisir, serta tanah sabrang (seberang laut). Konfigurasi ini, menurut Soemarsaid pula, sesuai dengan pandangan Veth (1875-1907) dan Selosoemardjan (1962) yang menyatakan bahwa negara-negara Jawa direncanakan menurut lingkaran konsentris.
Di sisi yang lain, fakta sejarah membuktikan bahwa lingkaran konsentris kekuasaan Jawa itu mengandung pula di dalamnya kutub pertentangan kultural, yakni nagara dan nagaragung di satu pihak, serta kawasan pesisir dan tanah sabrang di pihak yang lain. Graaf dan Pegeaud (1986), dengan lebih spesifik, membagi struktur sosial komunitas Jawa itu ke dalam dua perbedaan demografis yang mencolok, yakni "orang Jawa pedalaman" dan "orang Jawa pantai". Menurut kedua sejarawan ini, sudah sejak zaman dulu ada perbedaan sifat antara "orang Jawa pesisir" dan "orang Jawa pedalaman". Kedu a sifat yang berbeda ini, selain ditandai oleh perbedaan kultur ekonomi, juga didasari dan diaksentuasi oleh perbedaan penghayatan dan pengamalan religi dari kedua belah pihak.
Sejak awal penyebaran agama Islam di Pulau Jawa melalui pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, pihak penguasa pesisir merasa dirinya jauh lebih tinggi daripada penguasa daerah pedalaman. Orang-orang pesisir kerapkali menggunakan kata "kafir" untuk menunjuk ciri penting orang pedalaman, dalam kedudukan kepercayaan mereka. Sebaliknya, orang-orang pedalaman merasa sangat tidak senang terhadap ungkapan stereotip itu, di samping iri hati kepada tetangganya yang kaya di pantai utara (Graaf dan Pigeaud, 1986).
Semua itu terjadi sebagai akibat proses islamisasi yang gencar sepanjang abad XVI. Proses islamisasi ini juga diikuti oleh tumbuhnya enclave budaya ekonomi, sebagaimana Robert Redfield telah menggunakan istilah great community tradition, atau dengan istilah lain, dimensi kebudayaan yang lebih tinggi, berdampingan dengan dimensi kebudayaan yang lebih rendah (lihat Redfield, 1985). Di dalam dimensi kebudayaan yang lebih tinggi, dengan unsur-unsur budaya ekonomi perdagangan itu, melekat elemen-elemen kultural Islam, yang menganggap dirinya lebih maju dan modern daripada dimensi kebudayaan pedalaman, yang berintikan kultur pertanian dan mistik sinkretik yang tradisional.
Pertentangan antara golongan puritan dan sinkretik, dengan demikian, merupakan mainstream dalam proses kontinum perkembangan kultural di dalam masyarakat Jawa. Proses ini merupakan dialog panjang yang berlangsung dengan sangat ketat, dan bahkan diwarnai oleh berbagai konflik yang tajam antara kedua belah pihak sejak proses islamisasi itu dimulai. Proses dialog yang melelahkan ini, seperti dikemukakan Taufik Abdullah (1993), sangat berbeda dengan mekanisme dari pola integratif dalam sisinya yang lain, sebagaimana misalnya dilalui oleh proses penyebaran Islam di Aceh.
Penelitian yang dilakukan oleh Djoko Surjo dan kawan-kawan di tahun 1992-1993, yang dasar analisisnya menggunakan perspektif Taufik Abdullah dimaksud, berhasil melakukan evaluasi dan merinci dua outcomes dari tiga pola penyebaran Islam di Nusantara, yakni masing-masing Pasai, Malaka, dan Jawa, menjadi lebih bervariasi dan kompleks. Di samping membantu pemahaman yang lebih rinci, hasil penelitian ini tetap mengukuhkan bahwa proses penyebaran Islam di Pulau Jawa (sebagaimana juga dialami oleh proses penyebaran Islam di Pulau Lombok) telah mengalami suatu pergulatan panjang, dan dipenuhi oleh konflik yang belum kunjung berakhir dengan tuntas sampai akhir abad XX ini (baca juga Woodward, 1989).
Diperkirakan, konflik-konflik politik dan ekonomi kemudian berkembang menjadi konflik kultural, melalui diskursus-diskursus dan debat-debat yang berkepanjangan, antara kaum sufi sinkretik dengan kaum ulama syariat. Konflik kultural ini dapat diamati, misalnya melalui debat legendaris antara Ketib Anom dengan Kiai Haji Mutamaqin, atau debat antara murid Sunan Kalijaga, Syekh Dumba dengan murid Syekh Siti Jenar, Ki Canthula (R. Sastrawidjaja, 1958).]
Konflik-konflik kultural inilah yang diperkirakan telah melahirkan dan kemudian mengembangkan dikotomi santri dan abangan sebagai hasil proses pertentangan antara golonga puritan dan sinkretik di abad-abad XVIII-XIX. Di dalam abad XIX, pesantren berkembang menjadi pusat kegiatan politik, yang untuk sementara, hal ini mampu melupakan diskursus dan debat pertentangan dalam konflik santri-abangan. Namun, perkembangan baru ini ternyata justru memperkuat basis Islam di pedalaman. Dalam proses pergeseran konflik ini, terjadi suatu perubahan penting, yakni kekuatan Islam di pesisir yang sebelumnya berfungsi sebagai pusat, kemudian bergeser lebih ke arah pedalaman. Sementara, penjajah Belanda dengan sistem beambtenstaat melakukan proses sentralisasi kekuatan politik Islam pesisir itu, ke dalam suatu kekuatan birokratik baru yang berpusat di Batavia (demikian pula mainstream baru yang lain, terbentuk dalam dikotomi kawasan vorstenlanden dan gubernemen).
Pergeseran (dan kemudian diferensiasi) konflik ini menjadi menarik karena dengan demikian, dikotomi santri-abangan, yang semula bercirikan geografis; yakni pesisir-pedalaman, kemudian menumbuhkan enclaves baru yang tidak bercirikan "pelapisan kultural' yang demikian itu. Penemuan Hefner (1990) mengenai tiga pelapisan kultural di kawasan Tengger, Pasuruan: lowlands, middlelands, dan highlands, bisa dikatakan masih merupakan sisa-sisa pelapisan kultural yang tertinggal dan telah untuk sementara menjadi artifaks kultural yang khas dan bersifat perkecualian.
Atas dasar uraian proses sejarah tersebut, studi ini memperoleh landasan yang kokoh untuk mendudukkan dikotomi santri-abangan, sebagai dua sisi dari nilai kultural yang masih terus-menerus melakukan proses dialog mereka. Pertumbuhan cultural enclaves dari masing-masing elemen tipologi ini, sebenarnya meletakkan posisi dikotomik itu justru menjadi lebih bersifat eksklusif dan tajam, untuk mengembangkan perbedaan-perbedaan di antara keduanya, berdasarkan keragaman kultural religi di dalam masyarakat pedesaan Jawa.
Di dalam buku The Religion of Java, yang sudah menjadi referensi keragaman nilai kultural religi di dalam masyarakat Jawa, Geertz membagi keragaman kultural religi itu ke dalam trikotomi abangan, santri, dan priyayi. Pembagian ini memasukkan tipe kultural priyayi yang telah mendapatkan bantahan dari berbagai pihak. Emmerson ('976) misalnya, melihat kelemahan trikotomi Geertz yang menggabungkan saja dua dimensi, yakni status dan religi. Bagi orang Jawa, menurut Emmerson, priyayi adalah kelas sosial. Di bawah golongan priyayi, bukan individu-individu abangan, tetapi 'wong cilik', yakni kelas yang lebih rendah. Di sebagian besar orang Jawa, abangan berkenaan dengan pandangan dan praktik religi Hiunduis-Budhis-Animis. Adapun sebaliknya, santri adalah muslim. Dalam konteks keislaman Jawa, Emmerson menyebut practicing muslim bagi santri dan lax muslim bagi abangan. Pandangan Emmerson ini sepenuhnya didukung oleh hasil penelitian Scweizher (1983), di duatu desa di Klaten yang justru tidak menemukan tipologi status sosial priyayi, sebagaimana dikenal di kota kecil Mojokuto. Desa, menurut Schweizer, lebih mengenal tipologi abangan dan santri sebagai dikotomi religi, daripada priyayi yang merupakan tipologi status sosial di kawasan lebih perkotaan (selanjutnya dapat diamati Koentjaraningrat, 1961; Sosrodihardjo, 1963; Kartodirdjo, 1966; Niel, 1967; Dhofier, 1978; Ricklefs, 1979; dan Bachtiar, 1981). Dengan demikian, pembagian nilai kultural religi orang Jawa ke dalam tipologi abangan dan santri suilt terbantahkan sebagai yang terasakan nyata adanya di dalam masyarakat Jawa. Menurut Geertz pula (1960), yang diperkuat oleh Emmerson (1976) dan Schweizer (1983), tipologi abangan dan santri, bahkan merupakan istilah dan penggolongan yang diterapkan oleh orang Jawa sendiri, dan juga didasarkan pada kesadaran diri mereka sendiri (lihat juga Feith, 1957).
Berdasarkan Geertz, nilai kultural abangan diartikan sebagai bentuk pengejawantahan perpaduan sinkretik antara nilai Animisme, Hinduisme, dan Islam, meskipun menurutnya lagi, tidak selamanya tradisi perpaduan sinkretik itu diikuti oleh segenap orang Jawa abangan. Tipe kultural abangan ini, terutama berada di dalam masyk Jawa yang hidup di desa-desa, khususnya yang bekerja sebagai petani.
Nilai kultural santri merupakan subtradisi yang berbeda dari nilai kultural abangan. Sebagian besar masyarakat santri sering dipertautkan dengan kalangan pedagang di kota-kota. Tetapi, tidak dapat dibantah bahwa elemen santri yang kuat terdapat di desa-desa, yakni petani yang lebih kaya memimpin para petani lainnya dalam suatu pendidikan agama yang ketat (lebih jauh amati Geertz, 1960; 1959; 1965). Dalam telaah Kuntowijoyo disebutkan, kalau budaya spiritual lahir dari kaum abangan, maka kesalehan simbolis dalam gerakan tarikat Islam berasal dari kaum santri (Kuntowijoyo, 1987).
Sesuatu yang sulit dibantah bahwa kedua tipe kultural itu merupakan dua sisi yang berbeda, baik dipandang dari luar konteks kultru itu maupun yang lebih pokok, dipandang dari sudut persepsi mereka sendiri (bandingkan Schweizer, 1983). Sangat disadari bahwa transformasi yang semakin cepat terjadi di pedesaan Jawa saat ini, telah mampu mengubah nilai kultural setempat. Sangat menarik untuk dipertanyakan bahwa selain modernisasi yang mengakibatkan transformasi, apakah kedua tipe kultural itu sekarang telah saling mengaliri dirinya dengan ciri-ciri simbolis yang selama ini mereka pertentangkan? Meskipun baru pada taraf common sense knowledge, dalam situasi demikian, mungkin terjadi proses pencairan sinkretisme lama, dan berkembangnya sinkretisme yang lebih baru, di antara kedua tipe kultural ini. Mengikuti proses sinkretisasi di Indonesia, pola sinkretisme ini dapat dibagi menjadi tahap-tahap berkesinambungan, sebagai proses sinkretisasi tahap satu dan dua. Dengan demikian, tahap yang lebih kemudian diramal sebagai proses sinkretisasi tahap ketiga, yang sekaligus merupakan rotasi dari kegiatan mistik dalam tasawuf, yang dimulai pada abad II Hijriyah (bandingkan Kamil Kartapradja, 1990).
Di kawasan abangan dewasa ini, diduga telah lebih mudah ditemukan bangunan fisik peribadatan Islam, terutama makin mudahnya memperoleh bantuan pemerintah untuk hal seperti itu. Dengan demikian, kuat juga dugaan bahwa komunitas abangan mulai menapaki aktivitas syariat, yang berarti memasuki proses perpaduan sinkretisme tahap kedua. Di sisi yang lain pula, terdapat fenomens, yakni makin berkembangnya gerakan tarikat Islam yang seakan-akan menjawab "tantangan" aksi komunitas abangan, yang telah sejak lama menganggap bahwa komunitas santri hanya cukup bersandar pada syariat saja, dan tidak mementingkan unsur-unsur kebatinan yang menjadi kekuatan spiritual abangan.
Walaupun proses sinkretisasi 'tahap kedua' di dalam kedua tipe kultural itu sedang berlangsung, dalam waktu yang lama tidak melenyapkan karakteristik kultural keduanya. Ada beberapa hal yang dapat mempertahankan karakteristik tersebut. Pertama, pemisahan dan orientasi nilai yang demikian itu telah berlangsung sangat lama, hampir sama usianya dengan menyebarnya agama Islam di Jawa. Kedua, pemisahan itu disertai dengan kesadaran konflik yang bersifat laten, dan tetap mengendap di alam bawah sadar pengikut-pengikutnya. Adapun yang ketiga, perbedaan yang disadari itu diperkuat dan dikukuhkan dengan pelembagaan sekunder, berupa organisasi yang secara politis diakui. Karenanya, meskipun disadari terjadinya berbagai transformasi di kedua komunitas tersebut, sentimen kultural abangan dan santri itu tetap hidup dan mewarnai struktur sosial keduanya sampai sekarang (lihat juga pandangan Jay, 1963; dan Lyon, 1976 mengenai hal yang sama).
Di tengah arus transformasi dan situasi keterbukaan, disadari adanya karakter transparansi pada kedua subkultur abangan dan santri dalam membuka diri terhadap unsur-unsur yang masuk dari luar (amati juga Kuntowijoyo, 1987; Hefner, 1987; dan Mackie, 1982). Dalam kaitan ini, Geertz (1960; 1972; 1973) cenderung untuk mempertegas perbedaan sifat kedua subkultur, dengan menekankan bahwa komunitas santri bersifat elitis, esoterik, dan asketik. Menurut Geertzm, subkultur santri menjadi lebih sulit untuk menerima masukan dari luar yang berupa ide-ide sekular. Walaupun demikian, dalam bagian yang lain dari tulisannya, Geertz (1959) mengakui juga bahwa selain sifat asketik yang cenderung puritan, subkultur santri juga memiliki karakter egaliter dan economically minded. Jadi, Geertz tidak semata-mata menekankan sifat ketertutupan, meskipun juga secara tidak tegas mengakui bahwa asketisme santri itu adalah asketisme duniawi. Dengan demikian, di dalam subkultur santri juga ditemui karakter keterbukaan. Namun, penerimaan unsur-unsur luar itu ditanggapi dengan respons yang berbeda, dibandingkan dengan penerimaan oleh subkultur abangan (tentang asketisme yang mengandung dalam dirinya etik ekonomi dan etos kapitalisme melalui mekanisme ascetic compulsive to save, bacan dan bandingkan Weber, 1930).
Perlu untuk dijelaskan, mengapa masyarakat dalam kedua subkultur mengakomodasi unsur perubahan dengan respons yang berbeda-beda; yakni pada subkultur abangan, terjadi kemungkinan disolusi pada struktur sosial, sedangkan pada subkultur santri, unsur perubahan itu diakomodasi dengan respons yang lebih selektif. Luethy (1969) menyebutkan bahwa telah terjadi mekanisme yang terorganisir, dan berkembang di dalam diri masyarakat tertentu (dalam hal ini didasarkan pada norma keagamaan), yang mengakibatkan suatu masyarakat dengan ciri tertentu itu, menjadi berbeda dengan yang lainnya dalam menanggapi perubahan yang sedang terjadi. Luethy menyebutnya dengan dua istilah yang dapat membedakan kedua respons yang nyaris bertentangan itu, yakni mekanisme yang terikat dengan pusatnya (tied to the center), dan mekanisme yang bebas (autonomous, independent, free from the center). Meskipun Luethy menggambarkan mekanisme itu di dalam kerangka moral religiusitas Katolik dan Protestan, sebagaimana yang diangkat sebagai tema sentral oleh Weber, penjelasan ini menjadi sangat bermakna untuk memberikan pengertian analogis, terhadap perbedaan pada struktur sosial santri dan abangan. Untuk membangun ide secara analogis berdasarkan filsafat moral sosial Kristiani, lihat antara lain Weber, 1930; Luethy, 1969; Chadwick, 1985; dan Horden, 1985.
Demikian juga, ketika Levy Jr. (1992) menjelaskan masyarakat dengan latar belakang confucianism yang lebih responsif daripada masyarakat dengan latar belakang nilai budaya Budhism. Confucianism telah memperkuat sovereignty dari familisme di dalam keluarga pemeluknya. Kebebasan setiap keluarga untuk mengangkat kehidupan mereka dalam bersaing dengan keluarga lain, merupakan strong achievement dalam kaitannya dengan modernisasi. Kebebasan keluarga dalam bersaing untuk lebih maju daripada keluarga yang lain menunjukkan ketidakterikatan mereka kepada suatu pusat mekanisme tertentu, yang oleh Budhism tidak digalakkan, dan ini menunjukkan suatu kondisi, yang oleh Weber (1930) disebut sebagai worldly ascetism.
Sangat mungkin bahwa masyarakat dengan latar belakang subkultur santri lebih terikat kepada pusat kekuatan tertentu, sedangkan masyarakat dengan latar belakang subkultur abangan terbebaskan dari pusat kekuatan, yang menyebabkan mereka lebih longgar dan seakan-akan terbebaskan dalam mengakomodasi setiap unsur perubahan yang masuk. Dalam istilah Hayami dan Kikuchi (1987), masyarakat demikian itu memiliki struktur yang longgar karena sejarah atau lingkungannya yang tertentu.
Sementara itu, dalam rangka berpolemik dengan Weber dan Troeltsch, Holl (1959) membedakan dinamika Lutheranisme yang lebih transformatif daripada Calvinisme. Alasannya, di dalam diri Lutheranisme terdapat mekanisme being more centered on individual and less on the religious community yang dengan demikian ia mampu lebih berdaya melakukan kontribusi ke arah reformasi hidup yang modern. Dalam kerangka pemikiran ini secara analogi, dinamika religiusitas dalam subkultur abangan lebih berpusat pada individu dan kurang berpusat pada komunitas religius. Sedangkan sebaliknya dinamika religiusitas dalam subkultur santri lebih terpusat pada komunitas religius sebagaimana terbentuknya konfigurasi yang terdiri atas kiai, masjid, dan pesantren. Kondisi ini sangat kondusif untuk membedakan kedua karakter subkultur abangan dan santri dalam mengakomodasi unsur perubahan dengan respons yang berbeda-beda.
Dengan demikian, subkultur abangan lebih transparan dan toleran terhadap unsur-unsur luar yang masuk. Hal ini berakibat lebih mudahnya berbagai unsur luar itu diterima, dibandingkan dengan unsur luar yang masuk ke dalam komunitas santri. Sudah tentu, unsur-unsur luar yang masuk itu akan melalui situasi penyaringan yang spesifik pada setuap subkultur. Tetapi, pengalaman sejarah mengajarkan bahwa situasi penyaringan terhadap unsur-unsur luar pada komunitas santri, terjadi dengan lebih ketat dibandingkan dengan yang terjadi pada komunitas abangan.
Dalam kondisi yang demikian, masing-masing subkultur, abangan dan santri, dapat dikatakan memiliki struktur sosial yang berbeda satu sama lain. Jika mengikuti apa yang menjadi kesimpulan Hayami dan Kikuchi, dapat dikatakan bahwa komunitas dengan subkultur abangan memiliki struktur sosial yang lebih longgar, dan dengan demikian akan lebih mudah mengakomodasi unsur-unsur yang diperkenalkan dari luar. Dengan demikian, masuknya ekonomi pasar perkotaan dan teknologi baru akan lebih mudah diterima di subkultur abangan. Demikian juga, campur tangan pemerintah dalam segala hal akan lebih mudah diserap oleh subkultur abangan. Sebaliknya, pada subkultur santri, situasi demikian akan lebih selektif untuk diakomodasi. Karena itu, komunitas dengan latar belakang subkultur santri memiliki struktur sosial yang lebih ketat dibandingkan dengan struktur sosial pada komunitas abangan.
Ditilik dari kenyataan yang ada ini, berarti bahwa pertumbuhan ekonomi di pedesaan jelaslah tidak semata-mata seperti apa yang dikemukakan oleh Syahrir (1994), yakni hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi itu sendiri atau meluasnya jaringan usaha di perkotaan saja; tetapi pertumbuhan itu sangat bergantung pula pada mekanisme kultural desa. Penelitian ini telah menunjukkan bukti bahwa bekerjanya mekanisme kultural di pedesaan bukan sekadar mampu mengendalikan dinamika diferensiasi agraria, tetapi lebih jauh telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh di pedesaan itu sendiri. Karena itu, upaya untuk "mengentas" penduduk dari situasi keterbelakangan tidak dapat hanya didasari pada pandangan yang lebih sederhana, yakni berupa pemberian dana bantuan dalam program Inpres Desa Tertinggal, yang dengan bantuan keuangan itu, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk di pedesaan dianggap serta-merta dapat ditingkatkan.
Bertahannya mekanisme kultural di pedesaan Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, akan menggoyahkan penilaian konvensional, tetapi model apa yang diikuti oleh kebijakan pembangunan negara ini. Apa yang diduga bahwa terdapat dua model pertumbuhan, yakni Latin Americanization's model dan Japan and NIC's model, sbmn yang direka oleh sebagian besar pakar pembangunan Asia Tenggara (Evers, 1989), ternyata tidak satu pun mengambil tempat yang tepat, sekurang-kurangnya, pada kawasan-kawasan yang diteliti.
Mengikuti paparan alternatif dua model ini, maka model Amerika Latin akan menciptakan konsentrasi yang berkepanjangan dari pemilikan tanah, pertumbuhan ketimpangan pendapatan, tingkat urbanisasi yang sangat tinggi, dan runtuhnya produksi subsistem pedesaan. Sebaliknya, model Jepang dan NIC menampakkan ciri-ciri pertumbuhan yang tinggi dari lapangan kerja sektor luar pertanian yang segera diikuti oleh transformasi pedesaan dan perkembangan ekonomi secara menyeluruh. Jelaslah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dinamika yang berkembang di dua desa penelitian, tidak satu pun dari dua model itu menampilkan dirinya secara utuh. Di sana-sini, beberapa kecenderungan yang terjadi terasa bertumpang tindih satu dengan yang lainnya.
Sejauh ini, dirasakan bahwa model pertumbuhan yang berlaku di negara-negara sedang berkembang, terlepas dari dibutuhkan ataupun tidak, tidak dapat disederhanakan sedemikian rupa; mengingat setiap pertumbuhan yang terjadi, kerapkali dipengaruhi oleh nilai kultural yang tidak sekadar berbeda bentuk dan substansinya, tetapi juga asing bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Demikian juga, telah terbukti bahwa hubungan yang erat telah terjadi antara nilai kultural dan aspek-aspek strukturalnya. Dalam pola relasional antara objek-objek fisik yang bersifat empiris, baik individu maupun struktur fisik lingkungannya, mereka ini sebenarnya hanyalah alat dan sekaligus sebagai akibat dari tindakan sosial itu sendiri. Sistem kultural yang dibangun dari tindakan sosial, sebagai elemen simbolik yang berasal dari tradisi, ide-ide, dan unsur-unsur kepercayaannya, meskipun tidak diinternalisasi sebagai elemen-elemen dasar (constitutive elements) dari struktur personalitasnya, tetapi sudah jelas sangat bertenaga memengaruhi tindakan sosial suatu kelompok masyarakat (lihat Parsons, 1951, 1964, 1966, 1977; dan bandingkan juga Merton, 1957). Karena itu, upaya-upaya para ahli ekonomi seperti Hoseitz (1953, 1960); Hagen (1962); Adelman dan Morris (1967, 1973); Myrdal (1957, 1968) dan Bauer (1957, 1972), yang pada umumnya menaruh perhatian yang besar terhadap cultural endowments in economic development, merupakan highlights tersendiri di tengah proses pembangunan di tiap negara yang sedang berkembang, yang cenderung bersifat mengabaikan nilai kultural setempat (Ruttan, 1988).
Sungguh, penelitian yang lebih serius dan rinci mengenai nilai kultural di pedesaan Indonesia, seharusnya telah menjadi suatu keperluan yang tidak terelakkan, guna mengantisipasi kebijakan pembangunan nasional di masa-masa yang akan datang. Penelitian sosio-kultural harus ditempatkan sebagai upaya terdepan di dalam proses pembangunan yang berciri antisipatif, partisipatif, dan berkelanjutan; bukan sekadar sebagaimana biasa terjadi, difungsikan hanya sebagai alat pendalih oleh orang-orang yang disebut sebagai pakar sosio-kultural itu sendiri.
Konflik-konflik keagamaan yang diselubungi oleh persaingan politik dan ekonomi itu dapat diamati dari terbentuknya struktur sosial yang digambarkan dalam berbagai konfigurasi dalam suatu proses kontinum yang berkepanjangan, sejak awal penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Soemarsaid Moertono (1985), dalam penjelasannya tentang pembagian wilayah kerajaan di Jawa pada masa Kerajaan Mataram II, membagi wilayah kekuasaan menjadi tiga golongan: nagara (ibukota) dan nagaragung (daerah inti), mancanagara dan pesisir, serta tanah sabrang (seberang laut). Konfigurasi ini, menurut Soemarsaid pula, sesuai dengan pandangan Veth (1875-1907) dan Selosoemardjan (1962) yang menyatakan bahwa negara-negara Jawa direncanakan menurut lingkaran konsentris.
Di sisi yang lain, fakta sejarah membuktikan bahwa lingkaran konsentris kekuasaan Jawa itu mengandung pula di dalamnya kutub pertentangan kultural, yakni nagara dan nagaragung di satu pihak, serta kawasan pesisir dan tanah sabrang di pihak yang lain. Graaf dan Pegeaud (1986), dengan lebih spesifik, membagi struktur sosial komunitas Jawa itu ke dalam dua perbedaan demografis yang mencolok, yakni "orang Jawa pedalaman" dan "orang Jawa pantai". Menurut kedua sejarawan ini, sudah sejak zaman dulu ada perbedaan sifat antara "orang Jawa pesisir" dan "orang Jawa pedalaman". Kedu a sifat yang berbeda ini, selain ditandai oleh perbedaan kultur ekonomi, juga didasari dan diaksentuasi oleh perbedaan penghayatan dan pengamalan religi dari kedua belah pihak.
Sejak awal penyebaran agama Islam di Pulau Jawa melalui pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, pihak penguasa pesisir merasa dirinya jauh lebih tinggi daripada penguasa daerah pedalaman. Orang-orang pesisir kerapkali menggunakan kata "kafir" untuk menunjuk ciri penting orang pedalaman, dalam kedudukan kepercayaan mereka. Sebaliknya, orang-orang pedalaman merasa sangat tidak senang terhadap ungkapan stereotip itu, di samping iri hati kepada tetangganya yang kaya di pantai utara (Graaf dan Pigeaud, 1986).
Semua itu terjadi sebagai akibat proses islamisasi yang gencar sepanjang abad XVI. Proses islamisasi ini juga diikuti oleh tumbuhnya enclave budaya ekonomi, sebagaimana Robert Redfield telah menggunakan istilah great community tradition, atau dengan istilah lain, dimensi kebudayaan yang lebih tinggi, berdampingan dengan dimensi kebudayaan yang lebih rendah (lihat Redfield, 1985). Di dalam dimensi kebudayaan yang lebih tinggi, dengan unsur-unsur budaya ekonomi perdagangan itu, melekat elemen-elemen kultural Islam, yang menganggap dirinya lebih maju dan modern daripada dimensi kebudayaan pedalaman, yang berintikan kultur pertanian dan mistik sinkretik yang tradisional.
Pertentangan antara golongan puritan dan sinkretik, dengan demikian, merupakan mainstream dalam proses kontinum perkembangan kultural di dalam masyarakat Jawa. Proses ini merupakan dialog panjang yang berlangsung dengan sangat ketat, dan bahkan diwarnai oleh berbagai konflik yang tajam antara kedua belah pihak sejak proses islamisasi itu dimulai. Proses dialog yang melelahkan ini, seperti dikemukakan Taufik Abdullah (1993), sangat berbeda dengan mekanisme dari pola integratif dalam sisinya yang lain, sebagaimana misalnya dilalui oleh proses penyebaran Islam di Aceh.
Penelitian yang dilakukan oleh Djoko Surjo dan kawan-kawan di tahun 1992-1993, yang dasar analisisnya menggunakan perspektif Taufik Abdullah dimaksud, berhasil melakukan evaluasi dan merinci dua outcomes dari tiga pola penyebaran Islam di Nusantara, yakni masing-masing Pasai, Malaka, dan Jawa, menjadi lebih bervariasi dan kompleks. Di samping membantu pemahaman yang lebih rinci, hasil penelitian ini tetap mengukuhkan bahwa proses penyebaran Islam di Pulau Jawa (sebagaimana juga dialami oleh proses penyebaran Islam di Pulau Lombok) telah mengalami suatu pergulatan panjang, dan dipenuhi oleh konflik yang belum kunjung berakhir dengan tuntas sampai akhir abad XX ini (baca juga Woodward, 1989).
Diperkirakan, konflik-konflik politik dan ekonomi kemudian berkembang menjadi konflik kultural, melalui diskursus-diskursus dan debat-debat yang berkepanjangan, antara kaum sufi sinkretik dengan kaum ulama syariat. Konflik kultural ini dapat diamati, misalnya melalui debat legendaris antara Ketib Anom dengan Kiai Haji Mutamaqin, atau debat antara murid Sunan Kalijaga, Syekh Dumba dengan murid Syekh Siti Jenar, Ki Canthula (R. Sastrawidjaja, 1958).]
Konflik-konflik kultural inilah yang diperkirakan telah melahirkan dan kemudian mengembangkan dikotomi santri dan abangan sebagai hasil proses pertentangan antara golonga puritan dan sinkretik di abad-abad XVIII-XIX. Di dalam abad XIX, pesantren berkembang menjadi pusat kegiatan politik, yang untuk sementara, hal ini mampu melupakan diskursus dan debat pertentangan dalam konflik santri-abangan. Namun, perkembangan baru ini ternyata justru memperkuat basis Islam di pedalaman. Dalam proses pergeseran konflik ini, terjadi suatu perubahan penting, yakni kekuatan Islam di pesisir yang sebelumnya berfungsi sebagai pusat, kemudian bergeser lebih ke arah pedalaman. Sementara, penjajah Belanda dengan sistem beambtenstaat melakukan proses sentralisasi kekuatan politik Islam pesisir itu, ke dalam suatu kekuatan birokratik baru yang berpusat di Batavia (demikian pula mainstream baru yang lain, terbentuk dalam dikotomi kawasan vorstenlanden dan gubernemen).
Pergeseran (dan kemudian diferensiasi) konflik ini menjadi menarik karena dengan demikian, dikotomi santri-abangan, yang semula bercirikan geografis; yakni pesisir-pedalaman, kemudian menumbuhkan enclaves baru yang tidak bercirikan "pelapisan kultural' yang demikian itu. Penemuan Hefner (1990) mengenai tiga pelapisan kultural di kawasan Tengger, Pasuruan: lowlands, middlelands, dan highlands, bisa dikatakan masih merupakan sisa-sisa pelapisan kultural yang tertinggal dan telah untuk sementara menjadi artifaks kultural yang khas dan bersifat perkecualian.
Atas dasar uraian proses sejarah tersebut, studi ini memperoleh landasan yang kokoh untuk mendudukkan dikotomi santri-abangan, sebagai dua sisi dari nilai kultural yang masih terus-menerus melakukan proses dialog mereka. Pertumbuhan cultural enclaves dari masing-masing elemen tipologi ini, sebenarnya meletakkan posisi dikotomik itu justru menjadi lebih bersifat eksklusif dan tajam, untuk mengembangkan perbedaan-perbedaan di antara keduanya, berdasarkan keragaman kultural religi di dalam masyarakat pedesaan Jawa.
Di dalam buku The Religion of Java, yang sudah menjadi referensi keragaman nilai kultural religi di dalam masyarakat Jawa, Geertz membagi keragaman kultural religi itu ke dalam trikotomi abangan, santri, dan priyayi. Pembagian ini memasukkan tipe kultural priyayi yang telah mendapatkan bantahan dari berbagai pihak. Emmerson ('976) misalnya, melihat kelemahan trikotomi Geertz yang menggabungkan saja dua dimensi, yakni status dan religi. Bagi orang Jawa, menurut Emmerson, priyayi adalah kelas sosial. Di bawah golongan priyayi, bukan individu-individu abangan, tetapi 'wong cilik', yakni kelas yang lebih rendah. Di sebagian besar orang Jawa, abangan berkenaan dengan pandangan dan praktik religi Hiunduis-Budhis-Animis. Adapun sebaliknya, santri adalah muslim. Dalam konteks keislaman Jawa, Emmerson menyebut practicing muslim bagi santri dan lax muslim bagi abangan. Pandangan Emmerson ini sepenuhnya didukung oleh hasil penelitian Scweizher (1983), di duatu desa di Klaten yang justru tidak menemukan tipologi status sosial priyayi, sebagaimana dikenal di kota kecil Mojokuto. Desa, menurut Schweizer, lebih mengenal tipologi abangan dan santri sebagai dikotomi religi, daripada priyayi yang merupakan tipologi status sosial di kawasan lebih perkotaan (selanjutnya dapat diamati Koentjaraningrat, 1961; Sosrodihardjo, 1963; Kartodirdjo, 1966; Niel, 1967; Dhofier, 1978; Ricklefs, 1979; dan Bachtiar, 1981). Dengan demikian, pembagian nilai kultural religi orang Jawa ke dalam tipologi abangan dan santri suilt terbantahkan sebagai yang terasakan nyata adanya di dalam masyarakat Jawa. Menurut Geertz pula (1960), yang diperkuat oleh Emmerson (1976) dan Schweizer (1983), tipologi abangan dan santri, bahkan merupakan istilah dan penggolongan yang diterapkan oleh orang Jawa sendiri, dan juga didasarkan pada kesadaran diri mereka sendiri (lihat juga Feith, 1957).
Berdasarkan Geertz, nilai kultural abangan diartikan sebagai bentuk pengejawantahan perpaduan sinkretik antara nilai Animisme, Hinduisme, dan Islam, meskipun menurutnya lagi, tidak selamanya tradisi perpaduan sinkretik itu diikuti oleh segenap orang Jawa abangan. Tipe kultural abangan ini, terutama berada di dalam masyk Jawa yang hidup di desa-desa, khususnya yang bekerja sebagai petani.
Nilai kultural santri merupakan subtradisi yang berbeda dari nilai kultural abangan. Sebagian besar masyarakat santri sering dipertautkan dengan kalangan pedagang di kota-kota. Tetapi, tidak dapat dibantah bahwa elemen santri yang kuat terdapat di desa-desa, yakni petani yang lebih kaya memimpin para petani lainnya dalam suatu pendidikan agama yang ketat (lebih jauh amati Geertz, 1960; 1959; 1965). Dalam telaah Kuntowijoyo disebutkan, kalau budaya spiritual lahir dari kaum abangan, maka kesalehan simbolis dalam gerakan tarikat Islam berasal dari kaum santri (Kuntowijoyo, 1987).
Sesuatu yang sulit dibantah bahwa kedua tipe kultural itu merupakan dua sisi yang berbeda, baik dipandang dari luar konteks kultru itu maupun yang lebih pokok, dipandang dari sudut persepsi mereka sendiri (bandingkan Schweizer, 1983). Sangat disadari bahwa transformasi yang semakin cepat terjadi di pedesaan Jawa saat ini, telah mampu mengubah nilai kultural setempat. Sangat menarik untuk dipertanyakan bahwa selain modernisasi yang mengakibatkan transformasi, apakah kedua tipe kultural itu sekarang telah saling mengaliri dirinya dengan ciri-ciri simbolis yang selama ini mereka pertentangkan? Meskipun baru pada taraf common sense knowledge, dalam situasi demikian, mungkin terjadi proses pencairan sinkretisme lama, dan berkembangnya sinkretisme yang lebih baru, di antara kedua tipe kultural ini. Mengikuti proses sinkretisasi di Indonesia, pola sinkretisme ini dapat dibagi menjadi tahap-tahap berkesinambungan, sebagai proses sinkretisasi tahap satu dan dua. Dengan demikian, tahap yang lebih kemudian diramal sebagai proses sinkretisasi tahap ketiga, yang sekaligus merupakan rotasi dari kegiatan mistik dalam tasawuf, yang dimulai pada abad II Hijriyah (bandingkan Kamil Kartapradja, 1990).
Di kawasan abangan dewasa ini, diduga telah lebih mudah ditemukan bangunan fisik peribadatan Islam, terutama makin mudahnya memperoleh bantuan pemerintah untuk hal seperti itu. Dengan demikian, kuat juga dugaan bahwa komunitas abangan mulai menapaki aktivitas syariat, yang berarti memasuki proses perpaduan sinkretisme tahap kedua. Di sisi yang lain pula, terdapat fenomens, yakni makin berkembangnya gerakan tarikat Islam yang seakan-akan menjawab "tantangan" aksi komunitas abangan, yang telah sejak lama menganggap bahwa komunitas santri hanya cukup bersandar pada syariat saja, dan tidak mementingkan unsur-unsur kebatinan yang menjadi kekuatan spiritual abangan.
Walaupun proses sinkretisasi 'tahap kedua' di dalam kedua tipe kultural itu sedang berlangsung, dalam waktu yang lama tidak melenyapkan karakteristik kultural keduanya. Ada beberapa hal yang dapat mempertahankan karakteristik tersebut. Pertama, pemisahan dan orientasi nilai yang demikian itu telah berlangsung sangat lama, hampir sama usianya dengan menyebarnya agama Islam di Jawa. Kedua, pemisahan itu disertai dengan kesadaran konflik yang bersifat laten, dan tetap mengendap di alam bawah sadar pengikut-pengikutnya. Adapun yang ketiga, perbedaan yang disadari itu diperkuat dan dikukuhkan dengan pelembagaan sekunder, berupa organisasi yang secara politis diakui. Karenanya, meskipun disadari terjadinya berbagai transformasi di kedua komunitas tersebut, sentimen kultural abangan dan santri itu tetap hidup dan mewarnai struktur sosial keduanya sampai sekarang (lihat juga pandangan Jay, 1963; dan Lyon, 1976 mengenai hal yang sama).
Di tengah arus transformasi dan situasi keterbukaan, disadari adanya karakter transparansi pada kedua subkultur abangan dan santri dalam membuka diri terhadap unsur-unsur yang masuk dari luar (amati juga Kuntowijoyo, 1987; Hefner, 1987; dan Mackie, 1982). Dalam kaitan ini, Geertz (1960; 1972; 1973) cenderung untuk mempertegas perbedaan sifat kedua subkultur, dengan menekankan bahwa komunitas santri bersifat elitis, esoterik, dan asketik. Menurut Geertzm, subkultur santri menjadi lebih sulit untuk menerima masukan dari luar yang berupa ide-ide sekular. Walaupun demikian, dalam bagian yang lain dari tulisannya, Geertz (1959) mengakui juga bahwa selain sifat asketik yang cenderung puritan, subkultur santri juga memiliki karakter egaliter dan economically minded. Jadi, Geertz tidak semata-mata menekankan sifat ketertutupan, meskipun juga secara tidak tegas mengakui bahwa asketisme santri itu adalah asketisme duniawi. Dengan demikian, di dalam subkultur santri juga ditemui karakter keterbukaan. Namun, penerimaan unsur-unsur luar itu ditanggapi dengan respons yang berbeda, dibandingkan dengan penerimaan oleh subkultur abangan (tentang asketisme yang mengandung dalam dirinya etik ekonomi dan etos kapitalisme melalui mekanisme ascetic compulsive to save, bacan dan bandingkan Weber, 1930).
Perlu untuk dijelaskan, mengapa masyarakat dalam kedua subkultur mengakomodasi unsur perubahan dengan respons yang berbeda-beda; yakni pada subkultur abangan, terjadi kemungkinan disolusi pada struktur sosial, sedangkan pada subkultur santri, unsur perubahan itu diakomodasi dengan respons yang lebih selektif. Luethy (1969) menyebutkan bahwa telah terjadi mekanisme yang terorganisir, dan berkembang di dalam diri masyarakat tertentu (dalam hal ini didasarkan pada norma keagamaan), yang mengakibatkan suatu masyarakat dengan ciri tertentu itu, menjadi berbeda dengan yang lainnya dalam menanggapi perubahan yang sedang terjadi. Luethy menyebutnya dengan dua istilah yang dapat membedakan kedua respons yang nyaris bertentangan itu, yakni mekanisme yang terikat dengan pusatnya (tied to the center), dan mekanisme yang bebas (autonomous, independent, free from the center). Meskipun Luethy menggambarkan mekanisme itu di dalam kerangka moral religiusitas Katolik dan Protestan, sebagaimana yang diangkat sebagai tema sentral oleh Weber, penjelasan ini menjadi sangat bermakna untuk memberikan pengertian analogis, terhadap perbedaan pada struktur sosial santri dan abangan. Untuk membangun ide secara analogis berdasarkan filsafat moral sosial Kristiani, lihat antara lain Weber, 1930; Luethy, 1969; Chadwick, 1985; dan Horden, 1985.
Demikian juga, ketika Levy Jr. (1992) menjelaskan masyarakat dengan latar belakang confucianism yang lebih responsif daripada masyarakat dengan latar belakang nilai budaya Budhism. Confucianism telah memperkuat sovereignty dari familisme di dalam keluarga pemeluknya. Kebebasan setiap keluarga untuk mengangkat kehidupan mereka dalam bersaing dengan keluarga lain, merupakan strong achievement dalam kaitannya dengan modernisasi. Kebebasan keluarga dalam bersaing untuk lebih maju daripada keluarga yang lain menunjukkan ketidakterikatan mereka kepada suatu pusat mekanisme tertentu, yang oleh Budhism tidak digalakkan, dan ini menunjukkan suatu kondisi, yang oleh Weber (1930) disebut sebagai worldly ascetism.
Sangat mungkin bahwa masyarakat dengan latar belakang subkultur santri lebih terikat kepada pusat kekuatan tertentu, sedangkan masyarakat dengan latar belakang subkultur abangan terbebaskan dari pusat kekuatan, yang menyebabkan mereka lebih longgar dan seakan-akan terbebaskan dalam mengakomodasi setiap unsur perubahan yang masuk. Dalam istilah Hayami dan Kikuchi (1987), masyarakat demikian itu memiliki struktur yang longgar karena sejarah atau lingkungannya yang tertentu.
Sementara itu, dalam rangka berpolemik dengan Weber dan Troeltsch, Holl (1959) membedakan dinamika Lutheranisme yang lebih transformatif daripada Calvinisme. Alasannya, di dalam diri Lutheranisme terdapat mekanisme being more centered on individual and less on the religious community yang dengan demikian ia mampu lebih berdaya melakukan kontribusi ke arah reformasi hidup yang modern. Dalam kerangka pemikiran ini secara analogi, dinamika religiusitas dalam subkultur abangan lebih berpusat pada individu dan kurang berpusat pada komunitas religius. Sedangkan sebaliknya dinamika religiusitas dalam subkultur santri lebih terpusat pada komunitas religius sebagaimana terbentuknya konfigurasi yang terdiri atas kiai, masjid, dan pesantren. Kondisi ini sangat kondusif untuk membedakan kedua karakter subkultur abangan dan santri dalam mengakomodasi unsur perubahan dengan respons yang berbeda-beda.
Dengan demikian, subkultur abangan lebih transparan dan toleran terhadap unsur-unsur luar yang masuk. Hal ini berakibat lebih mudahnya berbagai unsur luar itu diterima, dibandingkan dengan unsur luar yang masuk ke dalam komunitas santri. Sudah tentu, unsur-unsur luar yang masuk itu akan melalui situasi penyaringan yang spesifik pada setuap subkultur. Tetapi, pengalaman sejarah mengajarkan bahwa situasi penyaringan terhadap unsur-unsur luar pada komunitas santri, terjadi dengan lebih ketat dibandingkan dengan yang terjadi pada komunitas abangan.
Dalam kondisi yang demikian, masing-masing subkultur, abangan dan santri, dapat dikatakan memiliki struktur sosial yang berbeda satu sama lain. Jika mengikuti apa yang menjadi kesimpulan Hayami dan Kikuchi, dapat dikatakan bahwa komunitas dengan subkultur abangan memiliki struktur sosial yang lebih longgar, dan dengan demikian akan lebih mudah mengakomodasi unsur-unsur yang diperkenalkan dari luar. Dengan demikian, masuknya ekonomi pasar perkotaan dan teknologi baru akan lebih mudah diterima di subkultur abangan. Demikian juga, campur tangan pemerintah dalam segala hal akan lebih mudah diserap oleh subkultur abangan. Sebaliknya, pada subkultur santri, situasi demikian akan lebih selektif untuk diakomodasi. Karena itu, komunitas dengan latar belakang subkultur santri memiliki struktur sosial yang lebih ketat dibandingkan dengan struktur sosial pada komunitas abangan.
Ditilik dari kenyataan yang ada ini, berarti bahwa pertumbuhan ekonomi di pedesaan jelaslah tidak semata-mata seperti apa yang dikemukakan oleh Syahrir (1994), yakni hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi itu sendiri atau meluasnya jaringan usaha di perkotaan saja; tetapi pertumbuhan itu sangat bergantung pula pada mekanisme kultural desa. Penelitian ini telah menunjukkan bukti bahwa bekerjanya mekanisme kultural di pedesaan bukan sekadar mampu mengendalikan dinamika diferensiasi agraria, tetapi lebih jauh telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh di pedesaan itu sendiri. Karena itu, upaya untuk "mengentas" penduduk dari situasi keterbelakangan tidak dapat hanya didasari pada pandangan yang lebih sederhana, yakni berupa pemberian dana bantuan dalam program Inpres Desa Tertinggal, yang dengan bantuan keuangan itu, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk di pedesaan dianggap serta-merta dapat ditingkatkan.
Bertahannya mekanisme kultural di pedesaan Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, akan menggoyahkan penilaian konvensional, tetapi model apa yang diikuti oleh kebijakan pembangunan negara ini. Apa yang diduga bahwa terdapat dua model pertumbuhan, yakni Latin Americanization's model dan Japan and NIC's model, sbmn yang direka oleh sebagian besar pakar pembangunan Asia Tenggara (Evers, 1989), ternyata tidak satu pun mengambil tempat yang tepat, sekurang-kurangnya, pada kawasan-kawasan yang diteliti.
Mengikuti paparan alternatif dua model ini, maka model Amerika Latin akan menciptakan konsentrasi yang berkepanjangan dari pemilikan tanah, pertumbuhan ketimpangan pendapatan, tingkat urbanisasi yang sangat tinggi, dan runtuhnya produksi subsistem pedesaan. Sebaliknya, model Jepang dan NIC menampakkan ciri-ciri pertumbuhan yang tinggi dari lapangan kerja sektor luar pertanian yang segera diikuti oleh transformasi pedesaan dan perkembangan ekonomi secara menyeluruh. Jelaslah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dinamika yang berkembang di dua desa penelitian, tidak satu pun dari dua model itu menampilkan dirinya secara utuh. Di sana-sini, beberapa kecenderungan yang terjadi terasa bertumpang tindih satu dengan yang lainnya.
Sejauh ini, dirasakan bahwa model pertumbuhan yang berlaku di negara-negara sedang berkembang, terlepas dari dibutuhkan ataupun tidak, tidak dapat disederhanakan sedemikian rupa; mengingat setiap pertumbuhan yang terjadi, kerapkali dipengaruhi oleh nilai kultural yang tidak sekadar berbeda bentuk dan substansinya, tetapi juga asing bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Demikian juga, telah terbukti bahwa hubungan yang erat telah terjadi antara nilai kultural dan aspek-aspek strukturalnya. Dalam pola relasional antara objek-objek fisik yang bersifat empiris, baik individu maupun struktur fisik lingkungannya, mereka ini sebenarnya hanyalah alat dan sekaligus sebagai akibat dari tindakan sosial itu sendiri. Sistem kultural yang dibangun dari tindakan sosial, sebagai elemen simbolik yang berasal dari tradisi, ide-ide, dan unsur-unsur kepercayaannya, meskipun tidak diinternalisasi sebagai elemen-elemen dasar (constitutive elements) dari struktur personalitasnya, tetapi sudah jelas sangat bertenaga memengaruhi tindakan sosial suatu kelompok masyarakat (lihat Parsons, 1951, 1964, 1966, 1977; dan bandingkan juga Merton, 1957). Karena itu, upaya-upaya para ahli ekonomi seperti Hoseitz (1953, 1960); Hagen (1962); Adelman dan Morris (1967, 1973); Myrdal (1957, 1968) dan Bauer (1957, 1972), yang pada umumnya menaruh perhatian yang besar terhadap cultural endowments in economic development, merupakan highlights tersendiri di tengah proses pembangunan di tiap negara yang sedang berkembang, yang cenderung bersifat mengabaikan nilai kultural setempat (Ruttan, 1988).
Sungguh, penelitian yang lebih serius dan rinci mengenai nilai kultural di pedesaan Indonesia, seharusnya telah menjadi suatu keperluan yang tidak terelakkan, guna mengantisipasi kebijakan pembangunan nasional di masa-masa yang akan datang. Penelitian sosio-kultural harus ditempatkan sebagai upaya terdepan di dalam proses pembangunan yang berciri antisipatif, partisipatif, dan berkelanjutan; bukan sekadar sebagaimana biasa terjadi, difungsikan hanya sebagai alat pendalih oleh orang-orang yang disebut sebagai pakar sosio-kultural itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar